Apa yang menyebabkan Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1942

Jakarta -

Indonesia telah mengalami beberapa kali penjajahan. Mulai dari bangsa Portugis, Spanyol, Perancis, Inggris, Belanda, hingga Jepang. Dari semua negara tersebut, Belanda memegang kekuasaan paling lama di Indonesia, sebelum akhirnya Belanda menyerah kepada Jepang.

Dari banyak buku pelajaran yang diajarkan di sekolah, sejarah mencatat kekuasaan Belanda di Indonesia berlangsung selama 350 tahun. Berakhirnya penjajahan Belanda ini kemudian dilanjutkan oleh kekuasaan Jepang. Tercatat Jepang hanya berkuasa sekitar 3,5 tahun.

Peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia menggantikan Belanda terjadi sekitar 3 tahun menjelang kemerdekaan Indonesia. Belanda menyerah kepada Jepang lewat perjanjian Kalijati.

Dikutip dari buku IPS Terpadu oleh Anwar Kurnia, perang di kawasan Asia Pasifik yang melibatkan Jepang menjadi jalan masuknya kekuasaan Jepang ke Indonesia. Setelah menghantam Pearl Harbour, Jepang menyerang dan berusaha menguasai negara di kawasan Asia Pasifik.

Agresi pasukan Jepang bergerak sangat cepat. Hal ini membuat Amerika Serikat kesulitan membendungnya. Pada saat itu, angkatan laut Amerika juga telah lumpuh. Serangan Jepang dikendalikan di pangkalan Kepulauan Carolina, Formosa, Indocina, dan Thailand.

Dalam waktu singkat, Jepang berhasil menduduki beberapa wilayah di kawasan Asia dan Pasifik. Kawasan Asia meliputi Singapura, Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, dan Indonesia.

Sedangkan kawasan Pasifik terdiri dari Kepulauan Kuril, Kepulauan Marshall, Gilbert, Laut Bismarck, Irian Utara, Kepulauan Aleut, Midway, Kepulauan Carolina, Kepulauan Mariana, Kepulauan Solomon, Saipan, Guam, dan Laut Koral.

Jepang mulai mendaratkan pasukan di Indonesia pada 1 Maret 1942. Tentara Jepang mendarat di tiga tempat, yakni Banten, Indramayu, dan Bojonegoro dengan dipimpin oleh Jenderal Imamura.

Pendaratan yang dilakukan Jepang tidak diduga oleh Belanda pada saat itu. Tentara Belanda tidak dapat memberikan perlawanan terhadap pasukan Jepang yang bergerak cepat. Belanda menyerah kepada Jepang di Indonesia pada 8 Maret 1942 dengan tanpa syarat.

Penyerahan tanpa syarat ini dilaksanakan di Kalijati, Subang. Pihak Belanda diwakili oleh Panglima Tentara Belanda, Jenderal Ter Poorten, sedangkan Jepang diwakili oleh Jenderal Imamura. Penyerahan ini dikenal dengan perjanjian Kalijati. Sejak saat itu, berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia sekaligus awal pendudukan Jepang di Indonesia.

Simak Video "Ilmuwan Jepang Kembangkan 'Kulit Manusia' pada Jari Robot"



(kri/lus)

Jakarta -

Masa penjajahan kolonial di Hindia Belanda (Indonesia) berakhir ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Kekalahan Belanda ini disebabkan karena keberhasilan Jepang menduduki sebagian besar daerah Hindia Belanda, termasuk Batavia.

Dikutip dari tulisan "Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang" dalam Jurnal Sejarah dan Budaya oleh Muhammad Rijal Fadli dan Dyah Kumalasari, Jepang berhasil masuk ke Hindia Belanda dan merebut Tarakan, Kalimantan Timur pada 12 Januari 1942.

Lalu, hanya dalam waktu singkat, Jepang berhasil merebut sebagian besar daerah lainnya, seperti Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, dan Palembang.

Berlanjut pada 1 Maret 1942, dengan dipimpin Jenderal Hitoshi Imamura, Jepang dapat menguasai wilayah penting di Jawa, yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Kragan di Jawa Tengah.

Sampai akhirnya, Jepang berhasil menguasai Batavia pada 5 Maret 1942 dan memukul mundur pasukan Belanda ke Lembang, Jawa Barat. Merasa terdesak dengan kedudukan Jepang, akhirnya Belanda takluk tanpa syarat.

Peristiwa Belanda menyerah kepada Jepang ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.

Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Komandan Angkatan Perang Belanda di Jawa Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten.

Secara garis besar, perjanjian ini berisi pernyataan bahwa Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dan memberikan kekuasaannya atas Hindia Belanda pada Jepang.

Lalu, bagaimana nasib Hindia Belanda sejak saat itu?

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, negeri matahari terbit secara resmi menjajah Hindia Belanda dan dengan segera melakukan perubahan untuk menghapus dominasi Barat. Selain itu, Jepang juga mulai melakukan berbagai persiapan untuk menjalankan pemerintahan di bawah komando militer Jepang.

Simak Video "Podium Perdana Maverick Vinales Bersama Aprilia"



(pal/pal)

Republik Indonesia Berdiri

Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, sehari kemudian pada 18 Agustus mensahkan UUD ’45 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian terpenuhi sudah semua persyaratan pembentukan suatu negara, sesuai dengan Konvensi Montevideo, yaitu:

 1. Ada wilayah,

 2. Ada penduduk yang permanen, dan

 3. Ada pemerintahan.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang dicetuskan di masa vacuum of power pada 17.8.1945 adalah sah dipandang dari segi apapun, baik menurut hukum internasional (international law), dari segi hak asasi manusia, ataupun dari segi moral dan politis. (lihat:

http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html)

Oleh karena itu, periode tahun 1945 – 1950 bukanlah suatu revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Juga bukan merupakan suatu pemberontakan terhadap siapapun, karena pemerintah India Belanda sudah tidak ada, dan Jepang telah menyatakan menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Dan yang terpenting, fase itu bukanlah fase perang kemerdekaan, karena Indonesia telah merdeka. Yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, dan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia adalah perang mempertahankan kemerdekaan! (lihat:

http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/bukan-revolusi-bukan-pemberontakan.html)

Setelah Jepang menyatakan menyerah kepada tentara sekutu pada 15 Agustus 1945, di seluruh Indonesia terjadi perebutan senjata dari tentara Jepang yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Sebagian dilakukan melalui pertumpahan darah yang besar, terutama di kalangan pemuda Indonesia. Di beberapa daerah, pimpinan militer Jepang secara sukarela menyerahkan senjata mereka kepada para pemuda Indonesia.

Pembentukan pasukan dan kemudian kepemilikan senjata hasil perebutan dari tentara Jepang, merupakan modal pertahanan yang sangat besar bagi Negara yang baru didirikan pada 17.8.1945. Tentara Inggris yang tidak mengetahui situasi ini, mengalami kekalahan yang sangat memalukan dalam pertempuran di Surabaya pada 27 dan 28 Oktober 1945. Juga mendapat perlawanan yang dahsyat dalam berbagai pertempuran lain, seperti pertempuran “Medan Area” di Sumatera Utara, “Bandung Lautan Api”, dan Palagan Ambarawa.

Agresi Militer Belanda

Sejarah mencatat, bahwa Belanda tidak mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dan masih berusaha menjajah Indonesia kembali. Setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak mempunyai satu batalyon pun yang utuh di Indonesia, melainkan hanya beberapa ribu mantan serdadu, yang selama tiga setengah tahun meringkuk di kamp-kamp interniran Jepang. Setelah dibebaskan dari tahanan Jepang, kondisi fisik dan psikis mereka sangat lemah, dan tidak layak untuk dikirm ke peperangan, apalagi untuk menguasai wilayah seluas Indonesia. Oleh karena itu Belanda membuat perjanjian Civil Affairs Agreement (CAA) dengan Inggris pada 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, yang isinya a.l. mewajibkan Inggris membantu “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”, diserahkan kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Kekuatan tentara Inggris sebesar 3 Divisi ternyata tidak mampu “mengamankan” seluruh Sumatera dan Jawa karena hebatnya perlawanan bersenjata rakyat Indonesia, bahkan diperlukan lebih dari satu Divisi, yaitu Divisi 5 dan dengan dukungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk mematahkan perlawanan rakyat Surabaya pada bulan November 1945. Perlawanan rakyat Indonesia di Sumatera, Jawa Barat dan Ambarawa pun tidak kalah hebatnya, sehingga pimpinan militer Inggris menyadari, bahwa masalah RI tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan senjata, dan mereka terpaksa menekan Belanda untuk menyetujui perundingan dengan pihak Republik, yaitu di Linggajati.

Namun di wilayah timur Indonesia, dua Divisi tentara Australia di bawah pimpinan Letnan Jenderal Leslie -Ming the Merciless- Morsehead berhasil “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung RI, dan secara resmi pada 13 Juli 1946, Australia menyerahkan seluruh wilayah timur Indonesia kepada NICA, dan pada 15 – 25 Juli 1946, Letnan Gubernur Jenderal Dr. van Mook menggelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, di mana diundang orang-orang Indonesia yang pro Belanda guna membahas rencana mendirikan “Negara Indonesia Timur.” Konferensi ini dilanjutkan dengan “Konferensi Besar “di Denpasar pada 18 – 24 Desember 1946, yang menghasilkan berdirinya “Negara Indonesia Timur.”

Setelah Belanda mendapat “hadiah” dari tentara Inggris dan Australia, yaitu pelimpahan kewenangan atas wilayah-wilayah yang telah “dibersihkan” dari kekuatan bersenjata Republik Indonesia, Belandapun mendatangkan sekitar 150 tentara dari Belanda, dan merekrut sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL. Selain persenjataan yang mereka bawa sendiri dari Belanda, tentara Belanda juga mendapat pelimpahan persenjataan dari tentara Inggris dan Australia.

Setelah itu, politik adu-domba Belanda berjalan terus, dan Belanda “berhasil” membentuk negara-negara boneka yang dipimpin oleh orang-orang Indonesia yang patuh kepada Belanda. Bahkan dalam perundingan di atas Kapal Perang AS, Renville, yang dimulai pada 8 Desember 1947, delegasi Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Belanda melanggar Persetujuan Linggajati dengan melancarkan agresi militernya yang pertama  pada 21 Juni 1947. Agresi militer ini berakhir dengan Persetujuan Renville yang difasilitasi oleh PBB. Kemudian Belanda juga melanggar Persetujuan Renville dengan melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948.

Pada 20 Januari 1949, Lambertus Nicodemus Palar, ketua delegasi RI untuk PBB, menyampaikan Memorandum di sidang Dewan Keamanan PBB, yang isinya a.l.:

“ …Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa masalah Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral.

Pendirian Belanda yang hanya berpegang kepada legalitas secara dogmatik akan selalu menghambat tercapainya suatu persetujuan. Berhubung pendiriannya yang demikian itulah Republik dianggapnya sesuatu yang illegal, dan bahwa kedaulatan di seluruh daerah Indonesia berada di tangannya.

Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.

Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.

Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggung-jawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri.

Demikianlah maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahankannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang.

Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa  bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris.

Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.

Tidak ada seorang pun orang yang jujur dapat menutup-nutupi fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia telah membayar dengan harga mahal sekali berupa beribu-ribu puteranya menjadi korban dalam usahanya merebut senjata dari jepang untuk memungkinkan Indonesia mencapai kemerdekaannya yang diproklamasikannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kami tidak menerima kemerdekaan itu dari tangan orang Belanda, kami menebusnya dengan darah.

Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia.

Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan.

Persetujuan yang sah yang tidak mengandung keadilan dan yang terlepas dari kenyataan sejarah yang baru berlalu, tidaklah bisa disebutkan sesuai dengan kewajaran jalannya sejarah.

Pada waktu ini Pemerintah Belanda dan wakilnya di Dewan Keamanan sedang berusaha hendak membenarkan aksi militernya yang baru-baru ini dilancarkannya, aksi militernya yang tidak dapat disangkal lagi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB dan Persetujuan Renville, dengan alasan apa yang disebutnya pertanggunganjawabnya terhadap Indonesia.

Apa-apa yang telah ditunjukkan oleh sejarah kepada kami masih segar dalam ingatan kami.

Soal yang penting ialah, apakah Belanda betul-betul sanggup mempertahankan Indonesia terhadap serangan negara asing tanpa bantuan bangsa Indonesia? Adalah satu tekadnya sejak awalnya, bahwa bangsa Indonesia tidak akan membantu kolonialisme Belanda. Oleh karena itu bahaya serangan negara asing akan bertambah jika kolonialisme Belanda terus merajalela di Indonesia. Kolonialisme itu menghambat perkembangan rasa kebangsaan, yang merupakan faktor penting bagi pertahanan negara ini.

Semua ini adalah menjadi bukti bahwa masalah Indonesia bukanlah soal dalam negeri antara Pemerintah Belanda dengan bangsa Indonesia, tetapi merupakan suatu masalah internasional. Masalah Indonesia ada hubungannya  dengan perdamaian dunia. Soalnya juga menyangkut prinsip-prinsip PBB, dan oleh karena itu Dewan Keamanan pada tempatnya turut campur menyelesaikannya. Dalam sidang-sidangnya Republik mempunyai kedudukan sebagai "fihak yang bersangkutan dalam pertikaian", tidak kurang dari kedudukan Belanda. Hal ini bagaikan duri dalam daging bagi Belanda, tetapi tidak akan dapat dikesampingkannya. Belanda juga tidak bisa mengenyampingkan Republik sebagai suatu kenyataan. Semakin lama Republik berdiri, semakin nyata keadaannya, yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Belanda.

Jika Belanda ingin menghapuskan Republik tanpa mempengaruhi politik dunia, mereka harus berbuat demikian pada tahun 1945. Kenyataanya, bangsa Belanda memang ingin berbuat begitu waktu itu. Tetapi tidak dapat dibantah lagi, bahwa pada waktu itu Belanda tidak mempunyai kekuatan militer yang dapat digerakkannya terhadap Republik. Hanya setelah dibantu oleh tentara Inggeris dan mendapat bantuan keuangan serta materiil dari Amerika barulah bangsa Belanda dapat menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia.

Republik sudah berdiri 3 tahun

Republik sampai sekarang sudah berdiri tiga tahun lebih dan karena itu tidaklah gampang menghapuskannya, seperti diinginkan Belanda.

Selama tiga tahun itu Republik telah mengadakan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan dengan Dewan Keamanan serta telah mendapat sahabat di antara negara-negara itu.

Republik telah memerintahkan daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan mempunyai syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap negara merdeka dan berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan polisi kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri.

Rakyat Republik merasa dalam hatinya, bahwa mereka adalah warga suatu negara yang berdaulat dan demokratis dan sebagai penduduk suatu negara yang demokratis mereka mempunyai sepenuhnya semua hak: kebebasan bergerak, hak berkumpul, hak menyatakan pikiran, hak berbicara, dan kebebasan pers, juga bebas untuk memilih agamanya sendiri. Semua kenyataan ini tidak dapat dihapuskan begitu saja atanpa menimbulkan reaksi yang sangat hebat...”

Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang disampaikan oleh LN Palar, yang sampai tahun 1947 adalah anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer), dan sebagai protes terhadap pengiriman tentara ke Indonesia, Palar keluar dari parlemen Belanda, dan berpihak kepada Republik Indonesia.

Kekuatan militer Belanda yang sedemikian besar dengan persenjataan muthakir, ternyata tidak dapat mematahkan perlawanan rakyat Indonesia, dan agresi militer Belanda ke II berakhir dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang difasilitasi oleh PBB.

Sejarah mencatat, sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Netherlnads Indië (India-Belanda). Oleh karena itu, RIS harus menanggung utang pemerintah India Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden, waktu itu setara dengan US $ 1,1 milyar. Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda terhadap Indonesia. Utang tersebut sampai tahun 1956 telah dicicil sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan menghentikan pembayaran.

RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Namun hinga kini, pemerintah Belanda tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, dan tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945!

* Tulisan ini dikutip dari buku ‘Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.’ Penulis: Batara R. Hutagalung. Penerbit LKiS, Maret 2010.

Apa yang menyebabkan Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1942