Status konservasi Animalia Filum:Chordata Kelas:Aves Ordo:Passeriformes Famili:Zosteropidae Genus:Zosterops Spesies:Z. flavus Horsfield, 1821 Kacamata jawa (Zosterops flavus) atau biasa disebut dengan sebutan nama kacamata saja[2] adalah spesies burung yang termasuk dalam familia Zosteropidae. Ia ditemukan di Indonesia dan Malaysia. Habitat alaminya adalah hutan dataran rendah tropis atau subtropis, hutan mangrove tropis atau subtropis, dan semak belukar subtropis atau tropis. Kacamata jawa terancam kehilangan habitat. Berukuran kecil (10 cm), dan badannya didominasi berwarna kuning.[2] Tubuh bagian atas berwarna kuning zaitun, dan bagian bawah berwarna kuning biasa.[3] Iris berwarna coklat, paruh dan kaki kehitaman. Mirip dengan kacamata laut, tetapi kacamata jawa berukuran lebih kecil, warna lebih terang, dan tanpa bintik hitam pada kekang.[3][4][5] Kicauannya berupa desisan seperti nada kontak yang tinggi di antara anggota kelompok dan suara yang tajam.[3][2] Ia tersebar di Kalimantan dan Jawa.[5] Ia penetap dan endemik di dua wilayah tersebut,[6] hutan mangrove, semak pantai, hutan pantai menjadi habitatnya.[4] Selain itu, kacamata jawa juga tinggal di pinggiran hutan.[2] Dalam mencari makan, kacamata jawa biasanya berkelompok dalam jumlah banyak. Adapun makanannya adalah nektar bunga, serangga kecil, dan buah—buahan.[2][4] Beberapa laporan mencatat burung ini mengunjungi pohon langsat dan pohon dadap. Diperlukan penelitian lebih jauh tentang burung ini karena informasinya terbatas.[3] Sarangnya kacamata jawa berbentuk cawan. Telurnya berwarna kebiru-biruan, dengan jumlah 2 butir. Berkembangbiak pada bulan Mei.[4] Ia diminati oleh penggemar burung yang berkantong tipis oleh karena perawatannya yang mudah. Selain itu, keistimewaannya yang lain adalah suaranya yang bisa dinikmati. Kacamata jawa dapat dijadikan burung pemaster lain.[2] Adapun keunggulannya yang lain yang menyebabkan orang suka memeliharanya adalah proses adaptasinya yang sangat cepat.[7] Ukuran tubuhnya yang mungin dan mudah dibuat berkicau jika kondisinya sehat menjadi daya tarik lainnya. Sayangnya, burung ini punya kelemahan untuk dipelihara, yakni mudah terlepas dari sangkar dan mudah mati.[7] Konservasi burung kacamata saat ini sudah banyak dilakukan
Bibliografi
Probolinggo, Suaralpkpk.com - Keberadaan burung Kacamata-Jawa Zosterops flavus (Horsfield, 1821) yang menghuni salah satu habitat mangrove Kabupaten Probolinggo dan acapkali teramati oleh kalangan fotografer satwa liar dan pengamat burung (Birdwatcher) selama ini akhirnya memantik kehadiran peneliti dunia perburungan (Ornithologi) berkebangsaan Belanda, Sebastianus Van Balen (65). Kehadiran pakar Ornitholog yang juga terkenal dengan salah satu masterpiecesnya sebuah buku panduan lapangan (Field guide) berjudul "Burung-burung Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali" ini adalah sekaligus untuk melakukan perjalanan remidi survey dan pengamatan burung yang memiliki istilah lain 'Javan White Eye' selama dua hari, Senin hingga Selasa (19-20/8/2019) di kawasan mangrove Kecamatan Gending hingga Dringu Kabupaten Probolinggo. Kehadirannya kali ini bersama rekannya Iwan Febrianto, pria kelahiran Surabaya 27 Pebruari 1976 yang karib disapa Iwan Londo ini adalah seorang expert pada bidang pengamatan burung pantai yang sudah lalu lalang menjelajah Nusantara selama hampir 20 tahun terakhir. Selama melakukan kegiatan mereka juga ditemani oleh komunitas fotografer satwa liar Probolinggo. Baca Lainnya :Menurut keterangan Bas Van Balen sapaan karib pria jangkung yang lancar berbahasa Indonesia ini, 10 tahun yang lalu jauh sebelum burung Kacamata-Jawa ini dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, dirinya pernah melakukan survey dan pendataan salah satu spesies burung kacamata (Pleci) yakni Kacamata-Jawa pada beberapa spot di Pulau Jawa yang memang memungkinkan bagi satwa endemik Jawa ini tetap eksis. "Untuk Jawa bagian timur, beberapa hari lalu kami awali pada salah satu daerah di Pulau Madura. Kami lanjutkan kemarin (18/8/2019) di hutan mangrove Wonorejo Surabaya. Hari ini selama dua hari kami fokus pada tiga spot di Probolinggo. Sedangkan untuk lusa (21/8/2019) kami juga berencana akan mengunjungi kembali salah satu kawasan mangrove di wilayah timur yakni daerah Besuki Kabupaten Situbondo," ungkap Bas Van Balen saat melakukan pengamatan di spot mangrove Desa Pajurangan Kecamatan Gending. Sebagai seorang pakar yang cukup mengetahui kondisi populasi burung-burung di wilayah Sunda Besar, Bas Van Balen yang mengaku sangat menyukai perilaku alami burung pleci ini sangat menyesalkan status konservasi Kacamata-Jawa yang terus mengalami perubahan mengkhawatirkan. Dari yang semula berstatus Hampir Terancam/Near Threatened (NT), kemudian meningkat dengan status Rentan/Vulnerable (VU) oleh data merah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Menurut Bas Van Balen hal ini seharusnya menjadi keprihatinan tersendiri khususnya bagi masyarakat pulau Jawa. "Nyatanya burung yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Jawa ini jumlah populasinya di alam kian menurun tajam. Bukan rahasia lagi jika hal ini tentu dikarenakan maraknya eksplotasi atas nama hobi dan alih fungsi lahan mangrove yang notabene sebagai habitat utama Pleci Jawa, menjadi areal industri dan pertambakan modern," katanya. Berdasarkan hasil survey dan pengamatannya di beberapa daerah tersebut, pihaknya menilai bahwa populasi burung langka 'berkacamata' ini saat ini benar-benar dalam kondisi gawat dan genting. "Sejauh pengamatan kami pada beberapa daerah di Jawa Timur yang paling memungkinkan masih menyimpan keberadaan Kacamata-Jawa, kami menyimpulkan status konservasi burung Kacamata-Jawa ini seharusnya dinaikkan lagi menjadi Endangered (EN)," tandasnya. Sementara Iwan Londo pun turut membenarkan pernyataan ini. Pasalnya tidak hanya bagi kalangan peneliti dan pakar saja, pada kalangan birdwatcher dan fotografer satwa liar pun burung mungil bersuara melankolis ini memang sangat sulit untuk dijumpai di habitat alaminya, bahkan bisa dibilang nyaris tinggal cerita saja. Pihaknya juga sangat mengapresiasi sepak terjang komunitas fotografer satwa liar Probolinggo yang selama ini terus berupaya mengungkap sisa-sisa keberadaan satwa liar langka dan dilindungi di daerahnya. Tidak hanya motivasi mendapatkan sebuah foto bagus, namun juga mengupayakan konservasi untuk mengupayakan perlindungannya. "Meskipun tidak banyak namun Probolinggo punya habitat yang berpotensi sebagai benteng terakhir bagi Kacamata-Jawa. Kami harap rekan-rekan komunitas fotografer satwa liar Probolinggo lebih gencar lagi dalam berkonservasi di tengah masyarakat awam. Sampaikan konservasi dengan bahasa sederhana dan mudah di pahami," pungkasnya. Terpisah, Kasi Konservasi Wilayah VI Probolinggo Mamat Ruhimat menyambut baik tentang informasi potensi yang disampaikan kepadanya terkait tentang keberadaan burung langka dilindungi di wilayah kerjanya itu. Ia menyarankan kepada komunitas pemerhati satwa ini untuk segera berkoordinasi dan membuat laporan tertulis. "Tentunya dengan adanya informasi dari masyarakat tersebut kemudian akan mendasari kami untuk menindak lanjuti sesuai dengan tupoksi kita. Pihak BKSDA juga harus melakukan survey potensi dulu untuk mendapatkan data akurat secara fisik dan informasi gambar yang mendukung," paparnya. "Kami perlu data awal informasi yang akurat, termasuk upaya awal yang sudah ada. Kalau memang perlu dibuat adanya aturan daerah untuk melindungi keberadaan potensi ini maka kami juga akan berkoordinasi bersama Pemerintah Kabupaten Probolinggo," imbuhnya. (Dwi Kukuh) |