Jambi mendapat bala bantuan dari voc dan harus mengadakan perjanjian dengan voc. yang isinya…

Oleh: M Ali Surakhman *)Skandal Candu dan Perjanjian VOC dan Sultan Jambi

PANEMBAHAN Kota Baru berkuasa sekitar tahun 1590, lalu digantikan oleh Pangeran Kedah yang memiliki gelar Abdul Kahar pada tahun 1615. Pada masa pemerintahan Abdul Kahar inilah, orang-orang VOC mulai menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Jambi. Mereka membeli hasil bumi Kerajaan Jambi terutama lada. Hubungan Kerajaan Jambi dan VOC mulai merenggang sekitar tahun 1642.

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalaga terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. Namun, bantuan itu ternyata tidak gratis.Sebagai gantinya, VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi. Tujuan utama dari perjanjian-perjanjian ini adalah untuk menguatkan monopoli pembelian lada. VOC juga memaksa untuk untuk penjualan kain dan opium. Dalam kontrak 6 Juli 1643 VOC dan Sultan Jambi, yaitu Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili oleh Pieter Soury mengenai lada menyebutkan, budak-budak kompeni yang terdiri dari orang orang Cina boleh tinggal dan berdangang di Jambi. Demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia.

KOMPAS.com - Antara abad ke-17 dan 18, VOC berhasil menguasai Batavia dan beberapa wilayah di Nusantara lainnya.

Di luar daerah-daerah tersebut, kerajaan-kerajaan bercorak Islam masih berdiri sebagai kerajaan berdaulat dan memegang kendali atas pangkalan ataupun rute-rute perdagangan.

Setelah terlibat persaingan dan perebutan kekuasaan, VOC akhirnya berhasil memaksakan perjanjian terhadap raja-raja di Nusantara agar dapat terlibat dalam urusan kerajaan.

Tujuan VOC terlibat dalam urusan internal kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah VOC ingin memecah belah kekuasaan kerajaan-kerajaan pribumi.

Dengan begitu, ancaman dari kerajaan yang menjadi pesaing dan belum berhasil ditaklukkan dapat diminimalisasi.

Berikut ini bentuk keterlibatan VOC dalam urusan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.

Intervensi VOC di Kerajaan Banten

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), yang juga sangat membenci VOC.

Ketika Sultan Ageng Tirtayasa terlibat konflik dengan putranya, Sultan Haji, VOC menganggap hal itu sebagai kesempatan berharga.

VOC segera mendekati Sultan Haji, yang dianggap mudah dipengaruhi, untuk melakukan politik adu domba.

Akibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh ayahnya berupaya menyingkirkan dirinya dari takhta Kesultanan Banten.

Sultan Haji kemudian bekerjasama dengan VOC untuk mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa.

Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang merugikan Banten.

Tidak hanya itu, perjanjian yang diajukan VOC secara praktis membuat Kerajaan Banten tidak memiliki kedaulatan lagi.

Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan harus mendapatkan persetujuan VOC.

Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan

Intervensi VOC di Kerajaan Mataram

Dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung tidak hanya dikenal sebagai raja yang membawa kerajaannya mencapai puncak keemasan, tetapi juga sangat gigih melawan VOC.

Keterlibatan VOC di Kerajaan Mataram dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), putra sekaligus pengganti Sultan Agung.

Berbeda dari ayahnya, Amangkurat I memiliki sifat sangat kejam dan mau bersekutu dengan VOC.

Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC, yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan VOC dan mengizinkannya untuk ikut campur urusan politik kerajaan.

Pada masa pemerintahan Amangkurat II, VOC mulai melakukan pencaplokan wilayah, mengendalikan pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa, dan memonopoli ekspor beras Mataram.

Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam intrik-intrik di kalangan keluarga kerajaan.

Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram, yang kemudian menjadi salah satu sebab meletusnya Perang Diponegoro.

Pada akhirnya, Kerajaan Mataram harus menandatangani Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang menyebabkan kerajaan dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Perjanjian Giyanti sendiri merupakan bentuk politik adu domba atau devide et impera VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III.

Baca juga: Devide et Impera: Asal-usul dan Upaya-upayanya di Nusantara

Intervensi VOC di Gowa-Tallo dan Bone

VOC tidak hanya memanfaatkan konflik internal kerajaan, tetapi juga perselisihan antarkerajaan, seperti yang terjadi pada Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone.

Dalam konflik dua kerajaan tersebut, VOC kembali melakukan siasat politik adu domba hingga membuat Raja Bone, yakni Aru Palaka, mau bersekutu untuk melawan Gowa-Tallo.

Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Gowa-Tallo, di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667.

Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Gowa-Tallo dan dua hari setelahnya Sultan Hasanuddin turun takhta.

Perjanjian Bongaya menjadi awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo, karena raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan.

Tidak hanya itu, VOC akhirnya berhasil menguasai monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur.

Intervensi VOC di Kerajaan Banjar

Belanda sebenarnya telah berupaya memonopoli perdagangan di Banjar sejak awal abad ke-17, tetapi selalu diusir.

Pada abad ke-18, VOC akhirnya berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Kerajaan Banjar.

Kesempatan untuk melakukan intervensi semakin lebar, saat Pangeran Nata terlibat konflik dengan Pangeran Amir.

Pangeran Amir kemudian meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, untuk menyerang Kerajaan Banjar dengan pasukan orang Bugis, sedangkan Pangeran Nata meminta bantuan VOC.

Meski Sultan Nata berhasil memertahankan takhtanya, kesepakatan dengan VOC pada akhirnya merusak adat kerajaan.

Selain itu, wilayah Kerajaan Banjar juga semakin sempit karena aneksasi yang dilakukan oleh VOC.

Baca juga: Isi Perjanjian Bongaya dan Latar Belakangnya

Intervensi VOC di Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Baabullah meninggal pada 1583.

Kehidupan politik Kerajaan Ternate pun semakin kacau saat VOC datang dan memenangkan persaingan melawan bangsa barat lainnya.

Sejak saat itu, VOC memegang hak atas monopoli perdagangan dan mulai mendirikan benteng di Ternate.

Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Ternate sepenuhnya berada di bawah kendali VOC. Hal sama juga terjadi di Kerajaan Tidore, setelah Sultan Nuku tutup usia pada 1805 M.

Kondisi di Kerajaan Tidore yang terus mengalami konflik internal segera dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruhnya.

Pada akhirnya, Kerajaan Tidore juga jatuh ke tangan Belanda.

Intervensi VOC di Sumatera

Di Pulau Sumatera, VOC dengan mudah menguasai kerajaan-kerajaan Islam, kecuali Kerajaan Aceh.

Kerajaan-kerajaan Islam tersebut jatuh ke tangan VOC setelah mengadakan kontrak yang merugikan bagi mereka.

Sementara Kerajaan Aceh masih dapat menikmati kemerdekaannya sampai pertengahan abad ke-19, setelah VOC dibubarkan.

Namun, setelah terlibat peperangan selama beberapa dekade, Kerajaan Aceh harus mengakui kekuatan Belanda.

Referensi:

  • Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi Inti Media.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Saat Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Sri Ingalogo (1665 - 1690), sempat terjadi peperangan antara Kesultanan Jambi dengan Kesultanan Johor. Saat itu, Kesultanan Jambi mendapat bantuan VOC. Mereka pun kemudian memenangkan pertempuran. Ternyata, bantuan VOC tersebut tidak gratis, VOC menyodorkan perjanjian secara berturut-turut kepada Kesultanan Jambi, yaitu pada tanggal:

  • 12 Juli 1681 
  • 20 Agustus 1681 
  • 11 Agustus 1683 
  • 20 Agustus 1683 

Perjanjian tersebut ternyata semakin menguatkan VOC dalam memonopoli pembelian lada di Kesultanan Jambi. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah B.  

Pengguna Brainly Pengguna Brainly

Di masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo, terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. Namun, bantuan itu ternyata nggak gratis. Sebagai gantinya, VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi. Tujuan utama dari perjanjian-perjanjian ini adalah untuk menguatkan monopoli pembelian lada. VOC juga memaksa untuk untuk penjualan kain dan opium.

Beberapa tahun kemudian, terjadi penyerangan ke kantor dagang VOC oleh rakyat Jambi dan menyebabkan Sybrandt Swart, Kepala dagang VOC meninggal. VOC tidak terima dan menuduh Sultan Jambi ikut terlibat. Pertama-tama Sultan Sri Ingagolo ditangkap lalu diasingkan ke Batavia. Setelah itu, Sultan Sri Ingagolo diasingkan lagi ke Pulau Banda.