Apakah nama perpustakaan terbesar yang didirikan oleh Harun Al Rasyid 789 809 M pada masa berdirinya pemerintahan Bani Abbasiyah?

Kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah merupakan kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad, Irak. Pada masanya kekhalifahan Abbasiyah berkembang pesat dan menjadikan Islam sebagai pusat pengetahuan dunia.

Kekuasaannya dimulai setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menaklukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah merujuk kepada keturunan paman termuda Nabi Muhammad seperti yang diceritakan dalam sejarah peristiwa isra miraj, Abbas bin Abdul Muthalib (566 – 652) dan itu sebabnya juga masih termasuk kepada Bani Hasyim.

Anggota dari bani Umayyah yang selamat melarikan diri dari Damaskus dan menuju Spanyol dengan menyeberangi Laut Tengah lalu mendirikan Kekhalifahan Umayyah. Keturunan bani Umayyah yang selamat memerintah Spanyol untuk waktu yang lama.

Bani Abbasiyah menjadi dinasti kekhalifahan terlama sepanjang sejarah berdirinya agama Islam yang berkuasa mulai tahun 750 M – 1258 M (132 H – 656 H), dan ibukota pemerintahan dipindahkan ke Baghdad dari Damaskus pada 762 M. Dalam sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah, mereka memerintah seluruh Asia Barat dan Afrika Utara.

Bani Abbasiyah lebih fokus kepada dataran Irak dan Iran daripada wilayah pesisir seperti Israel, Suriah, Lebanon dan Mesir. Baghdad dengan cepat berkembang menjadi kota besar dan maju dihuni oleh sekitar hampir setengah juta orang pada tahun 800-an masehi.

Banyak kelompok bangsa berbeda yang tinggal di Baghdad seperti Arab, Persia, Yahudi dan Yunani, dengan bahasa Arab, Aram dan Persia. Selain Islam yang menjadi agama mayoritas, ada juga penganut agama lain seperti Kristen, Yahudi dan Zoroaster.

Pemerintahan Abbasiyah berkembang selama tiga abad dan mulai meredup setelah bangsa Turki yang sebelumnya menjadi bagian dari tentara kekhalifahan bernama Mamluk mulai naik daun. Hingga sekarang, keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al – Abbasi banyak tinggal di timur laut Tikrit, Irak.

Awal Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah berdiri setelah mereka berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah. Keturunan Al-Abbas menjadi pendiri dinasti Abbasiyah, yaitu Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas.

Kelompok Abbasiyah merasa lebih layak memegang tonggak kekuasaan daripada Bani Umayyah karena mereka berasal dari Bani Hasyim yang lebih dekat garis keturunannya dengan Nabi Muhammad. Saat itulah sejarah runtuhnya bani Umayyah.

Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah tidak dapat dilepaskan dari peperangan yang berdarah dan bergejolak. Pada awalnya, cicit dari Abbas bernama Muhammad bin Ali berkampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi ketika Umar bin Abdul Aziz masih memerintah. Pertentangan semakin memuncak pada masa pemerintahan khalifah Marwan II.

Menjelang berakhirnya dinasti Umayyah, ada kelompok dari Bani Hasyim yang teraniaya sehingga melakukan perlawanan. Kelompok Bani Hasyim keturunan Ali dipimpin oleh Abu Salamah dan keturunan Abbas dipimpin oleh Ibrahim Al- Iman.

Selain itu juga ikut kelompok keturunan bangsa Persia, pimpinan Abu Musli al-Khurasany bekerja sama menaklukkan dinasti Umayyah. Pada akhirnya kaum Abbasiyah berhasil menaklukkan pemimpin terakhir Umayyah, yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Bani Umayyah dan diangkat sebagai khalifah.

Selama tiga abad bani Abbasiyah memegang kekuasaan kekhalifahan, mengusung kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan kembali ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya di Timur Tengah.

Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah

Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah memasuki masa kejayaannya dengan menerapkan pola pemerintahan yang berbeda – beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Pusat pemerintahan saat itu terletak di Kuffah. Kepemimpinan kemudian digantikan oleh Abu Jafar al-Mansur mulai 750 – 775 M, saudara dari Abu Abbas.

Ia membangun kota baru yang diberi nama Baghdad, dimana terdapat istana bernama Madinat as-Salam. Pada periode awal sekitar 750 – 847 M, kegiatan perluasan wilayah masih diutamakan dinasti Abbasiyah dan membuat pondasi sistem pemerintahan yang akan menjadi panduan bagi kepemimpinan selanjutnya.

Setelah Abu Jafar, Abbasiyah dipimpin oleh Harun al-Rasyid mulai 789 – 809 M. Ia mendirikan perpustakaan terbesar pada zamannya bernama Baitul Hikmah, sehingga orang – orang terpelajar dari kalangan Barat dan Muslim datang ke Baghdad untuk mendalami ilmu pengetahuan.

Setelah itu Abbasiyah dipimpin oleh al-Amin dan al-Makmun al-Rasyid, putra Harun al-Rasyid. Al Makmun memimpin sejak 813 – 833 M dan memperluas Baitul Hikmah menjadi akademi ilmu pengetahuan pertama di dunia.

Ia juga mendirikan Majalis al-Munazharah yang mengadakan pengajian di rumah, masjid dan istana khalifah, dan menjadi tanda akan bangkitnya kekuatan penuh dari Timur dengan Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan puncak keemasan Islam.

Pada masa ini juga banyak diterjemahkan buku – buku karya kuno dari Yunani dan Syria kuno ke dalam bahasa Arab. Paham Muktazilah dianut al-Makmun sebagai mazhab negara, yaitu menggunakan akal sebagai dasar untuk memahami dan menyelesaikan persoalan teologi, yang merintis pembahasan teologi Islam secara detil dan filosofis sehingga muncul filsafat Islam.

Selanjutnya dalam sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah al-Mutawakkil mulai 847 – 861 M. Ia berbeda dengan khalifah sebelumnya karena lebih cenderung ke cara berpikir ahlun sunnah.

Dalam sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah, ia hidup pada satu zaman dengan para tokoh besar Islam seperti Abdul Malik bin Habib (imam Mazhab Maliki), Abdul Azis bin Yahya al-Ghul(murid Imam Syafi’i), Abu Utsman bin Manzini (pakar ilmu nahwu) dan Ibnu Kullab, seorang tokoh dalam bidang ilmu kalam.

Terjadi perselisihan mengenai penerus kekhalifahan setelah al-Mutawakkil karena sebelum dirinya wafat, ia hendak menurunkan mandat kepada anak – anaknya yaitu al-Muntashir, al-Mu’taz dan al-Muayyad. Tetapi ia kemudian mengubah susunan penerusnya menjadi al-Mu’taz lebih dulu , namun al- Muntashir tidak menerimanya.

Akibatnya posisi al-Muntashir langsung diturunkan dengan paksa, bersamaan dengan berlangsungnya ketidak senangan orang – orang Turki kepada al-Mutawakkil karena beberapa sebab. Al-Muntashir dan orang – orang Turki kemudian sepakat untuk membunuh al-Mutawakkil. Setelah ayahnya dibunuh, al-Muntashir menjadi pemimpin khalifah namun hanya selama enam bulan karena ia justru berbalik menjelekkan orang Turki dan dibunuh oleh mereka.

Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah kemudian mengalami kemunduran sejak saat itu. Banyak pula faktor lain yang mempengaruhinya karena kurangnya perhatian pada persoalan politik, seperti pemisahan diri Afrika Utara untuk membentuk pemerintahan merdeka bernama Kekhalifahan Fathimiyah.

Para gubernur di berbagai propinsi seperti dinasti Samaniyah mulai bertindak lebih bebas, dan para jenderal Turki di pasukan Abbasiyah juga semakin lama semakin sulit dikendalikan oleh para khalifah.

Kesulitan komunikasi antara pusat pemerintahan sulit dilakukan pada masa itu karena wilayah kekuasaan yang sangat luas, bahkan tingkat kepercayaan antara penguasa dan para pelaksana pemerintahan sangat rendah.

Begitu juga keuangan negara yang sulit karena negara perlu mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk angkatan bersenjata. Pemisahan – pemisahan wilayah pun mulai terjadi, sebagian besar karena perbedaan cara mengelola daerah kekuasaan yang berbeda dengan Bani Umayyah.

Pada masa Bani Umayyah, wilayah kekuasaannya tetap sejajar dengan batas – batas wilayah kekuasaan Islam. Namun pada masa pemerintahan Abbasiyah, kekuasaan mereka tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara kecuali sebagian kecil Mesir.

Dalam kenyataannya banyak wilayah berada dalam kekuasaan khalifah hanya dalam bentuk pengiriman upeti pajak dari gubernurnya masing – masing. Pada saat kekhalifahan Abbasiyah mulai menunjukkan kemunduran, propinsi – propinsi tersebut mulai melepaskan diri dan tidak lagi membayar pajak, bahkan berusaha menguasai kekhalifahan itu sendiri.

Sejarah perang uhud juga terjadi setelah kekhalifahan abbasiyah selesai, dan menjadikan kekuasaan bercampur tangan serta menimpulkan berbagai perang seperti dalam sejarah perang badar.

KOMPAS.com - Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan adalah pusat penelitian dan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Meski kerap disebut sebagai Perpustakaan Baitul Hikmah atau Perpustakaan Besar Bagdad, tetapi fungsinya sangat banyak.

Pasalnya, Baitul Hikmah digunakan sebagai perpustakaan, pusat penerjemahan teks-teks kuno dari Yunani, dan pusat keilmuan pada masa kejayaan Islam.

Baitul Hikmah didirikan pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, yang memegang tampuk kekuasaan Bani Abbasiyah antara 786-809.

Dari sinilah muncul ilmuwan-ilmuwan Islam era Abbasiyah yang terkenal, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, dan Al-Battani.

Baca juga: Ahli Tafsir pada Masa Dinasti Abbasiyah

Sejarah Baitul Hikmah

Perkembangan Islam di masa-masa awal, yaitu pada masa Bani Abbasiyah ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan dibangunnya perpustakaan terbesar yang bernama Baitul Hikmah.

Pembangunan Baitul Hikmah merupakan misi panjang Dinasti Umayyah di bidang ilmu pengetahuan yang diteruskan oleh Dinasti Abbasiyah.

Sejak era pemerintahan Muawiyah I (661-680), Dinasti Umayyah telah melakukan pengumpulan teks-teks kuno untuk diterjemahkan.

Muawiyah I kemudian mendirikan perpustakaan di Damaskus, Suriah, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pusat penerjemahan era Dinasti Umayyah.

Setelah Dinasti Umayyah runtuh pada 750 dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah, pada 762, Khalifah Al-Mansur membangun Kota Bagdad di Irak.

Di Bagdad, Khalifah Al-Mansur melakukan kegiatan penerjemahan teks-teks kuno untuk diaplikasikan di Abbasiyah, seperti yang dilakukan era Dinasti Umayyah.

Baca juga: Masjid-masjid yang Dibangun pada Masa Dinasti Abbasiyah

Kegiatan penerjemahan ini dilakukan dengan mengundang cendekiawan dan ilmuwan dari berbagai wilayah di dunia.

Gerakan penerjemahan ini lebih digalakkan pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809), yang kemudian membangun Baitul Hikmah sebagai pusatnya.

Di Baitul Hikmah banyak kegiatan penerjemahan teks kuno dari bahasa Yunani, China, serta Sanskerta, ke bahasa Arab dan beberapa bahasa lainnya.

Terjemahan itu meliputi berbagai bidang keilmuan, mulai dari matematika, fisika, biologi, astronomi, hingga sastra.

Baca juga: 10 Tokoh Ilmuwan Muslim dan Keahliannya

Era Khalifah Al-Ma'mun

Perhatian akan perkembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan Khalifah Harun Ar-Rasyid dilanjutkan oleh Khalifah Al-Ma'mun (813-830).

Khalifah Al-Ma'mun bahkan menggelontorkan dana yang besar untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan proyek penerjemahan teks kuno.

Pada periode ini, Baitul Hikmah juga sempat dijadikan sebagai perguruan tinggi di Bagdad.

Perpustakaan Baitul Hikmah pernah direnovasi oleh Khalifah Al-Ma'mun dengan membangun laboratorium khusus untuk mengobservasi bintang.

Khalifah Al-Ma'mun juga mengirim utusan ke beberapa negara di Eropa untuk meminta karya-karya ilmuah Yunani Kuno guna diterjemahkan ke bahasa Arab.

Beberapa ilmuwan yang bertugas menerjemahkan teks kuno adalah Sabian Sabit bin Qurra, Hunain bin Ishaq, Yahya bin Abi Mansur, dan Qusta bin Luqa.

Baca juga: Harun Ar-Rasyid, Pembawa Kejayaan Dinasti Abbasiyah

Adapun karya besar pertama yang dihasilkan dari Baitul Hikmah adalah karya-karya di bidang kedokteran dan filsafat, yang disusul lahirnya karya dari bidang matematika, ilmu bumi, dan astrologi.

Selain itu, menemukan susunan peta bumi menjadi prestasi yang ditorehkan Baitul Hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan pada masa keemasan Islam.

Kegemilangan Kota Bagdad sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan pun menarik perhatian pakar dan ilmuwan dari berbagai wilayah untuk menetap di sana.

Hancurnya Baitul Hikmah

Sekitar satu abad setelah kegemilangan Dinasti Abbasiyah, kekuasan politiknya mulai merosot.

Kemerosotan politik di pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah memang tidak melunturkan semangat berpikir dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Baca juga: Runtuhnya Daulah Abbasiyah

Kendati demikian, kemerosotan politik membuat berbagai wilayah Dinasti Abbasiyah mulai mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri.

Pada akhirnya, ketika Dinasti Abbasiyah runtuh akibat serangan bangsa Mongol pada 1258, pusat ilmu pengetahuan di Bagdad juga ikut hancur.

Bahkan serangan bangsa Mongol ke pusat pemerintahan Abbasiyah di Bagdad menghancurkan Baitul Hikmah beserta catatan ilmu pengetahuan yang telah dibangun.

Mulai saat itu, perkembangan Islam mulai menurun karena Dinasti Abbasiyah yang menjadi simbol kemajuan peradaban Islam hancur oleh bangsa Mongol.

Referensi:

  • Al-Khudhari, Syaikh Muhammad. (2016). Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm 220.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.