Bagaimana dengan neraca perdagangan yang surplus defisit dan seimbang

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

HM.4.6/184/SET.M.EKON.3/07/2021

Surplus Neraca Perdagangan Tunjukkan Keberlanjutan Pemulihan Sektor Ekonomi

Jakarta, 15 Juli 2021

Ekspor dan impor Indonesia pada Juni 2021 mengalami peningkatan, baik secara bulanan (mtm) maupun tahunan (yoy). Peningkatan ekspor dan impor tersebut menunjukkan aktivitas ekonomi di Indonesia terus pulih. Meski di tengah pandemi Covid-19, performa Neraca Perdagangan Indonesia masih cukup impresif.

Surplus Neraca Perdagangan telah dialami selama 14 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, termasuk pada Juni 2021 yang surplus US$1,32 miliar. Secara historis, surplus pada 2020 bahkan mencapai rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir dengan mencatatkan nilai sebesar US$21,62 miliar. Lebih jauh, angka ini juga telah mendekati rata-rata performa surplus pada peak periode 2001-2011 dengan nilai sebesar US$26,16 miliar, sebelum akhirnya Indonesia lebih sering defisit sejak 2012.

Surplus tersebut khususnya ditopang oleh beberapa komoditas nonmigas andalan Indonesia yaitu lemak dan minyak hewani atau nabati (HS 15), bahan bakar mineral (HS 27), serta besi dan baja (HS 72). Namun, surplus neraca perdagangan ditekan oleh beberapa komoditas yang mengalami defisit, utamanya berasal dari reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis (HS 84), mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya (HS 85), serta plastik dan barang daripadanya (HS 39).

“Performa Neraca Perdagangan yang cukup resilience di tengah pandemi tersebut perlu diapresiasi. Namun, untuk menjaga keberlanjutan surplus perdagangan ke depan, perlu terus dicermati beberapa faktor kunci,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, di Jakarta, Kamis (15/7).

Faktor kunci tersebut di antaranya, stabilitas pertumbuhan permintaan global khususnya pada pasar utama; peran dan fungsi perwakilan perdagangan (Perwadag) dalam mendorong peningkatan ekspor; dinamika perkembangan harga dan volume ekspor komoditas utama dan potensial; dan strategi pemerintah dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan impor khususnya pada komponen impor konsumsi.

Nilai Ekspor-Impor Terjaga di Juni 2021

Berdasarkan data BPS (15 Juli 2021), nilai ekspor tercatat US$18,55 miliar dan impor US$17,23 miliar. Nilai ekspor di Juni 2021 ini mencatatkan rekor tertinggi sejak Agustus 2011, sedangkan nilai impor merupakan tertinggi sejak Oktober 2018.

Jumlah ekspor tersebut meningkat 54,46% secara tahunan (yoy) yaitu dari US$12,01 miliar di Juni 2020 menjadi US$18,55 miliar di Juni 2021, sedangkan impor naik 60,12% dari US$10,76 miliar di Juni 2020 menjadi US$17,23 miliar di Juni 2021. Lebih lanjut, ekspor Indonesia ini memiliki performa yang lebih baik dibandingkan negara-negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan (39,8% yoy), Taiwan (25,6% yoy), dan Vietnam (20,4% yoy).

Ekspor nonmigas berkontribusi 93,32% atau US$17,31 miliar dari dari total ekspor di Juni 2021, terdiri atas ekspor industri (75,91%), tambang (15,70%), dan pertanian (1,75%); sementara ekspor migas menyumbang 6,64% saja atau US$1,23 miliar.

Peningkatan ekspor juga dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas global. Beberapa komoditas global yang mengalami peningkatan harga antara lain batu bara (Australia) meningkat sebesar 148,94% (yoy) dan CPO meningkat sebesar 54,99% (yoy). Kenaikan harga di kedua komoditas ekspor utama Indonesia ini telah berkontribusi terhadap peningkatan kinerja ekspor di Juni 2021.

Sementara, nilai impor Juni 2021 sebesar US$17,23 miliar terdiri dari impor migas senilai US$2,30 miliar dan nonmigas sebesar US$14,93 miliar. Secara penggunaan barang, dibandingkan bulan sebelumnya, nilai impor seluruh golongan penggunaan barang selama Juni 2021 mengalami peningkatan.

Peningkatan terbesar menurut penggunaan barang terjadi pada golongan barang modal yang meningkat sebesar 35,02% secara bulanan (mtm), diikuti bahan baku/penolong sebesar 19,15% (mtm), dan barang konsumsi sebesar 16,92% (mtm).

“Peningkatan impor bahan baku/penolong mencerminkan peningkatan kinerja sektor riil, sementara peningkatan barang modal juga cukup baik karena berdampak pada peningkatan kapasitas produksi,” ujar Menko Airlangga.

Capaian kinerja Neraca Perdagangan juga dipengaruhi oleh perkembangan aktivitas manufaktur negara mitra dagang utama, terutama Amerika Serikat dan Tiongkok. Indeks PMI Manufaktur di kedua negara tersebut masih berada di level ekspansif, yakni 62,1 (AS) dan 51,3 (Tiongkok). Masih tingginya permintaan global telah mendorong aktivitas produksi dalam negeri untuk memenuhi hal itu, sehingga indeks PMI Manufaktur Indonesia berada di level 53,5 dan kinerja ekspor Indonesia meningkat di Juni 2021.

“Secara garis besar, pada Juni 2021, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan nonmigas dengan beberapa negara, yakni Amerika Serikat (US$1,34 miliar), Filipina (US$0,65 miliar), dan Malaysia (US$0,32miliar). Sementara, Indonesia mengalami defisit dengan Tiongkok (US$ -0,60 miliar), Australia (US$ -0,48miliar), dan Thailand (US$ -0,33 miliar),” pungkas Menko Airlangga. (dep1/rep/fsr/hls)

***

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Haryo Limanseto Website: www.ekon.go.id Twitter, Instagram, Facebook, & Youtube: @PerekonomianRI Email:

LinkedIn: Coordinating Ministry for Economic Affairs of the Republic of Indonesia

Neraca perdagangan atau balance of trade (BoT) ialah perbedaan antara nilai semua barang dan jasa yang diekspor dan diimpor dari suatu negara dalam periode waktu tertentu. Neraca perdagangan menjadi komponen terbesar dalam neraca pembayaran karena menjadi indikator untuk mengukur seluruh transaksi internasional.

Dalam praktiknya, neraca perdagangan mempunyai dua sifat, yaitu positif dan negatif. Suatu negara dikatakan mempunyai neraca perdagangan yang positif apabila negera tersebut lebih banyak melakukan ekspor daripada impor. Hal itu disebut sebagai surplus perdagangan.

Baca Juga: Neraca Dagang Indonesia Maret 2019 Surplus US$0,54 Miliar

Sebaliknya, ketika suatu negara lebih banyak menerima impor dari negara lain daripada ekspor, negara tersebut mempunyai neraca perdagangan yang negatif. Kondisi yang demikian dikatakan sebagai defisit neraca perdagangan.  

Penghitungan Neraca Perdagangan

Sebagaimana yang terdapat dalam definisi neraca perdagangan, ada dua hal yang dibutuhkan untuk menghitung neraca perdagangan, yaitu nilai ekspor dan nilai impor.

Pada dasarnya, neraca perdagangan mempunyai rumus yang sederhanya, yaitu hanya dengan mengurangi nilai ekspor dan nilai impor atas suatu barang dan jasa.

Neraca perdagangan = Ekspor – Impor

Ekspor yang dimaksud ialah barang dan jasa yang dibuat di dalam negeri dan dijual kepada orang asing.  Adapun impor adalah barang dan jasa yang dibeli oleh penduduk suatu negara, di mana barang dan jasa tersebut dibuat di luar negeri.

Namun, ada celah yang menyebabkan penghitungan neraca perdagangan menjadi tidak akurat. Salah satunya adalah perdagangan gelap. Pasalnya, dalam perdagangan gelap, beberapa kegiatan transaksi tersebut hanya tercatat di satu negara (yang mengekspor atau yang mengimpor), sedangkan negara lainnya tidak. Alhasil, akumulasi dari seluruh neraca perdagangan dunia menjadi tidak seimbang.

Surplus vs Defisit

Ketika berbicara mengenai neraca perdagangan, surplus dan defisit bukan menjadi suatu yang bersifat hitam dan putih. Artinya, surplus tidak selamanya baik, begitu pun juga defisit yang tidak selamanya menunjukkan tanda bahaya terhadap perekonomian.

Neraca perdagangan yang surplus akan sangat dibutuhkan ketika perekonomian berada dalam fase resesi. Pasalnya, dalam keadaan tersebut, surplus perdagangan akan membantu dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan permintaan atas suatu barang dan jasa.

Sementara itu, defisit perdagangan akan sangat dibutuhkan ketika ekonomi suatu negara dalam keadaan ekspansi. Pasalnya, di saat seperti itu jumlah barang yang diimpor akan semakin banyak, namun harga tetap rendah karena banyaknya persaingan usaha.

Neraca Perdagangan Menguntungkan vs Tidak Menguntungkan

Hampir setiap negara membuat kebijakan ekonomi untuk menghasilkan surplus neraca perdagangan. Salah satu kebijakan tersebut diimplementasikan dalam wujud proteksionisme perdagangan.

Adapun cara kerja dari kebijakan tersebut adalah dengan melindung industri dalam negeri melalui pengenaan tarif, kuota, atau subsidi impor.

Sudah dikatakan sebelumnya bahwa defisit perdagangan dianggap sebagai suatu yang kurang menguntungkan bagi sebagian negara. Pasalnya, jika negara terus menurus menerima impor, tak ayal akan membuat bisnis dan produk dalam negeri menjadi tidak memiliki nilai tambah.

Hingga akhirnya, negara dengan defisit perdagangan yang tinggi akan menerapkan apa yang disebut merkantilisme, yaitu menghapus defisit defisit perdagangan dengan segala cara.

Salah satu yang paling umum untuk dilakukan adalah dengan menetapkan tarif impor dan kuota impor yang sayangnya diikuti pula oleh kenaikan harga konsumen. Hal tersebut tentu akan memicu proteksionisme reaksioner dari mitra dagang negara sehingga kemungkinan terbesarnya perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi akan menurun.