Bentuk atap masjid yang berupa tumpeng adalah akulturasi dengan bangunan agama

sumber : https://pixabay.com/id/illustrations/hagia-sophia-ayasofya-sophienkirche-255596/

Jauh sebelum Islam datang ke Indonesia, di negara kita telah berkembang banyak agama seperti agama Hindu, Budha dan agama-agama primitif animistis lainnya, serta tradisi sosial kemasyarakatan. Dengan masuknya islam di negara kita ini, Indonesia kembali mengalami proses bercampurnya dua atau lebih kebudayaan karena percampuran unsur unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga kebudayaan asing lambat laun akan diterima oleh masyarakat atau yang biasa dikenal dengan nama akulturasi. Meskipun begitu, masuknya Islam tersebut tidak berati kebudayaan kebudayaan sebelumnya hilang.http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis/article/view/641

Nah apa saja sih contoh contoh akulturasi agama Islam dengan budaya di negara kita?

Banyak contoh akulturasi Islam dengan budaya lokal,pertama adalah seni bangunan,kedua adalah seni ukir,yang ketiga adalah aksara dan seni sastra,dan kemudian yang terakhir adalah kalender.

Contoh yang paling terlihat dalam seni bangunan adalah adalah masjid dan makam.

Pertama,atap masjid berupa tumpang atau bersusun. Semakin ke atas semakin kecil, tingkat paling atas berbentuk limas, jumlah tumpang selalu ganjil (gasal) tiga atau lima. Atap tersebut dikenal dengan meru. Atap masjid biasanya masih diberi puncak (kemuncak) yang disebut mustaka. Contohnya yaitu masjid Demak dan masjid agung Cirebon.

Kedua,masjid kuno tidak memiliki menara seperti masjid masjid zaman sekarang,biasanya menara digunakan untuk mengumandangkan adzan. Masjid kuno menggunakan beduk atau kentongan untuk menandai waktu shalat. Contohnya yaitu masjid tua palopo.

Dan yang terakhir,masjid umumnya dibangun di ibukota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dianggap keramat yang dibangung di atas bukit atau dekat makam.

Sedangkan ciri ciri makam yang mengalami akulturasi budaya yaitu makam makam di tempat-tempat tinggi atau bukit menunjukkan akulturasi dengan tradisi nenek moyang sebelumnya yaitu punden berundak.

Seni hias berupa seni ukir atau seni pahat

Seni hias yang menunjukkanakulturasi budaya adalah huruf Arab yang disebut kaligrafi. Untuk seni pahat,di Indonesia terdapat banyak bangunan-bangunan Islam berhiaskan berbagai motif ukir-ukiran yang terletak pada pintu atau tiang di bangunan keraton, masjid, gapura atau pintu gerbang. Pada masa ini juga dikembangkan seni hias seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang dipadukan dengan ragam hias lain. Termasuk seni kaligrafi dengan bentuk orang, binatang,tumbuhan atau wayang.

3. Aksara dan seni sastra

Bentuk akulturasi seni sastra budaya Islam dengan budaya pra-Islam antara lain: Hikayat, Babat, Syair, dan Suluk. Akulturasi budaya lokal dengan budaya Islam dalam seni aksara tercermin pada tulisan Arab-Melayu atau Arab Gundul dan seni kaligrafi.

Bukti akulturasi budaya Islam di sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan perubahan nama-nama bulan pada tahun Saka. Bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa.


Page 2

Masjid Agung Demak (dok. Dinas Pariwisata Kab. Demak)

Masjid Agung Demak sebagai simbol akulturasi budaya saya pelajari pertama kali ketika duduk di bangku SD. Setiap kali mudik, saya selalu melewati masjid ini. Tidak terlupa pastinya untuk saya perkenalkan kepada anak sambil bercerita. Ada sejarah penting yang terukir di sana dan perlu diketahui oleh anak cucu kita.

Mengenal Masjid Agung Demak, pasti tidak lepas dari kisah Walisongo dan Raden Patah. Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa. Raden Patah sebagai raja pertama dari Kesultanan Demak yang menjadi pendiri masjid.

Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah memerintah dari tahun 1478 -- 1511 M. Ia lahir dari seorang putri keturunan Cina. Terdapat berbagai versi tentang nama Raden Patah dan asal usulnya. Akan tetapi, jika berbicara tentang Raden Patah, akan melekat pendiri Masjid Agung Demak.

Masjid Agung Demak merupakan simbol akulturasi budaya Jawa, Hindu, dan Islam. Kerajaan Demak berdiri ketika agama Hindu dan Budha masih kuat di Nusantara. Saat itu, penyebaran agama Islam disesuaikan dengan masyarakat yang ada. Simbol akulturasi masjid tertua di Pulau Jawa ini terlihat dari:

1. Atap Masjid

Bentuk atap masjid pada umumnya berbentuk kubah. Akan tetapi, Masjid Agung Demak memiliki bentuk atap segi empat bertajuk tumpang tiga. Bentuk atap tumpang ini mirip dengan bentuk punden berundak pada masa prasejarah. Jumlah tumpang tiga, merupakan angka ganjil. Atap tumpang ganjil serupa dengan tingkat bangunan pura Hindu yang berjumlah 3-11 tingkat. Selain itu, terdapat pula bentuk meru segitiga sebagai lambang persemayaman dewa dalam agama Hindu. Atap berbentuk limas susun tiga ini jika dilihat dari sudut pandang Islam sebagai gambaran akidah Islam, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

2. Pintu Bledeg (Pintu Petir)

Pintu Bledeg merupakan nama pintu utama masjid yang terbuat dari kayu jati. Pada pintu ini terdapat berbagai ukiran bergambar dua kepala naga. Hiasan di pintu ini terdapat Candrasengakala yang berbunyi "Nogo Mulat Saliro Wani".

Candrasengkala berasal dari kata Candra yang artinya pernyataan dan Sengakalan yang artinya angka tahun. Candrasengkala di pintu ini diartikan sebagai pernyataan yang berupa waktu (angka tahun). Dari hal ini ditarik kesimpulan bahwa peletakan batu pertama oleh Raden Patah pada tahun 1477 M.

3. Jumlah Pintu dan Jendela Masjid

Jumlah pintu Masjid Demak terdapat 5 buah yang menggambarkan rukun Islam, yaitu:

  1. Syahadat.
  2. Salat.
  3. Zakat.
  4. Puasa.
  5. Naik Haji.

Adapun jendela pada masjid berjumlah 6 buah bermakna rukun iman, yaitu:

  1. Iman kepada Allah SWT.
  2. Iman kepada para Malaikat.
  3. Iman kepada kitab-kitab Allah SWT.
  4. Iman kepada Nabi dan Rasul
  5. Iman kepada hari akhir (kiamat)
  6. Iman kepada Qada dan Qadar

Ketiga hal tersebut merupakan contoh akulturasi  yang terdapat pada Masjid Agung Demak. Hingga saat ini, memang telah ada perbaikan pada masjid. Akan tetapi, sisi keunikannya patut dipertahankan. Simbol akulturasi yang perlu dilestarikan karena meneladani dari kisah penyebaran Islam di tanah Jawa dan menghargai masyarakat yang ada.