Apa yang dimaksud dengan nikah mut ah

TINJAUAN YURIDIS KAWIN KONTRAK DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF INDONESIA

Fajar Hernawan

Mahasiswa S3 HES UIN Sunan Gunung Djati Bandung

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Keindahan alam di kawasan Puncak baik yang masuk wilayah Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Cianjur, sangat populer dikalangan wisatawan domestik dan mancanegara khususnya dari Timur Tengah. Umumnya, mereka menjadikan kawasan Puncak sebagai destinasi favorit untuk wisata. Namun tidak jarang, bagi mereka yang jeli melihat peluang bisnis, menjadikannya sebagai ladang bisnis/usaha.

Kehadiran para wisatawan tersebut, pada satu sisi memiliki dampak positif yaitu ikut menggeliatkan perekonomian masyarakat di kawasan itu. Namun pada sisi lain, berdasarkan beberapa kajian, muncul adanya beberapa fenomena sosial yang dikeluhkan masyarakat dan telah menjadi perhatian masyarakat luas bahkan hingga luar negeri, diantaranya yaitu maraknya praktik kawin kontrak.

Menurut beberapa hasil kajian, kawin kontrak dinilai sebagai bentuk prostitusi terselubung karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun nikah, baik secara hukum agama maupun peraturan perundang-undangan.[1] Praktik kawin kontrak pada dasarnya tidak sejalan dengan prinsip hukum perkawinan di Indonesia. Kawin kontrak merupakan praktik perkawinan yang bertentangan dengan konsep perkawinan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2] Dari definisi tersebut dapat diketahui beberapa tujuan perkawinan, yaitu: (1) untuk memperoleh kehidupan sakinah yang dilandasi mawaddah dan rahmah, (2) untuk regenerasi/reproduksi, (3) tujuan perkawinan adalah untuk pemenuhan kebutuhan biologis, (4) untuk menjaga kehormatan, dan (5) untuk ibadah.[3]

Adanya penyimpangan dari praktik kawin kontrak terhadap norma-norma hukum dan tujuan dari perkawinan itu sendiri, sebenarnya sudah diketahui oleh masyarakat luas dan stake holder terkait. Seringkali aparat penegak hukum dan pemerintah daerah melakukan operasi penegakan hukum untuk memberangus prostitusi berkedok wisata tersebut. Akan tetapi, upaya yang telah dilakukan tidak bisa menghilangkan fenomena sosial tersebut bahkan disinyalir saat ini semakin tumbuh subur dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarananya.

Sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang praktik kawin kontrak dalam berbagai perspektif, nampaknya harus lebih dilakukan secara massive dan berkelanjutan. Jangan sampai hanya karena kepentingan ekonomi semata, mencari kesenangan materialistik-konsumtif, akibatnya melanggar norma-norma hukum, mengikis kesakralan lembaga perkawina dan merusak tatanan masyarakat.

  1. II.PEMBAHASAN
  2. A.PENGERTIAN

Kawin kontrak, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut’ah. Nikah secara bahasa adalah akad dan watha’. Dalam istilah ini nikah diartikan akad. Kata nikah ini kemudian disandingkan dengan kata mut’ah.[4]

Anwar Harjono (1987:220) mengatakan bahwa “kata perkawinan sama dengan kata nikah atau zawaj dalam istilah fiqih”.[5]

Menurut istilah ilmu fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafaz nikah atau tazwij.[6]

Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah, definisi dari nikah yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang wanita, saling tolong menolong antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.[7]

Dapat kita pahami bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga untuk memelihara manusia dari perzinahan, karena secara sederhana pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta untuk mengembangkan keturunan.

Selanjutnya mut’ah berasal dari kata متع-يمتع-متعة secara literal mempunyai ragam pengertian, antara lain: manfaat, bersenang-senang, menikmati, bekal.[8] Terdapat beberapa pengertian tentang mut’ah, yaitu: Pertama, mut’ah adalah uang, barang, dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.[9] Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan dasar hidup bagi laki-laki untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya, dan birahinya dari wanita tanpa syarat. Ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau yang diistilahkan dengan “kawin kontrak” dalam jangka waktu yang dibatasi menurut perjanjian.[10]

Secara definitif, nikah mut’ah berarti : pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan isteri.[11] Bila habis masa (waktu) yang ditentukan, maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut sesuai kesepakatan semula. Penentuan jangka waktu inilah yang menjadi ciri khas nikah mut’ah, sekaligus pembeda dari nikah biasa.[12]

Dalam definisi lain, kawin kontrak yang dalam hukum Islam dikenal dengan istilah nikah mut’ah adalah perkawinan yang dilaksanakan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang atau akad perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap wanita untuk satu hari, satu minggu, atau satu bulan.[13]

Sementara Zomakhsyari, mendefenisikan kawin kontrak sebagai nikah untuk waktu yang telah ditentukan atau diketahui, misalnya satu atau dua hari, seminggu atau lebih, sebulan atau bahkan sampai bertahun-tahun.[14]

Ibnu Qudamah mendefinisikan kawin kontrak adalah seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja, misalnya (seorang wali) mengatakan, “Saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalanan haji ini dan sebagainya.” Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.

Sayyid Sabiq memberikan pengertian kawin kontrak/nikah mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan, dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukan.[15]

  1. B.KAWIN KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Jika dirunut kebelakang, praktik kawin kontrak merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Tradisi ini dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan di lingkungan sukunya. Pada masa Islam, sejarah munculnya nikah mut’ah dilatarbelakangi beberapa faktor, antara lain karena pada masa awal penyebaran Islam, masih sangat sedikit sekali ketentuan hukum. Selain itu juga karena faktor menghadapi musuh-musuh Islam yang terus menerus bahkan harus dengan berperang. Sehingga umat Islam saat itu harus rela jauh dari istri-istri mereka yang ditinggal berperang yang bisa memakan waktu hingga berpuluh-puluh hari. Dalam kondisi itu mereka tidak mampu dan tidak sempat pulang mendatangi istrinya.

Dalam kondisi demikian inilah, maka memang pernah dibolehkan melakukan kawin kontrak, karena betul-betul dalam keadaan darurat perang. Sementara saat ini, sudah tidak relevan sama sekali karena tidak ada alasan apapun yang bisa menjadi legitimasi kawin kontrak atau muaqqat.[16]

Legitimasi kawin kontrak mengalami beberapa perubahan hukum. Dua kali dibolehkan (yakni pada waktu sebelum perang Khaibar dan pada waktu penaklukan kota Mekkah) dan dua kali dilarang (waktu perang Khaibar dan 3 hari setelah penaklukan kota Mekah) dan akhirnya diharamkan untuk selama-lamanya.[17]

Pada masa sahabat, larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan mayoritas sahabat. Akan tetapi minoritas sahabat lainnya masih membenarkannya, bahkan melakukan praktek kawin kontrak, seperti yang dilakukan Jabir Ibn Abdullah.[18]

Sedangkan Khalifah Umar ibn al-Khattab (581-644) secara tegas melarang kawin kontrak, bahkan pada masa pemerintahannya, pelakunya diancam dengan hukuman rajam. Larangan Umar ini dapat menghentikan secara total praktek kawin kontrak. Keadaan ini terus berlanjut sampai generasi berikutnya. Lalu, pada masa pemerintahan al-Makmun (khalifah ke-7 dari Dinasti Abbasiyah, 198 H / 813 M- 218 H / 833 M), kawin kontrak secara formal diberlakukan kembali. Akan tetapi kemudian dilarang pada masa khalifah berikutnya, yaitu pada masa al-Mu’tashim (218 H/ 833 M – 227 H / 842 M).[19]

Terlepas dari kontroversi para fukaha’ tentang hukum nikah kontrak dalam hadis-hadis tersebut, yang jelas keberadaan hadis-hadis tersebut menggambarkan bahwa di masa lalu (masa rasul dan sahabatnya) nikah kontrak pernah terjadi. Dua kali dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali pula; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar (7 H / 628 M). Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika Fathu Makkah, atau perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya.

Pada masa sekarang, praktek kawin kontrak masih terjadi di sebagian wilayah Islam yang bermazhab Syi’ah terutama di Iran. Meskipun memiliki legalitas namun dalam pelaksanaannya dilakukan dengan sangat ketat dan hati-hati. Dalam Undang-Undang Perdata Iran disebutkan sejumlah persyaratan kawin kontrak yaitu: 1) perkawinan kontrak berlaku untuk waktu tertentu, 2) masa waktu tersebut harus disebutkan secara spesifik, dan 3) hukum yang berkenaan dengan mahar dan pewarisan sama dengan yang disebutkan dalam bab-bab yang berkaitan dengan mahar dan pewarisan. Ketentuan dalam undang-undang ini tidak membedakan aturan yang berlaku pada pernikahan biasa dengan nikah kontrak.

  1. C.KAWIN KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Mayoritas ulama berpendapat, ada empat macam nikah fasidah atau nikah yang rusak atau tidak sah, yaitu:

Pertama, nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar).

Kedua, nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam akad). 

Ketiga, nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain.

Keempat, nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi).

Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa kawin kontrak/nikah mut’ah hukumnya haram dan tidak sah (batal). Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui atau yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. 

Hakikat dari nikah mut’ah adalah pernikahan dengan akad yang waktunya ditentukan. Misalnya, “Aku menikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun”. Hal tersebut dilakukan baik dihadapan saksi atau dihadapan wali. Keduanya sama saja.

Adanya perbedaan pandangan terhadap kawin kontrak ini diantaranya disebabkan karena perbedaan pemahaman tentang kandungan surat an-Nisa ayat 24 yang berbunyi:

وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Perbedaan tersebut yaitu dalam memahami maksud kalimat فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً  . Kata “Ujrah” yang oleh mayoritas mufassirin (ahli tafsir) diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan kawin kontrak/nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak yang merujuk pada konsep kawin kontrak.

Selain ayat di atas, perbedaan juga terjadi karena berbeda dalam memahami hadits-hadits tentang kawin kontrak tersebut. Ada beberapa hadits yang memperbolehkannya. Muncul pula hadits-hadits yang melarangnya.

Sebagaimana hadis dari Subrah Al-Jahmy, bahwa ia pernah menyertai Rasullullah SAW. dalam perang penaklukan Mekah. Ketika itu, Rasulullah SAW.mengizinkan mereka kawin mut’ah. Saburah mengatakan, “tidak meninggalkan kawin ini sampai kemudian diharamkan oleh Rasulullah SAW.” Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW. mengharamkan nikah mut’ah dengan sabdanya yang artinya: “Wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari Kiamat.” Zufar berpendapat nikah mut’ah disebut dengan tegas dan jelas batas waktunya maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya yang batal. Hal ini apabila di dalam ijab qabulnya digunakan kata-kata tazwij (kawin), tetapi kalau digunakan kata-kata mut’ah (sementara), hukumya haram dan batal.

Dalam perspektif hukum Islam, perjanjian perkawinan dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 4. Kawin kontrak dalam Islam dikenal dengan istilah nikah mut’ah (mu’aqqat) yang berarti perkawinan untuk waktu tertentu atau munqathi yang berarti perkawinan yang terputus.[20]Nikah mut’ah pada awalnya pernah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW pada saat pasukan perang dari kaum Muslimun berperang di wilayah yang berada jauh dari istri dan keluarganya, namun kemudian Rasulullah melarang dan mengharamkannya sampai kiamat.

Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

Artinya: “Mereka ( orang-orang yang beruntung ) adalah orang-orang yang menjaga kemaluan mereka . Kecuali kepada pasangan atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela”. (QS. Al-Mu’minun ayat 5-6)

Quran surat al-Mu’minun ayat 5 – 6 tersebut oleh mayoritas mufassir dan ulama dijadikan sebagai dasar pengharaman nikah mut’ah.

Dalam praktik yang sering terjadi di kawasan Puncak khususnya, proses pelaksanaan kawin kontrak itu sendiri tidaklah rumit, jika sudah pasti akan melakukan kawin kontrak, lelaki (umumnya berasal dari negara Timur Tengah) tersebut harus datang ke kediaman keluarga pihak perempuan dan memastikan bahwa siapa keluarga perempuan tersebut. di luar itu semua wanita pelaku kawin kontrak biasanya memalsukan identitas keluarganya atau menyuruh orang lain berpura-pura menjadi keluarganya. Setelah itu dengan diantar oleh orang yang mengenalkan wanita tersebut, terjadilah kawin kontrak.

Pelaksanaannya tidak melalui lamaran, mereka langsung melaksanakannya di kediaman perempuan dengan wali saksi dan penghulu “seadanya”. Biasanya yang menjadi penghulu, saksi dan wali hanyalah pura-pura saja, namun orang Arab tersebut tidak memperdulikan hal tersebut. Walaupun tidak ada proses lamaran, tapi tetap menggunakan mahar biasanya sejumlah uang tunai.

Tidak ada yang menjadi syarat-syarat lain untuk dilangsungkannya kawin kontrak, tidak ada perjanjian secara tulisan melainkan secara lisan melalui kesepakatan kedua belah pihak tentang jangka waktu perkawinan. Tidak ada resepsi pernikahan dalam pelaksanaan kawin kontrak. Setelah selesai akad nikah, wanita barulah dibawa ke villa tempat lelaki itu menetap untuk waktu tertentu.

Dari praktik yang umum terjadi tersebut, dapat disimpulkan nikah mut’ah atau kawin kontrak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[21]

  1. Ijab qabul menggunakan kata-kata nikah atau dengan dengan kata mut’ah;
  2. Tanpa wali;
  3. Tanpa saksi;
  4. Ada ketentuan dibatasi waktu;
  5. Tidak ada waris mewarisi antara suami istri
  6. Tidal ada talak;

Suatu perkawinan yang dilakukan dengan tanpa wali dan saksi adalah batal, karena wali dan saksi termasuk ke dalam rukun perkawinan. Suatu perkawinan berakhir apabila adanya perceraian, kematian dan putusan pengadilan. Berbeda dengan kawin kontrak yang akan berakhir jika batasan waktu yang telah disepakati telah habis, dan tanpa adanya talak. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa kawin kontrak atau nikah mut’ah sangat dilarang dan bertentangan dengan ajaran Islam. Perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat dalam Islam adalah batal atau tidak sah. Sehingga hukumny adalah haram atau batil, karena tidak mengindahkan tujuan dan asas dari perkawinan yang sangat sakral yaitu perkawinan untuk selama-lamanya bukan untuk sementara waktu.

  1. D.KAWIN KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA

Perkawinan merupakan kegiatan sakral dalam kehidupan manusia, karena disamping perkawinan mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain, perkawinan juga menyangkut mengenai hubungan keperdataan. Tidak berhenti disitu perkawinan juga ikut mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan kata lain perkawinan tidak hanya mengatur hal yang lahiriah namun juga mencakup hal batiniah bagi para pihak yang melaksanakannya. Hukum Indonesia mengatur perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan definisi perkawinan yaitu:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[22]

Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan. Demikian juga dengan perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang syarat sah perjanjian. Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:[23]

  1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif);
  2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum (unsur objektif).

Kawin kontrak adalah perkawinan di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dan dalam waktu tertentu, yang mana perkawinan akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan tanpa adanya talak serta tidak adanya kewajiban untuk memberi nafkah, tempat tinggal dan hak mewaris.

Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat diperdagangkan, namun dalam perjanjian kawin kontrak yang dijadikan objek perjanjian adalah perkawinan yang dibatasi waktu itu sendiri di mana perkawinan yang dibatasi oleh waktu bukanlah merupakan suatu barang dan bisa diperdagangkan. Hal ini secara jelas melanggar syarat objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari suatu perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan jenisnya.

Syarat objektif selanjutnya yang tidak dipenuhi adalah suatu sebab yang halal. Perjanjian perkawinan yang terdapat dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perkawinan (Pasal 1) dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 2, 5 dan 6). Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. Isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur tentang jangka waktu atau lamanya perkawinan, imbalan yang diperoleh oleh salah satu pihak, hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

Praktik kawin kontrak apabila dilihat dari Undang-Undang Perkawinan maka jelas sangat bertentangan dengan Pasal 2 yang mengandung syarat sah dari suatu perkawinan:

  1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Yuli Purnomosidi, S.H, M.H apabila suatu perkawinan didasarkan atas suatu perjanjian mengenai jangka waktu dari perkawinan tersebut atau yang biasa disebut dengan istilah kawin kontrak itu secara legalistik formal tidak diperbolehkan dan memang tidak dapat dibenarkan, karena berpacu kepada fakta bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga harus berpegangan pada formalitas. Oleh karena itu, sepanjang kawin kontrak tidak diatur dalam undang-undang, dalam hal ini adalah Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Menteri dan peraturan lainnya maka dapat dikatakan tidak terjadi perkawinan.[24]

Meskipun kawin kontrak tersebut dilakukan menurut Agama Islam yang berarti memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan namun keabsahan perkawinan kontrak ini tidak dapat langsung dikatakan sah menurut Agama. Hal ini dikarenakan dalam perkawinan tersebut harus diperiksa kembali apakah memang benar syarat dan rukun perkawinan secara Islam telah benar-benar dipenuhi atau tidak. Sehingga, dengan kata lain perkawinan tersebut meskipun telah memenuhi syarat namun belum dapat dikatakan sah/tidak sebelum ada pemeriksaan dari para praktisi dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.

  1. E.DAMPAK HUKUM PRAKTIK KAWIN KONTRAK

Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya. Selain itu memperoleh sebuah keturuanan (anak) yang sah guna untuk melanjutkan generasi yang akan datang yang lebih baik. Adapun praktik kawin kontrak sangat melenceng jauh dari tujuan tersebut.

Suatu perkawinan yang sah harus dilaksanakan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, agar perkawinan tersebut tercatat dan dianggap sah dihadapan hukum. Ketika seorang anak yang sudah terlanjur lahir dari hasil perkawinan tersebut, tentu akan mempunyai akibat hukum yang lain dalam sebuah perkawinan.

Akibat hukum dalam perkawinan yang sah dengan berdasar Undang-Undang mengenai anak hasil perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai kedudukan anak. Dimana diatur didalam Pasal 42 yang berbunyi:

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Kemudian Pasal 43 berbunyi:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Hal senada juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV Pasal 99 yang berbunyi bahwa:

“Anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”.

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Dalam perkawinan kontrak apabila berdasar dengan hal diatas, apabila terlahir seorang anak dari hasil perkawinan kontrak tersebut maka anak tersebut merupakan anak luar kawin, karena kawin kontrak adalah perkawinan yang tidak sah dan perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga di anggap tidak sah di mata hukum. Dimana anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari ayahnya. Dia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Singkatnya, kawin kontrak yang merupakan ikatan perkawinan tanpa legalitas dan tidak memiliki kepastian hukum, menimbulkan dampak negatif terutama kepada wanita dan anak yang dilahirkan akibat dari perkawinan kontrak tersebut. Anak yang dilahirkan dari perkawinan kontrak mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ia mirip anak yatim, diasuh, dididik, dan dibesarkan hanya oleh ibunya tanpa mengenali, merasakan asuhan, pendidikan, dan kasih sayang bapaknya.

Semua akibat yang muncul dari kawin kontrak tersebut sangat bertentangan dengan prinsip dan aturan perkawinan. Karena perkawinan menimbulkan hak-hak dan kewajiban dalam relasi hubungan suami isteri. Sementara dalam perkawinan kontrak tidak demikian.

Kawin kontrak dalam perspektif hukum Islam merupakan suatu hal yang batil atau haram. Hal ini didasarkan pada dalil naqli yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits dan pendapat ulama Mazhab. Imam al-Mazhab menyatakan bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak hukumnya adalah batil atau haram. Kawin kontrak dilakukan hanya untuk melampiaskan nafsu semata dan dibatasi oleh jangka waktu bukan untuk membangun rumah tangga yang sesuai dengan syariat Islam. Kawin kontrak dilaksanakan tanpa memenuhi rukun dan syarat perkawinan.

Dalam perspektif hukum positif Indonesia, kawin kontrak merupakan perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinan tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan melanggar asas hukum perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.

Akibat hukum kawin kontrak terhadap wanita adalah tidak dianggap sebagai sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika meninggal dunia, tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan, perkawinan kontrak tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

Akibat hukum anak yang lahir dari perkawinan kontrak adalah anak tersebut dianggap sebagai anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini sesuai dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Anak tersebut tidak mendapat pengakuan dari sang ayah serta masalah perwalian, pendidikan, dan pemeliharaan serta hak waris dari ayahnya.

Buku

Abdul Aziz Dahlan, dkk. 1997, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV, Ikhtiar Baru Van Hoeve., Jakarta

Abu Zahrah, 1967, al-Ahwal al- Syakhsiyya. Dar al- Fikr, Mesir

Alhamdani, 1989 Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Amani, Jakarta

DEPDIKBUD. 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta

Fuad Mohd. Fahruddin. 1992, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam. Pedoman Ilmu Jaya

Husaini bin Muhammad al-Damaghany. 1995, Kamus al-Qur’an an Ishah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Ilm, Beirut

Mardani, 2011, Hukum Perkawinan Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta

Mustofa Hasan, 2011, Hukum Keluarga, CV. Pustaka, Bandung

Quraish Shihab, 2005, Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Biasa dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Lentera Hati

Jurnal

Abdul Jamil Wahab, Kustini, Muchtar Ali, 2018, Fenomena Kawin Kontrak dan Prostitusi ‘Dawar” di Kawasan Puncak Bogor, Jurnal Al Qalam, Vol. 35, No.01

Mugiati, 2012, Kedudukan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (studi Kasus di Cisarua – Jawa Barat), Jurnal Constitum, Vol. 12, No. 1

Muhyidin, Navanya Gabriel Cuaca, 2020, Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris, Jurnal Diponegoro Private Law Review, Vol. 7, No. 1

Mutiara Citra, 2016, Tinjauan Yuridis Terhadap Kawin Kontrak Dalam Perspektif Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, Jurnal JOM Fakultas Hukum, Vol. III, No.1

Shafra, 2010, Nikah Kontrak Menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia, Jurnal Marwah, Vol. IX, No. 1

Siti Sarah Maripah, 2016, Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Bogor, Jurnal Sosietas, Vol. 6, No.2

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

*Ketua Pengadilan Agama Cianjur Kelas IB

[1] Abdul Jamil Wahab, Kustini, Muchtar Ali, Fenomena Kawin Kontrak dan Prostitusi ‘Dawar” di Kawasan Puncak Bogor, Jurnal Al Qalam, Vol. 35, No.01, Januari-Juni 2018, hlm. 128.

[2] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

[3] Siti Sarah Maripah, Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Bogor, Jurnal Sosietas, Vol. 6, No.2, September 2016, hlm. 2.

[4] Sahfra, Nikah Kontrak Menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia, Jurnal Marwah, Vol. IX, No. 1, Juni 2010, hlm. 16.

[5] Mustofa Hasan, Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka, 2011), hlm. 9.

[6] Ibid, hlm. 10.

[7] Abu Zahrah. al-Ahwal al- Syakhsiyya. (Mesir: Dar al- Fikr, 1967), hlm. 18

[8] Husaini bin Muhammad al-Damaghany. Kamus al-Qur’an an Ishah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Ilm, 1985), hlm. 12

[9] DEPDIKBUD. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 677

[10] Fuad Mohd. Fahruddin. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992) hlm. 70

[11] Quraish Shihab, Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Biasa dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 189

[12] Oleh karena pernikahan ini dicirikan dengan penentuan waktu dan sejumlah uang, maka pernikahan model ini kemudian dikenal juga dengan nama nikah kontrak. Istilah inilah yang dikenal di Indonesia. Istilah lainnya adalah nikah wisata atau nikah musiman. Karena kecenderungan terjadinya nikah kontrak ini musiman pada waktu-waktu tertentu

[13] Mutiara Citra, Tinjauan Yuridis Terhadap Kawin Kontrak Dalam Perspektif Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, Jurnal JOM Fakultas Hukum, Vol. III, No.1, Februari 2016, hlm. 3.

[14] Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 15.

[15] Mutiara Citra, op.cit, hlm. 11.

[16] Lihat pendapat Syaikh Abdurrahman al Juzairy dalam Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah halaman 90-93 Juz 4, terbitan Daar el Fikr. Di dalam kitab tersebut hanya pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan, itu pun dengan beberapa alasan dan persyaratan yang sangat ketat. Selain itu juga bisa dilihat pada kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V halaman 71, Fatawi Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II halaman 7, kitab Rahmatul Ummah halaman 21, I’anatuth Thalibin juz III halaman 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II halaman 113, dan As-Syarwani 'alat Tuhfah juz Vll halaman 224

[17] Shafra, op.cit. hlm. 17.

[18] Abdul Aziz Dahlan, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), hlm. 1345

[19] Pengharaman nikah mut’ah oleh Umar ibn al-Khattab merupakan salah satu dari ijtihad Umar. Penjelasan tentang hal ini secara terperinci dapat dilihat dalam Fiqh Umar Ibn Khattab Muwasinan bi Fiqh ashuri al-Mujtahidin. yang dikarang oleh Ruway ibn Rajih al-Ruhaili. 1994. Alih bahasa Abbas M.B. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. hlm. 90-104

[20] Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 36.

[21] Mardani, op.cit, hlm. 16.

[22] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

[23] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hlm. 93.

[24] Muhyidin, Navanya Gabriel Cuaca, Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris, Jurnal Diponegoro Private Law Review, Vol. 7, No. 1, Februari 2020, hlm. 738.