Bagaimana menurut anda penerapan nilai nilai pancasila pada masa orde baru hingga kini

Mujiburrahman

Rektor UIN Antasari

*****

Ketika saya masih mahasiswa pada awal 1990-an, ada lelucon yang menarik tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kala itu, pemerintah sangat gencar melaksanakan Penataran P4 untuk para pejabat, pelajar, mahasiswa hingga masyarakat biasa. Konon suatu hari, pemerintah ingin melaksanakan Penataran P4 untuk para kiyai di Madura. Undangan pun dibagikan, waktu dan tempat sudah ditentukan. Sampai pada hari pelaksanaan, ternyata tidak satu pun kiyai yang datang. Panitia kecewa dan marah. Akhirnya salah seorang panitia berinisiatif menemui seorang kiyai, untuk mengklarifikasi. Ternyata, kiyai itu mengatakan bahwa mereka tidak datang karena takut. Mengapa takut? tanya panitia. Bapak kan tahu, jangankan P4, P3 saja tak boleh, kata si kiyai. Dalam konteks Orde Baru, lelucon ini cukup menohok karena kritik tidak hanya ditujukan kepada P4, tetapi sekaligus kepada sikap pemerintah yang berusaha mengerdilkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kebetulan di antara konstituen terbesarnya adalah orang Madura.

Pandangan kritis masyarakat dan kaum intelektual terhadap P4 seperti tersirat dalam lelucon di atas adalah karena P4 dianggap sebagai indoktrinasi politik dan sejenis tafsir tunggal atas Pancasila yang sarat dengan kepentingan rezim Orde Baru. Karena itu tidak heran jika setelah datang Era Reformasi pada 1998, Penataran P4 di semua lini dihentikan. Kita memasuki masa euforia demokrasi, ketika keran kebebasan berserikat dan berpendapat yang selama ini terkunci dibuka lebar. Akibatnya, bukan hanya media yang bebas memberitakan aneka kasus dan pendapat, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai politik baru (atau lama dengan nama baru) juga bermunculan dengan beragam orientasi dan cita-citanya. Pada masa awal Reformasi, menyusul Pemilu 1999, ada sebagian partai yang mengusulkan agar Pasal 29 UUD 1945 memasukkan tujuh kata kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, meskipun usul ini tertolak karena tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Selain itu, adapula upaya sebagian daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan syariat Islam, yang dikenal dengan sebutan Perda Syariah. Di Sulawesi Selatan bahkan berdiri organisasi dengan nama Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), yang para penggiatnya aktif terlibat dalam politik.

Selain itu, pada masa menjelang hingga awal Reformasi, kita menyaksikan konflik dan kerusuhan di beberapa tempat yang berbasis agama seperti di Ambon, Palu dan Situbondo, atau etnis seperti di Sampit dan Sambas. Konflik dan kerusuhan tersebut tidak hanya menimbulkan kerusakan bangunan dan ribuan korban, baik yang terbunuh ataupun yang mengungsi, tetapi juga menyisakan trauma yang tidak mudah dihapuskan. Kekacauan dalam negeri ini akhirnya diperparah lagi oleh terorisme yang memiliki jaringan internasional. Konflik politik global mereka bawa ke dalam negeri sendiri melalui aktivitas teror yang membunuh banyak orang seperti Bom Bali I dan II, dan beberapa aksi bom bunuh diri setelah itu di Jakarta dan Surabaya.

Sementara itu, demokrasi politik relatif berjalan dengan baik. Meskipun pertarungan politik seringkali memanas bahkan sangat panas selama menjelang pemilu, keadaan relatif masih terkendali. Bahkan ketika kasus Pilkada Jakarta yang berhasil menggerakkan lautan manusia berdemonstrasi di Jakarta, tidak ada tindak kekerasan yang terjadi. Demonstrasi yang sempat menelan korban jiwa adalah aksi protes sekelompok orang pada Pilpres yang lalu (2019), namun jumlahnya relatif tidak banyak. Jika kita bandingkan dengan yang terjadi di Mesir misalnya, tentu masih jauh. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah contoh nyata bagaimana demokrasi dapat berjalan seiring dengan Islam. Musim semi di Timur Tengah (Arab Spring) yang dimulai pada 2011, yakni sekitar 13 tahun setelah kita mengalami Reformasi pada 1998, ternyata tidak berhasil membawa banyak negara itu ke ambang demokrasi. Sebagian kembali ke rezim militer, dan sebagian lagi masih dalam kondisi konflik yang seolah tanpa ujung. Ini menunjukkan bahwa Indonesia, dengan segala kekurangannya, sudah berada di jalur demokrasi yang benar-benar didukung oleh berbagai kekuatan politik yang ada di negeri ini.

Namun, kita tentu masih belum puas dengan demokrasi kita yang memang belum matang dan dewasa. Sudah maklum, pemilu kita menuntut biaya yang tinggi antara lain akibat politik uang yang masih marak. Tentu sudah dapat diprediksi akibat yang sulit dielakkan dari politik uang, yaitu korupsi. Sepanjang masa Reformasi, sederet politisi dan pejabat negara sampai yang setingkat menteri, telah terbukti melakukan korupsi dan dijatuhi hukuman penjara. Masyarakat menyalahkan koruptor, tetapi pada sisi lain banyak pula dari masyarakat yang senang menerima sogok atau serangan fajar saat pemilu. Hal ini antara lain dipicu oleh fakta bahwa banyak politisi yang terpilih melalui pemilu tidak dapat mewujudkan janji-janjinya. Pada tahun-tahun awal Reformasi, politik uang relatif kurang karena masyarakat masih berharap akan perubahan. Namun semakin lama dan ke sini, politik uang itu semakin marak, mungkin karena banyak orang berpikir pragmatis: lebih baik suaranya dibayar tunai saat pemilu, daripada menunggu janji yang belum tentu dipenuhi. Pragmatisme ini tentu amat berbahaya bagi masa depan bangsa ini karena kita akan sangat sulit memutus lingkaran setan yang melilit demokrasi kita, yang bermula dari politik uang dan berujung pada korupsi, dan kembali lagi seperti itu, tanpa diketahui kapan berakhir.

Politik kita juga masih belum sepi dari politik identitas, yang menonjolkan identitas agama, suku atau kedua-duanya. Kasus Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017 adalah contoh yang paling menonjol. Kasus-kasus intoleransi antar agama, atau antar aliran yang berbeda dalam satu agama, masih banyak mewarnai Era Reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa persatuan dalam perbedaan, Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi semboyan bangsa kita, belum sepenuhnya dihayati dan dilaksanakan. Padahal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, yang terdiri dari aneka identitas agama, suku dan budaya. Kekuatan bangsa ini justru terletak pada kemampuannya untuk bersatu dalam perbedaan. Namun bagaimanapun, setiap perbedaan memiliki potensi untuk melahirkan konflik, lebih-lebih jika sudah menyangkut kepentingan ekonomi dan politik. Tak jarang kita temukan, konflik-konflik berbasis identitas ternyata dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Sementara itu, sudah maklum juga bahwa kesenjangan antara yang kaya dan miskin di negeri kita masih serius dan mengkhawatirkan. Pemerataan kesejahteraan dalam kerangka keadilan sosial masih jauh panggang dari api.

Tantangan lain yang tak kalah beratnya adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang makin canggih. Berkat adanya ponsel pintar, kini orang dapat berkomunikasi, berbagi informasi dan bertukar pikiran dengan cepat, mudah dan murah. Sekarang setiap orang bisa terhubung ke seluruh dunia, hanya melalui gawai di tangannya. Globalisasi bukan konsep abstrak lagi, melainkan suatu pengalaman sehari-hari bagi hampir setiap orang di dunia ini. Keadaan ini tentu membuka peluang sekaligus tantangan. Orang sekarang lebih mudah belajar dan mendapatkan informasi di dunia maya, tetapi pada saat yang sama karena informasi itu sangat banyak, orang pun mengalami kebingungan dan kegalauan. Terlalu banyak pilihan kadangkala sama sulitnya dengan tidak ada pilihan sama sekali. Dalam situasi semacam itu, orang bisa saja jatuh pada dua sisi yang ekstrem: memilih pandangan paling keras atau memilih sikap relativis, yakni bahwa semua pilihan bisa saja benar. Ujung-ujungnya, seorang relativis bisa menjadi apatis, tak peduli lagi dengan kenyataan. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa pada era media sosial ini, banyak bertebaran berita bohong (hoax), dan manusia tergoda untuk membenarkan suatu informasi dan membagikannya bukan karena yakin informasi itu benar, melainkan semata-mata karena sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai yang beragam akan berjumpa dan bertubrukan satu sama lain, yang akan dialami oleh hampir semua orang, lebih-lebih generasi muda, yang tak bisa lepas dari gawai.

Krisis Covid-19 yang melanda dunia pada 2020 ini tentu sangat berpengaruh terhadap negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Krisis kesehatan ini mengakibatkan krisis-krisis lainnya seperti ekonomi, psikologis, budaya hingga politik. Slavoj Žižek dalam bukunya Pandemic Covid-19 Shakes the World (2020) memprediksi bahwa kita tidak akan bisa kembali kepada kenormalan lama, melainkan harus menyusun kenormalan baru dari rerutuhan yang lama. Hal ini sudah kita rasakan ketika pemerintah mengatakan bahwa kita harus berdamai dengan Corona, yakni hidup tetap produktif tetapi aman dari virus Covid-19. Žižek juga meramalkan bahwa ideologi-ideologi dunia kembali ditantang pasca-Covid-19 nanti. Dia mengusulkan satu ideologi solidaritas kemanusiaan universal yang berorientasi keadilan bagi umat manusia secara global yang disebutnya semacam komunisme baru. Di sisi lain, dia juga khawatir bahwa yang terjadi nanti justru bukan solidaritas global melainkan barbarisme, semacam hukum rimba di mana negara yang kuat akan menindas negara yang lemah. Terlepas dari pendapat Žižek ini, yang perlu kita cermati dari pendapatnya adalah bahwa krisis global Covid-19, sebagaimana krisis-krisis besar lainnya, akan menggoda orang untuk mencari ideologi alternatif. Inilah tantangan yang dihadapi Pancasila.

****

Berbagai masalah yang dikemukakan di atas menunjukkan betapa kita memang perlu melakukan pembinaan nilai-nilai Pancasila secara sungguh-sungguh dengan tiga catatan penting. Pertama, kita tidak boleh mengulangi kesalahan Orde Baru yang menciptakan P4 sebagai sarana indoktrinasi politik dan monopoli negara atas tafsir Pancasila. Kedua, kita juga harus melihat secara kritis berbagai perkembangan dalam perjalanan bangsa ini selama Era Reformasi dalam terang nilai-nilai Pancasila. Ketiga, kita harus menyesuaikan sistem pembinaan nilai-nilai Pancasila dengan konteks era digital dan media sosial kontemporer. Tiga poin penting ini harus menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan materi dan metode yang dikembangkan dalam pembinaan nilai-nilai Pancasila yang akan dilaksanakan, terutama oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang secara khusus bertugas untuk itu.

Agar tidak mengulangi kesalahan Orde Baru, maka pembinaan nilai-nilai Pancasila masa sekarang tidak boleh bersifat indoktrinasi tertutup dan mono-tafsir, melainkan terbuka dan dialogis. Sejarah pergumulan ideologis di Indonesia misalnya, harus dibuka secara jujur, baik yang pahit ataupun manis, dan mengapa Pancasila pada akhirnya terbukti sebagai titik temu yang bisa mengikat seluruh elemen bangsa ini. Kita harus mengakui bahwa pernah terjadi pertarungan ideologis antara kelompok sekuler dan Islam, atau antara komunis, nasionalis dan agama. Bahwa integrasi Islam dan kebangsaan yang menjadi arus utama gerakan Islam di Indonesia (yang diwakili NU dan Muhammadiyah) tidaklah terjadi begitu saja dengan mudah, melainkan telah melalui berbagai peristiwa politik dan renungan mendalam para pemikir Muslim itu sendiri. Dengan keterbukaan historis seperti ini maka diharapkan penerimaan atas Pancasila tidak lagi sekadar formalitas di atas kertas atau hafalan di luar kepala, melainkan benar-benar lahir dari kesadaran yang tulus. Begitu pula isu-isu sensitif terkait perbedaan identitas yang di zaman Orde Baru dikenal dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Alih-alih melarang orang berbicara secara terbuka soal perbedaan identitas ini lalu menyimpannya rapat-rapat sampai menjadi api dalam sekam, akan lebih baik kita membicarakannya secara terbuka. Kita harus tegaskan perbedaan identitas itu sebagai kenyataan yang harus diterima, namun pada saat yang sama, kita perlu pula meneguhkan titik temu yang mengikat perbedaan itu. Titik temu itu adalah nilai-nilai Pancasila sebagai cita-cita bersama yang wajib kita pegang teguh. Jika akar masalah di balik mengerasnya SARA itu sebenarnya adalah kesenjangan ekonomi, maka hal ini harus diakui dengan jujur diiringi komitmen yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata. Persatuan sejati hanya akan terwujud jika masing-masing pihak secara sadar dan tulus ingin hidup bersama dalam satu wadah yang disepakati (dalam hal ini adalah negara) karena kesamaan cita-cita.

Masalah lain yang membuat P4 tidak sepenuhnya berhasil dan diterima oleh masyarakat adalah keengganannya untuk diuji dan dihadapkan dengan realitas. P4 selalu berbicara tentang nilai-nilai ideal, acuan-acuan normatif atau apa yang seharusnya, yang tentu saja sangat indah. Tetapi nilai-nilai ideal itu sangat jarang dihadapkan kepada realitas sebagai cermin, apakah semua yang indah di atas kertas itu sudah terwujud dalam kenyataan atau justru sebaliknya, malah bertolakbelakang dengan kenyataan. Ketika ada pihak yang mempertanyakan mengapa nilai-nilai ideal itu jauh panggang dari api dalam kenyataan sehari-hari, pejabat Orde Baru biasanya menggunakan kata oknum untuk mengelak. Itu kan oknum saja, katanya. Padahal kasus serupa justru banyak sekali terjadi. Karena itu, jika kita ingin nilai-nilai Pancasila tetap dihormati dan menjadi wacana yang berpengaruh, maka kita harus mau mendialogkannya dengan realitas. Manakah nilai-nilai Pancasila yang sudah berhasil menjadi kenyataan, dan mana pula yang sering dilanggar dan masih jauh dari kenyataan. Kita juga perlu melakukan survei atau penelitian mengenai persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, kegagalan dan keberhasilannya. Dengan ungkapan lain, di samping merumuskan nilai-nilai normatif yang diturunkan dari Pancasila, kita perlu juga memotret realitas, memetakan kenyataan, yang ingin kita transformasikan dengan nilai-nilai itu.

Selain itu, berbagai penyimpangan di masa Reformasi seperti kebebasan yang kebablasan, (sekali merdeka, merdeka sekali, kata Cak Nur), pragmatisme politik yang mengabaikan moral hingga radikalisme dan terorisme, sebaiknya dilihat sebagai kecenderungan-kecenderungan sosial yang bersifat ekstrem atau melampaui batas. Pancasila adalah ideologi jalan tengah, tidak ke kiri atau ke kanan, bukan negara Islam, bukan pula negara sekuler, melainkan negara multirelijius. Di sinilah pentingnya mengembalikan sudut pandang moderat atau moderasi, yang merupakan ciri pokok Pancasila. Moderat dalam arti titik tengah di antara dua sudut ekstrem yang bertentangan. Bisa pula moderat dalam arti mencari titik temu di antara banyak perbedaan. Demokrasi yang memberikan kebebasan harus diimbangi dengan penegakan hukum agar tidak terjadi anarki. Kebebasan beragama dan berkeyakinan tiap orang harus dilindungi oleh negara. Tidak boleh ada penindasan terhadap minoritas dan kelompok-kelompok yang lemah. Pada saat yang sama, kebebasan itu jangan sampai pula merusak harmoni dan ketertiban sosial. Jalan tengah ini memang tidak mudah, tetapi itulah jalan terbaik yang kita pilih sebagaimana digariskan Pancasila.

Jalan tengah sebagai perwujudan dari nilai-nilai Pancasila juga penting dalam menyikapi globalisasi, ketika yang lokal, nasional dan global saling bertemu dan berbenturan. Nilai-nilai lokal jangan sampai tergerus oleh dominasi nilai-nilai budaya global, tetapi pada saat yang sama, jangan sampai komitmen kita pada yang lokal membuat kita eksklusif dan berpikiran sempit. Harus ada titik temu antara yang lokal, nasional dan global. Tak syak lagi, nilai-nilai Pancasila sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai universal yang bersifat global, namun pada saat yang sama ia juga merupakan ekspresi lokal dan nasional Indonesia yang khas. Kita akan kehilangan jatidiri sebagai bangsa jika berbagai kearifan lokal diabaikan begitu saja dalam upaya memahami dan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Bahasa, pepatah, peribahasa dan berbagai ujaran yang bersifat lokal sangat banyak mengandung nilai-nilai luhur yang telah menjadi panduan dalam berperilaku masyarakat kita. Nilai-nilai luhur dalam budaya lokal itu bukan hanya sejalan dengan Pancasila, melainkan juga jembatan yang efektif untuk mengomunikasikan nilai-nilai Pancasila di masyarakat kita yang majemuk.

Akhirnya, pembinaan nilai-nilai Pancasila di era digital yang didominasi oleh media sosial saat ini mau tidak mau harus memertimbangkan teknologi informasi dan komunikasi itu sebagai sarana yang penting dan efektif. Ruang publik di dunia maya, khususnya di media sosial, tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa intervensi kita dalam menyebarkan pesan-pesan yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini perlu dipikirkan bagaimana menyesuaikan materi nilai-nilai Pancasila dengan budaya digital yang serba cepat, sederhana sekaligus menarik. Yang diutamakan adalah pesan-pesan yang mengandung nilai-nilai Pancasila, bisa dalam bentuk video pendek, film pendek, flyer, caption dan lain-lain. Di sini kiranya perlu kesadaran jangan sampai pesan-pesan itu terkesan latah, mengulang-ulang kata Pancasila yang dapat membuat orang bosan. Yang terpenting adalah nilai-nilai seperti toleransi, kemanusiaan, keadilan, persatuan dan musyawarah sudah terkandung dalam pesan-pesan itu. Jangan sampai kita terjerumus ke jurang formalisme sehingga mengulangi kesalahan Orde Baru di masa silam.

Semua hal terkait materi dan metode pembinaan nilai-nilai Pancasila tersebut dapat dikerjasamakan dengan perguruan tinggi. Misalnya, BPIP dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam merumuskan materi yang tepat, metode dialogis dan terbuka, penggunaan media sosial, penelitian tentang persepsi pelaksanaan nilai-nilai Pancasila di masyarakat hingga pelatihan bagi para pengajarnya. Pemerintah juga dapat memberikan dukungan dengan mengangkat dosen-dosen khusus pengajar Pancasila dan menopang secara struktural (masuk ortaker) Pusat Kajian Pancasila di kampus-kampus. Langkah-langkah praktis ini akan mudah diwujudkan jika kita sudah memiliki pemahaman yang sejalan tentang problematika pembinaan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang telah didiskusikan di atas.