Apakah gelar yang diberikan kepada khalifah Abdullah Al Makmun?

A. Abdullah Al-Makmun

Al-Makmun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah Harun al-Rasyid yang lahir pada tahun 170 H/ 786 M dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.

Al-Makmun dilahirkan pada malam kemangkatan pamannya Khalifah al-Hadi. enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya bekas hamba sahaya, bernama Marajil. al-Amin sepupunya, berkedudukan lebih baik dari al-Makmun, disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah, karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama. Sementara itu al-Makmun, di samping usianya yang lebih tua, adalah lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara.

Khalifah Harun ar-Rasyid telah melantik al-Makmun sebagai putra mahkota yang kedua, sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya wilayah Khurasan sampai ke Hamdan. Al-Amin tidak diberi kekuasaan atas wilayah tersebut.

Suatu ketika pada masa menjelang kekuasaan al-Makmun terjadilah perebutan kekuasaan al-Amin dan al-Makmun, disebabkan oleh keangkuhan al-Amin dan pengkhianatan al-Fadl bin ar-Rabi’, sewaktu keduanya berusaha untuk mencopot putra gelar mahkota dari al-Makmun dan menggantikannya dengan Musa bin al-Amin.

Konflik ini oleh ilmuwan barat di gambarkan sebagai perselisihan antara orang-orang Arab dan Persia, tetapi sekarang diakui bahwa aspirasi-aspirasi nasional masing-masing bukanlah isu utama. Namun benar juga bahwa al-Makmun adalah putera perempuan Persia, dan bahwa wazirnya sampai tahun 818 M, al-Fadl bin Sahal adalah seorang keturunan Persia penganut Zoroaster, sementara ibu al-Amin adalah orang Arab dan wazirnya, al-Fadl ibnu ar-Rabi’, walau asal-usulnya tidak diketahui, adalah mawali suatu suku Arab dan bersimpati dengan orang-orang Arab. Wazir ini adalah juga berjasa dalam menjatuhkan golongan Barmakiyah dalam tahun 803 M dan menggantikan mereka dengan para pendukung Harun.

Sebaliknya saingannya, al-Fadil bin Sahal adalah seorang didikan Barmakiyah. Namun kaum Barmakiyah bukanlah bangsa Persia sebagaimana semula diduga, karena sekarang diketahui bahwa leluhur mereka adalah Barmakatau ketua sebuah wihara Buddha di dekat Balkh (dekat sungai Oxus). Namun mereka dekat hubungannya dengan kelas sekretaris dan tampaknya bersimpati dengan sikap otokratik.

Tiga tahun terakhir dari kehidupan al-Makmun, dipenuhi oleh peperangan yang tidak henti-hentinya melawan Byzantium yang saat itu diperintah oleh Kaisar Theopilus (829-842 M). Akhirnya pada tahun 832 M Kaisar terpaksa meminta diadakan perdamaian. Tak lama setelah itu yaitu pada tahun 833 M al-Makmun meninggal dunia di salah satu markas besarnya di perbatasan Syria-Anatolia dekat Tarsus setelah memerintah lebih dari sepuluh tahun.

Apakah gelar yang diberikan kepada khalifah Abdullah Al Makmun?
Abdullah Al-Makmun

BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang Proses pendidikan sebenarnya telah juga berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Perkembangan pendidikan pada masa nabi Muhammad hingga pada khalifah-khalifah selanjutnya. Hingga pada masa daula bani Abbasiyah yang merupakan Masa sangat berhasil dalam mengembangkan ilmu Pendidikan. Di semester empat ini kita dihadapkan dengan mata pelajaran sejarah kebudayaan islam. Aqidah ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. sebagai siswa  memang dirasa sangat penting apa bila membehas mengenai Sejarah Pendidikan islam ini.. Karna dengan mempelajari sejarah pendidikan islam ini, banyak sekali hikmah dan pelajaran yang dappat diambil dari mempelajari ilmu ini. Apa lagi ilmu islam tidak kan terlepas dari membahas sejarah mengenai perkembangan ilmu mengenai pendidikan.

2.      Tujuan

Mengenai tujuan dan maksud dibuatnya makalah ini adalah selain memenuhi tugas, juga bertujuan mengembangkan pengetahuan Sejarah Pendidikan Islam lebih luas, khususnya membahas mengenai “Biografi AL-Ma’mun dan Jasanya Pada Masa Abasyiah”.

BAB II
PEMBAHASAN


A.  Riwayat Hidup Al-Ma’mun Al-Makmun Abdullah Abu Al-Abbas bin Ar-Rasyid, dilahirkan pada tahun 170 H, tepat pada malam jum’at di pertengahan bulan Rabi’ul Awwal. Pada malam itu bersamaan dengan kematian Al-Hadi dan digantikan oleh ayahnya, Ar-Rasyid. Ibunya adalah mantan budak yang kemudian dikawini oleh ayahnya. Namanya Murajil, dia meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah melahirkan Al-Ma’mun, sejak kecil Al-Ma’mun telah belajar banyak ilmu. Dia menimba ilmu hadits dari ayahnya dari Hasyim, dari Ibad bin Al-Awam, dari Yusuf bin ‘Athiyyah, dari Abu Mu’awiyah adh-Dharir, dari Ismail bin ‘Aliyah, Hajjaj Al-A’war dan Ulama-ulama lain di zamannya. Al-Yazidi adalah orang yang menggemblengnya. Dia sering kali mengumpulkan para fukaha dari berbagai penjuru negeri. Dia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam masalah fiqih, ilmu bahasa arab, dan Sejarah umat manusia. Saat dia menjelang dewasa, dia banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di yunani sehingga membuatnya menjadi seorang pakar dalam bidang ilmu ini. Ilmu  filsafat yang dia pelajari telah menyeretnya kepada pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dia adalah tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang kuat, kesabaran, keluasan ilmu, kecemerlangan ide, kecerdikan, kewibawaan, keberanian dan ketolerannya. Dia memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan kebaikan-kebaikan. Sayangnya jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit tercemari dengan peristiwa yang menggemparkan saat dia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah (pembuka), wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun pembukanya adalah As-Saffah, penengahnya adalah Al-Makmun dan penutupnya adalah Al-Mu’tadhid.

B.     Perluasan Daerah Islam Selama Pemerintahan Al-Ma’mun

Al-Makmun Khalifah Penyokong Ilmu Pengetahuan dan menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era kepemimpinannya, Ke khalifahan Abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tem bok Besar Cina di Timur. Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak penca paian itu bernama Al-Ma’mun. Ia di kenal sebagai figur pemimpin yang dianuge rahi intelektulitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Berkat inovasi gagasannya yang brilian, Baghdadibu kota Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dunia. Sang khalifah sangat menyokong perkembangan aktivitas keilmuan dan seni. Perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar-Rasyid disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet ilmuwan Muslim ng melegenda. Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Al-Ma’mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus, astronom, ahli hukum, serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi. Dengan insentif dan gaji yang sangat tinggi, para ilmuwan itu dilecut sema ngatnya untuk menerjemahkan beragam teks ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa seperti Yunani, Suriah, dan San sekerta. Demi perkembangan ilmu pengetahuan, Al-Ma’mun mengirim seorang utusan khusus ke Bizantium untuk mengumpulkan beragam munuskrip termasyhur yang ada di kerajaan itu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.Ketika Kerajaan Bizantium bertekuk lutut terhadap pemerintahan Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur damai. Tak ada penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium, seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika menguasai dunia Islam. Khalifah Al-Ma’mun secara baikbaik meminta sebuah kopian Almagest atau al-kitabu-l-mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi yang ditulis Ptolemeus pada abad kedua) kepada raja Bizantium.[2]

C.    Sistem Ketatanegaraan Al-Makmun

Al-Makmun pengganti Ar-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani beliau Menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karyanya yang terpenting adalah pembangunan bait al-hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[3]Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.Lembaga lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam. Sayangnya, pemerintahan Al-Makmun sedikit tercemar lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya dalam pemikiran-pemikiran teologi liberal, yaitu Muktazilah. Akibatnya, paham ini mendapat tempat dan berkembang cukup pesat di kalangan masyarakat. Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum. Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi. Hunain bin Ishaq adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi. Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad sebagai kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya.

D.   Masa Kejayaan Al-Makmun

Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan anaknya Al-Makmun (813-833M). Setelah ayahnya memerintah negara dalam keadaan makmur, kekayaannya melimpah, dan keamanan terjamin, walaupun masihn adan juga pemberontakan.[5] Dalam fase keemasan inilah lahir berbagai ilmu Islam, dan telah diterjemahkan berbagai ilmu penting kedalam bahasa Arab.[6] Ilmu-ilmu umum masuk kedalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, disamping bahasa india. Pada masa pemerintahan Al-Makmun, pengaruh Yunani sangat kuat. Di antara para penerjemah yang masyhur saat itu adalah Hunain bin Ishak, seorang kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Ia menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan kitab Katagori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. Lembaga pendidikan dimasa dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan sangat pesat. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu kemajuan tersebut paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut: Terjadi asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Gerakan penerjemahan dilakukan dalam tiga fase. Fase pertama pada Khalifah Al-Mansyur hingga Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Fase kedua berlangsung mulai Khalifah Al-Makmun hingga Tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang Filsafat dan kedokteran pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN Riwayat Hidup Al-Makmun Al-Ma’mun Abdullah Abu Al-Abbas bin Ar-Rasyid, dilahirkan pada tahun 170 H, tepat pada malam jum’at di pertengahan bulan Rabi’ul Awwal. Ibunya adalah mantan budak yang kemudian dikawini oleh ayahnya. Namanya Murajil, dia meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah melahirkan Al-Ma’mun. Perluasan Daerah Islam Selama Pemerintahan Al-Makmun,Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur. Sistem Ketatanegaraan Al-Makmun Al-Makmun pengganti Ar-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani beliau Menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Masa kejayaan al-Makmun Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan anaknya Al-Makmun (813-833M). Setelah ayahnya memerintah negara dalam keadaan makmur, kekayaannya melimpah, dan keamanan terjamin, walaupun masihn adan juga pemberontakan. Dalam fase keemasan inilah lahir berbagai ilmu Islam, dan telah diterjemahkan berbagai ilmu penting kedalam bahasa Arab. Masa aman dan makmur serta kemajuan yang dialami semasa Al-Ma’mun Selama berkedudukan selama 14 tahun di Baghdad , 10 tahun berikutnya menjelang pecah sengketa dengan Imperium Bizantium, terpandang masa penuh keamanan diseluruh wilayah islam. Dengan keamanan yang terjamin serupa itu, maka timbul banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai Daulat Abasiyah. Diantaranya: 1)      Bidang pertanian Dengan keamanan yang telah terjamin, maka kegiatan pertanian disana sini berkembang kembali dengan pesat. Bahkan pertanian dikembangkan dengan luas, maka mutu dan keistimewaan buah-buahan dan bunga-bungaan dari Parsi telah makin meningkat, dan anggur dari Shiraz, Yed dan Isfahan telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan diseluruh Asia. 2)      Bidang Perdagangan Kegiatan perdagangan berjalan dengan lancar, tempat-tempat perhentian kafilah dagang kembali ramai dengan kafilah-kafilah yang datang dan memencar keberbagai penjuru. Lalu lintas dagang dengan Tiongkok melalui dataran tinggi Pamir  yang disebut dengan Jalan Sutera (Silk Road), dan Jalur Laut (Sea Routes) dari teluk parsi menuju bandar-bandar lainya kembali ramai. 3)      Bidang Pendidikan Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum. Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi. Hunain bin Ishaq adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi. Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad sebagai kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya. Kemajuan yang paling besar yang dalam bidang bidang pendidikan yaitunya didirikannya perpustakaan yang dibangun disisi gedung observatorium di Baghdad yang dikenal dengan nama Baitul Hikmah. Yang terkenal kaya dengan karya-karya dan naskah-naskah. Dari baitul hikmah tersebut lah berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah dimanfaatkan oleh manusia sampai pada saat sekarang ini. 4)      Bidang kesehatan Diantara kemaujan yaitu berdirinya beberapa buah rumah sakit dan para dokter diwajibkan menempuh beberapa ujian sebelum diizinkan untuk membuka praktek. Dan begitu pun laboratorium-laboratorium didirikan unutk melakukan eksperimen terhadap tumbuhan- tumbuhan yang berkhasiat. Dan masih banyak lagi kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Al-Ma’mun selama pemerintahannya. g.      Pelebaran kekuasan dan menghadapi Imperium Bizantium Didalam pimpinan khalifah Al-Makmun ini, wilayah kekuasaan islam terbentang sangat luas dimulai dari barat dari tepian Pantai Samudra Atlantik sampai ke perbatasan dataran tinggi China. Dalam mengembangkan wilayah kekuasaan dizaman Al-Makmun, ada beberapa peristiwa besar yang dihadapi, diantaranya pendudukan Pulau Kreta (208 H/ 823 M), dan juga pendudukan Pulau Sicily (212 H/ 827 M). Kemudian pada tahun 829 M, wilayah islam mendapat serangan dari Imperium Bizantium (Romawi). Dan menjelang penghujung tahun 214 H/ 829 M, iapun berangkat dengan pasukan yang besar untuk menyerang dan menakhlukkan kekuasaan impeium bizantium tersebut. Sehingga pada tahun 832 M pasukannya berhasil menduduki wilayah Kilikia dan Lidia. Didaerah Kilikia inilah khalifah Al-Ma’mun mendapatkan paham muktazillah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Tetapi belum sempat cita-cita besar beliau untuk menakhlukkan Daerah Bizantium tersebut beliau telah mangkat  pada tahun 218 H/ 833 M.dan perjuangan selanjutnya dilanjutkan oleh saudaranya Al-Mu’tashim. Menjadi Khalifah Pertikaian dengan al-Amin Pada 802, Harun ar-Rasyid, ayah dari al-Ma’mun dan al-Amin memerintahkan al-Amin untuk menggantikannya dan al-Ma’mun menjadi gubernur Khurasan dan sebagai khalifah setelah al-Amin. Dilaporkan bahwa al-Ma’mun lebih tua dari dua saudaranya, tetapi ibunya berasal dari Persia, sedangkan ibu Al-Amin merupakan anggota keluarga Abbasiyah. Setelah kematian ar-Rasyid pada tahun 809, hubungan antara dua saudara tersebut memburuk. Sebagai balasan atas gerakan al-Ma’mun diluar kekhalifahan, al-Amin mengangkat anaknya sendiri, Musa, sebagai penggantinya. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap wasiat ar-Rasyid, yang mengakibatkan terjadinya perang saudara dimana al-Ma’mun merekrut pasukan Khurasani yang dipimpin oleh Tahir bin Husain (meninggal 822), mengalahkan pasukan Al-Amin dan mengepung Baghdad. Pada 813, al-Amin dipenggal dan al-Ma’mun menjadi khalifah. Muhammad Jafar Terjadi berbagai gangguan di Iraq selama beberapa tahun pertama masa kekuasaan al-Ma’mun, ketika khalifah berada di Merv, Khurasan. Pada 13 November 815, Muhammad Jafar menyatakan dirinya sebagai khalifah di Mekkah. Ia dikalahkan dan dilepaskan dari jabatan. Pengangkatan Ali ar-Ridha sebagai penerus Pada tahun 201 H (817) al-Ma’mun mengangkat Ali ar-Ridha, Imam Syi’ah ke-8 dari Dua Belas Imam sebagai penerus kekhalifahan, hal ini tidak diterima oleh kalangan Baghdad khususnya keluarga Bani Abbasiyah. Hal ini merupakan gerakan politik dari al-Ma’mun dikarenakan sebagian besar Persia bersimpati kepada Bani Hasyim, khususnya keturunan Ali dan Fatimah. Kalangan Bani Abbasiyah kemudian mengangkat Ibrahim bin al-Mahdi sebagai khalifah, dengan gelar al-Mubarak.

al-Ma’mun kemudian menyiapkan pasukan dan terjadilah pertempuran antara dua pasukan, Imam Reza menginformasikan Ma’mun yang berada di Baghdad dan al-Ma’mun pergi dari kota tersebut pada hari itu juga sewaktu akhir bulan puasa, 12 April 818.