Lahan untuk membangun rumah dan bangunan lainnya adalah kegunaan dari

Lahan untuk membangun rumah dan bangunan lainnya adalah kegunaan dari
source from AMPUH

Oleh: Nisrina Atikah[1]


Sebagaimana diketahui sebelum UUPA, di Negara kita berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah, yaitu hukum tanah barat yang bersumber pada KUH Perdata dan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.

Jika bangunan itu berdiri di atas tanah yang tunduk pada ketentuan hukum tanah barat, maka hukumnya adalah bahwa bangunan itu menjadi bagian dari tanahnya karena berlaku asas perlekatan (asas natrekking atau asas accessie) (pasal 500 KUH Perdata). Karena merupakan bagian dari tanahnya, dengan sendirinya bangunan itu tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanahnya (hukum tanah).

Atas dasar asas itu pula, pemilikan atas tanah hak barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571 KUH Perdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah (Pasal 601 KUH Perdata), kecuali diperjanjikan lain.

Berlainan halnya jika bangunan itu berdiri di atas tanah yang tunduk pada hukum adat (dikenal sebagai tanah-tanah hak adat), dalam hukum adat berlaku Asas Pemisahan Horizontal (horizontale scheiding) antara tanah dan bangunannya berdiri di atasnya. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa pihak yang membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.

Dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam diktum UUPA, terutama dari ketentuan pasal 5, kita dapat mengambil kesimpulan antara lain:

  1. asas yang dipergunakan dalam hukum yang berlaku sekarang ini.
  2. penerapan asas tersebut pada kasus-kasus konkret.
  3. jika kasusnya masih terbatas antara pihak yang membangun dan pihak yang mempunyai tanah.
  4. jika dalam kasusnya sudah tersangkut pihak ketiga.
  5. fungsi sertifikat hak atas tanah dalam hubungannya dengan pemilikan bangunan.

 Asas yang Dipergunakan dalam Hukum yang Berlaku Sekarang ini.

            Dalam rangka mengadakan unifikasi hukum, disertai juga unifikasi hak-hak penguasaan atas tanah. Hak-hak atas tanah yang lama diubah (dikonversi) menjadi salah satu macam hak yang yang diatur di dalam UUPA. Dengan demikian, tidak ada lagi penggolongan tanah-tanah hak barat dan tanah-tanah hak adat.

            Dari apa yang diuraikan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa asas mengenai pemilikan bangunan yang dipergunakan dalam hukum kita yang berlaku sekarang ini adalah asas hukum adat, yaitu:

  1. bahwa pada asasnya, ada pemisahan antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya (asas pemisahan horizontal), yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap tanah tidak dengan sendirinya berlaku juga terhadap bangunan yang berdiri di atasnya. “Tanah tunduk pada hukum tanah”, sedangkan pengaturan soal bangunan termasuk hukum perutangan.
  2. bahwa hak pemilikan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan yang ada di atasnya. “Barangsiapa yang membangun, dialah pemilik bangunan yang di bangun itu.”

 Penerapan Asas Tersebut pada Kasus-kasus Konkret.

            Perlu kita ingat bahwa asas-asas hukum adat itu tidak bersifat mutlak. Penerapan-penerapan asas hukum adat pada kasus-kasus konkret selalu memerhatikan faktor-faktor yang meliputi atau bersangkutan dengan kasus yang dihadapi. Hukum adat bersikap “realistis”, berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada.

            Demikian pula halnya terhadap penerapan atas mengenai bangunan tersebut. Penerapannya tidaklah bersifat mutlak. Penyelesaian suatu kasus mungkin tidak dapat dilakukan secara mudah hanya berdasarkan rumusan asasnya, tetapi cara penerapan yang lazim dilakukan dalam melaksanakan hukum adat memberi kemungkinan yang lebih baik, untuk menimbang dan menilai kepentingan semua pihak yang bersangkutan sehingga penyelesaiannya akan dapat lebih memenuhi tuntutan keadilan.

Dalam suasana pedesaan, semula belum dikenal bangunan-bangunan dari batu yang berfundamen, yang menurut kenyataannya, pembuatan bangunan tersebut merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya, yang sukar dibongkar, lebih-lebih untuk memindahkannya ke tempat lain tanpa merusaknya seperti bangunan. Di daerah berlakunya hukum adat pun dewasa ini sudah meluas dan meliputi pula daerah-daerah perkotaan. Realita daerah-daerah perkotaan yan sudah dihadapi berbeda dengan semula ada dalam suasana pedesan. Dalam hal ini, kasus demi kasus perlu mendapat pertimbangan khusus, untuk menentukan apakah ketentuan hukum yang berlaku terhadap bangunan yang ada di atasnya antara lain dengan mengingat tujuan dan kegunaan ketentuan peraturan yang bersangkutan.

            Demikianlah misalnya kalau menurut kenyataannya bangunan yang bersangkutan memang tidak merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya (dari kayu, bamboo, atau prefabricated) hingga mudah dapat dibongkar dan dipindahkan ke tempat lain, ketentuan hukum tanah tidaklah berlaku terhadapnya. Misalnya ketentuan-ketentuan Pasal 21, 26, 30, dan 36 UUPA yang menyatakan jatuhnya tanah yang bersangkutan pada Negara. Bangunan yang ada di atas tanah hak milik boleh saja dimiiki oleh suatu Perseroan Terbatas (PT), di mana PT menurut hukum tanah tidak boleh menguasai tanah dengan hak milik. Hukum tanah memang memungkinan pemilikan bangunan oleh suatu PT di atas tanah milik “pihak lain”, yang dikuasai oleh PT tersebut dengan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak sewa (Pasal 35, 41, dan 44 UUPA).

            Dalam kasus-kasus pemilikan bangunan, dapat tersangkut kepentingan tiga pihak, yaitu sebagai berikut:

  1. Pihak pertama, yaitu pihak yang membangun.
  2. Pihak kedua, yaitu pihak yang mempunyai tanah.
  3. Pihak ketiga, yaitu pihak yang membeli tanah beserta bangunanyang ada di atasnya dan kreditor yang menerima tanah beserta bangunan yang ada di atasnya sebagai jaminan utang.

Jika Kasusnya Masih Terbatas Antara Pihak yang Membangun (Pihak Pertama) dan Pihak yang Mempunyai Tanah (Pihak Kedua).

  1. Apabila di antara mereka ada perjanjian mengenai pemilikan bangunan yang dibangun itu, apa yang mereka setujui itulah yang merupakn hukumnya.
  2. Apabila antara pihak pertama dan pihak kedua tidk ada perjanjian, barlakulah asas mengenai pemilikan bangunan tersebut di atas. Bangunan yang bersangkutan menjadi milik yang membangun, tanpa dipersoalkan di daerah mana kasus ini terjadi.

Penguasaan tanah dapat dilakukan dengan hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, ataupun hak menumpang. Jika pihakyang membangun itu menguasai tanahnya dengan hak guna bangunan, menurut PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, kepadanya dapat diberikan sertifikat sebagai tanda buktinya. Dengan mengetahui bahwa hak guna bangunan itu merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah milik pihak lain, dengan dilakukannya pendaftaran hak guna bangunan tersebut, menurut PP No. 24/1997 Pihak Ketiga dianggap mengetahui bahwa bangunan itu adalah milik pihak pertama.

Dengan demikian, pihak pertama telah cukup berusaha melindungi kepentingan dan mencegah pihak ketiga mempunyai perkiraan yan keliru. Sudah tentu pencatatan tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan pemilik tanah. Meskipun dalam hal ini pemilik bangunan tidak memperoleh sertifikat (karena hak atas tanah yang dipunyai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang harus didaftar), namun pencatatan pada buku tanah dan sertifikat hak mliknya sudah cukup memenuhi persyaratan publisitas untuk mengikat pihak ketiga yang mengadakan perbuatan hukum dengan tanah tersebut.

Praktik penyelesaian tanah yang dikuasai secara illegal menunjukkan juga bahwa tidak pernah ada anggapan bahwa bangunan yang didirikan oleh para okupan illegal itu bukan milik mereka. Mereka selalu diberi kesempatan untuk membongkar dan mengangkat ke tempat lain. Sengketa mengenai pembangunannya tidak mengurangi hak pemilikan pihak pertama atas bangunan yang dibangunnya itu.

Jika dalam Kasusnya Sudah Tersangkut Pihak Ketiga.

Walaupun bangunan itu pada umumnya merupakan milik yang mempunyai tanah, dengan adanya asas bahwa yang membangun menjadi pemilik bangunan tersebut, pihak ketiga yang mengadakan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah yang ada bangunannya tidak boleh beranggapan bahwa bangunana yang ada di atas tanah itu dengan sendirinya merupakan milik yang mempunyai tanah. Ia berkewajiban untuk mengadakan penelitian dalam batas-batas kewajaran dan memastikan siapakah pemilik bangunan tersebut.

Dalam suasana pedesan, membangun rumah atau bangunan lainnya bukanlah suatu peristiwa yang terjadi setiap hari dan tidak pula dilakukan secara diam-diam. Bahkan pada umumnya dilakukan dengan bantuan para warga desa yang lain dan disertai bentuk kegiatan lain yang menyolok. Oleh karena itu, pihak ketiga yang berkepentingan dengan mudah akan dapat mengetahui dari wara desa yang lain atau kepala desa, mengenai pemilik bangunan yang ada di atas bidang tanah yang akan dibeli atau diterimanya sebagai jaminan utang.

Dalam suasana pedesaan memang mudah dapat diketahui siapa pemilik suatu bangunan, namun hal ini tidaklah demikian dalam suasana perkotaan. Dalam suasana perkotaan, orang umumnya tidak saling mengetahui apa yang dilakukan atau apa yang dipunyai masing-masing. Bahkan kepala warga pun tidak selalu mengetahui hal-hal yang terjadi di daerahnya atau yang dimiliki oleh warga daerahnya atau yang dimiliki oleh warga daerahnya. Mengingat keadaan yang demikian itu, diberlakukan asas pemilikan bangunan tersebut pada setiap kasus yang terjadi dalam suasana perkotan yang berarti penambahan beban yang terlampau berat kepada pihak ketiga. Kiranya harus diusahakan adanya keseimbangan dalam melindungi dan mempertimbangkan kepentingan pihak yang memiliki bangunan dan pihak ketiga.

Di samping mewajibkan pihak ketiga untuk mengadakan penelitian sehubungan dengan kemungkinan bahwa bangunan yang bersangkutan bukan milik pihak yang mempunyai tanah, pihak pemilik bangunan berkewajiban untuk berusaha mencegah jangan sampai pihak ketiga mempunyai anggapan yang keliru bahwa banguna yang ada di atas tanah itu merupkan milik yang mempunyai tanah. Upaya yang disediakan oleh hukum untuk melindungi kepentingan melalui mekanisme pendaftaran sebagai syarat publisitas sudah dikemukakan di atas. Menempati sendiri bangunan yang dibangunnya atau mecegah timbulnya anggapan yang keliru.

Jika pihak pemilik bangunan lalai dalam kewajibannya untuk melindungi kepentingan sendiri dan pihak ketiga setelah mengadakan penelitian seperlunya memang tidak dapat mengetahuinya dar sumberlain, bolehlah ia menganggap bahwa apa yang ada di atas tanah yang dibelinya tersebut atau diterimanya sebagai jaminan utang tersebut merupakan juga milik yan mempunyai tanah. Juga atas dasar pertimbangan bahwa umumnya keadaan adalah demikian. Adanya bangunan milik pihak lain merupakan penecualian. Ini tidak berarti bahwa di daerah perkotaan berlaku asas accessie. Asasnya tetap “Asas Hukum Adat”, namun penerapannya dilakukan secara konkret relatif.

Fungsi Sertifikat Hak Atas Tanah dalam Hubungannya dengan Pemilikan Bangunan.

            Sertifikat menurut UUPA dan PP No. 10/1961 merupkan surat tanda bukti hak atas tanah yang kuat. Sertifikat tidak dimaksudkan sebagai pembuktian pemilikan bangunan. Jika hak atas tanahnya hak guna bangunan, pemilikan bangunannya disimpilkan dari isi haknya, yaitu sebagai hak untuk mendirikan bangunan atau mempunyai bangunan di atas tanah milik pihak lain. Oleh karena itu, mungkin karena umumnya sukar untuk dapat memperoleh tanda bukti yang lain, dalam praktik Pengadilan Negeri dan Panitia Perumahan di Jakarta, tampak bahwa dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara penghunian dan pemilikan bangunan/rumah dipergunakan sertifikat hak atas tanah sebagai alat untuk membuktikan hak pemilikan atas bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut.

            Dengan demikian, dalam praktik pengadilan, sertifikat hak atas tanah bukan hanya berfungsi membuktikan hak atas tanahnya saja, melainkan juga hak pemilikan atas bangunan yang ada di atasnya. Jika demikian halnya, bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah dan bangunan yang ada di atasnya cukuplah berpegan pada apa yang disebutkan di dalam sertifikat hak atas tanahnya. Apabila di dalam sertifikat tersebut tidak ada catatan keterangan yang sebaliknya, bolehlah dia menganggap bahwa bangunan yang ada di atas tanah tersebut adalah (juga) milik dari yang mempunyai tanah.

Hubungannya dengan Penataan Ruang.

            Dalam Pasal 6 UU Penataan Ruang dikatakan bahwa setiap orang wajib menaati penataan ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, barang siapa yang membangun atau menanam harus menaati tata ruang yang telah ditetapkan, yang membangun atau menanam belum tentu yang punya tanah.

            Sebagai inti dari asas pemisahan horizontal dapat dikatakan bahwa “barang siapa yang membangun atau menanam, maka dialah pemilik bangunan atau tanaman itu”. Jadi yang membangun atau yang menanam betul tentu yang punya tanah. UUPA jelas menggunakan asas ini karena UUPA berdasarkan hukum adat. Hubungan fungsional antar UUPA dan hukum adat terungkap dalam:

  1. Konsiderans “berpendapat huruf a” UUPA.
  2. Pasal 5 UUPA.
  3. Penjelasan Umum I/No.3.
  4. Penjelasan Pasal 5.
  5. Penjelasan Pasal 16.

Kecuali itu masih ada satu Pasal UUPA yang tegas mencerminkan bahwa UUPA menganut asas pemisahan horizontal, yakni Pasal 35 (1) yang memuat definisi Hak Guna Bangunan (HGB) bahwa ‘Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.”

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, siapapun yang membangun (baik yang punya tanah sendiri ataupun bukan pemilik tanah, tetapi mempunyai penguasaan yang legal berdasarkan perjanjian dengan pemiliknya) “tetap harus” menaati dan memerhatikan ketentuan hukum sebagaimana diwajibkan kepada setiap orang yang memanfaatkan ruang; setidak-tidaknya ketentuan hukum yang wajib ditaati adalah sebagai berikut:

  1. UUPA (Pasal 6, Pasal 14, dan Pasal 15).
  2. UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 6 [ayat 1 dan ayat 2]).
  3. UUPR (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 61).

Pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dapat dikenakan sanksi administratif; perdata, bahkan pidana tergantung dari jenis pelanggarannya.

 Asas accessie/asas perlekatan 

Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kusen, pintu dan jendela.

Asas ini menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang melekat pada benda pokok (principal). Menurut asas ini pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok.
Benda pelengkap itu terdiri dari bagian (bestanddeed) benda tambahan (bijzaak) dan benda penolong (hulpzaak).

Asas pemisahan horizontal

KUHPerdata menganut asas pelekatan sedang UUPA menganut asas horizontal yang diambil alih dari hukum Adat.

Jual beli hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya. Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli.

Pemerintah menganut asas vertical untuk tanah yang sudah memiliki sertifikat untuk tanah yang belum bersertifikat menganut asas horizontal (Surat menteri pertanahan/agraria tanggal 8 Februari 1964 Undang-Undang No.91/14 jo S.Dep. Agraria tanggal 10 desember 1966 No. DPH/364/43/66)

[1] Penulis adalah Mahasiswa Angkatan 2013 Jurusan Perdata Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin