Bagaimana ketentuan Safar bagi seorang wanita?

PortalAMANAH.COM -- Di antara nikmat Allah taala kepada manusia adalah didekatkannya jarak antara satu daerah dengan daerah lainnya. Keuslitan, kekhawatiran serta ketakutan yang dahulu meliputi orang-orang yang tengah safar juga hilang.

Nikmat ini sangat teras berkat sarana dan moda transportasi yang nyaman dan mudah, semisal; pesawat, kereta api, dan sejenisnya. Makanya, jika dahulu sebuah perjalanan baru dapat ditempuh selama sepekan atau beberapa pekan, namun saat ini dapat ditempuh dalam beberapa jam saja.

Baca Juga: Presiden PKS: Sama dengan Pendekar, PKS Berkarakter Pemberani!

Pertanyaan yang muncul adalah, adakah perubahan zaman dan keadaan ini menyebabkan hukum syariat berkenaan dengan wanita yang melakukan safar tanpa mahram pun berubah?

Jika dinyatakan bahwa sebab wanita dilarang safar tanpa mahram adalah safar itu sendiri, meski hikmah di baliknya adalah untuk menjaga wanita dari mudarat baginya, maka semestinya hukum safar bagi seorang wanita tanpa mahram tetap haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Namun jika dikatakan bahwa sebab pengharaman itu adalah sebagai upaya menjaga wanita dari mudarat yang dapat menimpanya, maka jika kekhawatiran ini hilang, hukumnya kembali menjadi mubah dan tidak haram lagi.

Baca Juga: Sate Bang Tekun: Buka Puasa Sunnah Gratis di Sini

Diketahui, bahwa keamanan wanita yang bersafar saat ini lebih terjamin. Faktanya, sang wanita diantar dari rumah ke bandara oleh mahramnya. Di dalam pesawat, ia bersama banyak orang, laki-laki dan wanita. Ketika tiba di bandara tujuan, ia dijemput oleh mahramnya lagi atau teman-temannya yang terpercaya.

Tentu dengan demikian, hal buruk yang dikhawatirkan dapat menimpanya adalah sangat kecil (jarang terjadi). Sedang keadaan yang jarang terjadi tidak boleh dijadikan dasar hukum. Berdasarkan pandangan ini, sebagian ulama–sebagaimana disebutkan, memfatwakan bolehnya seorang wanita bersafar tanpa mahram dengan syarat aman dari fitnah.

Imam al-Baaji dalam kitabnya al-Muntaqa, Syarh al-Muwaththa’, 3/17, usai menguraikan pendapat ulama  tentang hukum wanita berhaji yang tidak ditemani mahramnya mengatakan:

Terkini

Bagaimana ketentuan Safar bagi seorang wanita?

Senin, 31 Januari 2022 | 13:38 WIB

Bagaimanakah hukumnya seorang wanita bepergian -safar-  (untuk sekolah di luar negeri/ naik gunung/ pergi ke pantai/ naik haji) sendiri, tanpa mahramnya?

Syaikh Sholeh Al Fauzan  telah ditanya tentang wanita yang bepergian tanpa ditemani mahromnya. Beliau menjawab : “Wanita dilarang bepergian kecuali apabila ditemani oleh mahramnya yang menjaganya dari gangguan orang-orang jahat dan orang-orang fasik. Telah diriwayatkan hadits-hadits shohih yang melarang wanita bepergian tanpa mahrom, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya,”Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahromnya.”.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id rodiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang wanita untuk bepergian sejauh perjalanan dua hari atau dua malam kecuali bersama suami atau mahromnya.

Diriwayatkan pula dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Tidak halal bagi wanita untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

[Silahkan lihat Fatwa-fatwa tentang wanita, jilid ke-3]

Kesimpulannya : Jika memang perjalanan yang dilakukan tersebut termasuk safar (yang patokannya berdasarkan ‘urf/kebiasaan, bukan jarak), maka wanita tersebut dilarang melakukan safar, kecuali bersama mahromnya. Dan wanita bukanlah mahrom, walaupun seratus wanita yang menemaninya.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)

Wallahu waliyyut taufiq.

Tulisan penulis di masa silam saat kuliah di S1 UGM

www.rumaysho.com

Wanita dalam agama Islam ditempatkan pada derajat yang tinggi karena peran dan fungsinya yang luar biasa dalam sebuah keluarga. Dalam hidupnya, wanita memiliki beberapa perbedaan dari laki-laki dan mengemban tugas berat yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki terkuat sekalipun. Yakni mengalami masa menstruasi yang terkadang selama prosesnya sulit dijalani karena saat menstruasi kondisi hormon tidak stabil sehingga sangat berpengaruh terhadap emosi dan kesehatan tubuh.

Kemudian wanita juga akan mengandung benih-benih dari calon janin yang dalam prosesnya wanita juga akan menalami ketidakstabilan hormon bahkan rentan keguguran dan kehilangan nyawa dari proses kehamilannya. Setelah mengandung sekitar sembilan bulan lamanya maka perempuan akan mengalami proses melahirkan yang tidak hanya akan merasakan sakit yang luar biasa tapi juga mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan seorang anak ke dunia ini.

kemudian setelah melahirkan maka wanita akan merasakan bagaimana bahagia dan lelahnya menyusui anak-anak setiap dua atau tiga jam sekali di setiap harinya yang nantinya anak-anak tersebut akan menjadi clon-calon penerus generasi selanjutnya dimana pada masa menyusui ini wanit akan merasa sangat letih karena kekurangan waktu tidur; kemudian yang terakhir adalah menopause, pada usia dewasa menuju ke usia tua, wanita akan mengalami masa menopause, yakni masa dimana wanita tidak bisa lagi mengandung bayi karena sel telur dalam tubuhnya sudah habis yang ditandai dengan berhentinya siklus menstruasi.

(Baca juga: Berjabat Tangan Bukan Muhrim Dalam Islam; Tawadhu Dalam Islam)

Begitu luar biasanya peran seorang wanita sehingga Islam sangat memuliakan seorang wanita. Namun di samping kemuliannya yang tinggi, wanita juga memiliki potensi besar untuk menciptakan fitnah karena kemuliaan yang dimilikinya tersebut. Oleh karena itu banyak aturan dan larangan terhadap apa-apa yang berkaitan dengan perempuan, dimana aturan dan larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kemulian seorang wanita. Mulai dari bagaimana kewajiban seorang wanita untuk mengenakan pakaian tertutup dan bagaimna seorang wanita diharuskan untuk menjaga perilaku dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

(Baca Juga: Hukum Selfie Dalam Islam , Hukum Onani Menurut Islam)

Artikel kali akan membahas secara khusus mengenai hukum safar bagi wanita tanpa mahram. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa wanit memiliki kemuliaan yang tinggi dalam agama Islam dan memiliki banyak aturan serta larangan untuk tetap menjaga kemuliaan tersebut, maka saat seorang wanita melakukan safar atau perjalananpun ada aturan-aturan tertentu yang menyertainya.

Hukum Mengenai Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram

Safar sendiri secara bahasa memiliki artian “melakukan perjalanan”. Safar juga memiliki arti terbuka, hal ini dikarenakan orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga dengan akhlaknya, orang yang melakukan safar akan membuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan.

Sedangkan secara istilah, Safar diartikan dalam berbagai pendapat dari ulama. Ada yang mengartikannya sebagai perjalanan dengan jarak lebih dari 85 km; dan ada pula yang mengembalikan artian dari batasan perjalanan/safar tersebut kepada kebiasaan masyarakat masing-masing.

(Baca juga: Siksa Neraka Bagi Pezina; Hukum Tiup Lilin Ulang Tahun dalam Islam)

Di masa lalu, Islam tidak memperkenankan seorang wanita untuk melakukan safar atau tinggal di suatu tempat yang jaraknya jarak safar, kecuali jika safarnya dilakukan bersama mahramnya maka diperbolehkan.

Mahram dalam agama Islam dilihat dari tiga sisi. Yang pertama adalah kekerabatan; yang kedua adalah persusuan; yang ketiga adalah pernikahan.

Mahram yang dilihat dari Kekerabatan adalah laki-laki yang berasal dari keluarga sang wanita tersebut. Ada tujuh laki-laki sebagai mahram dalam keluarga, yakni: ayah, kakek dan seterusnya ke atas yang berasal dari pihak ayah maupun ibu; Kemudian anak, cucu dan seterusnya ke bawah yang lahir dari anak laki-laki maupun anak perempuan; kemudian Saudara kandung sebapak dan seibu atau saudara sebapak saja maupun seibu saja; selanjutnya adalah Keponakan yakni anak dari saudara laki-laki sebapak dan seibu atau saudara sebapak saja maupun seibu saja; Keponakan yang berasal dari saudara perempuan sebapak dan seibu, saudara sebapak saja maupun seibu saja); Paman dari saudara laki-laki bapak, mencakup saudara sebapak dan seibu, saudara sebapak saja maupun seibu saja); dany yang terakhir adalah Paman dari saudara laki-laki ibu, mencakup sebapak dan seibu, saudara sebapak saja maupun seibu saja).

(Baca juga: Cara Menghindari Riya Menurut Islam; Cara Rasullullah Mendidik Anak Perempuan)

Kemudian mahram yang dilihat dari Persusuan adalah yang berasal dari keluarga, penjelasannya sama seperti pada mahram dari kekerabatan di atas.

Sedangkan mahram yang dilihat dari Pernikahan adalah seseorang yang terikat hubungan mahram dengan kita karena adanya ikatan pernikahan antara seorang wanita dengan eorang laki-laki yang memiliki keluarga lain, baik itu anak atau saudara lainnya. Dalam hal ini ada empat orang mahram yang terbentuk dari ikatan pernikahan, yakni anak-anak suami dan seterusnya ke bawah meskipun statusnya sebagai anak kandung ataupun anak tiri; Kemudan Mertua yakni bapak, kakek, dan seterusnya ke atas yang berasal dari suami, baik yang berasal dari sisi bapaknya maupun ibunya); selanjutnya adalah Menantu, yakni mencakup suami anak maupun suami cucu dan seterusnya ke bawah jika telah terjadi akad nikah, meskipun pernikahan mereka telah berakhir karena kematian, talak maupun rusak akadnya;  lalu mahram selanjutnya adalah Suami dari ibu, suami nenek dan seterusnya ke atas namun jika mereka bercerai sebelum berhubungan suami istri maka tidak ada hubungan mahram.

(Baca juga: Menikah Tanpa Izin dengan Orangtua Dalam Islam; Keutamaan Menjaga Lisan dalam Islam)

Hukum mengenai safar bagi wanita tanpa mahram sendiri memiliki banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ulama dan didasarkan pada hadis bahkan al-Qur’an. Ada yang membolehkan dan adapula yang mengharamkan.

Pendapat Pertama datang dari Abu Hanifah dan Ahmad yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan safar meskipun itu adalah safar wajib, kecuali dengan mahramnya.

Hal ini didasarkanpada hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu” (HR Bukhori)

(Baca juga: Hukum Menggambar Makhluk Hidup Dalam Islam; Ciri-ciri Orang Munafik Dalam Islam)

2. Safar bagi wanita tanpa mahram : “Boleh”

Pendapat Kedua datang dari Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad yang menyatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram. Mengenai perkara ini, Imam Malik sendiri menyatakan bahwa mahram yang mendampingi seorang wanita bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan yang dilakukan aman. Imam al Baji al-Maliki berkata :

“Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17)

Hal ini juga diperkuat dengan beberapa dalil dari hadis yang artinya:

“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah”.  (HR. Bukhari)

Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla)

“Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata:  “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)

(Baca juga: Keistimewaan Wanita Berjilbab bagi Muslimah; Cara Menghormati Orang Tua dalam Islam)

“Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah  ta’abbud, ( menerima apa adanya tanpa dicari-cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat dasarnya adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan pernikahaan )”. (Kaidah Fiqhiyah)

Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman.

(Baca Juga: Hukum Sholat Jumat Bagi Wanita , Hikmah Puasa Daud Bagi Wanita)

“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.“ (Kaidah Fiqhiyah)

“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan ( kemaksiatan ), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan.“ (Kaidah Fiqhiyah).

Safar yang dilakukan wanita terbagi menjadi tiga bentuk: yang pertama adalah safar mubah; yang kedua adalah safar mustahab; dan yang ketiga adalah safar wajib.

  • Safar mubah, adalah ketika seorang wanita melakukan perjalan dengan tujuan untuk rekreasi.
  • Safar Mustahab, adalah safar yang dianjurkan yakni seperti saat seorang wanita melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau  menyambung silaturahmi.
  • Safar Wajib, adalah ketika seorang wanita melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah, misalnya seperti saat menjalankan ibadah haji, menolong orang sakit dan berbakti kepada orang tua.

(Baca juga: Cara Mendidik Anak Perempuan Menurut Islam; Cara Mensyukuri Nikmat Allah SWT)

Demikian artikel mengenai Hukum safar bagi wanit tanpa mahram kali ini, semoga dengan sajian pembahasan kali ini bisa menambah khazanah keilmuan kita dan mampu kita sikapi dengan bijak serta mampu meningkatkan keimanan kita semua.

Bolehkah wanita safar sendirian?

Artinya, “janganlah perempuan safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahramnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan perempuan itu disertai mahramnya.

Bagaimana hukum safar?

"Safar (perjalanan) itu sepotong dari azab, yang salah seorang di antara kalian terhalangi dari makanan, minuman dan tidurnya. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan keperluannya, hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya.”

Apa itu safar dalam Islam?

Safar adalah sebuah perjalanan bagi seseorang dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan baik, dengan mematuhi ketentuan- ketentuan Islam meliputi adab, etika, halal haram, amar makruf nahi munkar dan pergaulan.