Berikut merupakan penyebab seseorang berhak mendapat warisan atau harta pusaka, kecuali

SEBAB-SEBAB MEWARISI ATAU MENDAPATKAN WARISAN

Berikut merupakan penyebab seseorang berhak mendapat warisan atau harta pusaka, kecuali

Dalam agama Islam sudah di Jelaskan atau diatur mengenai pembagian warisan, ahli waris dan lain-lainnya yang menyangkut dengan warisan itu sendiri. Menurut Sayid Sabiq seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena di sebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu: Sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan atau wala’ dan pemberdekaan bukak. Sedangkan dalam literatur Hukum Islam disebutkan ada 4 (empat) sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu;

  1. Hubungan perkawinanHubungan perkawinan ini berarti suami dan istri dalam rumah tangga dapat saling mewarisi. Istri dapat mewarisi harta peninggalan dari suaminya yang sudah meninggal dan sebaliknya suami juga dapat mewarisi harta peninggalan dari istrinya yang sudah meninggal.

    Saling mewarisi yang disebabkan oleh perkawinan ini tentu memiliki syarat juga agar dapat menjadi ahli waris dalam perkawinan, diantara syaratnya yaitu; perkawinan yang sah dan perkawinan yang masih utuh. Maksud dari perkawinan yang masih utuh tersebut adalah perkawinan tersebut masih ada ikatan suami istri pada saat pembagian harta warisan.

  2. Kekerabatan/Nasab
    Salah satu penyebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturahim atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.
  3. Wala’ atau pemberdekaan budak, dan
  4. Hubungan sesama islam.

Selanjutnya mengenai penyebab seseorang mendapatkan warisan bagi umat muslim atau orang islam juga diatur di dalam KHI (kompilasi hukum islam) sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 174;

  1. Mendapatkan warisan karena hubungan darah
  2. Mendapatkan warisan disebabkan karena hubungan perkawinan.
    Salanjutnya dalam hukum perdata barat juga disebutkan bahwa penyebab saling mewarisi diantara yaitu;
  3. Karena kedudukan dia sendiri seperti hubungan darah
  4. Karena menjadi ahli waris pengganti
  5. Karena adanya surat wasiat dari pewaris

Untuk lebih jelasnya mengenai warisan serta pembagiaan harta warisan, maka bapak atau ibuk dapat melakukan konsultasi via whatsapp/ sms/ telfon di no 0877-9262-2545 atau datang langsung ke kantor kami…

Bahwa selain dari permasalahan di atas, kami juga memberikan kesempatan untuk konsultasi dalam permasalahan;

1. perceraian muslim

Untuk format konsultasi;

NAMA# ALAMAT#PEKERJAAN#PERMASALAHAN#PERTANYAAN

Untuk lebih mengenal kantor pengacara kami, maka bapak/ibuk dapak klik LINK INI https://kantorpengacaragusrianto.com

Ilustrasi emas Foto : Pixabay

Hukum selalu ada dalam setiap sisi kehidupan kita, dimulai dari sejak kita lahir, tumbuh dewasa, bahkan sampai meninggal dunia. Dalam hal seseorang telah meniggal dunia, maka hukum yang berperan adalah hukum waris guna mengalihkan harta kekayaan kepada orang yang berhak.

Tetapi, apakah semua orang berhak mendapatkan warisan? Dalam artikel ini kita akan membahas orang-orang yang tidak berhak mendapatkan warisan menurut undang-undang.

Pada dasarnya, Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Syarat terjadinya pewarisan ada tiga yaitu, pertama adanya pewaris atau seseorang yang meninggal dunia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 830 KUH Perdata yang berbunyi “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Kedua, adanya ahli waris yaitu seseorang yang berhak menerima harta warisan. Dan ketiga, adanya harta warisan yaitu benda baik berwujud maupun tidak berwujud yang akan dialihkan kepada ahli waris.

Orang-Orang yang Tidak Patut Menjadi Ahli Waris

Berdasarkan Pasal 838 KUH Perdata orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, orang-orang itu ialah:

1. Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal (pewaris) itu;

2. Dia yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;

3. Dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal (pewaris) itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya;

4. Dia yang telah menggelapkan. Memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal (pewaris) itu.

Bila Anda ingin bertanya lebih lanjut ataupun berdiskusi terkait persoalan hukum segera hubungi kami di Instagram ngertihukum_ atau YouTube Ngerti Hukum Channel.

Ditulis oleh Fikra Eka Prawira Surajat

ORANG YANG TIDAK BERHAK MENDAPAT HARTA WARIS

Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

1. Ar-Riqqu Atau Hamba Sahaya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Budak adalah manusia yang tidak memiliki wewenang sendiri, tetapi dia dimiliki, boleh dijual, boleh dihibahkan dan diwaris. Dia dikuasai dan tidak memiliki kekuasaan. Adapun (yang menjadi) sebab dia tidak mendapatkan warisan, karena Allah membagikan harta waris kepada orang yang berwenang memiliki sesuatu, sedangkan dia (budak) tidak memiliki wewenang.

Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًاوَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِ طَ الْمُبْتَاعُ

“Dan barangsiapa membeli budak sedangkan budak itu memiliki harta, maka hartanya milik si penjual, kecuali bila pembeli membuat syarat” [Hadits Riwayat Bukhari 2/838 dan Muslim 3/1173]

Selanjutnya beliau berkata : Jika dia tidak berhak memiliki, maka tidak berhak mewarisi, sebab bila dia mewarisi, maka akan beralih kepemilikannya kepada pemiliknya. [Lihat Tashilul Fara’id : 21]

2. Al-Qatil Atau Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak mengambil pusaka ayahnya. Untuk lebih jelasnya, lihat Muhtashar Al-Fiqhul Islami, hal. 774 oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri.

Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْقَاتِلُ لاَيَرِثُ

“Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa’, hal. 1672]

Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris. Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan sengaja atau tidak . Lihat Sunan Tirmidzi (3/288).

Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri. Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. Lihat Tashilul Fara’id, hal. 21-22

3. Ikhtilaffud Din Atau Berlainan Agama Dan Murtad
Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi, sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.

Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Baca Juga  Bagian Saudara Seibu Tidak Sama Dengan Saudara Kandung

لاَيَرِثُ الْمُسلِمُ الْكَافِرِ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/2484]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mereka tidak mendapatkan harta waris karena antara keduanya putus hubungan secara syar’i. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada nabi Nuh ‘Alahis Salam menjelaskan anaknya yang kafir dengan firmanNya.

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

“Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik” [Hud : 46]

Selanjutnya Syaikh menjelaskan : Ada dua perkara, bolehnya lain agama mewarisinya. Pertama : Al-Wala. Yaitu orang yang memerdekakan budak, dia mendapatkan warisan budak yang telah dimerdekakannya, walaupun lain agama. Kedua : Kerabat yang kafir lalu masuk Islam sebelum pembagian harta. Lihat Tashilul Fara’id, hal.22. Tiga macam diatas dinamakan hajib washaf. Artinya, keberadaannya seperti tidak adanya, karena mereka tidak mendapat harta waris.

4. Al-Muthallaqah Raj’iah Atau Talak Raj’i Yang Telah Habis Masa Iddahnya
Wanita yang sudah habis masa iddahnya, tidak mendapatkan warisan dari suaminya yang meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya. Tetapi bila meninggal dunia sebelum habis masa iddahnya, jika salah satunya meninggal dunia, maka mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Al-Fihul Islam oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri, hal. 775. Dalilnya ialah.

وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. [At-Thalaq : 1]

Yang dapat diambil pelajaran dari ayat ini, jika isteri dalam masa iddah, maka statusnya masih isteri sampai keluar masa iddah. Karena itu si isteri harus tinggal di rumah suami, tidak boleh diusir atau keluar dari rumah suami, selama masa iddah.

5. Al-Muthallaqah Al-Bainah Atau Talak Tiga
Wanita yang dicerai tiga kali dinamakan thalaq ba’in. Bila suami menceraikannya dalam keadaan sehat, lalu meninggal dunia, maka si isteri tidak mendapat warisan. Demikian pula sebaliknya. Atau suami dalam keadaan sakit keras dan tidak ada dugaan menceraikannya karena takut isteri mengambil warisannya, maka si isteri tidak mendapat warisan pula. Tetapi bila suami menceraikannya karena bermaksud agar isteri tidak mendapatkan warisan, maka isteri mendapatkan warisan. Lihat Mukhtashar Al-Fiqhul Islami, Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri, hal. 775

Apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri bagian akhir ini benar, karena termasuk hailah atau rekayasa untuk menghalangi hak orang lain. Seperti halnya lima orang yang berserikat memiliki kambing dan jumlah kambingnya telah mencapai 40 ekor. Tiba waktu mengeluarkan zakat, mereka membaginya agar terlepas dari kewajiban mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan hailah (rekayasa) seperti ini, maka mereka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat.

Baca Juga  Tidak Boleh Jual Beli Wakaf

6. Al-Laqit Atau Anak Angkat
Dalam hal ini termasuk juga orang tua angkat. Keduanya tidak medapat warisan bila salah satunya meninggal dunia, sekalipun sama agamanya dan diakui sebagai anaknya sendiri, atau bapaknya sendiri, sudah memiliki akte kelahiran dan di catat sebagai anak atau bapak kandung, karena istilah orang tua dan anak ialah yang satu darah yang disebabkan pernikahan menurut syar’i. Dalilnya ialah firman Allah.

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ

“ … Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan” [An-Nisa :176]

7. Ibu Tiri Atau Bapak Tiri
Anak tiri tidak mendapatkan warisan bila bapak tiri atau ibu tirinya meninggal dunia.

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ

“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak” [An-Nisa : 11]

8. Auladul Li’an Atau Anak Li’an
Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai dengan kata-kata “ Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta”, kemudian isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li’an (tidak diakui oleh suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli’an meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya, jika anak tersebut meninggal. Alasannya, karena anak itu tidak diakui oleh yang meli’an. Anak yang dili’an hanya mendapatkan harta waris dari ibunya dan sebaliknya.

9. Auladuz Zina Atau Anak Yang Lahir Hasil Zina
Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar’i. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih (8/256)

Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit. Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi khusus (7-8)/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

  1. Home
  2. /
  3. Fiqih : Waris &...
  4. /
  5. Orang Yang Tidak Berhak...