Apa yang membedakan KEWENANGAN dari Menteri Gubernur dan MA dalam membatalkan Perda

Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengabulkan pengujian Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) bersama 45 Pemkab. Mahkamah menyatakan aturan mekanisme pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional alias bertentangan dengan UUD 1945.

“Mengabulkan permohonan Pemohon II sampai dengan Pemohon VII, Pemohon IX sampai dengan Pemohon XVII, Pemohon XX, Pemohon XXII, Pemohon XXV sampai dengan Pemohon XXXV dan Pemohon XXXVII sampai dengan Pemohon XXXIX sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa ‘...pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat’ UU Pemda beralasan menurut hukum,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 137/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Rabu (5/4/2017).

APKASI bersama 45 Pemkab dan seorang warga negara mempersoalkan puluhan pasal dalam UU Pemerintahan Daerah terkait penerapan prinsip otonomi daerah yang sifatnya terbatas, bukan otonomi seluas-luasnya. Misalnya, Pasal 9 UU Pemda mengatur pembagian urusan pemerintahan secara absolut, konkuren (pemprov dan pemkab), pemerintahan umum.

Pasal 14 ayat (1), (3), Pasal 15 ayat (1) UU Pemda terkait kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi (pemprov). Pemohon menilai aturan yang mengatur kewenangan urusan bidang kehutanan, kelautan, dan sumber daya mineral (migas) itu terkesan ‘dimonopoli’ pemerintah pusat dan pemprov. Baca Juga: Dituding Monopoli Pengelolaan SDA, Pemerintah Beri Penjelasan

Lalu, Pasal 251 UU Pemda memberi kewenangan gubernur dan menteri membatalkan perda kabupaten/kota apabila bertentangan standar, norma, kriteria, prosedur yang ditetapkan pemerintah pusat. Pembatasan lain, pemkab dan DPRD tidak berwenang melaksanakan fungsi pengelolaan SDA. Karena itu, para pemohon meminta MK menghapus pasal-pasal tersebut berikut lampiran matriks pembagian urusan karena bertentangan dengan UUD 1945. “Pengujian konstitusionalitas klasifikasi urusan pemerintahan seperti dimaksud Pasal 9 dan urusan pemerintahan konkuren seperti dimaksud Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 21 UU Pemda serta pengujian konstitusionalitas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, dan energi dan sumber daya mineral seperti dimaksud Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta kewenangan Daerah provinsi dalam pengelolaan sumber daya alam di laut seperti dimaksud Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda, tidak berasalan menurut hukum.” Mahkamah beralasan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan Perda Kabupaten/Kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal ini, Perda Kabupaten/Kota, seperti ditegaskan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.   Lebih lanjut, pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti diatur Pasal 251 ayat (4) UU Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Mahkamah menegaskan kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Bagi Mahkamah adalah kekeliruan ketika Perda Kabupaten/Kota sebagai produk hukum berbentuk peraturan (regeling), dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai produk hukum berbentuk keputusan (beschikking).

Di sisi lain, potensi dualisme putusan pengadilan antara putusan PTUN dan putusan pengujian Perda oleh MA terhadap substansi perkara yang sama. Ini bisa terjadi ketika Perda Kabupaten/Kota dibatalkan melalui keputusan gubernur, lalu digugat PTUN. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin dan dilindungi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945 menurut Mahkamah pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusional MA. Baca Juga: Dua Ahli Ini Sebut Pembatalan Perda Wewenang Pengadilan

Empat Hakim Dissenting


Namun, putusan ini tidak diambil dengan suara bulat. Empat Hakim Konstitusi yakni Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, dan Manahan MP Sitompul mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinions). Palguna menjelaskan hakikat pembatalan sebagai tindakan hukum dalam keputusan yang dibuat pejabat pemerintah cacat hukum. Karena itu, tujuan pembatalan adalah melindungi masyarakat yang dirugikan. “Secara konstitusional, presiden adalah penanggung jawab untuk mengambil tindakan produk hukum penyelenggara pemerintah yang mengandung cacat, dalam hal ini cacat adalah produk hukum penyelenggara pemerintahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan,” ujar Palguna.

Apabila norma kewenangan presiden melalui Kemendagri atau gubernur untuk membatalkan perda dan peraturan kepala daerah inkonstitusional, maka sama saja pemda bukan bagian dari pemerintahan pusat. Menurut Palguna, UU Pemda memberikan kewenangan kepada Presiden (melalui Menteri dan gubernur) untuk membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tidaklah dimaksudkan mengambil-alih kewenangan judicial review kekuasaan kehakiman.

“Lagipula, UU Pemda tidak menghalangi atau menghapuskan hak pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh berlakunya suatu peraturan daerah atau peraturan kepala daerah untuk mengajukan judicial review. Karena itu, kami berpendapat Mahkamah seharusnya juga menolak konstitusionalitas pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) UU Pemda.”

Dihubungi terpisah, Kuasa Hukum APKASI, Andi Syafrani menegaskan mekanisme pembatalan Perda oleh Mendagri/Gubernur dianggap menegasikan kewenangan judicial review MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD Tahun 1945. Sebab, Perda merupakan peraturan perundang-undangan di bawah UU, sehingg hak uji materinya merupakan kewenangan MA, bukan pemerintah pusat.

“Seharusnya yang dilakukan Pemerintah Pusat ialah mekanisme preview atau menguji Rancangan Perda, bukan melakukan review Perda yang sudah diundangkan karena mengekang otonomi daerah dan bertentangan dengan konsep otonomi seluas-luasnya,” kata Andi saat dihubungi.

“Jadi, inti putusan ini Perda Kabupaten/Kota tidak lagi dapat dibatalkan oleh Mendagri/Gubernur sesuai petitum pemohon. Artinya, secara a contrario, Perda Provinsi masih boleh dibatalkan oleh Mendagri, karena tidak disebutkan dalam amar putusan. Sedangkan, Perkada masih dapat dibatalkan oleh Menteri/Gubernur,” katanya.

Apa yang membedakan KEWENANGAN dari Menteri Gubernur dan MA dalam membatalkan Perda
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum. Jean Bodin menyebutkan kedaulatan memiliki sifat tunggal, asli, abadi dan tidak dapat dibagi-bagi. Menentukan letak kedaulatan disuatu Negara, dapat dilihat dari siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam menentukan hukum. Apabila kekuasaan tertinggi itu ditentukan oleh rakyat, maka kedaulatan tersebut berada ditangan rakyat dan disebut dengan kedaulatan rakyat begitu seterusnya.

Rakyat tidak mungkin dapat melaksanakan kedaulatannya secara langsung ketika memiliki luas wilayah dan anggota masyarakat yang begitu banyak. Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan kedaulatan tersebut rakyat menyerahkan kedaulatan kepada perwakilannya melalui kontrak sosial. Perwakilan rakyat inilah yang disebut Pemerintah. Pemerintah dalam arti luas yaitu organ yang menjalankan kekuasaan dibidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemerintah tidak berdiri sendiri dan terpisah dari rakyat maupun negara. Namun, Pemerintah bersandar pada kedaulatan rakyat dan menjalankan segala kemauan rakyat atau kemauan umum. Artinya Pemerintah tidak dapat berkehendak bebas dalam menjalankan kedaulatan melainkan harus berkehendak sesuai dengan kemauan rakyat atau umum.

Pemerintah merupakan alat kelengkapan negara, suatu negara tidak dapat eksis tanpa adanya Pemerintah, karena Pemerintah pada hakikatnya adalah kekuasaan yang terorganisir. Oleh karena itu, Pemerintah adalah suatu organisasi yang diberikan hak untuk melaksanakan kekuasaan kedaulatan. Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berkedaulatan, memilki konsep kedaulatan tersendiri. Konsep kedaulatan Indonesia itu adalah Kedaulatan Tuhan (Sovereignty of God), Kedaulatan Hukum (Sovereignty of Law), dan Kedaulatan Rakyat (People’s Sovereignty). Menurut Jimlly Asshidiqie lebih lanjut dikatakan bahwa dari segi internal atau kedaulatan internal dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur paham kedaulatan yang unik karena menggabungkan konsep Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Tuhan secara sekaligus.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah memuat beberapa konsep kedaulatan, juga memuat tujuan, dasar Negara dan sekaligus menjadi dasar hukum bagi pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibawahnya. Salah satu bentuk peraturan tersebut ialah Undang-Undang. Setiap Undang-Undang selalu memiliki Politik Hukumnya tersendiri.

Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara politik hukum adalah legal policy atau kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan Negara tertentu yang meliputi :

  1. pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang telah ada.
  2. pembaharuan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru. Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum adalah alat yang bekerja pada sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita. Oleh karena itu tujuan dari pada politik hukum itu ialah bagaimana menentukan hukum yang berunjung pada pembaharuan atau penghapusan norma hukum yang telah ada dan bagaimana melaksanakan norma hukum tersebut. Mengenai pembaharuan hukum tidak harus dimaknai dengan pembuatan hukum baru. Akan tetapi memilih dan memilah hukum yang telah ada apabila mengandung nilai-nilai yang universal, dapat tetap di berlakukan. Seperti yang ditegaskan oleh Satjipto Raharjo bahwa politik hukum adalah sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
  3. penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya.
  4. peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut presepsi elite pengambil kebijakan.

Politik hukum yang berupa legal policy tentang hukum yang diberlakukan atau tidak diberlakukan selalu dikaitkan dengan tujuan Negara. Oleh karena itu, menurut Mahfud MD politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau berjangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen yaitu pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, penggantian hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumberdaya alam oleh Negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sekaligus berlaku sebagai politik hukum. Sedangkan yang bersifat periodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu baik yang akan diberlakukan maupun yang akan dicabut, misalnya pada periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada politik hukum untuk membentuk peradilan tata usaha Negara.

Adapun politik hukum yang bersifat permanen yang telah termuat didalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dengan ini menjadi optik bagi politik hukum dari suatu Undanng-Undang, dapat dinilai apakah telah memiliki kesesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Pandangan di atas dilihat dari Politik hukum dalam prespektif formal. Namun politik hukum tidak hanya dilihat dari prespektif formal saja, yang memandang kebijaksanaan hukum dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja. Akan tetapi dapat dilihat pula dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan resmi tersebut. Dapat dipertanyakan misalnya mengapa dan bagaimana prespektif formal itu lahir serta apa akibatnya bagi perkembangan hukum nasional.

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam bingkai Negara kesatuan, menurut Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Hal ini menegaskan bahwa istilah “dibagi atas” menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara kesatuan dimana kedaulatan Negara berada ditangan pusat yang berbeda dengan istilah “terdiri atas” yang lebih menunjukkan subtansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada ditangan-tangan Negara bagian.

Hak melaksanakan kekuasaan kedaulatan ini dapat diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah berdasarkan hak otonomi sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan pembinaan dan pengawasan. Hubungan pembinaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dapat melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sedangkan hubungan pengawasan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melalui pengawasan terhadap produk-produk hukum Daerah.

Hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam hal pembinaan dimaksudkan agar terjadinya kesatuan kerja Pemerintahan dari Pusat sampai tingkatan Daerah. Sedangkan hubungan pengawasan dimaksudkan agar kebebasan Pemerintah Daerah dalam menjalankan otonominya tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam membuat Peraturan Daerah. Artinya, pelaksanaan otonomi melalui pembuatan Peraturan Daerah yang mengatur persoalan warga negara tidak sampai menghilangkan hak-hak warga negara itu sendiri.

Peraturan Daerah sebagai salah satu produk hukum Daerah diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”

Kekuasaan yang diserahkan Pusat ke daerah melalui Hak otonomi dijalankan oleh Pemerintah Daerah itu sendiri untuk terjaminnya demokrasi.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan hak wewenang yang dimiliki daerah, daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan sendiri yang sesuai dengan perkembangan dan keanekaragaman daerah sendiri”.

Peraturan-peraturan yang dibuat secara bersama oleh lembaga eksekutif dan legislatif pada tingkat daerah menjadikan peraturan-peraturan tersebut sama dengan Undang-Undang. Undang-Undang ini disebut dengan Undang-Undang lokal menurut Jimlly Asshidiqie “Sebagai produk para wakil rakyat bersama dengan pemerintah, maka Peraturan Daerah itu seperti halnya Undang-Undang dapat disebut sebagai produk legislatif sedangkan peraturan-peraturan dalam bentuk lainnya adalah produk regulasi atau produk regulatif. Perbedaan antara Peraturan Daerah itu dengan Undang-Undang hanya dari segi lingkup teritorial atau wilayah berlakunya peraturan itu bersifat nasional atau lokal. Undang-Undang berlaku secara nasional sedangkan Peraturan Daerah berlaku didalam wilayah Pemerintahan Daerah yang bersangkutan saja, yaitu dalam wilayah daerah provinsi, wilayah daerah kabupaten atau wilayah daerah kota yang bersangkutan masing-masing. karena itu, Peraturan Daerah itu, tidak ubahnya adalah “local law” atau “local wet” yaitu Undang-Undang yang bersifat local”.

Peraturan Daerah yang dibuat pada tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota memiliki materi muatan yang sama dengan Undang-Undang namun dalam lingkup yang lebih khusus. Bahkan, penyusunan, pembentukan, pengundangan dan penyebarluasan antara Undang-Undang dengan Peraturan Daerah adalah sama yang membedakan hanya lingkup keberlakuannya. Dengan ini eksistensi dari Peraturan Daerah semakin diperhatikan. Oleh karena itu, apabila terdapat Peraturan Daerah yang bertentangan dengan yang sama dengan mekanisme dan lembaga pengujian terhadap Undang-Undang.

Pasal 24 C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan menyebutkan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD. Sedangkan berdasarkan Pasal 24 A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang bunyinya: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.

Dari bunyi pasal tersebut maka Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota apabila bertentangan dengan Undang-Undang. Berdasarkan pasal tersebut pula Mahkamah Agung tidak hanya menguji materi muatan Peraturan-Perundang-undangan dibawah Undang-Undang termasuk pula menguji apakah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang tersebut telah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan berdasarkan Undang-Undang. Akan tetapi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil justru mempersempit kewenangan Mahkamah Agung yang telah diberikan UUD dan UU dalam menguji Peraturan Perundang-undangan hanya sebatas pengujian materil dan dihilangkannya kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang secara formil.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai produk legislatif daerah dan memiliki posisi didalam hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menjadi kewenangan Mahkamah Agung untuk mengujinya apabila bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi. Namun berdasarkan Pasal 91 Ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu tugas Gubernur adalah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam Ayat (3) Gubernur dapat membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota apabila bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan.

Berdasarkan ketentuan di atas terdapat dua lembaga yaitu Gubernur dan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materil terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:

  1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
  3. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
  4. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
  5. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pengujian Peraturan Daerah Kabupaten/Kota serta membatalkannya dapat dilakukan oleh eksekutif yaitu Gubernur. Gubernur mempunyai kewenangan yang lebih luas dari pada Mahkamah Agung yang hanya menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang. Kewenangan Gubernur itu termasuk menguji Perda Kabupaten/Kota berdasarkan adanya materi muatan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan diatasnya, bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan kesusilaan.

Oleh karena itu kewenangan Gubernur lebih luas dari Mahkamah Agung, kewenangan Gubernur berkaitan dengan pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kesusilaan lebih mengandung muatan sosiologis dibandingkan dengan muatan yuridis. Hal ini dikarenakan standarisasi kesusilaan lebih berdasar pada subyektifitas Pemerintah dalam hal ini Gubernur.

Terdapat dua jenis pengawasan Perda oleh Gubernur yaitu evaluasi dan klarifikasi. Dua jenis ini sebagai langkah preventif dan represif Gubernur sebagai perwakilan Pemerintah Pusat di daerah, dua langkah tersebut yaitu:

Pertama, dalam upaya preventif Gubernur melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggung-jawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 245 (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi: “Rancangan Perda Kabupaten/Kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh Bupati/Wali Kota”.

Kedua, dalam upaya represif Gubernur melakukan klarifikasi terhadap keseluruhan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan diatasnya, kepentingan umum dan kesusilaan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi: “Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Wali Kota yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai Wakil pemerintah Pusat”.

Bupati/walikota sebelum menetapkan sebuah Peraturan Daerah wajib menyampaikan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat paling lambat 7 (Tujuh) hari.

Kemudian Pasal 251 Ayat (3) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, dalam hal Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Bupati/Wali Kota yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Bupati/Walikota. Ayat (4) Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Wali Kota sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Ayat (6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4), Kepala Daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.

Pembatalan yang dilakukan oleh Gubernur melalui mekanisme eksekutif review mengakibatkan posisi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dipandang sebagai produk regulatif. Artinya Peraturan Daerah hanya sebagai salah satu bagian produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang tidak jauh berbeda dengan Peraturan-Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dalam kapasitas sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat dan bukan sebagai Pemerintah Daerah yang bersifat otonom.

Pengaturan kewenangan Gubernur dalam hal membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sebelumnya diatur didalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah lebih membawa semangat konsentrasi. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota hanya boleh dibatalkan melalui Peraturan Presiden. Artinya, kewenangan membatalkan Perda yang telah diberikan Pemerintah Pusat kepada wakilnya ditingkatan Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur, namun Gubernur sendiri tidak memiliki kewenangan membatalkan Peraturan Daerah dengan Peraturan Gubernur. Akan tetapi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah masih mengakomodir semangat desentralisasi, dimana Peraturan Daerah tetap dipandang sebagai salah satu Peraturan Perundang-undangan yang masuk dalam hirarki. Artinya meskipun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota telah dibatalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden, apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum dapat menerima Pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah masih dapat melakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Terbuka peluang subtansi Peraturan Daerah yang dibuat Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk kembali diuji oleh Mahkamah Agung apakah telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tersebut merupakan pengaturan yang khusus mengenai kebutuhan daerah tersebut.

Kewenangan Gubernur dalam hal pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang diatur didalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah bentuk dari dekonsentrasi. Artinya, kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat telah diberikan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat didaerah. Namun dalam hal pembatalan yang dilakukan oleh Gubernur sampai Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri dapat menimbulkan dampak sentralisasi pembuatan produk hukum. Artinya nasib Peraturan Daerah ditentukan oleh Pemerintah Pusat serta tidak memberikan kesempatan kepada Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota untuk menguji Peraturan Daerahnya kepada lembaga diluar lembaga politik (pemerintah).

Konsekuensi dari pengaturan tersebut akan memunculkan ketidakpuasan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ketika Peraturan Daerah yang telah dibuat harus dibatalkan oleh Gubernur dan ketika Pemerintah Daerah harus mengajukan keberatan atas keputusan pembatalan Gubernur ke Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana dalam Pasal 251 Ayat (8) Undang-Undaang No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan: “Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Bupati/Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Bupati/Wali Kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau Peraturan Bupati/Wali Kota diterima”

Apabila Menteri Dalam Negeri berpendapat sama dengan Gubernur, maka keputusan Menteri menjadi final dan banding atas pembatalan Peraturan Daerah tersebut. Padahal menurut jimlly Assidhiqie, sangatlah penting ketika suatu produk Peraturan Perundang-undangan yang dibuat secara bersama antara unsur eksekutif dan unsur legislatif menjadi kewenangan yudikatif untuk melakukan pengujian. Prinsip ketidakterlibatan ini akan mengurangi kesewenang-wenangan Pemerintah dalam menguji suatu Perda. Sehingga pertimbangan dalam pengujian tersebut didasarkan atas nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kemanfaatan.

Keputusan pembatalan yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri dapat memunculkan permasalahan baru ketika Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat menerima. Permasalahan tersebut dapat berupa pengujian terhadap keputusan pembatalan Menteri Dalam Negeri dan kewenangan lembaga yang dapat menguji keputusan pembatalan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, kewenangan Gubernur dalam hal pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota merupakan politik hukum yang terkandung didalam Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah. Adapun pelaksanaan secara konsisten kewenangan Gubernur dalam hal pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur sebelumnya di dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berujung pada perubahan atau pembaharuan dari pada kewenangan Gubernur itu sendiri. Perubahan tersebut telah diatur didalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Perubahan kewenangan Gubernur dalam hal pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota seperti yang telah diuraikan diatas, merupakan politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu. Meskipun lahirnya politik hukum yang baru ini akibat dari adanya perkembangan situasi dalam suatu periode, namun pembentukan politik hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada didalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang sekaligus berlaku secara permanen sebagai politik hukum bagi pembentukan politik hukum Peraturan Perundang-undangan dibawahnya.

Penulis : Drs. RAHMAT JUNAIDI, S.H., M.H.

(Kepala Bagian Pengawasan dan Dokumentasi Hukum pada Biro Hukum SETDA Provinsi Kalimantan Tengah)