Contoh penerapan teori Trikon pada pembelajaran IPS dalam Era globalisasi dan KERAGAMAN budaya

Contoh penerapan teori Trikon pada pembelajaran IPS dalam Era globalisasi dan KERAGAMAN budaya
Contoh penerapan teori Trikon pada pembelajaran IPS dalam Era globalisasi dan KERAGAMAN budaya

Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum.
Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

Sekadar penolak lupa bagi “Sang Cendekia Bangsa”.

Pernah dipresentasikan pada “The 2nd International Conference on Teacher Training and Education”, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta (23-26 November 2016). Prosiding ISSN: 2502-4124, Volume 2 Number 1 Desember 2016, Hal. 406-413 (versi Bahasa Indonesia).

Pengantar

Sudah menjadi diktum keniscayaan yang tak terelakkan kiranya, manakala yang namanya pendidikan merupakan salah satu aspek paling penting ketika berbincang tentang pilar dan sistem pembangunan sebuah bangsa. Tinggi rendahnya kualitas pencapaian peradaban sebuah bangsa dengan segala narasi besarnya, secara niscaya memang tak pernah dipisahkan sedikitpun kaitannya dengan diskursus pendidikan yang dimilikinya. Dalam kaitan inilah, makanya tak terlalu berlebihan kiranya manakala teks pendidikan adalah kerap dimaknai sebagai investasi yang amat mahal bagi masa depan dan peradaban (Isjoni, 2006). Oleh karena itulah, setiap bangsa kapan pun dan di mana pun berada, senantiasa berkepentingan untuk menempatkan domain pendidikan sebagai salah satu kesadaran utama dalam aneka deru pembangunan kulturalnya.

Jika gagasan tersebut didedahkan dalam konteks keindonesiaan misalnya, maka gambaran akan spirit penempatan domain pendidikan sebagai hal yang dimaknai amat strategis bagi jalan pemberadaban dan masa depan tersebut, juga demikian adanya. Hal ini misalnya dapat ditilik dari pelbagai program pembangunan pendidikan yang kian hari kian menunjukkan signifikansi dinamikanya yang amat tinggi. Namun, di tengah deru dan gebu dinamika proses pembangunan pendidikan nasional tersebut, baik disadari maupun tidak, ternyata kerap menyertakan kompleksitas persoalan multidimensional yang pelik dan mengundang keprihatinan adanya. Kompleksitas persoalan pendidikan di Indonesia sebagaimana dimaksud, manakala ditempatkan pada konteks kontemporer atau kekinian, pada titik tertentu terutama terkait dengan tiga hal mendasar, yang dalam perspektifnya Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan konsep “Trikon”, yakni: “kontinuitas”, “konvergensitas”, dan “konsentrisitas”.

Pertama, kontinuitas, berkaitan erat dengan konsep pentingnya apa yang dinamakan kesinambungan dalam setiap upaya dan proses perubahan dan pengembangan pendidikan. Kedua konvergensitas, fokusnya terkait dengan pemahaman tentang pentingnya pembagunan pendidikan yang mesti didasarkan pada perpaduan antara pelbagai kekayaan teks internal diri dan kemungkinan teks-teks eksternal lain di luar yang ada. Kemudian ketiga, konsentrisitas, maknanya terkait dengan gagasan ideal tentang pentingnya setiap upaya pembangunan sistem dan nilai-nilai pendidikan itu, yang semestinya tetap mempertahankan kemungkinan tetap tegak, teguh, dan kokohnya eksistensi “otentisitas” nilai-nilai internal kultural diri.

Manakala disimakcermati secara jernih, di ketiga ranah kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas itulah, kiranya risalah praksis pembangunan pendidikan di Indonesia mempuyai nasib derita. Dalam ungkapan yang lain, praksis pendidikan di Indonesia dihantui persoalan krusial dan akut, yakni diskontinuitas, diskonvergensitas, dan diskonsentrisitas. Tulisan berikut akan mengedepankan kajian tersebut dan mencoba memberikan alternatif solusinya, yakni kemungkinan melakukan restorasi atas permasalahan pendidikan di Indonesia yang disandarkan pada gagasan faham “trikon” yang pernah disampaikan Ki Hadjar Dewantara, yang substansinya mengembalikan pentingnya spirit kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas.

Kontinuitas, Pemaknaan Pendidikan dalam Bingkai Historisitas

Diskursus tentang diktum kontinuitas, sebagaimana telah disampaikan pada pengantar di atas, yakni berkaitan erat dengan konsep pentingnya apa yang dinamakan kesinambungan dalam setiap upaya dan proses perubahan dan pengembangan pendidikan. Pemahaman tentang konsep kesinambungan sebagaimana dimaksud adalah terkait dengan gagasan perihal ruang dan waktu, antara masa silam, sekarang, dan terutama adalah masa depan, Pentingnya teks kesinambungan ini, terutama ketika ditempatkan dalam kerangka pemaknaan bahwa memang yang namanya kerja kebudayaan apa pun itu termasuk juga pendidikan, adalah sebagai entitas yang bersifat historis, bukan sebaliknya ahistoris.

Sebagai fenomena historis, karenanya dalam setiap prosesnya kebudayaan termasuk dalam konteks spesifik dalam jagad pendidikan misalnya, ia memang selalu dihadapkan pada tegangan dialektis klasik, yakni antara kemungkinan kontinuitas atau sebaliknya diskontinuitas. Dalam kaitan dengan hal ini, Heidegger (Davis, 2007:266) misalnya menegaskan bahwa, “…there is not only a certain continuity between the various epochs of the history of being (as “the history of the oblivion of being escalating itself”, but also a radical discontinuity”. Dalam konteks kajian sosiologis gagasan tersebut juga mendapatkan penegasan yang sama, sebagaimana disampaikan oleh Talcot Parsons (Ghisleni, 2001:191) yakni bahwa, “The history of sociology between continuity and discontinuity”.

Ketika ditempatkan pada tataran ideal, tentunya kontinuitas itu lebih menjanjikan makna positif jika dibandingkan dengan yang diskontinuitas. Hal ini disebabkan, diktum kontinuitas relatif berpeluang bagi kemungkinan kesinambungan antar elan, sedangkan sebaliknya diskontinuitas berpotensi menghadirkan chaos yang mengakibatkan adanya potensi kebudayaan tertentu mengalami keterputusan atau bahkan kegegaran (Himmelfarb, 2004:26; Corfield, 2007:91).

Jika persoalan tersebut dikontekstualkan dalam jagad pelbagai dinamika perubahan pembangunan pendidikan di Indonesia, kiranya yang tampak relatif mengedepan adalah risalah diskontinuitas ketimbang kontinuitasnya. Hal ini dapat diverifikasi dengan amat mudah, misalnya dengan menyimak pelbagai stereotipe ungkapan satire klise yang begitu tertanam amat kuat dalam memori di masyarakat sejak sangat lama yakni: setiap ganti menteri ganti kebijakan. Atau dalam ranah yang lebih faktual, bagaimana teks diskontinuitas dalam dunia pendidikan di Indonesia ini dapat ditemukenali dengan sangat pasti, misalnya ketika menyimak momen setiap pergantian kurikulum yang digunakan dalam sistem pendidikan.

Hasil dari pencermatan menunjukkan, betapa ada kecenderungan bahwa pelbagai kebijakan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia selama ini, cenderung tak saling sinambung antara yang lama atau sebelumnya dengan yang baru. Fenomena ini misalnya, dapat dilihat ketika terjadi perubahan kurikulum pada kurun waktu tertentu, termasuk yang termutakhir misalnya adalah perubahan Kurikulum 2013 yang lalu misalnya, yang seolah sama sekali tak ada hubungannya dengan kurikulum sebelumnya. Daftar persoalan diskontinuitas lainnya dalam pelbagai pembaharuan dan pembanguan pendidikan di Indonesia tersebut sungguh amat banyak dan kompleks.

Pemahaman dalam konteks ini bukan berarti berganti atau berubahnya kebijakan itu sebagai satu hal yang ditabukan atau tak diperbolehkan, karena memang yang dinamakan oleh perubahan itu adalah ranah yang mendekati keabsolutan. Namun yang menjadi penekanan persoalan adalah, bahwa mestinya setiap pembaharuan atau perubahan dalam sistem pendidikan itu senantiasa juga mempertimbangkran pelbagai dimensi yang kompleks dan mendasar, termasuk paradigma kesinambungannya. Tanpa mempertimbangkan dimensi kesinambungan maka pelbagai perubahan dan pembaharuan pendidikan berpotensi besar akan menghadirkan banyak persoalan, karena suatu pembaharuan itu seolah-olah berasal dari konteks ruang yang kosong sama sekali, sehingga sangat berpotensi hadirnya masalah disorientasi.

Memahami betapa pentingnya makna kontinuitas dalam pendidikan tersebut, bahkan Ki Hadjar Dewantara (2013:189) pernah menyampaikan sebagai berikut.

“Bersambung-sambungnya zaman yang silam dan zaman yang menyusul itu bersifat kontinyu, yakni tidak berputus-putus; kodrat-kodrat ini harus menjadi penunjuk dalam melakukan pembaharuan. Kontinuitas itu memudahkan, mencepatkan, dan menyempurnakan laku kecerdasan; sebaliknya pembaharuan yang sekonyong-konyong itu akan menyukarkan, melambatkan, dan mengeruhkan kemajuan”.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Djumberansyah (994:19) juga mengemukakan bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah kegiatan memberikan pengetahuan agar kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Namun, persoalannya adalah, jika hal tersebut dikontekstualkan dalam diskursus praksis pendidikan di Indonesia, maka akan segera diverifikasi dalam makna yang sebaliknya. Artinya, teramat banyak fakta praksis historis pembangunan pendidikan di Indonesia ini yang kecenderungannya tak berbingkaikan paradigma kontinuitas, tetapi sebaliknya diskontinuitas, sehingga kerap kali menimbulkan banyak persoalan dalam pelaksanaan.

Konvergensitas, Tegangan antara Indonesiasentris dan Baratsentris

Konsep konvergensitas, dalam istilah yang lain juga dikenal dengan akulturasi, yang fokusnya terkait dengan pemahaman tentang pentingnya pembagunan pendidikan yang mesti didasarkan pada perpaduan antara pelbagai kekayaan teks internal diri dan kemungkinan teks-teks eksternal lain di luar yang ada. Pemahaman tentang konsep konvergensitas tersebut didasarkan pada gagasan bahwa setiap representasi eksistensi kebudayaan itu sejatinya selalu membutuhkan eksistensi pihak eksteral yang lain, yang dalam bingkai dialektika dikenal dengan istilah koeksistensi.

Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa konsep konvergensi ini didasarkan pada keniscayaan kenyataan, bahwa memang tak kan pernah ada satupun representasi kebudayaan yang dapat dihadirkan dengan segala kepenuhan genuinitas kesendirian, melainkan yang ada adalah sebaliknya, yakni senantiasa berada dalam kebersamaannya dengan yang lain. Dalam kaitan ini sekali lagi, Ki Hadjar Dewantara (2013:189) mengemukakan, “Haruslah ingat kepada konvergensi, yakni kebudayaan dari satu bangsa itu tak boleh dan memang tak dapat terus murni berdiri sendirian, tetapi harus dan akan bersambungan dengan kebudayaan lain-lain bangsa (purisme dan isolasi itu menuju kematian)”.

Bahkan, pemahaman ini semakin menemukan signifikannya yang tinggi, terutama jika dikerangkakan dalam konteks dinamika perubahan dan perkembangan zaman kekinian, yang dikenal dengan globalisasi. Ketika globalisasi yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, betapa telah menempatkan kesemestaan dunia dengan segala diversitas kompleksitasnya seolah menjadi tak lebih sebagai kampung global (McLuhan, 2006) yang memungkinkan berhubungan dan terjadinya konvergensi antar kebudayaan semakin terbuka.

Ketika berbincang tentang perjumpaan antarkebudayaan, memang selalu menghadirkan kemungkinan pengaruh yang mendua, yakni disamping bermakna positif dan memperkaya, juga bermakna negatif dan memiskinkan sifatnya. Gagasan atau nilai budaya yang berbeda memang bisa saja saling melengkapi, tetapi bisa juga saling berlawanan. Untuk mendapatkan kemungkinan manfaat positif yang memperkaya, dan sebaliknya meminimalisir bagi kemungkinan hadirnya sisi negatifnya manakala dihadapkan dalam ruang perjumpaan antar kebudayaan, maka hal penting kiranya perlu diperhatikan adalah pemahaman berikut penguatan nilai-nilai lokalitas atau partikularitas kultural diri sebagai modal utamanya.

Hanya dengan berbekal pemahaman dan penguatan lokalitas itulah, ketika dihadapkan perjumpaan dengan kebudayaan “yang lain” bisa mengembangkan daya dialektika yang setara, sehingga kita sebagaimana disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara (2013:189) tidak hanya meniru belaka atau ngeblat pola (copieeren), tetapi urun udhu yakni membawa bekal modal untuk bekerja bersama-sama”.

Namun, yang menjadi persoalan kemudian adalah tidak demikian halnya. Fakta empiris di masyarakat menunjukkan, bahwa betapa ketika terjadi kontak dan perjumpaan dengan kebudayaan asing, terutama Barat, kebudayaan Indonesia kerap mengalami kekalahan dalam dialektikanya, sehingga dampak negatif bahkan destruktif buah dari hasil perjumpaan dengan kebudayaan “yang lain” itu cenderung hadir lebih dominan. Gambaran perihal fenomena tersebut, misalnya tampak dari sistem pendidikan Indonesia selama ini yang cenderung lebih berbasiskan nilai-nilai Baratsentris, dibandingkan dengan yang mestinya Indonesiasentris.

Perihal dimensi sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung terhegemoni Baratsentris itu, kiranya tak sulit untuk ditemukenali. Beberapa di antaranya yang tampak sangat menonjol adalah, terkait dengan hegemoniknya pengaruh paradigma Barat yang cenderung positivistik. Pertama, terkait dengan persoalan hegemoni paradigma positivistik Barat sebagaimana dimaksud bahkan nyaris menjadi sebentuk keabsolutan yang tak terkira dalam sistem pendidikan kita. Sebagaimana diketahui bahwa faham positivisme disandarkan pada doktrin empirisme dan objektivitas (Buckley, 1992:10), dengan basis kinerjanya dengan menekankan pada model pembuktian (verification) dan generalisasi (Dodd, 2006:98).

Sebagai buah turunan dari prinsip objektivitas itulah, kemudian sejarah ilmu pengetahuan Barat hanya mengakui matra tunggal yakni bahwa pengetahuan itu harus bebas nilai (Ostreng, 2010:156). Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa pengetahuan hanya dapat sahih apabila bisa terukur, teramati, dan terverifikasi. Pengetahuan yang masih membawa asumsi-asumsi non-epistemik, misalnya terkait dengan ranah penilaian moral, religius, budaya, sosial, kemanusiaan, dan sebagainya, dianggap tidak objektif adanya.

Dari sinilah akhirnya sistem pendidikan telah menjauhkan peserta didiknya, meminjam bahasa Karlina Supelli (2013) dari daya-daya abstrak-imajinatif-kreatifnya. Hal yang lebih mengerikan lagi adalah akhirnya pendidikan tak punya kuasa untuk menginternalisasikan rasa empati dan sensibilitas pada problem-problem nyata manusia. Pada saat itulah, pendidikan sejatinya telah gagal menjalankan tugas pokonya: mendidik manusia sebagai manusia.

Oleh karena itulah, hegemoniknya faham positivistik Barat sebagaimana dimaksud, di antaranya ditandai oleh afirmasi yang nyaris buta terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip universalitas Barat, yang seolah mengisyaratkan bahwa bangsa ini sama sekali tak mempunyai apa-apa. Padahal sebagaimana disampaikan oleh Koentjaraningrat (1997:135) sistem rasionalitas dan pengetahuan di Indonesia tidak harus sama dengan di Barat. Ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat hanya mengenal kebenaran empiris dan cenderung menempatkan nilai-nilai kebendaan di atas nilai-nilai hidup yang lain, sehingga dapat menjungkirbalikkan hierarkhi nilai kebenaran yang sejati.

Kecenderungan tersebut akhirnya sebagaimana disampaikan Hadiwardojo (1993:50) telah mengakibatkan sistem pendidikan di Indonesia telah lama cenderung mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma moral yang telah ada. Inilah sebentuk sistem pendidikan yang jauh atau sengaja dijauhkan dari sentuhan nilai-nilai humanistiknya.

Konsentrisitas, Merawat “Otentisitas” Rasa Identitias

Konsentrisitas, maknanya tentang pentingnya setiap upaya pembangunan sistem dan nilai-nilai kebudayaan apa pun itu termasuk juga dalam ranah pendidikan, yang semestinya tetap mempertahankan kemungkinan tetap tegak, teguh, dan kokohnya eksistensi ‘otentisitas’ nilai-nilai internal kultural diri, ketika dihadapkan pada pelbagai proses perjumpaan dengan kebudayaan asing di luar diri.

Gagasan ini sekali-kali tidak bermaksud hendak menempatkan teks kebudayaan internal dan lokal itu dalam ruang kesendirian dan ketertutupan, karena itu sebagai keniscayaan yang memang tak mungkin untuk dijalankan. Melainkan lebih sebagai sebuah peneguhan bahwa sejauh apa pun yang dinamakan dengan perjumpaan dengan kultural yang lain itu, seyogiyanya jangan sekali-kali mendestruksi apalagi sampai menghilangkan identitas kultural lokal diri. Pentingnya identitas kelokalan itu, disebabkan posisinya yang dapat diidentikkan sebagai akar dan sangkan-paran kesadaran kultural yang amat mahal.

Nilai signifikansi dari pelbagai khazanah lokalitas, ketika dikontekstualkan dalam tata pergaulan dan tegur sapa global, menjadi strategis karena dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai “paspor utama” dalam mengkonstruksi identitas kebudayaan diri kita. Menjadi modal karena dengan dan melaluinya kebudayan kita dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada “yang lain”. Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain,” yang bukan dirinya, liyan, the others. Pengakuan “yang lain” atas nilai-nilai itu merupakan “paspor,” yang melegitimasi bahwa secara kultural kebudayaan kita sah bergaul dan berposisi setara. Proses berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain” itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai secara tak terhindarkan. Dalam kaitan ini, nilai-nilai lokalitas kemudian berfungsi sebagai benteng yang menjanjikan.

Dalam kaitan dengan hal itu, karenanya Ki Hadjar Dewantara (2013) menyampaikan perihal gagasan ideal sistem pendidikan nasional, dalam rumusan yakni:

“Pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan garis-garis hidup bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia”.

Pemahaman ideal tentang pentingnya konsep konsentrisitas ini, bahkan sudah menjadi pemikiran jauh-jauh hari sebelum Indonesia ini dilahirkan. Kartini misalnya, dalam suratnya kepada Rosa Abendanon, tertanggal 10 Juni 1902, seperti dikutip dari buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno menulis sebagai berikut.

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan. Dengan pendidikan bebas kami bertujuan terutama sekali akan menjadikan orang Jawa sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat untuk tanah air dan bangsanya”.

Namun, sebagaimana halnya dua persoalan kontinuitas dan konvergensitas di atas, kesadaran sistem dan praksis pendidikan di Indonesia sampai hari ini juga menyisakan beban krusial pada persoalan konsentrisitas. Persoalan itu di antaranya tampak betapa dari hari ke hari otentisitas nilai-nilai keindonesiaan yang telah sejatinya telah dimiliki dalam bentangan waktu di masa silam yang amat panjang cenderung tampak semakin terdesak dan tergerus oleh nilai-nilai yang lain terutama Barat secara amat signifikan.

Fakta dan fenomena tentang beban persoalan pendidikan kita yang terhegemoni Barat itu, bahkan bukan saja ada di hari-hari belakangan kontemporer kekinian, melainkan bahkan sudah menjadi gambaran jauh-jauh hari yang menggelisahkan. Hal ini misalnya manakala kita simak petikan renungan keprihatinan yang dalam Ki Hadjar Dewantara (1977:52) yang pernah disampaikan pada Kongres Kebudayaan di Solo tahun 1935 berikut.

“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai”.

Melihat itu semua, mengertilah kita bila Rendra dengan nada keras lewat sajaknya Seonggok Jagung di Kamar yang ditulisnya tahun 1975 bertanya:

“Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibu kota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja
Bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya,
Lalu berkata: di sini aku merasa asing dan sepi”.

Berdasarkan fakta kondisi sistem dan praksis pendidikan di Indonesia yang memperihatinkan yang substansinya adalah terkait dengan persoalan diskontinutias, diskonvergensitas, dan diskonsentrisitas, seperti yang telah disampaikan di atas, kiranya merupakan sesuatu yang amat mendesak untuk dilakukan restorasi. Restorasi yang dalam Kamus Bahasa Indonesia Online dimaknai “pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula”, maka refleksi krirtisnya yang bisa diambil kiranya adalah penting kiranya untuk mengembalikan spirit sistem pendidikan nasional kita ini dengan bingkai nilai-nilai rasa identitas kebudayaan diri.

Upaya restorasi ini, akan lebih bernas adanya jika  terutama disandarkan pada  perspektif nilai dan prinsip-prinsip “Trikon”-nya Ki Hadjar Dewantara sebagaimana yang telah disampaikan di atas, yakni kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas.

Simpulan

Itulah kiranya gambaran perihal pelbagai persoalan yang ada dalam sistem pendidikan dalam konteks keindonesiaan kekinian yang sangat perlu mendapatkan perhatian. Kompleksitas persoalan tersebut, pada titik tertentu terutama terkait perspektif Ki Hadjar Dewantara yang diistilahkan dengan “Trikon”, yakni, kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas.

Terkait dengan permasalahan mendasar yang dialami oleh kita sebagai banga ini, baik dalam konteks kebudayaan secara umum maupun sistem pendidikannya secara khusus, jika hendak dicarikan jalan keluarnya, maka mendesak kiranya untuk dilakukan restorasi. Sebuah restorasi yang berbasiskan nilai-nilai “otentisitas” kebudayaan diri.

Kepustakaan

Buckley, Philip. (1992). “The Distinction between the Natural and Human Sciences”, in Husserl, Heidegger and the Crisis of Philosophical Responsibility. London: Springer Science & Business Media.

Corfield P. J. (2007). Time and the Shape of History. New Haven, Connecticut, USA: Yale University Press.

Davis, Bret W. (2007). Heidegger and the Will: On the Way to Gelassenheit. Evanston, Illionis, USA: Northwestern University Press.

Dewantara, Ki Hadjar. (2013). “Kesenian Daerah dalam Persatuan Indonesia; Motto: Kontinyu-Konvergen-Konsetris”, dalam Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka., II: Kebudayaan. Yogyakarta: Universitas Srjanawiyata Taman Siswa Bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Djumberansyah, Indar. (1994). Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abditama.

Dodd, James. (2006). “Chapter Three: Galileo and Modern Science Crisis”, in Crisis and Reflection: An Essay on Husserl’s Crisis of the European Sciences. London: Springer Science & Business Media.

Ghisleni, Maurizio. (2001). Parsons’ The Structure of Social Action and Contemporary Debates. Milan, Italy: Franco Angeli.

Hadiwardoyo, Purwo. (1993). “Nilai Kemanusiaan Hikmat bagi Pendidikan”, dalam  Pendidikan Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia Mediasarana Indonesia.

Himmelfarb, Gertrude. (2004).  The New History and the Old: Critical Essays and Reappraisals. Cambridge, Massachusetts, USA: Harvard University Press.

Isjoni. (2006). Pendidikan Sebagai Investasi Masa Depan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartini, R.A. (1981). Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya. Terjemahan Sulastin Sutrisno Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. (1997). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

McLuhan, Marshall. (2006). Understanding Media: The Extensions of Man Routledge Calssics. Revised Edition. London: Routledge.

Ostreng, Willy. (2010). Science Without Boundaries: Interdisciplinarity in Research, Society and Politics. Lanham‎, Maryland, USA: University Press of America.

Rendra, W.S. (2006). “Seonggok Jagung di Kamar”, dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Burung Merak Press.

Supeli, Karlina. (2013). Kebudayaan dan Kegegapan Kita. Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, 11 November 2013.