Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifah ardh

Manusia diciptakan Allah SWT di muka bumi sebagai khalifah. Tugas utamanya selaian menyembah dan beribadah kepada Allah SWT adalah menjaga dan melestarikan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT berupa bumi dan isinya, juga menjaga ketertiban kehidupan di atasnya dan memakmurkannya. Manusia diberi kehidupan di atas bumi tidak sekedar untuk menikmati fasilitas yang telah Allah berikan.

Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifah ardh

Allah memberikan fasilitas kepada manusia dalam kehidupan di bumi ini dalam jumlah yang tak terhingga. Allah berikan udara, air, api, tanah, tanaman yang bermilyar ragamnya, lautan yang di dalamnya bermilyar-milyar hewan yang dapat dikonsumsi manusia, dan bermilyar-milyar pemberian Allah SWT yang tidak mungkin dapat dirinci oleh manusia.هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا“Dialah Allah yang telah menciptakan untuk kalian semua yang ada di bumi. (QS. Al-Baqarah: 26)(وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ الله لا تُحْصُوهَا) [سورة إبراهيم: 34 ، وسورة النحل : 18].Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, maka pasti kalian tidak dapat menghitungnya. (QS. Ibrahim: 34)Semua fasilitas itu disediakan Allah SWT untuk manusia, namun bukan berarti manusia menggunakannya tanpa aturan. Sebab jika fasilitas Allah SWT tersebut tidak dijaga kelestariannya, maka akan menimbulkan kerusakan di atas bumi dan menimbulkan bencana bagi umat manusia itu sendiri. Sebagai contoh, Allah SWT berikan tumbuhan-tumbuhan sebagai bahan makanan bagi umat manusia, tetapi jika manusia tidak dapat mengaturnya maka bahan makanan itu tidak akan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Akibatnya terjadi krisis pangan dunia. Indikasi kearah itupun kini sudah ada, seperti terjadinya kelaparan di beberapa Negara Afrika dan bahkan di Negara-negara yang konon katanya menjadi sentra pangan, serta terjadinya lonjakan harga pangan yang disebabkan ketidakseimbangan produksi pangan dan kebutuhan pangan dunia. Tentu fenomena ini akan semakin memburuk, jika manusia terus memperluas areal hidup (space for life) dengan menebangi hutan dan merubah persawahan menjadi perkotaan atau industry, dan jumlah penduduk dunia tidak dikendalikan.Misalnya juga dalam masalah pendayagunaan minyak bumi. Allah SWT berikan minyak yang berlimpah ruah di dalam perut bumi, kesemuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia akan bahan bakar. Namun jika manusia serakah dengan mengeksploitasi kekayaan minyak di dalam perut bumi tanpa kendali, maka persediaan minyak dalam perut bumi bisa berkurang dan anak cucu kita tidak bisa menikmatinya. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan akibat pengeboran minyak di mana-mana. Contoh yang ada di depan mata kita adalah luapan lumpur di Sidoardjo. Ratusan rumah warga terendam luapan lumpur yang muncul sebagai akibat pengeboran yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan.Juga, keserakahan manusia terhadap pemberian Allah swt berupa hutan. Allah menciptakan hutan bukan sekedar melengkapi keindahan bumi-nya, namun ada fungsi yang sangat penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi diantaranya adalah sebagai penghasil oksigen bagi kehidupan, penyerap karbon dioksida, dan mencegah erosi. Namun demikian seringkali manusia berbuat serakah. Hutan yang sudah diberikan Allah dengan fungsi yang sangat penting itu dirusak, ditebang secara liar dan membabi buta. Akibatnya kebakaran hutan, banjir bandang dan pencemaran lingkungan yang tidak terkendali. Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan itu. Selama 1985-1997, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta hektar. Artinya, rata-rata mencapai 1,6 juta hektar per tahun.Semua fenomena di atas menjadi indicator bahwa Allah SWT memberikan semua fasilitas itu kepada manusia tidak tanpa konsekuensi. Karena itu, jika manusia ingin pemberian Allah SWT itu menjadi berkah dan dapat dinikmati juga oleh anak cucu kita, maka manusia harus melestarikan semua pemberian Allah SWT, bukan sekedar menikmati apalagi dengan keserakahan.Di sinilah, Allah SWT menciptakan manusia dengan misi membawa kebaikan di muka bumi ini. Manusia diberi tugas untuk mengatur dan melestarikan fasilitas-fasilitas Allah SWT di muka bumi ini. Karena itu manusia diberi gelar oleh Allah SWT “Khalifah fil Ardl”. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk ciptaanAllah lainnya, karena manusia diberi kelebihan untuk dapat berpikir, karena itu Allah mempercayakan manusia sebagai khalifah di bumi ini.Pada saat Allah akan menciptakan manusia, Allah SWT mengatakannya terlebih dahulu dan mengumumkan bahwa makhluk ciptaan-Nya itu akan menjadi khalifah di muka bumi. Mal’aikat pun protes khawatir makhluk ciptaan-Nya itu akan kembali membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Malaikat trauma sebelumnya Allah telah menempatkan makhluk-Nya di atas bumi dan di bumi hanya membuat kerusakan dan pertumpahan darah. Terhadap kekhawatiran Malaikat, Allah SWT menjawab dengan tegas, “Sesungguhnya Aku lebih tahu apa-apa yang tidak kamu ketahui.”. Kisah ini terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30 berikut:وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (Qs. al-Baqarah : 30)Ayat di atas mengandung pengertian bahwa malaikat khawatir makhluk baru yang akan diciptakan Allah tidak ada bedanya dengan penghuni lama yang membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Atas kekhawatiran Malaikat ini, Allah SWT memberikan jawaban yang diplomatis, Allah tidak mengiyakan dan tidak juga menolak kekhawatiran Malaikat. Yang jelas dengan jawaban Allah, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” menggambarkan Allah memiliki scenario yang saat itu belum dibeberkan kepada Malaikat. Skenario itu kini telah ditunjukkan bahwa adanya kebaikan dan keburukan di muka bumi merupakan dinamika kehidupan manusia. Dengan itu, kehidupan di dunia bisa berjalan dan kehidupan manusia itu sendiri menjadi bermakna. Manusia diberi akal pikiran yang artinya mansuai juga disurung mendesign kehidupannya di bumi ini. Baik buruknya kehidupan di bumi Allah serahkan kepada manusia untuk mengaturnya. Allah telah membekali manusia dengan akal pikiran serta para Nabi dan kitab sucinya. Masa depan kehidupan umat manusia Allah serahkan kepada manusia sendiri;إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْSesungguhnya Allah SWT tidak merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu mau merubah nasibnya sendiri.Keterkaitan penunjukkan manusia sebagai khalifah fil ard dan nasib manusia yang diserahkan kepada manusia sendiri adalah bahwa kebaikan dan keburukan dunia tergantung bagaimana manusia sebagai khalifah fil ardh melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak.

Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifah ardh
Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifah ardh

Manusia sebagai khalifah fil ardh

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Oleh karenanya, manusia diamanahi Allah untuk memegang kepemimpinan di muka bumi (khalifah fil ardh). Begitu mulianya manusia hingga makhluk lain pun tak mampu memegang amanah tersebut karena beban pikulannya terlalu berat. Begitu bodohnya manusia karena mau menanggung amanah tersebut. Namun, Allah mempercayakan tersebut karena melihat kapasitas manusia yang memang sanggup, dengan catatan hanya kepada orang-orang yang saleh.

Kata yang bermakna saleh terdapat dalam Al-Quran sebanyak 124 kali dengan penyebutan secara mufrad shalih atau jamak shalihiin/shalihaat. Salah satunya tertera dalam surah Al-Anbiya ayat 105. Dalam ayat ini disinggung mengenai saleh dan kaitannya dengan tanggung jawab manusia. Lalu apakah yang dimaksud sebagai saleh? Berikut penjelasannya!

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Tafsir Surat al-Anbiya’ Ayat 105

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِن بَعْدِ ٱلذِّكْرِ أَنَّ ٱلْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّٰلِحُونَ

“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”

Tafsiran ayat tersebut menurut Tafsir Al-Wajiz milik Wahbah Zuhayli adalah keterangan Allah bahwasannya takdir atau ketetapan yang tertera dalam buku induk Lauh Mahfudz juga diwahyukan dalam kitab-kitab-Nya seperti Zabur. Kitab-kitab yang dimaksud bukan hanya Zabur, melainkan juga Taurat, Injil, Al-Quran, dan suhuf-suhuf yang lain.

Ketetapan yang Allah maksud menurut Zuhayli mengandung dua kemungkinan. Pertama adalah bahwa orang-orang yang salehlah yang mempusakai surga. Mereka yang menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya akan mewarisi dan menghuni surga yang penuh kenikmatan. Kemungkinan kedua bermakna ketetapan menjadi khalifah di muka bumi. Allah mendudukkan orang-orang saleh sebagai penguasa bumi dan menetapkan mereka sebagai pemiliknya.

Baca juga: Makna Khalifah dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

Dua kemungkinan yang disampaikan Zuhayli mengenai makna obyek yang diwariskan kepada orang-orang saleh memang saling dikukuhkan oleh para mufassir. Ibnu Katsir dalam tafsir al-Quran al’Adhim memilih pendapat pertama dalam menafsirkan “ardh”, yaitu sebagai surga. Argumentasi Ibnu Katsir ini mengutip dari riwayat Ibnu Abbas bahwa orang-orang yang saleh tersebut akan mendapatkan balasan berupa bumi surga. Sedangkan mufassir seperti Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn dan Buya Hamka dalam Tafsir Azhar lebih condong menafsirkan lafadz “ardh” sebagai bumi di alam dunia. Orang-orang saleh tersebut adalah khalifah yang mewarisi dunia ini dan menjalankan tugas-tugasnya di bumi tanpa penuh kemungkaran.

Makna saleh secara total

Dalam menafsirkan ayat tersebut, mufassir asal Mesir Mutawalli As-Sya’rawi melalui Tafsir As-Sya’rawi memilih penggunaan orang-orang saleh sebagai khalifah di bumi. Menurut As-Sya’rawi, di bumi ini terdapat orang-orang saleh yang ditugaskan Allah untuk mengatur dan mengelola bumi. As-Sya’rawi lebih jauh menjelaskan bahwa yang dimaksud orang-orang saleh tersebut tidak hanya terkhusus kepada orang Islam.

Tugas yang dibebankan kepada sang khalifah fil ard mencakup semua sisi kesalehan secara total. Lalu apakah yang dimaksud dengan saleh secara total bagi seorang khalifah fil ardh? Pendapat As-Sya’rawi lagi-lagi dapat menjadi rujukan mengenai hal tersebut. As-Sya’rawi membagi definisi saleh menjadi dua jenis, yaitu saleh duniawi dan saleh ukhrawi.

Saleh duniawi adalah orang yang mempunyai kepribadian baik. Ia sama sekali tidak merugikan masyarakat di manapun ia berada, justru malah menebar manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Saleh yang seperti ini telah menjadi kesepakatan universal. Sebuah kode etik yang wajib berlaku di dunia tak pandang agama, da nasal negara. Sedangkan saleh kedua yaitu ukhrawi, menurut as-Sya’rawi adalah kebaikan yang didasarkan atas ketakwaan kepada Allah. Kebaikan-kebaikan yang ia lakukan bukan hanya berdasar etika semata, melainkan atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah. Karena bentuk implikasi kepada Allah adalah tuntutan untuk berbuat baik kepada sesama.

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Mengenai makna kesalehan KH. Ahmad Musthofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus juga mmberikan penjelasan dalam bukunya “Saleh Ritual, Saleh Sosial”. Seperti dalam judul bukunya, Gus Mus memaknai saleh sebagai saleh ritual dan saleh sosial. Yang dimaksud saleh ritual yaitu orang-orang yang melakukan ritual-ritual ibadhah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran dan lain-lain. Sedangkan yang dinamakan saleh sosial yaitu mereka yang melakukan kebajikan-kebajikan di muka bumi seperti menolong yang miskin, membela yang tertindas dan menebar kemanfaatan bagi yang lain.

Dalam pemikirannya Gus Mus menganjurkan untuk memadukan dua kesalehan tersebut. Saleh ritual atau individu ini harus dibaengi dengan saleh sosial. Internalisasi kedua kesalehan yang Gus Mus ajukan juga turut mendukung harapan perpaduan antara saleh duniawi dan saleh ukrawi yang diklasifikasikan As-Sya’rawi. Orang tidak boleh hanya bersifat saleh ritual saja, ia akan menjadi egois. Orang yang seperti itu tidak akan bisa menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah fil ardh yang telah diamanahkan Allah kepadanya. Begitu pula ketika seseorang melakukan saleh sosial maupun saleh duniawi, orang tersebut akan menjadi seorang hamba yang sempurna ketika turut menjalankan saleh ukhrawi. Kesalehan secara total dimaknai apabila manusia menjalankan prinsip hubungan dengan Allah (hablun minallah), hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas), dan hubungan baik dengan alam (hablun minal ‘alam).

Wallahu a’lam[]