Mengapa disebut perang puputan margarana

            Puputan! Iya,mungkin teman-teman sudah tidak asing mendengar kata ini,tapi apakah teman-teman masih ingat apa itu puputan? Istilah puputan ini berasal dari kata bahasa Bali “puput” yang artinya “tanggal” / “putus” / “habis / “mati”. Nah, dapat disimpulkan puputan ini merupakan  istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada perang sampai titik darah penghabisan yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Puputan dilakukan pada era kolonial atau era penjajahan untuk membela tanah kelahiran dari ancaman pihak yang menginjak-injak harga diri dan martabat masyarakat.

            Di Bali sendiri, tercatat sudah 5 kali terjadi perang puputan dalam sejarah Bali, antara lain, Puputan Jagaraga,Puputan Kusamba,Puputan Badung,Puputan Margarana dan yang terakhir Puputan Klungkung. Disini saya akan mengambil salah satu contoh dari perang puputan. Perang puputan ini terjadi di tanah kelahiran saya, tepatnya di desa Jagaraga. Sejarah perang puputan pertama kali terjadi pada tahun 1846 di desa Jagaraga yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik. Perang ini dipicu oleh politik tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang masuk ke dermaga pelabuhan Buleleng – Bali Utara). Hal ini mengakibatkan  pihak Belanda yang tidak terima dengan perlakuan kerajaan Buleleng, menyerang mereka secara membabi buta di wilayah Den Bukit mulai dari pesisir Buleleng sampai ke kota kerajaan di desa Jagaraga, hingga akhirnya terjadilah perang puputan antara rakyat Buleleng dengan kolonial Belanda. Perang ini berakhir dengan  kalahnya Buleleng dan harus jatuh ke tangan kolonial Belanda.

            Sebagai generasi penerus bangsa yang terlahir di desa yang memiliki banyak sejarah berharga, saya sangat bangga dengan leluhur-leluhur saya yang rela berkorban hingga titik darah penghabisan demi membela tanah kelahiran dan martabat masyarakat. Sekarang, giliran kita sebagai generasi penerus bangsa untuk melakukan dan mengobarkan jiwa Puputan! puputan yang dimaksud disini tidak lagi seperti perang yang dilakukan pahlawan-pahlawan kita terdahulu, namun puputan yang dimaksud ialah bagaimana cara kita untuk berjuang memajukan dan mencerdaskan bangsa Indonesia sampai titik darah penghabisan! Inilah yang dimaksud dengan “Era Puputan Di Masa Kini” Atau “Merdeka Belajar”.

            Kita dapat mengaplikasikan pelajaran yang kita dapatkan dari perang puputan di masa kolonial pada era milenial sekarang ini. Bangsa Indonesia tentu menaruh harapan kepada kita sebagai generasi penerus bangsa. Maka  dari itu, kita harus mewujudkan harapan-harapan bangsa Indonesia ini agar kelak Indonesia menjadi negara yang maju di dalam segala bidang. Untuk memajukan suatu negara tentu kita harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Bagaimana caranya agar Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berkualitas? Kunci dari sumber daya manusia yang berkualitas itu adalah diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Maka dari itu kita harus belajar dan terus berkarya. Ciptakan karya yang kreatif dan inovatif dan jangan pantang menyerah. Generasi muda penerus bangsa adalah bagaikan kunci di pintu yang tergembok. Apabila kita berhasil memutar kunci itu tentu saja pintu akan terbuka. Bisa diartikan kita sebagai generasi muda harus berusaha semaksimal mungkin dalam belajar, selalu berkarya dan berinovasi. Niscaya gerbang kemajuan negara Indonesia akan terbuka. Namun, tidak hanya generasi muda yang puputan tetapi pemerintah dan seluruh golongan masyarakat pun harus ikut serta dalam puputan di masa kini. Pemerintahlah yang bisa mengambil komando untuk memotivasi dan menggerakkan generasi muda untuk maju kedepan, dan dengan dukungan masyarakat, hal ini bisa menjadi pekerjaan yang lebih mudah. Jadi, bukan hanya generasi muda yang berjuang. Pemerintah dan masyarakat pun harus ikut mengambil peran dalam hal memajukan bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan jika negara ini dapat maju, rakyat sejahtera, makmur, tentram dan bahagia. Tentu saja hal ini sangat didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

            Hal inilah yang saya maksud Era Puputan Di Masa Kini. Tentu saja tidak mudah dan instan bagi kita untuk memajukan negara ini. Namun, dengan perlahan saya yakin negara Indonesia pasti bisa. Negara kita kaya akan sumber daya alam, kaya dengan budaya, kaya dengan adat istiadat dan tradisi. Dengan ini saya yakin pemerintah Indonesia bersama generasi muda dan masyarakat Indonesia dapat mencerdaskan dan memajukan negara dan bangsa Indonesia “Merdeka Belajar!”.

Tema : Merdeka Belajar

Oleh Kadek Dwi Sume Artana (XIAP3)

Mengapa disebut perang puputan margarana
Ilustrasi Perang Puputan Margarana. Facebook.com

TEMPO.CO, Jakarta - 20 November merupakan tanggal yang istimewa bagi masyarakat Bali. Tepat satu tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, masyarakat Bali di Desa Marga, Kecamatan Margarana, Tabanan berjuang melawan pasukan Belanda yang berambisi untuk mendirikan Negara Indonesia Timur. Pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Perang Puputan Margarana tersebut dipimpin oleh sosok Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Divisi Sunda Kecil.

Dilansir dari repository.unej.ac.id, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan yang disebut Ciung Wanara untuk berjuang habis-habisan dalam melawan Belanda. Ia memegang peranan penting dalam perang Puputan Margarana. Sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam perang tersebut, I Gusti Ngurah Rai memiliki peran dalam menyusun strategi, mengatur serangan, hingga berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat di Pulau Jawa untuk meminta bantuan.

Pertempuran antara pasukan Ciung Wanara dengan pasukan Belanda berlangsung sangat sengit. Karena tidak memiliki perlengkapan senjata yang mumpuni, pasukan Ciung Wanara menggunakan taktik perang gerilya untuk melawan Belanda. Pada titik akhir pertempuran, sebagaimana dilansir dari e-journal.pasca.undiksha.ac.id, I Gusti Ngurah Rai memekikkan kata "Puputan!" yang berarti perintah untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Dilansir dari bi.go.id, I Gusti Ngurah Rai pada akhirnya tewas bersama dengan 95 pasukannya di tangan Belanda.

Meskipun demikian, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya berhasil menewaskan 400 pasukan Belanda. Taktik perang gerilya dan perang Puputan khas Bali yang ia terapkan mampu membawa perlawanan yang berarti bagi pasukan Belanda. Hal tersebut kemudian membuat I Gusti Ngurah Rai dinobatkan menjadi salah satu Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia. Namanya pun kini juga diabadikan sebagai nama salah satu bandara terbesar di Bali.

Metusnya Perang Puputan Margarana yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai di Bali dipicu oleh tiga faktor. Pertama, faktor politik internasional yang mengizinkan Belanda untuk merebut kekuasaannya kembali di Indonesia. Kedua, faktor politik nasional yang menempatkan Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca-Kemerdekaan. Ketiga, faktor politik lokal, yakni rasa senasib dan sepenanggungan yang dirasakan masyarakat Bali dengan seluruh masyarakat Indonesia dalam hal melawan penjajahan.

NAOMY A. NUGRAHENI

Baca: Perang Habis-habisan Puputan Nargarana, I Gusti Ngurah Rai Pimping Ciung Wanara

Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual bunuh diri massal[1] yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Istilah ini berasal dari kata bahasa Bali "puput" yang artinya "tanggal" / "putus" / "habis / "mati".

Mengapa disebut perang puputan margarana

Gusti Ngurah Karangasem, raja Buleleng ke-12, dan 400 pengikutnya memilih puputan daripada menyerah saat perang di Benteng Jagaraga (1849).

Puputan yang terkenal di Bali adalah Puputan Jagaraga, dilakukan oleh Kerajaan Buleleng melawan pasukan kolonial Belanda setelah Raja Buleleng memberlakukan sistem tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang berlabuh di dermaga Buleleng) terhadap kapal-kapal dagang Belanda, dan Puputan Margarana yang dipimpin oleh seorang serdadu Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) kelahiran Bali bernama I Gusti Ngurah Rai untuk melawan aksi militer kolonial Belanda.

  1. ^ Pringle 2004, hlm. 106.

  • Barski, Andy; Beaucort, Albert & Carpenter, Bruce, ed. (2007). Bali and Lombok. DK Eyewitness Travel Guides. Dorling Kindersley. ISBN 978-0756628789. 
  • Haer, Debbie Guthrie; Morillot, Juliette & Toh, Irene, ed. (2007). Bali : a traveller's companion (edisi ke-3rd). Editions Didier Millet (Singapore). ISBN 9789814217354. OCLC 190787094. 
  • Hanna, Willard A (2004). Bali Chronicles. Periplus, Singapore. ISBN 0-79460272X. 
  • ter Keurs, Pieter (2007). Colonial collections revisited. CNWS Publication. ISBN 90-5789-152-2. 
  • Pringle, Robert (2004). A short history of Bali: Indonesia's Hindu Realm. Short History of Asia Series. Allen & Unwin. ISBN 978-1865088631. 
  • Ridout, Lucy & Reader, Lesley (2002). The Rough Guide to Bali and Lombok (edisi ke-4th). Rough Guides Ltd. ISBN 978-1858289021. 
  • Rutherford, Scott, ed. (2002). Insight Guide Bali. Insight Guides. ISBN 978-1585732883. 
 

Artikel bertopik Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

 

Artikel bertopik bahasa ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Puputan&oldid=19528869"