Bagaimanakah fungsi Keraton pada masa Hindu Budha?

KOMPAS.com - Keraton Surosowan merupakan peninggalan Kerajaan Banten yang terletak di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Keraton atau Benteng Surosowan ini didirikan antara 1526-1570, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Kerajaan Banten.

Bangunan ini dulunya menjadi tempat tinggal sultan beserta keluarga dan pengikutnya.

Fungsi Keraton Surosowan lainnya adalah sebagai pusat kerajaan dalam menjalankan pemerintahan.

Sayangnya, bangunan yang pernah menjadi saksi kejayaan Kerajaan Banten ini kondisinya tidak utuh lagi.

Sekarang Keraton Surosowan hanya berupa puing-puing reruntuhan, pondasi ruangan-ruangan berbentuk segi empat, dan kolam karena dihancurkan oleh Belanda pada 1813.

Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan

Sejarah berdirinya Keraton Surosowan

Pembangunan keraton ini bermula saat Sunan Gunung Jati, yang berhasil merebut Banten bersama pasukan dari Demak, menyerahkan pemerintahan kepada putranya, Maulana Hasanuddin.

Keraton Surosowan dibangun dalam empat tahap. Pada fase awal, dibangun dinding yang mengelilingi keraton dari susunan bata yang lebarnya mencapai 100-125 meter.

Pada fase kedua, dibangunlah dinding bagian dalam yang berfungsi sebagai penahan tembakan dan bastion (sudut benteng berbentuk intan).

Pembangunan fase ketiga meliputi pendirian ruang-ruang di sepanjang dinding utara dan penambahan lantai untuk mencapai dinding penahan.

Pada fase keempat, dilakukan perubahan pada gerbang utara dan gerbang timur.

Dalam sejarahnya, Keraton Surosowan pernah beberapa kali mengalami penghancuran.

Keruntuhan pertama terjadi pada 1680, ketika perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji.

Setelah Sultan Haji berhasil naik takhta karena bantuan VOC, Keraton Surosowan diperbaiki.

Sultan Haji meminta bantuan seorang arsitek Belanda bernama Hendrik Laurenzns Cardeel, untuk membangun kembali keratonnya.

Atas jasanya itu, Laurenzns Cardeel yang kemudian masuk islam diberi gelar Pangeran Wiraguna oleh sultan.

Pada 1808, Keraton Surosowan dihancurkan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman William Daendels.

Serangan ini terjadi karena pihak Kesultanan Banten menolak tiga permintaan Belanda, yaitu:

  • Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
  • Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia
  • Sultan harus memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda

Baca juga: Masjid Agung Banten: Sejarah, Arsitektur, dan Akulturasi Budaya

Bangunan Keraton Surosowan

Bangunan Keraton Surosowan memiliki kemiripan dengan benten kolonial.

Pada bagian luarnya dikelilingi dinding berbentuk benteng setinggi 7,25 meter dan bastion, yang digunakan untuk memantau kondisi di sekitar keraton.

Bastion keraton ini berjumlah empat, dan di antara bastion tersebut terdapat bangunan melengkung.

Keraton Surosowan memiliki beberapa pintu masuk, tetapi saat ini hanya tersisa dua pintu saja yang terletak di bagian utara dan timur.

Pada bagian tengahnya terdapat bekas pemandian sultan dan beberapa kolam lainnya yang disebut Rara Denok dan Pancuran Mas.

Sumber air pemandian tersebut dari suatu tempat bernama Tasikardi, atau danau buatan yang terletak di sebelah selatan keraton.

Saat ini, sebagian besar sisa-sisa bangunan Keraton Surosowan telah terpendam di dalam tanah.

Sisa-sisa bangunan yang masih dapat dilihat setelah dilakukan pemugaran antara lain tembok keliling, struktur pondasi bangunan, struktur lantai, saluran air, kolam pemandian.

Bagaimanakah fungsi Keraton pada masa Hindu Budha?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Bagaimanakah fungsi Keraton pada masa Hindu Budha?
KERAJAAN CIREBON

Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam ternama yang berasal dari Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau. Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda.

Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Bagaimanakah fungsi Keraton pada masa Hindu Budha?
SEJARAH KERAJAAN CIREBON

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran).

Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya berdagang.

Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam.

Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon” yang berasal dari Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini.

Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.

Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Bagaimanakah fungsi Keraton pada masa Hindu Budha?

PENDIRIAN DAN SILSILAH RAJA KERAJAAN CIREBON

Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) meiliki dua orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).

Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.

Pangeran Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir, mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.

Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon.\Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Pendirian kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.

Sumber : https://urusandunia.com/kerajaan-cirebon/

SEJARAH TIMBULNYA KEEMPAT KERATON

Sejarah Cirebon dimulai dari kampung Kebon Pesisir, pada tahun 1445 dipimpin oleh Ki Danusela.

Perkampungan itu mengalami perkembangan, selanjutnya muncul perkampungan baru yaitu Caruban Larang dengan pemimpinnya bernama H. Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana.

Caruban Larang terus berkembang dan pada tahun 1479 sudah disebut sebagai Nagari Cerbon yang dipimpin oleh Tumenggung Syarif Hidayatullah bergelar Susuhunan Jati. Susuhunan Jati meninggal pada tahun 1568 dan digantikan oleh Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu.

 Pada tahun 1649 Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Girilaya, menggantikan Panembahan Ratu. Panembahan Girilaya wafat pada tahun 1666, untuk sementara Pangeran Wangsakerta diangkat sebagai Susuhunan Cirebon dengan gelar Panembahan Toh Pati.

Tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhammad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton Pakungwati dan Sultan Anom membangun kraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan Sultan Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh. Hingga sekarang ini di Cirebon dikenal terdapat tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon.

Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan adanya keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Di luar ketiga kesultanan tersebut terdapat satu keraton yang terlepas dari perhatian. Keraton tersebut adalah Keraton Gebang.

Menelusuri Cirebon dan kawasan pantai utara Jawa Barat memang akan banyak menjumpai tinggalan yang berkaitan dengan sejarah Cirebon dan Islamisasi Jawa Barat. Beberapa bangunan sudah banyak dikenal masyarakat seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Taman Sunyaragi, serta kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung Jati.

Sumber : https://sportourism.id/history/sejarah-timbulnya-keempat-keraton-di-cirebon