Apa yang dimaksud dengan kehendak bebas yang bertanggung jawab

Allah dalam diri-Nya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas (KGK 1). Namun, demikian secara bebas, Dia menciptakan makhluk berakal budi – yaitu malaikat dan manusia – seturut dengan gambarnya (Kej 1:27), yaitu dengan memberikan kepada mereka kehendak bebas (free will). Kehendak bebas ini adalah merupakan kekuatan dari kehendak yang mengalir dari akal budi, sehingga manusia dapat “melakukan” atau “tidak melakukan”, “memilih ini” atau “memilih itu”. (KGK 1731) Dari definisi ini, maka memang dengan kehendak bebasnya, manusia dapat menolak Allah atau memberikan diri secara bebas kepada Allah. Namun, kalau sampai seseorang salah dalam menggunakan kehendak bebasnya, maka hal ini tentu bukan kesalahan Allah, melainkan tanggung jawab orang tersebut, yang tidak mampu menggunakan kehendak bebasnya secara bertanggungjawab.

Dengan kehendak bebas ini, Allah sungguh menghargai manusia, sehingga manusia dapat secara bebas untuk masuk dalam hubungan pribadi dengan Allah. Masuk dalam hubungan pribadi dengan Allah, yang adalah menjadi tujuan akhir manusia, sesungguhnya mensyaratkan pemberian diri secara bebas (KGK 1730). Hal ini sama seperti seorang wanita, yang harus memberikan diri secara sukarela tanpa paksaan kepada pria dalam hubungan perkawinan. Dan hal ini hanya mungkin terjadi, kalau manusia mempunyai kehendak bebas. Jadi, kehendak bebas adalah pemberian Allah yang sungguh berharga bagi manusia, dan sungguh baik, karena dengannya, manusia dapat dihargai sebagai sebuah pribadi, yang mampu masuk dalam hubungan antar pribadi secara bebas, mampu memberikan diri secara bebas, dan sampai akhirnya memperoleh kebahagiaan dalam persatuan dengan Allah Tritunggal Maha Kudus.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkannya demikian:

KGK 1 : Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas. Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat karena kebaikan semata-mata, Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia itu dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari-Nya, untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala kekuatannya. Ia memanggil semua manusia yang sudah tercerai-berai satu dari yang lain oleh dosa ke dalam kesatuan keluarga-Nya, Gereja. Ia melakukan seluruh usaha itu dengan perantaraan Putera-Nya, yang telah Ia utus sebagai Penebus dan Juru Selamat, ketika genap waktunya. Dalam Dia dan oleh Dia Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-anak-Nya dalam Roh Kudus, dan dengan demikian mewarisi kehidupan-Nya yang bahagia.

KGK 311 : Para malaikat dan manusia, ciptaan yang berakal budi dan bebas, harus menyongsong tujuannya terakhir dengan kehendak bebas dan mengutamakan tujuan itu karena cinta. Karena itu mereka juga dapat menyimpang dari jalan dan dalam kenyataannya sudah berdosa. Demikianlah kejahatan moral, yang jauh lebih buruk daripada kebobrokan fisik, masuk ke dalam dunia. Bagaimanapun juga, baik langsung maupun tidak langsung, Allah bukanlah sebab kejahatan moral (bdk. Agustinus, lib. 1,1,1; Tomas Aqu. s.th. 1-2,79,1). Namun Ia membiarkannya terjadi karena Ia menghormati kebebasan makhluk-Nya, dan dengan cara yang penuh rahasia Ia tahu menghasilkan yang baik darinya:
“Allah yang maha kuasa… dalam kebaikan-Nya yang tak terbatas tidak mungkin membiarkan kejahatan apa pun berada dalam karya-Nya, kalau Ia tidak begitu maha kuasa dan baik, sehingga Ia juga mampu mengambil kebaikan dari kejahatan” (Agustinus, enchir. 11,3).

KGK 1730 : Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segaIa perbuatannya. “Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri” (Sir 15:14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan” (GS 17). “Manusia itu berakal budi dan karena ia citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya” (Ireneus, haer. 4,4,3).

KGK 1731 : Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri sendiri. Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan. Kebebasan itu baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan kepada Allah, kebahagiaan kita.

KGK 1742 : Kemerdekaan dan rahmat. Rahmat Kristus sama sekali tidak membatasi kemerdekaan kita, jikalau kemerdekaan ini sesuai dengan cita rasa kebenaran dan kebaikan, yang Allah telah letakkan di dalam hati manusia. Pengalaman Kristen membuktikan yang sebaliknya terutama dalam doa: semakin kita mengikuti dorongan rahmat, maka kemerdekaan batin kita dan ketabahan kita dalam percobaan serta dalam menghadapi tekanan dan paksaan dari dunia luar akan semakin bertambah. Melalui karya rahmat, Roh Kudus mendidik kita menuju kemerdekaan rohani, supaya menjadikan kita rekan kerja yang bebas dari karya-Nya dalam Gereja dan dunia.
“Bapa yang mahakuasa dan maharahim,… singkirkanlah segaIa sesuatu yang merintangi kebahagiaan kami, dan jauhkanlah apa yang membebani jiwa dan raga kami, sehingga dengan tulus ikhlas kami melaksanakan kehendak-Mu” (Doa pembukaan, Hari Minggu 32).

KGK 1745 : Kebebasan mewarnai perbuatan yang sungguh manusiawi. Ia menjadikan manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dikerjakan dengan kehendak bebas. Perbuatan-perbuatan yang dikehendaki manusia, tetap dimilikinya.

Pertanyaan

Apa yang dimaksud dengan kehendak bebas yang bertanggung jawab

Jawaban

Kalau “kehendak bebas” yang didefinisikan sebagai: Allah memberi manusia kesempatan untuk membuat pilihan yang betul-betul mempengaruhi nasib mereka, maka, ya, manusia benar-benar memiliki kehendak bebas. Status dosa dunia berhubungan langsung dengan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa. Semua kisah kejatuhan manusia mengindikasikan bahwa itu adalah akibat dari pilihan yang salah. Mulai dari titik itu, dan seterusnya, manusia memiliki kesempatan untuk memilih mengikuti Allah dan mengalami konsekuensi dari kehendaknya untuk tidak memilih itu. Bahkan dalam terang pemilihan Allah akan Abraham dan keturunannya, Allah mengharuskan setiap orang bertanggung jawab untuk pilihan mereka. Dalam Perjanjian Lama, orang-orang yang berada di luar bangsa pilihan (Israel) dapat memilih untuk percaya dan mengikuti Allah (misalnya: orang-orang bukan Israel yang ikut bersama dengan bangsa Israel pada saat mereka keluar dari Mesir, Rut, Rahab). Oleh karena itu, Dia yang memilih, juga mengizinkan individu-individu untuk memilih. Kitab Roma terkenal dengan penjelasan akan keselamatan dan kedaulatan Allah. Kitab ini menggunakan kata-kata seperti “memilih,” “menentukan,” menetapkan,” dll., namun juga meminta orang-orang bertanggung jawab ketika tidak memilih. Dalam bagian di mana kitab Roma membicarakan kejatuhan manusia dalam dosa, Allah secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka yang berada di luar keselamatan tidak dapat “berdalih.” Terutama mengenai penolakan terhadap wahyu umum, di mana Allah telah memperlihatkan keberadaanNya melalui ciptaan-Nya, yaitu seisi alam semesta ini (Roma 1:20-21). Dalam bagian-bagian lainnya kita belajar bahwa: (1) Setiap pribadi diminta memilih untuk percaya (Yohanes 3:16; Roma 10:11; dll). (2) Alkitab diberikan supaya ia bisa menyediakan pedoman bagi keselamatan – jelaslah supaya untuk dipilih atau ditolak (2 Timotius 3:15; Yohanes 20:30-31). (3) Yesus menetapkan bahwa memilih untuk taat adalah tanda dari kasih kita kepada-Nya (Yohanes 14:21). Menjadi kehendak Allah bahwa tidak seorang pun menjadi binasa (2 Petrus 3:9), dan karenanya, pilihan orang itulah yang memisahkan dia dari Allah. Allah mengatakan bahwa kita akan memanen apa yang kita tabur – tapi kita juga bisa memilih untuk memanen buah yang berbeda (Galatia 6:7-8). Berbagai petunjuk yang diberikan Allah itu berdasarkan anggapan bahwa para pendengarnya dapat memilih taat atau tidak. Barulah masuk akal ketika Allah menuntut pertanggungjawaban kita, hanya kalau kita memiliki kehendak bebas untuk memilih. Karena itu, Allah yang adil tidak akan menyatakan harapan pada mereka yang tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Tidak adil bagi Allah menghukum mereka yang tidak punya pilihan dalam perbuatan mereka. Allah, dalam kedaulatan-Nya yang mutlak, menciptakan umat manusia dengan kemampuan untuk memilih dengan bebas dan sesungguhnya.

English


Kembali ke halaman utama dalam Bahasa Indonesia

Apakah manusia benar-benar memiliki kehendak bebas?

Bebas dan Bertanggungjawab

Apa yang terlintas di benak kamu ketika mendengar atau membaca kata “BEBAS”? Pasti akan begitu banyak definisi. Jika terbesit kata “BEBAS” di otak, akan membuat kita teringat dua kata yaitu, “tidak terikat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bebas dapat diartikan sebagai;

  1. lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa),
  2. lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb),
  3. tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb),
  4. tidak terikat atau terbatas oleh aturan dsb;
  5. merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing),
  6. tidak terdapat (didapati) lagi.

Di dalam Alkitab dengan naskah asli yang ditulis dalam bahasa Ibrani, kata yang dipakai untuk kebebasan adalah ἐλευθερίαν (dibaca: Eleuterian) yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi Freedom atau Liberty. Kata Eleuterian ini muncul beberapa kali di dalam Alkitab, yaitu: Roma 8:21, 1 Korintus 10:29, 2 Korintus 3:17, Galatia 2:4, Galatia 5:1 dan 13, Yakobus 1:25, Yakobus 2:12, 1 Petrus 2:16, 2 Petrus 2:19.

Umumnya setiap manusia memiliki keinginan untuk bebas. Bahkan manusia akan cenderung tertekan jika dirasa kebebasannya direnggut oleh pihak lain. Ungkapan yang mungkin sering kita dengar “bebas bukan berarti tanpa batas”. Kita boleh bebas sesuka hati melakukan semua hal, tapi sejatinya kita harus ingat bahwasanya kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Salah satu fenomena yang bisa kita jadikan bahan refleksi yaitu kejadian lampu merah di jalanan. Jika dari setiap arah, orang-orang bebas sesuka hati menggunakan jalanan itu, lalu apa yang akan terjadi? Tanpa lampu merah, banyak kemungkinan yang akan terjadi bukan? Misalkan saja, semua pihak berebut untuk menyebrang duluan. Apa yang akan terjadi? Bisa dibayangkan, berapa puluh korban lalu lintas? Kemungkinan lain, tidak ada satu pun yang berani menyebrang karena takut dithantam atau ditabrak oleh pihak lain. Betapa sepinya jalanan itu jika ini terjadi? Dan hal tersebut pastinya memiliki banyak kemungkinan lain jika terjadi. Di sinilah terlihat bahwa sebenarnya kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Menurut seorang filsuf John S. Mill, kebebasan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan kekuasaan individu, dan kebebasan kekuasaan orang lain. Kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan ini bersumber pada hati nurani yaitu, kebebasan untuk berpikir dan merasakan. Kebebasan ini memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berpendapat dan bermoral. Kemudian kedua adalah kebebasan kekuasaan individu, kebebasan ini mengindikasikan bahwa setiap individu bebas membawa dirinya ke pilihannya sendiri. Hal ini berarti mengimplikasikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Lalu, ketiga adalah kebebasan kekuasaan orang lain, dalam kasus ini kita harus sadar bahwa kita sebagai makhluk sosial akan terus berinteraksi dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan. Oleh karena itu, setiap individu juga memiliki pertanggungjawaban secara kolektif.

Coba bayangkan bila setiap manusia mementingkan egonya masing-masing. Ketika berbicara, setiap orang menggebu-gebu ingin pendapatnya didengarkan, tapi kenyataannya? Tidak semua bersedia mendengarkan. Banyak yang berebut dan memaksakan kehendak dan ide-idenya. Silakan ditebak kira-kira apa yang akan terjadi? Di saat-saat seperti ini lah, perlu diberlakukan sebuah peraturan. Peraturan di sini bukan untuk semata-mata menekan kebebasan, melainkan bertujuan mengatur kebebasan untuk kepentingan bersama. Walaupun sebenarnya, ada beberapa pihak yang dirugikan kebebasannya. Pastinya hal ini akan terjadi dan tidak semua orang sesuai dengan yang dinginkannya. Mungkin di antara kita juga sering mendengar kalimat ini, “Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang karena dunia memang seperti itu.” Setiap orang pastinya ingin berjalan sesuai rencananya dan dengan demikian mereka akan merasa puas, tapi kita tidak bisa seperti itu, karena kita bukanlah alat pemuas. Pasti ada hal-hal yang akan dikorbankan untuk kepentingan lain yang lebih diprioritaskan. Di sinilah seharusnya peraturan berperan untuk menyelaraskan kebebasan bersama.

Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Prinsip ini mempertimbangkan pemahaman bahwa kebebasan itu tidak pernah absolut. Batas dari kebebasan adalah tanggung jawab itu sendiri. Selama berpegang pada prinsip tersebut, kemerdekaan atau kebebasan tidak akan berubah menjadi sikap semaunya sendiri.

Kebebasan selalu satu paket dengan tanggung jawab. Kekristenan pun berpegang pada prinsip tersebut. Kebebasan, dalam kekristenan, merujuk pada kemerdekaan yang sejati, karena Kristus telah memerdekakan (Galatia 5:1). Kemerdekaan atau kebebasan ini tidak lain merujuk pada kondisi orang percaya yang terlepas dari perangkap dosa. Ia merupakan anugerah terbesar yang tidak boleh dipandang sebelah mata.

Sebagai penerima anugerah yang begitu mulia, orang percaya punya tanggung jawab supaya tidak menggunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa (Galatia15:13). Tanggung jawab tersebut akan selalu mempertimbangkan dua hal, yaitu berguna dan membangun (1Kor. 10:23), sebagai acuan dalam mempergunakan kemerdekaan secara bijak. Hal ini menjadi penting lantaran kelak orang percaya harus mempertanggungjawabkan kebebasannya di hadapan Tuhan.

Firman Tuhan berkata: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku… kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh 8:31,32). Dalam ayat ini, kita melihat suatu pandangan dari Tuhan kita Yesus Kristus tentang arti sebuah kebebasan atau kemerdekaan. “Jika kamu tetap dalam firman-Ku” menyiratkan suatu hukum atau aturan atau pedoman. Firman Tuhan adalah suatu hukum yang harus diikuti. Tetapi hukum ini bukan dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan kita. Justru hukum yang ditetapkan oleh Tuhan dimaksudkan agar kita dapat benar-benar hidup dalam kebebasan yang sejati.

Pada umumnya, orang memandang negatif suatu hukum atau aturan. Tapi Firman Tuhan memberi kesaksian bahwa hanya dengan tetap tinggal di dalam aturan-aturan Firman Tuhan, kita dapat sampai pada kebebasan yang kita idam-idamkan itu. Dan kebebasan ini bukanlah kebebasan yang kelak akan menjerat kita dalam kesulitan, tetapi kebebasan yang benar-benar membawa kita pada arti sebuah hidup yang sejati. Sebuah hidup yang benar-benar dapat dinikmati kini dan kemudian.Orang yang menolak aturan atau ajaran atau hukum di dalam Firman Tuhan, sedang memintal bagi dirinya sendiri suatu jerat yang mematikan dikemudian hari.

Bebas dan bertanggung jawab bagaikan dua sisi dari sekeping uang logam. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Kebebasan yang melekat pada diri orang percaya tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab untuk menjaga kekudusan dalam hidupnya. Anugerah Tuhanlah yang menjadi alasannya.

Bagaimana dengan sahabat Revivo, apakah makna kebebasan bagimu sudah tepat dan memiliki tanggunggjawab?

Tags: batinih bebas bertanggung jawab ego kebebasan