Komoditi perdagangan Nusantara yang berupa pala banyak dihasilkan di pulau

Komoditi perdagangan Nusantara yang berupa pala banyak dihasilkan di pulau

Sumber : Freepik.com

“Nutmeg has been one of the saddest stories of history”

(Michael Krondl, Culinary Historian)

Dalam satu wawancara, sejarawan kuliner, Michael Krondl, menyatakan bahwa, "pala menjadi salah satu kisah paling menyedihkan dalam sejarah”. Catatan sejarah menunjukkan banyak darah telah ditumpahkan karena jenis rempah yang satu ini. Dimulai dari kisah mengerikan tentang bagaimana Belanda menyiksa dan membantai penduduk Kepulauan Banda sebagai kawasan asal penghasil pala dalam upaya untuk memonopoli perdagangan pala.

Pada tahun 1600-an, di Eropa, pala adalah rempah-rempah milik kalangan atas. Rempah ini dianggap eksotis, mahal dan menjadi penanda kekayaan seseorang. Sebagai tanaman endemik kawasan Kepulauan Banda dan Maluku sejak milenium yang lalu, Pala telah menjadi satu komoditas yang diinginkan seluruh dunia. Nilai dari hasil tanaman Pala, seperti biji, kulit dan minyak, semakin tinggi karena dalam perjalanannya lingkaran komunitas yang menginginkan pala menjadi semakin besar dan luas. Internasionalisasi ini dimulai dengan adanya revolusi jaringan perdagangan Asia pada abad ke-17 (Steensgaard, 1973).

Revolusi dimulai ketika terjadi peralihan dari jaringan perdagangan caravan (Portugis, Spanyol dan the caravan traders) kepada jaringan komersial dalam bentuk serikat-serikat dagang Hindia-Timur Belanda (VOC) dan British India (EIC). Pengalihan jaringan perdagangan antara kawasan Timur-Barat dari bentuk caravan trade kepada bentuk modern perusahaan-perusahaan Eropa (VOC/EIC) menandai dimulainya perluasan secara global lembaga-lembaga ekonomi politik Barat modern (Steensgaard, 1973: 114-151). Selain itu, kemenangan EIC dan VOC pada awal abad ke-17 atas jaringan perdagangan Oriental (caravan traders)[1] berperan penting dalam menimbang keseimbangan ekonomi dunia pada masa itu, terutama di kawasan Eropa Barat (Steensgaard, 1973:169-173). Keuntungan yang diperoleh Barat dalam menguasai jaringan perdagangan sejak abad ke-17, berperan penting dalam memahami contoh dan model perusahaan multinasional dan trans-nasional modern yang mulai tumbuh dan berkuasa sejak masa itu. Artinya, sejak abad tersebut mulai terjadi pengalihan secara sistematis penguasaan kapital dari daerah-daerah yang secara historis kaya seperti Asia (Asia Tenggara/Asia Selatan) menuju ke Eropa dan, selanjutnya pada pasca kolonial, ke Amerika (USA). Hasil analisa Steensgaard terhadap serikat dagang, seperti VOC/EIC, berangkat dari pandangan bahwa biaya yang dikeluarkan para pedagang bervariasi sesuai rute perdagangan yang dipilih. Di sini ditemukan bahwa jaringan perdagangan dengan rute laut mendominasi jaringan VOC/EIC, karena pada masa itu menjadi rute dengan biaya terendah (Steensgaard, 1973).

Berkaitan dengan pandangan Steensgaard (1973, 1975) mengenai peralihan kekuasaan perdagangan (hasil bumi dan hasil rempah, terutama cengkeh dan pala) dengan sistem monopoli sejak abad ke-17 kepada VOC/EIC, Schendel dalam tulisannya, Embedding Agricultural Commodities: an Introduction (2017:1-10), menjelaskan bahwa ada upaya (neo)kolonial untuk mengakomodasi penanaman (embedding) tanaman (pertanian) komersial (Asia) yang menguntungkan ke dalam lingkungan tertentu (Eropa). Di sini diperlihatkan bagaimana transisi ekonomi sejak abad ke-17 oleh VOC dan EIC sebagai perusahaan Barat, berhasil berkonsentrasi di Asia Tenggara, dan membeli beragam rempah serta hasil bumi lainnya dengan cara memblokade area produksi. Blokade kawasan produksi yang kemudian lebih dikenal dengan sistem monopoli, dilakukan demi memastikan stabilitas ekonomi dan politik lokal untuk keamanan rantai pasok komoditas yang diinginkan sampai ke Eropa.

Begitu pula dengan pala sebagai salah satu produk rempah andalan VOC, selain cengkeh dan lada. Sistem rantai pasokan VOC pada awalnya mungkin nampak lemah tetapi terstruktur dengan baik, dan membentang dari Kepulauan Banda-Maluku sampai ke Amsterdam Eropa. Bentangan rantai pasok tersebut melalui banyak pelabuhan dan pejabat, dikelola secara efisien namun kejam oleh VOC. Dari berbagai literatur VOC dapat dianggap sebagai organisasi bisnis pertama yang memiliki kemiripan dengan perusahaan multinasional saat ini (Nijman, 1994).

Sebagai serikat dagang, VOC mengumpulkan modalnya dengan menerbitkan saham dan memiliki logo komersial pertama yang diakui secara luas. Bahkan tanpa teknologi informasi, seperti komputer pada masa sekarang, para pejabat VOC terhubung melalui hierarki pelaporan dan akuntansi terperinci yang teratur (Nijman, 1994). Produksi pala disatukan di perken (perkebunan) dan diproses di 'pabrik'. Bentuk pertanian yang masih bersifat separuh subsisten pada masa sebelumnya digantikan dengan sistem berskala besar dengan kontrol kualitas yang ketat. Sistem baru ini diawasi oleh para perkenier dengan kesepakatan pembagian keuntungan dengan perusahaan. Secara terus-menerus para pekerja (budak) diberitahukan bahwa 'ukuran pala yang kecil tidak ada nilainya' (Suribidari dan Dina Srirahayu, 2020: 163-172).

Sistem monopoli VOC berhasil memproduksi sekitar 3000 ton pala setiap tahunnya dan langsung diangkut dengan kapal ke Belanda untuk didistribusikan kepada kelompok kelas atas Eropa yang haus rempah-rempah (Hanna, 1991; Loth, 1995). Bentuk perdagangan bersifat ad hoc di masa sebelumnya, yang berlangsung antar negara, dengan barang dagangan yang melewati banyak tangan, banyak pemilik dan banyak pasar, digantikan dengan bentuk pemrosesan 'langsung' oleh sebuah ‘entitas tunggal’, yaitu VOC (Nijman, 1994). Sistem monopoli VOC berhasil mengamankan rantai pasokan pala dari Maluku ke Eropa. Sistem ini dimulai dengan diterbitkannya semacam treaty oleh para Direktur VOC, yang memberikan otorisasi kepada Pieter Willemszoon Verhoef, kepala Ekspedisi Pelayaran VOC Ke-empat (1607-1612) untuk menciptakan monopoli perdagangan sesuai dengan catatan perintah mereka, ‘neither the King of Spain, nor any of his subjects may visit, or trade in, those places in Asia or Africa where we have possession or exclusive contracts’ (Ittersum, 2018: 157).

Lebih jauh Schendel (2017) melihat bahwa ambisi “penanaman/embedding” oleh VOC yang Eurosentris, dilakukan secara “paksa” melalui berbagai cara ‘trial and error’ sering berakibat produk yang dihasilkan sebagai komoditas ekspor menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan ini ditunjukkan dengan terjadinya beberapa peristiwa ketegangan antara para agen “embedding” dengan agen dari individu/pengusaha yang terlibat. Ketegangan sering terjadi dalam bentuk perlawanan dengan kekerasan, atau melakukan passive resistance (keengganan) sampai pada aksi berhenti melakukan penanaman komoditas pertanian yang diinginkan.

Dalam Social Life of Things, pandangan Appadurai (1986: 32-33) mengenai commodities and politics of value, menjelaskan bahwa barang yang dihasilkan di kawasan “asal” karena “diinginkan” dan diproduksi sesuai dengan permintaan dalam skala besar, maka posisinya berubah menjadi satu komoditas. Artinya, komoditas ada karena tuntutan konsumsi satu kelompok masyarakat yang diatur oleh kriteria “kelayakan”. Maka, adanya “permintaan” adalah dorongan yang diatur dan dihasilkan secara sosial, bukan semata karena keinginan ataupun kebutuhan individu. Semakin luas dan besar lingkaran kelompok sosial yang menginginkannya, maka semakin besar syarat dan kriteria yang dihasilkannya.

            Dengan membaca pandangan Appadurai, maka internasionalisasi produk rempah Asia, studi kasus dalam tulisan disini adalah pala, terutama pada masa sekarang ini, membawa efek pada lebih kuatnya komunitas di hilir (Uni Eropa/UE), dalam mengontrol pasar, dibandingkan komunitas di hulu, dalam hal ini kelompok produsen di Asia (Indonesia). Komunitas hilir di Uni Eropa tersebut, terdiri atas kelompok pebisnis (importir) maupun konsumen. Kekuatan efek tersebut terlihat hingga masa sekarang, dimana kontrol dari sisi hilir ditunjukkan dengan keluarnya berbagai regulasi dan direktif dari kelompok Uni Eropa. Penyusunan regulasi dan direktif di UE tersebut dapat muncul tidak terlepas dari peran pebisnis maupun konsumen (lihat Yayusman, 2020: 72-98). Dari sisi pebisnis (importir) dorongan terhadap UE untuk memunculkan regulasi dapat dipandang sebagai upaya untuk melakukan proteksi terhadap produk atau komoditas yang mereka produksi (Yayusman, 2020: 76). Sedangkan dari sisi konsumen, adanya perubahan gaya hidup misalnya untuk saat ini seperti healthy life style, food safety, maupun faktor-faktor yang berkaitan dengan keberlanjutan dan perlindungan lingkungan maupun preferensi konsumen juga telah mendorong adanya standarisasi tertentu terhadap suatu produk yang akan mereka konsumsi (Yayusman, 2020: 77). Kondisi dan tuntutan tersebutlah yang kemudian oleh Pemerintah UE di respon dengan dikeluarkannya berbagai bentuk regulasi dan direktif yang diterima oleh Indonesia dalam bentuk notifikasi dari UE untuk komoditas pala. Penjelasan dan pembahasan mengenai notifikasi UE serta bagaimana respon Pemerintah Indonesia, telah dituliskan dalam buku pertama mengenai Hambatan Non-tarif pada komoditas pala (Suribidari dan Srirahayu, 2020: 219-229). 

Kuatnya kontrol transaksi dagang UE dengan mengeluarkan berbagai regulasi dan direktif, terutama yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan keamanan pangan menggambarkan penjelasan Appadurai mengenai “commodities and the politics of value”. Bahwa produk pala dari Kepulauan Maluku sebagai kawasan produsen disetir/diarahkan/diatur syarat dan kepentingannya oleh Uni Eropa sebagai komunitas di hilir, seperti kelompok pebisnis, importir dan konsumen untuk dapat memenuhi standar-standar tertentu yang telah ditetapkan oleh mereka. Sebagaimana diuraikan dalam buku pertama mengenai pala sebagai komoditas ekspor (Suribidari dan Srirahayu, 2020), berbagai regulasi dan notifikasi yang diterbitkan UE merupakan bagian dari kondisi perdagangan global yang menuntut beragam persyaratan atas komoditas ekspor yang masuk ke UE. Beragam persyaratan itu diantaranya adalah bebas status OPT tertentu, seperti phytosanitary treatment, pest free area (PFA)/pest free places of production (PFPP) atau pun pest free production site (PFPS). Selain itu juga ada ketentuan persyaratan dalam hal sistem keterlacakan (traceability system) dari hulu hingga ke hilir atas komoditas ekspor yang masuk ke UE.

Kuatnya peran hilir dalam perdagangan pala di masa sekarang, memiliki kesamaan dengan sistem produksi dan perdagangan pala di masa dahulu (kolonial) meskipun mengalami pergeseran terutama dalam hal peran aktor dalam kontrol produksi dan distribusi pala. Pada masa lampau, serikat dagang kolonial seperti VOC (sebagai aktor hilir), terlibat secara langsung dalam proses kontrol produksi dan distribusi komoditas pala. Pada masa sekarang, peran aktor hilir tidak secara langsung melainkan digantikan dalam bentuk regulasi, direktif dan notifikasi dimana pihak yang terdampak atau berkenaan langsung dengan regulasi dan direktif tersebut adalah para pengusaha atau eksportir Indonesia. Sebagaimana pengalaman dari PT. Alam Sari Interbuana (PASI) sebagai salah satu eksportir pala dari Indonesia yang dikirim ke Eropa.

PASI sebagai salah satu eksportir pala Indonesia ke Eropa, pernah mendapatkan notifikasi dari UE tentang adanya kandungan aflatoxin pada produk pala yang dikirim oleh PASI ke pasar UE. Dengan adanya notifikasi tersebut, memberikan banyak dampak kerugian terutama secara materi bagi para pengusaha karena produk mereka dikembalikan dan diperlukannya tindak lanjut untuk memenuhi standar yang disyaratkan sesuai dengan catatan dalam notifikasi tersebut misalnya seperti sertifikasi keamanan pangan (health certificate). Selain dalam bentuk notifikasi yang mensyaratkan kelengkapan dokumen sertifikasi yang menjamin kualitas dan keamanan produk, aktor hilir (UE) juga menerapkan ketentuan lain misalnya ketika PASI menerima kunjungan delegasi dari perusahaan importir Uni Eropa di Maluku Utara. Yang menjadi perhatian pertama kali delegasi UE ketika tiba di Maluku Utara bukan masalah berapa luas lahan perkebunan pala, berapa besar produksi dan bagaimana cara produk pala yang dihasilkan. Perhatian pertama mereka melainkan ditujukan pada kesejahteraan petani, dengan cara meminta kunjungan delegasi dilakukan ke tempat para petani tinggal untuk secara langsung melihat layaknya kehidupan sehari-hari para petani/pekebun pala. Delegasi UE tersebut justru tidak mempermasalahkan persoalan berapa luas lahan perkebunan pala, berapa besar produksi dan bagaimana cara produk pala yang dihasilkan. Sebuah isu yang mungkin jarang atau bahkan tidak terpikirkan oleh para pelaku usaha di Indonesia. Contoh dari pengalaman yang dihadapi oleh PASI tersebut, dapat menjadi kemungkinan munculnya regulasi-regulasi baru dari Komisi UE yang berhubungan dengan produk ekspor pertanian/perkebunan, juga dikaitkan dengan masalah Hak Asasi Manusia (HAM), seperti masalah kesejahteraan produsen/petani pala yang berkelanjutan.

Beberapa poin pengalaman yang dihadapi oleh PASI tersebut, memperlihatkan bahwa PASI sebagai pengusaha (sektor bisnis) komoditas pala, di masa sekarang memiliki peran ganda, bahkan lebih. Pengusaha tidak lagi hanya bergerak di bidang ekonomi (perdagangan atau distribusi) melainkan memiliki peran dan tanggung jawab lain misalnya di bidang sosial seperti pemberdayaan petani. Orientasi sektor usaha tidak lagi hanya berupa profit tetapi juga memperhatikan unsur kesejahteraan petani dengan memberikan edukasi kepada petani. PASI bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, sebagai salah satu daerah utama penghasil pala, bersama Yayasan Penabulu Foundation, memprakarsai beberapa program yang fokus pada upaya peningkatan kualitas dan juga kuantitas produksi pala Maluku Utara, dimana tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. PASI bersama Yayasan Penabulu membentuk kelompok tani (Poktan) pala, memberikan edukasi kepada para petani terutama praktik produksi pala sesuai dengan standar GAP (Good Agricultural Practices) dan GHP (Good Handling Practices) untuk menghasilkan produk fuli dan biji pala yang bermutu dan meminimalkan resiko kontaminasi jamur penyebab aflatoxin (Suribidari dan Srirahayu, 2020: 186).

Selain program pemberdayaan petani, PASI bersama Yayasan Penabulu melakukan inisiasi membentuk sistem keterlacakan rantai pasok pala di Maluku Utara. Inisiatif PASI dan Penabulu disambut baik oleh Pemerintah Daerah Maluku Utara yang kemudian melahirkan Peraturan Gubernur dan turun menjadi Peraturan Daerah mengenai GOSORA (Gerakan Orientasi Ekspor untuk Rakyat Sejahtera). Pala merupakan salah satu komoditas andalan dari tiga komoditas utama, yaitu cengkeh dan kelapa (kopra), di dalam program GOSORA. Untuk mendukung program GOSORA, PASI bersama Yayasan Penabulu merancang aplikasi yang disebut DAKOTA (Data Komoditas Terpadu) sebagai upaya rintisan untuk menyediakan data komoditas tertentu (pala, lada, dan kayu manis) sepanjang rantai nilai (Ismaryanto, 2020 dalam Suribidari dan Srirahayu, 2020: 236).

Berdasarkan pada beberapa uraian di atas, terlihat bahwa serikat dagang telah mengalami evolusinya. Perubahan tersebut terutama terlihat dalam peran mereka. Apabila pada masa dulu serikat dagang berperan dan memiliki kontrol penuh dalam produksi dan distribusi pala dari negara produsen ke negara asal mereka. Pada masa sekarang serikat dagang tidak hanya sebagai aktor ekonomi yang memperjualbelikan pala tetapi juga sebagai aktor pendamping bagi petani pala. Di masa sekarang, dengan kuatnya posisi dan peran aktor hilir dalam menentukan pasar, pelaku usaha adalah aktor pertama yang terkena dampak tersebut. Maka, untuk mendukung keberlanjutan dan kelancaran usaha mereka, pelaku usaha memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan pembinaan dan pemberdayaan kepada para petani. (Suribidari dan Dina Srirahayu)

* Artikel ini merupakan bagian dari riset tim NTM subkomoditas pala.

Referensi

Appadurai, Arjun. (1986). Introduction: commodities and the politics of value dalam Arjun Appadurai (Ed.). The social life of things: commodities in cultural perspective (pp.3-63). Cambrigde: Cambrigde University Press.

Hanna, W. A. 1991. Indonesian Banda: Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Moluccas: East Indonesia: Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira.

Ittersum, Martine van (2018). Empire by Treaty? dalam Clulow, Adam and Mostert, Tristan. (Eds.). The Dutch and English East India Companies: Diplomacy, Trade and Violence in Early Modern Asia (pp.153-177). Amsterdam: Amsterdam University Press.

Loth, Vincent C. (1995). "Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in the 17th Century". Cakalele. Vol.6, pp. 13–35.

Nijman, J. (1994). "The VOC and the expansion of the world system 1602–1799". Political Geography, Vol. 13, pp. 211–227.

Schendel, Willem Van. (2017). Embedding agricultural commodities: an introduction dalam Willen van Schendel (Ed.). Embedding agricultural commodities: using historical evidence, 1840s-1940s (pp. 1-10). Oxford/New York: Routledge.

Steensgaard, Niels. (1973). Carracks, caravans and companies. The structural crises in the European-Asian trade in the early 17th century. Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph Series, NO.17 (Copenhagen: Studentlitteratur, 1973).

Suribidari dan Dina Srirahayu. (2020). NTM Uni Eropa dan perubahan tata kelola dalam komoditas pala Indonesia dalam Widyatmoko, Bondan, Meilinda Sari Y., dan Angga Bagus B. (Eds.). Hambatan perdagangan nontarif Uni Eropa dan respons aktor dalam rantai pasok kelapa sawit, pala, tuna, dan udang: relasi ketegangan dan harmonisasi (144-252). Yogyakarta: PT. Kanisius.

Yayusman, Meilinda Sari. (2020). Penciptaan hambatan nontarif: peran pebisnis dan konsumen dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di Uni Eropa dalam dalam Widyatmoko, Bondan, Meilinda Sari Y., dan Angga Bagus B. (Eds.). Hambatan perdagangan nontarif Uni Eropa dan respons aktor dalam rantai pasok kelapa sawit, pala, tuna, dan udang: relasi ketegangan dan harmonisasi (51-107). Yogyakarta: PT. Kanisius.

[1] Dengan menaklukkan Hormuz sebagai bandar transit utama Portugis di Persia, Steensgaard, 1973: 154-200)