Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi

Liputan6.com, Sumenep - Selama hampir dua pekan, cuaca buruk di perairan Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, tak kunjung membaik. Cuaca tak bersahabat ini membuat para nelayan setempat mulai kelimpungan.

Selain hanya menganggur, para nelayan Sumenep juga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Sebab, mata pencaharian mencari ikan adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dijalaninya.

Minimnya keterampilan yang dimiliki oleh para nelayan membuat kesulitan untuk beralih maupun mencari pekerjaan lain. Akibatnya, mereka terpaksa harus menjual barang-barang berharga yang dimiliki guna bisa bertahan hidup bersama keluarganya.

Ironisnya ketika sampai terlalu lama menganggur, tak jarang di antara mereka harus berutang kepada tetangganya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya.

"Akibat cuaca ekstrem yang terjadi membuat para nelayan tidak bisa melaut. Itu pun terjadi sudah hampir sepuluh hari," ucap Abdul Rafik (38), salah seorang nelayan di Kecamatan Ambunten, Sumenep, Minggu, 5 Februari 2017.

"Ya, kalau kondisi seperti ini biasanya para nelayan mulai kebingungan, karena sudah kesulitan mendapatkan penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga," ia menambahkan.

Menurut dia, kondisi cuaca di perairan tempat mencari ikan yang tak kunjung membaik menambah lengkap penderitaan bagi nelayan yang ada di daerah ini. Sebab, di kala musim seperti ini kehidupan mereka juga semakin terpuruk.

Apalagi ditambah sulitnya mencari pekerjaan alternatif yang dapat menjadi penyokong ekonomi kehidupan para nelayan pada saat kondisi cuaca sedang tidak bersahabat.

"Menjual barang-barang berharga yang kita miliki pada saat tidak melaut itu sudah biasa. Bahkan barang berharga yang dimiliki sudah habis terjual, terpaksa berutang kepada orang lain. Supaya kebutuhan hidup keluarga tetap terpenuhi," Rafik menjelaskan.

Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi

Rafik menuturkan, tingginya gelombang beserta angin kencang yang melanda di perairan daerah ujung timur Pulau Madura ini membuat aktivitas nelayan lumpuh total. Alhasil, mereka hanya bisa berdiam diri di rumah masing-masing.

Ada pula sebagian nelayan yang memiliki lahan pertanian beralih bercocok tanam memanfaatkan lahan yang mereka miliki untuk mencari penghasilan sampingan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa lilitan utang yang cukup besar.

"Memiliki utang seperti menjadi kebiasaan bagi nelayan ketika kondisi buruk berjalan lama. Ya bagi mereka yang memiliki pekerjaan alternatif tidak terlalu kebingungan, tetapi bagi yang tidak memiliki pekerjaan lain, itu akan menjadi penderitaan rutin setiap musim cuaca buruk," ia memaparkan.

Kini, para nelayan Sumenep hanya bisa berharap kepedulian pemerintah daerah terhadap nelayan di saat kondisi cuaca buruk. Supaya penderitaan yang kerap mereka alami tidak terjadi secara terus-menerus. 

Jakarta - Ketersediaan kapal dan alat tangkap yang kurang memadai membuat nelayan di Belitung Timur sangat bergantung pada kondisi cuaca untuk melaut mencari ikan. Bila memaksakan diri melaut saat cuaca buruk, tangkapan nelayan tak maksimal bahkan bisa kehilangan nyawa dilaha ombak.Meski demikian, sebenarnya ada cara yang bisa ditempuh sebagai solusi mengoptimalkan tangkapan nelayan.Ketua Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Beltim M Aedy M berpendapat, sudah waktunya pihak pemda memberikan perhatian lebih pada para nelayan. Misalnya dengan memberikan bantuan berupa coldstorage sehingga nelayan bisa menggunakan sistem penyimpanan ketika musim ikan tiba.Konsepnya seperti petani yang pada saat musim panen bisa menyimpan hasil pertanian yang melimpah. Kemudian bisa menggunakan simpanan tersebut saat pasokan hasil pertanian sedang minim."Coldstorage akan sangat bermanfaat, terutama bagi nelayan yang biasa melaut dengan kapal besar. Jadi, saat tangkapan ikan mereka bagus, bisa disimpan untuk menyiasati cuaca buruk," sebut dia lewat sambungan telpon, Jumat (2/3/2018).Sebelumnya, Sekjen Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Belitung Timur, Aman Saprin, cuaca buruk biasanya terjadi pada September-Desember. Pada masa tersebut, ada juga nelayan yang memaksakan diri, utamanya para nelayan yang biasa melaut lebih dari 20 mil, namun hasil tangkapannya tidak maksimal. "Bahkan ada nelayan hilang di lautan karena terus melaut dalam cuaca buruk," kata Aman.Dihubungi terpisah, tokoh nelayan Belitung Timur, Syamsuriza, menjelaskan, masalah lain yang sekarang membelit nelayan di kawasan tersebut adalah ketiadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Akibatnya, nelayan harus pasrah menerima harga yang ditawarkan para tengkulak."Bayangkan saja, Beltim ini punya banyak ikan. Tapi, tidak punya TPI, harga ikan pun mahal. Miris sekali. Padahal, lelang membentuk harga pasar. Hasil lelang baru dimasukkan ke coldstore. Nah, hingga saat ini, karena TPI belum ada, para nelayan berhubungan langsung dengan tengkulak. Soal harga, mereka terpaksa mengikuti apa mau tengkulak," ujarnya.Hal lain yang diharapkan para nelayan adalah asuransi kesehatan. Saat ini, rata-rata nelayan memakai BPJS mandiri.

"Sebenarnya harapan kita sederhana, yakni bisa melaut dengan tenang, bisa makan, dan memenuhi biaya hidup sehari-hari. Kadang, kesehatan malah nggak dipikir. Nah, ini harusnya diperhatikan juga pihak pemda. Sementara, asuransi dari pusat (kusuka) sampai sekarang belum ada realisasinya," kata Syamsuriza. (dna/dna)

  • Pada musim angin baratan (kencang) sebagian besar nelayan tidak berani melaut. Seperti yang dirasakan para nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
  • Ketika cuaca buruk seperti yang terjadi minggu ini, sebagian nelayan lebih memilih untuk memperbaiki alat tangkap ikan dan kapalnya.
  • Sebagian lagi masih ada yang memberanikan diri untuk berangkat melaut. Hanya hasil tangkapannya menurun, dan waktu melaut diperpendek.
  • BMKG menghimbau agar nelayan menjaga diri karena masih adanya tinggi gelombang laut dan angin kencang pada saat melakukan aktifitas di laut.

Bagi nelayan, kegiatan mencari ikan di laut sangat tergantung pada cuaca. Jika cuaca mendukung, hampir setiap hari para nelayan ini berangkat melaut. Kecuali hari Jum’at yang biasa digunakan sebagai hari libur. Tapi jika cuaca buruk seperti musim angin barat sebagian dari mereka tidak berani melaut. Salah satunya seperti yang dirasakan oleh Rukin (49), nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Sore itu, angin bertiup kencang, suara deburan ombak keras menghantam batu yang tertata rapi. Batu-batu tersebut terpasang dibibir pantai untuk menanggulangi terjadinya abrasi. Bahkan, tak jarang ombak berwarna putih kecoklatan itu muntah sampai ke halaman pemukiman warga.

“Kalau cuaca manteng (angin kencang) begini ya tidak berani melaut. Apalagi perahu saya ini tergolong kecil dibanding dengan yang lain yang ada di TPI ini. Jadi ya harus sabar,” ujar lelaki berkulit sawo matang itu kepada Mongabay, Sabtu (29/02). Dibantu dua orang temannya dia tampak sibuk membetulkan tali untuk menarik jaring yang baru dibeli.

Saat cuaca buruk, Rukin sendiri lebih memilih untuk memperbaiki alat tangkap ikan. Bersama dua rekannya lelaki berkulit sawo matang itu sudah dua pekan ini tidak melaut.

baca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi
Nelayan bermain catur ketika musim angin kencang di salah satu kedai kopi di sekitar (TPI) Palang, Tuban, Jatim, awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi
Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Tidak hanya Rukin, di TPI Palang yang tidak jauh dari jalur Pantai Utara Kabupaten Tuban ini, ratusan perahu nelayan bersandar dipinggir laut mengikuti alunan ombak yang datang silih berganti. Saat cuaca seperti ini nelayan banyak yang memilih untuk memperbaiki perahu.

Informasi yang didapat Rukin, bulan empat mendatang cuaca diperkirakan akan kembali normal. Namun berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, perkiraan musim barat bisa saja molor karena kondisi cuaca sudah tidak menentu. Dia mengaku sekarang ini sulit membaca cuaca.

Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi
Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Ketergantungan pada Alam

Seorang nelayan di TPI Palang, Sutikno, mengatakan meskipun kondisi cuaca saat itu buruk, sebagian nelayan masih berani melaut. Itupun terpaksa karena untuk menghidupi keluarga. Hanya saja jangkauan melaut tidak jauh. Waktu mencari ikan diperpendek. Misalnya yang awalnya 6 hari menjadi 4 hari.

Kondisi itu berdampak kepada hasil tangkapan ikan. Saat cuaca normal, katanya, rata-rata kapal nelayan dengan 15 Gross Tonnage (GT) bisa membawa pulang 4 ton ikan. Sekarang ini turun menjadi 2 ton.

Saat cuaca mendukung, para nelayan terbagi dalam dua kelompok waktu untuk berangkat melaut, yaitu kelompok yang berangkat pagi hari sekitar jam 05.30 WIB, pulang sore sekitar pukul 14.30 dan kelompok sebaliknya, ada yang berangkat sore sekitar jam 17.00 WIB pulang pagi dini hari.

Menurut Sutikno, kenyataan ini membuat tingkat ketergantungan mereka kepada alam sangat tinggi. Umumnya, kehidupan nelayan lebih banyak bergantung pada alam. Ada masa mereka harus berhenti melaut, karena gelombang terlalu tinggi atau angin kencang.

“Persoalan akan muncul apabila kondisi yang tak ramah ini akan berlangsung terus-menerus dan cukup lama,” ujarnya sembari mengecat perahu. Padahal para nelayan harus tetap menghidupi keluarganya.

baca juga : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?

Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi
Para pembeli ikan menunggu nelayan pulang melaut di TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Saat angin kencang, sebagian nelayan masih memberanikan diri berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Waspadai Angin Kencang

Saat dihubungi pada Minggu (01/03/2020), Prakirawan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tuban, Putri Permatasani mengatakan, cuaca untuk area Tuban dan sekitarnya dalam satu minggu kedepan diperkirakan berpotensi curah hujan dengan intensitas lebat yang disertai petir dan angin kencang.

Penyebabnya, yaitu adanya beberapa daerah yang mengalami tekanan rendah di pesisir Australia Barat, bagian Utara, dan di Samudera Hindia selatan Jawa Timur. Hal itu mengakibatkan pembentukan pertemuan massa udara yang memanjang dari Perairan Selatan Jawa Timur hingga selatan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selain itu, kondisi labilitas udara yang cukup kuat di beberapa wilayah Indonesia juga sangat mempengaruhi. “Kedua kondisi tersebut berkontribusi pada peningkatan konvektifitas skala lokal, termasuk di wilayah Jawa Timur,” ujar perempuan asal Surabaya ini.

Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi
Ombak menghantam dinding batu untuk menanggulangi terjadinya abrasi di pantai Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Adapun untuk kecepatan angin kencang di wilayah Tuban, Lamongan, Gresik, dan sekitanya, rata-rata kekuatannya kurang dari 50 km/jam. Sementara tinggi gelombang antara 0,5 hingga 1,5 meter. Artinya, masih dalam kategori sedang. Meskipun begitu, BMKG menghimbau kepada warga agar mewaspadai adanya potensi angin kencang pada tanggal 1-7 Maret. Bagi nelayan, perlu menjaga diri adanya tinggi gelombang laut dan angin kencang pada saat melakukan aktifitas di laut.

Sebelum berangkat, sambungnya, nelayan perlu memantau kondisi cuaca melalui radio dari BMKG , untuk informasi gelombang disiarkan pada sore hari. Sedangkan prakiraan cuaca setiap pagi. Atau bisa juga mengakses sosial media BMKG.

“Angin kencang ini diperkirakan sampai awal bulan April mendatang, adapun wilayah lain di Jawa Timur juga terjadi di Kabupaten Pasuruan, Probolonggo, Situbondo, dan sekitarnya,” tambahnya.

Bagaimana kehidupan nelayan saat cuaca buruk sering terjadi
Muda-mudi bercengkrama di kawasan TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim dengan latar belakang langit mendung. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia