Jelaskan maksud kata مُخْتَالً pada ayat QS. anNisa 4 36

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Kurdum bin Zaid sekutu Ka’ab bin al-Asyraf, Usamah bin Habib, Nafi bin Abi Nafi, Bahra bin ‘Amr, Hay bin Akhthab dan Rifa’ah bin Zaid bin at-Tabut, mendatangi orang anshar dan berkata: “janganlah kamu membelanjakan hartamu, kami takut kalau-kalau kamu jadi fakir dengan hilangnya harta itu, dan janganlah kamu terburu-buru menginfakkan, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi”. Maka turunlah Surat al-Nisagt’ ayat 36 sebagai larangan menjadi orang yang kikir.

Ulama’ (cendekiawan) Bani Israel sangat bakhil terhadap ilmu pengetahuan yang dimiliki, tidak mau menyebarluaskan kepada umat manusia karena khawatir jatuh martabatnya apabila mereka mengetahui ilmu tersebut. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-36 dan 37 sebagai peringatan terhadap kebakhilan mereka, baik terhadap ilmu pengetahuan maupun karunia Allah yang lain. (HR. Ibnu Hatim dari Sa’id bin Jubair)

Tafsir Surah an-Nisa’ 36

Sembahlah Allah”.

Kata Hamka, maksudnya adalah hendaklah tegakkan ibadah. Hendaklah engkau senantiasa sadar bahwa engkau ini adalah ‘abdun (hamba dari Allah) dan Dia adalah ma’bud (Dzat Yang berhak untuk disembah), yaitu tempat untuk menyembah. Kalau hal ini telah disadari, kelak dengan sendirinya segala gerak-gerik kehidupan kita akan jelas tujuannya, yaitu mencapai ridha Allah SWT. Dulu kita hanya mengenal bahwa yang dikatakan ibadah hanya mendirikan shalat, mengerjakan puas Ramadhan, menunaikan zakat, dan mengerjakan haji. Tetapi kalau kita telah menyadari bahwa kita ini adalah hamba dan Allah yang menjadi ma’bud, sudah pasti kita bersalah karena ibadah tersebut hanyalah sebagian darinya. Segala perbuatan yang baik seperti berdagang, bersawah dan berladang, membelanjakan istri dan mendidik anak, sampai menjaga kesehatan diri, adalah semuanya termasuk ibadah. Dan semua ibadah akan kita kerjakan dengan penuh kesadaran, karena kita selalu ingat ( zikir ) kepada Allah SWT. Dan zikir itu akan menimbulkan thuma’ninah, yaitu ketentraman hati, sebagaimana disebutkan dalam surat ar-Ra’d ayat 38, bahwasanya mengingat Allah itu dapat membawa ketentraman dalam hati.

Jadi, kalau orang telah beribadah kepada Allah, dengan sendirinya tidaklah ia memakan harta anak yatim, memakan harta dengan cara yang batil, atau membagikan harta warisan dengan curang, atau berlaku dzalim kepada istri, berlaku nusyuz kepada suami, atau syiqaq yang membawa rumah tangga menjadi pecah ( broken home ).

Dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun ”.

Artinya jangan musyrik. Jangan memandang sesuatu yang selain dari Allah mempunyai sifat-sifat ketuhanan, bisa menolong daro kesulitan dan membawa kemanfaatan, lalu yang selain dari-Nya tersebut disembah dan dibesarkan pula. Padahal tidak ada satupun yang selain Allah dapat memberi manfaat atau mendatangkan mudlarat. Syirik sendiri itu sudah pasti mendatangkan kemudlaratan bagi diri dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Syirik dapat memecah belah tujuan jiwa. Zaman Jahiliyah orang Arab menyembah berhala, tetapi setelah masuk agama Islam, ada orang yang secara tidak sadar telah mempersekutukkan Allah dengan yang lain.

Maka dari itu, untuk dasar kehidupan, menjadi umat Islam yang hidup dan bersemangat, teguhkanlah ibadah kepada Allah Yang Maha Esa, dan jangan sekali-kali mempersekutukkan-Nya dengan yang lain. Ibadah atau Tauhid, menyingkirkan segala sesuatu kemusyrikan atau membawa kepada syirik, adalah hubungan langsung dengan Allah. Kalau hubungan ini telah disadari, maka ringanlah rasanya segala peraturan yang diturunkan Allah, tidak ada perselisihan-perselisihan lagi. Maka setelah demikian teguh pertalian (hubungan) ke atas, yaitu kepada Tuhan, lanjutkanlah hubungan yang murni ke bawah, yaitu kepada sesama manusia, dimulai dari yang paling dekat.

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak ”.

Yang kedua setelah taat beribadah kepada Allah adalah berlaku hormat dan khidmat, cinta dan kasih kepada kedua orang tua. Sebab dengan perantara mereka berdua lah Allah telah memberikan ni’mat yang besar, yaitu sempat hidup di dalam dunia ini. Dengan adanya ibu-bapak, engkau merasakan bahwa engkau mempunyai urat tunggang dalam kehidupan ini. Allah pun telah mentakdirkan dan telah meniupkan rasa kasih sayang di dalam hati keduanya kepada dirimu, sejak matamu terbuka melihat dunia. Apabila engkau telah dianugerahi anak oleh Allah pula, barulah engkau akan ketahui benar betapa kasih sayang ibu-bapak itu diberikan kepadamu. Jasa mereka tidak akan dapat diganti dengan uang, meski berapapun banyaknya. Budi tidak dapat diganti dengan harta. Ganti budi hanyalah budi pula. Di kala engkau kecil tenaga mereka habis untuk memelihara dan mengasuh engkau. Mohonkanlah usia ibu-bapakmu panjang, supaya mereka merasakan khidmatmu kepada mereka, dan jika mereka ditakdirkan meninggal lebih dahulu, jangan lupa mendoakan semoga Allah mengasihi mereka sebagaimana mereka mengasihimu di kala kamu masih kecil dan agar mereka diampuni dari segala dosa. Menurut sabda Nabi SAW., doa anak yang shaleh adalah laksana “pension”, yang diterima terus oleh ibu-bapak di alam Barzakh itu.

Kemudian dilanjutkan dengan ayat “ Dan karib-kerabat ” Yaitu suadara-saudara seibu sebapak, atau sebapak saja atau seibu saja, saudara dari bapak baik laki-laki maupun perempuan, saudara dari ibu baik laki-laki maupun perempuan dan lain-lain, berbuat baiklah kepada mereka. mereka itu yang disebut dengan Ulul- Arham, berarti kasih bertali sayang. Dengan adanya mereka kita merasa rimbun-rampak hidup di dunia ini. Kasing sayang menimbulkan kode-kode (norma-norma), kehormatan kekeluargaan, tradisi yang tidak tertulis, kebiasaan yang istimewa kepunyaan satu keluarga besar. Sebab tabiat itu pindah-memindah, perangai itu tiru-meniru, sehingga masyarakat luar dapat mengetahui budi baik istimewa kepunyaan satu keluarga. Sebab itu, hendaklah orang tua mengenalkan kepada anak-anaknya yang lahir di suatu daerah lain siapa keluarganya, siapa mamaknya, pamannya, neneknya dan kakeknya, sehingga sampai turun-temurun silaturrahmi tidak putus. Dan jangan sampai terlepas kehidupan itu dan ikatan Islam, yaitu pertalian dan pertautan keluarga. Jangan dipengaruhi oleh hidup zaman modern yang nafsi-nafsi, sehingga ada yang merasa takut didatangi keluarga.

Dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin ”.

Menurut Hamka, ayat ini sebagai peringatan bahwa anak-anak yatim adalah beban bagi keluarganya yang dekat. Terutama bila ibu si anak yatim bersuami lagi. Hendaklah suami ibunya itu memandangnya sebagai anak sendiri. Anak tiri itu haram pula dinikahinya jika ia perempuan, sebab ia laksana anak tiri. Keluarga dari si mayit, saudaranya atau yang lain, berkewajiban membela dan membantu anak itu sampai ia dewasa. Terutama pendidikannya. Jangan sampai dia menjadi anak luntang-lantung, karena tidak ada lagi ayahnya yang menjaga. Terutama kalau dia miskin, harta pusaka ayahnya tidak banyak. Hemat Hamka, jika dia telah dewasa kelak jangan sampai dia merasa kecil, sebab tidak ada ayah. Bahkan banyak sekali terjadi anak-anak yatim menjadi orang yang berjiwa besar menghadapi hidup karena kebangkitan semangatnya. Pelopor anak yatim yang paling besar selama di dunia ini adalah Nabi kita Muhammad SAW. Lanjut Hamka, kepada orang miskin juga demikian. Tunjukkanlah kasih sayang kepada mereka. ingatlah bahwa dalam harta benda kita sendiri ada pula hak mereka. lebih-lebih orang miskin yang tahu harga diri, yang tidak mau memperlihatkan kemiskinannya kepada orang lain. Ini harus mendpat perhatian istimewa dari muslim yang mampu.

Dan tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh ” artinya jalinlah hubungan yang baik dengan tetangga (jiran). Karena menjalin hubungan baik dengannya adalah hal yang mempertinggi budi dan memperluas pergaulan. Inilah yang kadang-kadang kita namai rukun tetangga. Bahkan di dalam hadits Shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Syuraiz Khuza’i bahwa

Nabi SAW telah bersabda:

Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.

Di ayat ini disebutkan tetangga dekat dan tetangga jauh. Tetap saja keduanya tetangga. Keduanya hendaklah sama-sama dihormati. Tetangga dekat kata sebagian ahli tafsir ialah tetangga yang seagama, sedangkan tetangga jauh ialah tetangga yang berlainan agama. Keduanya disebutkan sekalian, supaya sama-sama dihormati menurut taraf kelayakannya. Seperti saling berkunjung dalam suasana kegembiraan, saling menjenguk ketika ada yang sakit, dan bertakziyah ketika ada yang meninggal dunia.

Apabila seorang muslim bertetangga dengan orang yang berlainan agama, ia wajib memperlihatkan terlebih dahulu ketentuan agama ini dalam hidupnya. Bukan hanya sekedar mengambil muka, akan tetapi didorong oleh perintah agama, menentukan hukum dosa dan pahala, haram dan wajib. Hal ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika bertetangga dengan orang Yahudi di Madinah. Apapun yang terjadi dalam suasana bertetangga, Rasulullah menunjukkan kemuliaan budi pekerti beliau. Dalam sebuah hadits Shahih riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menyembelih seekor kambing. Baru saja selesai menguliti, beliau sudah menyuruh khadam beliau mengantarkan dagingnya ke rumah tetangga Yahudinya itu. Kemudian beliau menanyakan sampai tiga kali dengan berkata: ”sudahkan engkau antarkan daging itu ke rumah tetangga kita Yahudi itu?”.

Dan teman sejawat ” diartikan oleh Hamka “ Sahabat di samping”. Menurutnya, ada ahli tafsir mengartikannya istri sendiri, sebab dialah sahabat di samping, teman sejawat, dan teman dekat kita siang dan malam, akan tetapi ahli tafsir lain mengatakan bukan buat istri, meskipun istri memang hidup di samping kita. Sebab ayat terkhusus mengenai pergaulan dengan istri sudah ada. Arti dari As-sahib adalah sahabat, teman. Dan BilJanbi artinya di samping, di dekat diri. Jadi, Hamka lebih condong kepada arti penafsir lain, yaitu teman sejawat, atau sahabat karib. Menurutnya, di samping anak dan istri kita, keluarga kita yang jauh ataupun yang dekat, kita pun mempunyai sahabat atau teman karib, yang kadang-kadang menjadi tempat menumpahkan rahasia hati kita. Dalam istilah modern sekarang disebutkan sebagai relasi. Kedudukan mereka sangat penting dalam pergaulan hidup kita sehari-hari. Maka lanjut beliau, ayat ini mengkhususkan perhatian kita kepada sahabat di samping itu. Dianjurkan agar persahabatan jangan sampai renggang.

Dan ibnu sabil ”. Diartikan oleh Hamka “ Dan anak Jalan”. Umumnya ahli tafsir memberikan tafsir orang yang sedang musafir itu untuk maksud-maksud yang baik, menambah pengalaman dan ilmu, atau mahsiswa yang meninggalkan kampong halaman, menuntut ilmy ke kota dan negeri lain. Menurutnya, sudah banyak keterangan tentang anjuran supaya seorang muslim keluar dari kampong halamannya, mengembara di atas muka bumi, menambah pemandangan dan penglihatan, melihat kemajuan negeri orang yang patut dirtiru, dan yang buruk dijauhi, dan perbandingan dalam sejarah. Maka, lanjutnya, ayat ini memberi perintah yang khusus kepada mereka, bahkan mereka pun berhak menerima bagian dari zakat. Dan dalam penegrtian anak perjalanan ini dimasukkan juga tamu yang datang tiba-tiba. Sehingga menjadi sambungan daripada Hadits Shahih Bukhari dan Muslim di atas, yaitu Sabda Nabi SAW :

Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.

Berdasarkan hal tersebut, dengan pedoman kepada ayat ini, tidaklah akan terlantar seorang musafir menuntut ilmu, menambah pengalaman, memperbanyak sahabat, jika mereka memulai perjalanan. Dengan hanya memakai satu bekal, yaitu “Assalamu’alaikum” belanja dalam perjalanan, makan dan minum, pakaian ala kadarnya, niscaya ia akan diterima pada tiap negeri yang disinggahinya, asal ditunjukkan olehnya bahwa ia adalah orang Islam.

Dan orang-orang yang dimiliki oleh tangan kanan kamu” maksudnya adalah budak, hamba sahaya. Memerdekakan mereka menurut Hamka adalah cita-cita tertinggi. Dan mereka diberi kesempatan untuk menebus kemerdekaannya, sehingga ada bagian zakat untuk penebusan itu yang dinamakan golongan “ Wafir Riqabi ”. Maka kalau belum sanggup memerdekakan mereka, perlakukan mereka dengan baik, jangan sampai jiwa mereka tertekan. Budak-budak ini juga menjadi wasiat Nabi SAW saat ajal hendak menjemput beliau. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi :

Adalah wasiat umum dari Rasulullah SAW ketika mendekati wafat adalah sholat dan hamba sahayamu.

Dalam penutup ayat Allah bersabda : “ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang keadaannya sombong sikap dan sombong kata ”. Menurut Hamka, mukhtal (sombong sikap) artinya melagak, menyombong, merasa seakan-akan dunia ini dia yang punya. Itulah takabbur pada sikap.

Ulama’ mengecualikan sikap langkah yang tegap dan gagah itu hanya ketika mengadakan latihan perang ataupun setelah berhadapan dengan musuh di medan perang. Sebab itu jika tentara berbaris tegap janganlah dikatakan sombong. Dan adapula hadits, Nabi SAW memberi izin berlagak sebagai orang takabbur jika berhadapan dengan orang yang memang sikapnya takabbur. Beliau bersabda :

Sombong kepada orang yang sombong adalah sebagai sedekah.

Artinya ialah apabila orang yang sombong berhadapan denganmu, janganlah kamu merendah seraya merunduk kepadanya. Fakhur ( sombong kata) artinya bercakap tinggi, membanggakan diri, menyebut bahwa dia paling pintar atau gagah berani, atau si fulan pernah dibantunya. Atau membanggakan nenek moyang, keturunan, kabilah dan suku.

Sumber : Tafsir al-Azhar