Jelaskan kriteria kepemimpinan yang baik menurut Roma 13 ayat 1 sampai 6

Jelaskan kriteria kepemimpinan yang baik menurut Roma 13 ayat 1 sampai 6
Markus Daniel Wakkary | Tokoh.co | Pentakostapos

[OPINI] – Oleh Pdt. Markus Daniel Wakarry | Bangsa memerlukan pemimpin. Jikalau tidak ada pemimpin, jatuhlah bangsa. Bangsa tidak akan bertumbuh mencapai kedewasaan, tanpa kepemimpinan. Suatu bangsa yang tengah bertumbuh dan bergumul dalam dunia yang penuh goncangan dan krisis, memerlukan pimpinan yang solid, yang kekuatannya bertumpu pada asas-asas kepemimpinan yang sesuai dengan nilai-nilai dasar dan konstitusi yang dianutnya.

Sebagaimana juga suatu bangsa, demikian pula Gereja yang tengah bertumbuh dan bergumul dalam dunia yang penuh goncangan dan krisis, memerlukan pimpinan yang solid, yang kekuatannya bertumpu pada asas-asas kepemimpinan yang Alkitabiah.

Berikut ini, saya merumuskan 12 Prinsip Kepemimpinan Alkitabiah sebagai kunci keberhasilan pemimpin gereja:

Prinsip I:
Dipanggil dan ditetapkan oleh Allah

Dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian baru, Alkitab mengggariskan bahwa pemimpin umat Tuhan adalah dipanggil dan ditetapkan oleh Allah: Musa dan Yosua (Kel. 3:10, Yosua 1:1-3); Saul dan Daud (I Sam. 16:12-13); Rasul-rasul (Mark 3:13-18); Lima Jawatan Gereja (Ef. 4:11-13); Penatua-penatua dan penilik-penilik di jemaat-jemaat lokal (Kis. 14:23, 20:28).

Alkitab menerapkan bahwa pemerintahan gereja bersifat teokratis. Bukan otokratis, bukan birokratis dan bukan pula demokratis. Dalam sistim teokrasi, Allahlah yang memilih, memanggil dan memperlengkapi orang-orang tertentu menjadi pemimpin dan pemerintah bagi umatNya. Tuhan juga yang mendelegasikan suatu ukuran otoritas kepada para pemimpin gereja, sesuai kehendakNya, dan untuk melaksanakan tugas-tugas, serta mencapai tujuan-tujuan, dalam kerangka rencanaNya

Para pemimpin gereja adalah pengabdian memenuhi panggilan, karena itu pemimpin gereja bukanlah suatu profesi, tetapi panggilan pelayanan. Dalam gereja Tuhan di Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah Kepala Gereja — Gereja atau Jemaat adalah Tubuh Kristus (Efesus 1:22-23). Yesus menjadi pusat atau sentra gereja (Wahyu 5:6, 1:13). Dia, Kepala dari Gereja – yaitu jemaat yang lintas suku, kaum, bahasa, bangsa, denominasi, segmen dan strata masyarakat. (Galatia 3:28).

Gereja yang universal dari semua penjuru dunia ini. (Matius 16:18). Sebagai pelaksana kepemimpinannya dalam gereja universal, Tuhan mendelegasikan fungsi-fungsi kepemimpinan kepada: Rasul-rasul, Nabi-nabi, Penginjil-penginjil, Gembala-gembala, Pengajar-pengajar. (Efesus 4:11). Masing-masing dengan pelayanan khusus. Namun semuanya meraih suatu sasaran: dunia yang diinjili dan gereja yang bertumbuh menjadi sempurna (Efesus 4:12-16), Matius 28:18-20).

Dalam gereja lokal ditetapkan penatua-penatua (presbuteros) dan penilik jemaat (episkopos). Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul menetapkan penatua-penatua (Kisah 14:23, Titus 1:5-9). Paulus juga menyebut penilik jemaat (Kisah 20:28, Filemon 1:1, I Timotius 3:1-7). Juga ada diaken (diákonos) yang menjadi pembantu pimpinan (Kisah 6:4-6, I Timotius 3:8-13). Rasul Yohanes mengaku dirinya sebagai penatua (II Yohanes 1:1, III Yohanes 1:1). Rasul Petrus juga (I Petrus 5:1).

Dalam organisasi gereja, terdapat juga para pemimpin struktural seperti dalam GPdI. Sifat kepemimpinan dalam organisasi adalah pemimpin atas pimpinan, seperti pimpinan atas gembala-gembala. Dan gembala-gembala sebagai pimpinan jemaat lokal. Karena penetapan pemimpin dalam organisasi menurut konsensus, dipilih dari antara pimpinan (para gembala, pengajar atau penginjil), menurut aturan yang telah disepakati, dan tetap berlandaskan Firman Allah.

Prinsip II:
Pemimpin harus diurapi Roh Kudus

Dalam Perjanjian Lama jawatan strategis pada umat Israel yaitu Raja, Imam dan Nabi, dilantik atau disahkan dengan cara pengurapan minyak. Dalam Perjanjian Baru minyak urapan adalah metáfora untuk Roh Kudus. Yesus Kristus, Kepala Gereja, menjadi contoh. Ia diurapi dengan Roh Kudus dan kuat kuasa (Kisah 10:38). Rasul-rasul harus menunggu di Yerusalem untuk menerima Roh Kudus (Kisah 2:1-4). Paulus juga mengalami pengurapan yang sama untuk panggilannya (Kisah 9:17).

Diurapi dengan Roh Kudus dan Kuasa, menurut hemat saya, bukan sekedar pengalaman kepenuhan Roh Kudus dengan tanda bahasa roh, melainkan juga pengurapan khusus untuk misi atau tugas khusus, seperti Yesus (Kisah 10:38, Matius 3:16-17). Roh Kudus mengaruniakan kuasa dan kesanggupan (dunamis Kisah 1:8) kepemimpinan, baik kemampuan intelektual maupun spiritual. Pengurapan harus dipelihara, harus proaktif, harus aktual dan selalu dibaharui. Pemimpin gereja mutlak memerlukan pengurapan Roh Suci, sebagai keabsahan pelayanannya.

Prinsip III:
Pemimpin harus jadi Teladan

Seorang pemimpin gereja wajib menjadi teladan atau contoh (Ibrani 13:7, I Timotius 1:16, 4:12, I Petrus 5:3). Banyak pemimpin adalah ahli – dan seharusnya demikian. Juga banyak yang pandai bicara – dan itu juga satu talenta yang baik. Namun, lebih penting, bahwa ia dapat menjadi contoh dalam semua hal yang diajarkannya.

Pemimpin dalam Alkitab adalah seorang yang berjalan di depan dan domba-domba mengikut dari belakang. Dalam perang modern dewasa ini, para jenderal memegang komando dari markas komando, menentukan strategi, sasaran serangan, Namun tidak lagi berada di medan tempur barisan depan.

Dalam strategi Tuhan, pemimpin harus berada di barisan depan. Memberi komando dan diikuti anak buah. Ia menjadi sasaran terdepan dari musuh. Ingatlah disamping harus menjadi teladan dalam unsur-unsur Illahi seperti iman dan kasih, dalam soal moral: kekudusan pernikahan. Tak kalah pentingnya soal karakter: tingkah laku, sopan-santun, tidak angkuh, dlsb.

Dalam hal integritas yakni moral kejujuran, pengabdian. Dan kredibilitas: dapat dipercaya, teguh dalam prinsip. Di samping semua itu, pemimpin juga disorot kehidupan pribadinya, perkawinannya, rumah tangganya, anak-anaknya, dll. Sebagai pemimpin teladan, kita menjadi panutan yang transparan. Anggota melihat kita, memperhatikan kita dan mencontoh kita. Seorang pemimpin ialah pengatur (proistemi), yang berarti berdiri di hadapan memimpin, mengatur, mengarahkan dengan praktek.

Prinsip IV:
Pemimpin harus memiliki standar Moral dan Karakter

Harus hidup Kudus. Kalau kita membaca kualifikasi seorang penatua atau penilik jemaat dalam I Timotius 3:1-7dan Titus 1:5-9, bagian terbesar dari persyaratan pemimpin rohani adalah moral dan karakter. Kemurnian, kesalehan dan kekudusan adalah prinsip dasar dari para pemimpin rohani. Kehidupan nikah, pengelolaan keuangan, pengendalian temperamen, pembinaan rumah tangga, sifat perilaku, percakapan, dlsb. menjadi unsur-unsur penting pembinaan moral dan karakter.

Rasul Paulus mengingatkan para pemimpin: “jagalah dirimu” kemudian baru “jagalah seluruh kawanan” (Kisah 20:28). Itu sebabnya sering dikatakan bahwa pemimpin rohani harus berkarakter, harus memiliki integritas.

Kebiasan-kebiasaan buruk acap kali kita kategorikan sebagai “kelemahan manusiawi” dan dianggap sah-sah saja. Padahal kemurnian moral dan karakter tidak boleh kita anggap hal lumrah sebab Kemurnian moral atau “bejana yang bersih” sangat menentukan karya pengurapan Roh Kudus.

Di zaman sekarang, terasa sekali betapa sulitnya hidup kudus. Godaan uang, pergaulan, kehidupan enak, kedudukan, kehormatan, godaan film dan literatur, keterbukaan soal-soal seksual, membenarkan dusta, dll tidak luput menghadang para pemimpin rohani. Tetapi pegangan kita tidak boleh bergeming: “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu”. (II Petrus 1:15).
Pemimpin yang dipanggil oleh Tuhan harus memiliki hidup kudus, dan jangan terkena pencemaran (Roma 12:1,2, I Korintus 6:19-20, I Petrus 2:6, 2 Korintus 6:12-16).

Prinsip V:
Pemimpin harus memiliki Visi

Harus visioner. Para pemimpin gereja pada zaman “paling akhir” yang luar biasa ini, yang ingin menjadi mitra Tuhan dalam pembentukan tubuh Kristus, dalam penginjilan Global, harus merupakan pemimpin-pemimpin visioner. Abad 21 sudah di depan kita, abad dengan sebutan era globalisasi. Karenanya, para pemimpin dunia selalu dianjurkan memiliki visi global. “Bila tidak ada wahyu (vision), menjadi liarlah rakyat”. (Amsal 29:18).

Umat yang tidak memiliki pemimpin visioner akan salah arah atau berputar-putar di tempat – tidak maju walaupun tidak mundur. Seorang pemimpin dari Tuhan harus memiliki visi, juga dari Tuhan, seperti Abraham (Kejadian 12:1-3). Visi adalah suatu pandangan rohani yang jauh ke depan, menjangkau hal-hal yang besar, dahsyat, ajaib, tidak mungkin dan mustahil. Visi adalah pandangan iman, yang tak terbatas indra mata dan kadar intelegensia. Visi berhubungan erat dengan iman (II Korintus 5:7, Efesus 1:18-20, 3:20) dan dengan rencana Tuhan ( I Korintus 2:9, Ayub 42:2). Visi dapat diperoleh dari Firman Tuhan dan dari Roh Kudus.

Pemimpin gereja minimal harus memiliki 4 visi strategis ini: 1) Visi globalisasi Injil (Markus 16:15, Matius 28:18-20, Kisah 1:8, Roma 1:5, Matius 24:14, Wahyu 5:9) dan pekabaran Injil lintas budaya; 2) Visi Gereja Tubuh Kristus (Efesus 4:12,16) mempelai Kristus (Efesus 5:23-25) dan visi gereja lintas denominasi; 3) Visi Gereja Lokal dan pertumbuhan gereja lokal (Kisah 20:28, Kisah 14:23); 4) Visi Karya Roh Kudus Akhir Zaman (Kisah 2:17-19), yang lintas dan di atas segala-galanya (Kisah 2:17-19). Visi global, walaupun ruang lingkup pelayanan kita lokal.

Untuk mengimplementasikan visi, pemimpin harus mengembangkan dan menggunakan strategi. Strategi mencakup pertumbuhan pelayanan, peperangan rohani dan persekutuan atau kebersamaan. Seorang pemimpin haruslah seorang visioner.

Prinsip VI:
Pemimpin harus memiliki pengetahuan dan rajin belajar

Harus memiliki kemampuan intelektual. Raja Salomo adalah pemimpin yang berdoa kepada Tuhan memohon hikmat dan pengetahuan. (II Tawarikh 1:10). Dalam buku Amsal kita dapat membaca betapa substansialnya Hikmat dan Pengetahuan. Nabi Hosea menulis: Umatku binasa karena tidak mengenal Allah (My people are destroyed for lack of knowledge. Hosea 4:6).

Kalau umat Tuhan dibinasakan karena kurang pengetahuan, apalagi para pemimpinnya. Hikmat (wisdom) atau kearifan dan kebijaksanaan hanya kita peroleh dari Tuhan. Pengetahuan dapat kita miliki karena belajar dari Alkitab (I Timotius 3:15), belajar dari orang-orang lain, belajar dari buku-buku dan belajar dari sumber informasi lainnya.

Pemimpin harus rajin belajar. Pelayan Tuhan, para gembala, pendeta, harus rajin belajar dari orang lain (Amsal 27:17, Pengkhotbah 10:10). Zaman ini adalah era informasi. Zaman ini adalah abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan dunia kita dalam bidang Iptek maju secara mencengangkan. Perubahan-perubahan dahsyat terjadi karena revolusi Iptek. Pemimpin rohani harus mengantisipasi hal ini, karena banyak teologi sudah rancu karena pengaruh filsafat manusia. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan intelektual.

Prinsip VII:
Pemimpin adalah Pelayan

Kepemimpinan rohani adalah kehambaan, pengabdian dan pengorbanan. Kepemimpinan gereja adalah pengabdian (I Petrus 5:1-3), dan bukan untuk cari uang dan jabatan. Godaan kedudukan adalah salah satu kejatuhan utama para hamba Tuhan. Kepemimpinan rohani bukanlah bergaya majikan, boss atau direktur perusahaan. Pemimpin wajib memiliki hati hamba dan sifat pelayan (Yohanes 13:4-17, Markus 9:35). Para pemimpin harus berjiwa pelayan. (Efesus 6:6-8).

Pemimpin adalah PELAYAN. (Lukas 22:26), dan Yesus, pemimpin agung kita berfungsi sebagai pelayan (Lukas 22:27). Kepemimpinan gereja adalah pengorbanan. Model kepemimpinan kita adalah Yesus Kristus. Para pemimpin sendiri disebut: hamba Tuhan. Jadi, majikannya ialah Tuhan sendiri. Para pemimpin harus bergantung total kepada Tuhan, bukan kepada manusia, kekuatan uang, ekonomi, politik, atau sikon.

Prinsip VIII:
Pekerja keras, rajin berdoa dan berprestasi baik

Para penatua yang baik dan bekerja keras patut dihormati (I Timotius 5:17). Mereka harus orang-orang yang rajin, tidak malas (Roma 12:8). Para pemimpin harus merupakan sosok yang rajin berdoa, rajin melayani, rajin mengajar Firman dan bekerja sekerasnya untuk pertumbuhan gereja dan penyebaran Injil. Bekerja keras berarti juga disiplin dan tidak cengeng. Pemimpin gereja harus berprestasi baik, barulah beroleh kedudukan yang baik (I Timotius 3:13).

Prinsip IX:
Pemimpin adalah komunikator

Pemimpin harus mampu berkomunikasi. Salah satu kelemahan para pemimpin gereja yang dapat menghambat keberhasilan pelayanannya adalah kekurangmampuan untuk berkomunikasi. Komunikasi merupakan unsur penting dalam kepemimpinan. Pernyataan rasul Paulus: “Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal….” (I Korintus 10:33); menunjukkan kemampuannya yang besar sekali dalam berkomunikasi.

Komunikasi bukan sekedar kemampuan berbicara, tetapi kesanggupan melakukan kontak-kontak, melalui beraneka ragam cara. Kehidupan kita dalam suatu masyarakat, apapun segmennya, stratanya atau kelompoknya, mengharuskan kita berkomunikasi, mengarahkan kita untuk mengembangkan dan membina relasi. Allah lebih dahulu berkomunikasi dengan kita, bahkan Ia berusaha selalu mengadakan komunikasi dengan manusia, sejak di taman Eden, dan puncaknya melalui Yesus, serta kini dengan Firman dan Roh Kudus.

Komunikasi kita yang pertama, harus secara kontinyu dengan Tuhan, lewat doa, pujian, penyembahan, berkorban. Kedua, dengan orang-orang yang kita layani. Ketiga, dengan orang-orang luar. Sebagai gembala kita harus mampu berkomunikasi dengan jemaat, apakah itu secara individu dan berkelompok. Kita harus mampu berkomunikasi dengan keluarga sendiri, dengan lingkungan, dengan masyarakat, dengan Pemerintah. Kita harus berkomunikasi lewat khotbah, ceramah, pelajaran dan pelayanan lainnya.

Prinsip X:
Pemimpin musti Siap menghadapi Tantangan dan Menghadapi konflik.
Pemimpin harus memiliki Solusi. Seorang pemimpin rohani harus memiliki kemampuan memanfaatkan peluang-peluang yang ada, dan siap menghadapi tantangan-tantangan yang menghadang. Para pemimpin gereja di zaman modern ini harus memiliki risiko tantangan-tantangan yang canggih pula. Tantangan terdiri dari banyak jenis. Saya hanya utarakan beberapa butir yang aktual saja.

Pertama, tantangan dari godaan keinginan duniawi (I Yohanes 2:16), berupa berkat material, kemakmuran, kedudukan dan kehormatan, uang dan kemewahan, kesuksesan dan keangkuhan, serta seks dan problema keluarga.

Kedua, tantangan dari sikon dunia dengan “penguasanya” (I Yohanes 5:19, II Timotius 3:1-5) berupa kekuatan moneter ekonomi, kekuatan sosial politik, kekuatan bersenjata, kekuatan agama-agama, kekuatan okultisme, kekuatan kultur (budaya), kekuatan massa, kekuatan kompromi, kekuatan tekanan, dan kekuatan penekan ekonomi (kemiskinan). Ketiga, tantangan dari diri sendiri (Kisah 20:28) yakni: egoisme, tidak terpanggil atau tidak terbeban, tidak memiliki kepemimpinan yang Alkitabiah, tidak memilki semangat dan keberanian, tidak ada visi, cengeng apabila ada kesulitan. Dan problema keluarga.

Keempat, tantangan dari Jemaat dan orang luar, yakni kritik, kecaman, protes, konflik, dan kompetetif antar gereja.