Apa saja pesan yang terdapat pada kampung adat di Jawa Barat

Apa saja pesan yang terdapat pada kampung adat di Jawa Barat

ilustrasi kampung adat Sunda |instagram.com/Febri_180204

Sahabat Kompasianer, pernahkah anda berkunjung ke salah satu kampung adat yang ada di daerah Jawa Barat. Jika, ya maka selamat. Karena, anda telah melihat dan menyaksikan sebuah pesona kesederhanaan, dan arsitektur rumah yang unik, bertema kearifan lokal. So, apa yang kamu rasakan, setelah berkunjung ke tempat tersebut? suasana seperti apa yang tersimpan dalam memori anda, saat terbawa pulang ke rumah? Jika belum, yuk mari berkunjung dan melihat-lihat pesona 7 kampung adat Sunda berikut ini.



Sebuah kampung adat dibangun oleh komunitas masyarakat adat yang bermukim di wilayah kampung adat tersebut. Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa kampung adat adalah komunitas tradisional yang terletak pada sebuah wilayah tertentu, fokus pada fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dikelola oleh masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atau mengurus wilayahnya, memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun, dan memiliki keterikatan hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup tempat tinggalnya. 

Ada beberapa alasan mengapa kampung adat dibangun di sebuah wilayah di Jawa Barat, berikut beberapa alasannya, saya rangkumkan untuk anda.

1. Kampung adat memiliki fungsi untuk menjaga adat dan budaya masyarakat adat, agar tidak hilang tergerus oleh jaman yang semakin pesat dan berkembang. Selain itu, kampung adat juga menjadi wadah pusat yang merangkul budaya-budaya dan adat yang ada di daerah-daerah terpencil.

2. Kampung adat merupakan tempat tinggal yang nyaman dan terlindungi bagi masyarakat yang masih menganut kepercayaan nenek moyang, seperti animisme dan dinamisme. Dengan tinggal di kampung adat, masyarakat tersebut akan merasa aman, bebas dari gunjingan masyarakat lain karena keyakinannya yang berbeda.

3. Kampung adat adalah sebagai sebuah aset budaya, memperkaya khazanah kebudayaan yang patut untuk dilestarikan.

4. Sebagai alat dan bukti pewarisan budaya, dari nenek moyang (karuhun) secara turun-temurun kepada generasi berikutnya.


Ada 8 kampung adat yang dikenal oleh masyarakat Jawa Barat. Meski sebenarnya, data ini belum final. Karena, masih ada kampung adat yang belum terdata oleh pemerintah. Hal ini, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : keterbatasan akses, masih tertutupnya masyarakat adat di kampung adat tersebut, dan aturan kampung adat yang melarang untuk dipublikasikan. Berikut adalah pesona 7 kampung adat tersebut, saya rangkum dari berbagai sumber.

1. Kampung Naga

Dilansir dari Tempo.com. Kampung naga yang terletak di desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya memiliki beberapa potensi kearifan lokal, pesona arsitektur bangunan, dan kekayaan keindahan lingkungan yang masih asri dan terjaga. Potensi tersebut diantaranya : masyarakat kampung naga selalu menghormati dan menjaga alam sekitar, hal ini terbukti dari adanya hutan larangan. Masyarakat kampung naga bahkan siapa pun dilarang atau pamali untuk mengusik hutan tersebut. Bahkan, dari dulu hingga sekarang, hutan tersebut tetap terjaga keasriannya. 

Seluruh masyarakat di kampung Naga patuh pada pesan para leluhurnya, dengan cara hidup sederhana, rukun, memegang teguh adat, menjaga alam dan lingkungan sekitar. Kampung Naga juga memiliki kesenian tradisional, yakni terbang Gembrung, terbang sejak, dan angklung. Tiga kesenian tersebut selalu ditampilkan dalam acara-acara adat, dan hari-hari besar agama Islam. Dari sini terbukti bahwa masyarakat adat Kampung Naga memiliki sinergi dengan agama Islam. Dilihat dari sistem religi dan kepercayaannya, mayoritas masyarakat Kampung Naga memang beragama Islam.

Bentuk dan konstruksi bangunan adalah pesona unik yang akan menyapa, saat anda berkunjung ke Kampung Naga. Ornamen rumah yang dirancang secara khusus berbentuk empat persegi panjang. Tampak seragam, dengan bahan, potongan bangunan, dan arah menghadap. Anda akan menjumpai 113 unit bangunan di sini. 110 untuk bangunan tempat tinggal. Tiga sisanya adalah balai pertemuan, lumbung padi, dan masjid. Rumah-rumah dibangun secara sejajar dan berderet rapih, dengan jarak beberapa meter saja. 

Tahukah, anda apa kearifan lokal yang terdapat pada arsitektur bangunan rumah adat Kampung Naga? Ya, itulah dia. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat rumah, semuanya berasal dari alam. Lihat saja, ada kayu, bambu, daun nipah, ijuk atau alang-alang, dan batu untuk tatapakan atau penopang alas rumah panggung. 

Meski didesain secara sederhana, namun rumah-rumah di sini tertata apik, teratur, dan sehat. Karena, sirkulasi udara dan cahaya cukup baik dan leluasa masuk ke dalam rumah. Nyaman banget untuk rebahan dan leyeh-leyeh, sambil menikmati hembusan angin yang sejuk. Pola interior ruangan dibagi ke dalam dua bagian.  Pertama untuk ruang tengah atau ruang keluarga. Bagian kedua, untuk kamar, dapur, dan kamar mandi. So, jangan khawatir, ya. Untuk urusan mandi, BAB, dan BAK, aman. 


ilustrasi Kampung Naga |instagram.com/kampungnaga

2. Kampung Adat Ciptagelar

Jika sahabat Kompasianer ke Sukabumi, sempatkanlah untuk mampir ke Kampung Adat Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar, begitu masyarakat menyebutnya, berada di kaki gunung Halimun-Salak, masuk ke dalam wilayah administrasi kampung Sukamulya, desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh seorang kepala adat, bernama Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. 

Di sini, anda akan disuguhi pemandangan ornamen rumah panggung yang populer dengan ketahanannya terhadap gempa. Sama, ya seperti struktur bangunan di beberapa kampung adat Sunda. Dari mulai material yang digunakan, hingga arsitektur, dan potongan bangunan, serta pembagian interiornya. 

Bedanya, di kasepuhan Ciptagelar, dikenal konsep 'tihang cagak, hateup salak' dalam pembanguan rumah. Tihang cagak, artinya bahwa rumah harus memiliki tiang yang kokoh, menggunakan kolom terbuat dari material alam dengan struktur bercabang, yaitu pohon yang memiliki serat kayu dan cabang. Hal ini melambangkan bahwa masyarakat kasepuhan Ciptagelar memiliki pola pikir beragam, banyak kebutuhan, dan keinginan. Namun, tetap dalam satu akar budaya dan adat-istiadat yang sama. 

Hateup salak, artinya material yang digunakan untuk atap harus bahan yang berasal dan berada di atas tanah, bersifat ringan, dan kuat untuk dijadikan sebagai pelindung. Bahan atap seperti dedaunan, ijuk, dan tepus disusun bertumpuk seperti kulit salak. Hal tersebut memiliki makna, bahwa manusia harus hidup berdampingan, dan saling melengkapi untuk menjaga adat istiadat.

ilustrasi Kampung adat Ciptagelar |instagram.com/adifest_organizer1

3. Kampung adat Cikondang

Berada di Kampung Cikondang, kelurahan Lamajang, kecamatan Pangalengan, kabupaten Bandung. Kampung adat Cikondang, dahulunya merupakan kampung yang berasal dari desa Lamajang. Pada tahun 1942, terjadi sebuah kebakaran besar yang menghancurkan seluruh pemukiman kampung adat Cikondang. Hingga hanya menyisakan satu rumah saja. Untuk saat ini, jika anda berkunjung ke kampung adat Cikondang,  anda akan menjumpai satu rumah adat, yang dinamakan bumi adat. Konon, bumi adat ini usianya hampir 200 tahun.

Rumah adat Cikondang terletak lebih tinggi dari rumah-rumah di sekitarnya. Bentuk atap julang ngapak menjadi ciri khas rumah adat ini. Kuda-kuda pada atap adalah kontruksi bangunan berbahan dasar kayu, gording dengan bambu, dan ditutup dengan atap bambu yang dibelah dua, dengan menggunakan teknik pemasangan tumpang tutup. Lalu, sebagai finishing, atap dilapisi ijuk.

Selain rumah adat, di sini anda juga akan menjumpai hutan karamat, makam keramat, lumbung padi, lisung untuk menumbuk padi, dan balai pertemuan.

ilustrasi akses menuju rumah adat Cikondang |instagram.com/Tonisetiawan.s

4. Kampung Mahmud

Jika Kompasianer ingin tahu tentang pusat penyebaran agama Islam di Priangan. Maka, kampung Mahmud adalah destinasi yang cocok untuk anda kunjungi. Kampung adat ini berada di pesisir sungai Citarum, terletak di tengah kota Bandung dan Soreang. Tepatnya di desa Mekar Rahayu, kecamatan Margaasih. Kampung adat ini, berdiri sejak abad ke-17 sebagai kampung adat yang menyimpan nilai historis tentang peta penyebaran dan perkembangan agama Islam di Priangan. 

Bila anda akan berkunjung ke kampung Mahmud, mudah saja. Dari terminal Kebon Kalapa, anda menggunakan angkutan kota dengan rute Kebon kalapa-Cibaduyut, lalu turun di terminal Leuwi Panjang. Teruskan perjalanan dengan naik angkutan kota Cipatik, anda turun di Rahayu. Selanjutnya naik ojeg menuju kampung Mahmud. Tidak lama, kok. Perjalanan kedua rute tersebut dapat ditempuh dalam waktu 90 menit saja.

Seperti rumah-rumah pada kampung adat lainnya. Rumah penduduk di Kampung Mahmud juga mayoritas adalah rumah panggung dengan dinding bilik dari bambu, serta jendela tanpa kaca. Rumah panggung ini sarat akan pilosofi hidup sederhana. Keunikan dari kampung adat ini, adalah kentalnya nuansa ke-Islam-an. Di tempat ini, anda akan menjumpai makam keramat Eyang Abdul Manaf, yaitu pendiri kampung Mahmud. 

Ketika anda berkunjung ke tempat ini. Suasana perkampungan yang sejuk, adem, asri, dan sederhana akan terasa. Padahal, anda berada di tengah-tengah perkotaan. 

ilustrasi Kampung Mahmud |instagram.com/Riskipermanasidik111

5. Kampung Urug

Bogor dengan ikon 'kota hujan' ternyata memiliki sebuah kampung adat yang menyimpan arsitektur kearifan lokal. Berlokasi di desa Kiarapandak, kecamatan Suka Jaya. Untuk mencapai daerah ini, anda bisa melewati jalur Darmaga-Leuwiliang-Cigudeg. Setelah SMA 1 Cigudeg, anda berbelok ke arah kiri. Persimpangan ke arah Ciurug ditandai dengan adanya indomart. Dari sana anda lurus saja, ketika bertemu pos polisi belok ke arah kiri.

Dalam hal arsitektur, ada tali tradisi budaya lama yang masih dipegang dengan teguh oleh masyarakat kampung Urug, sebagaimana masyarakat-masyarakat di kampung adat lainnya. Pola pemukiman rumah penduduk meliputi dua hal yaitu seni bangunan dan arsitektur bangunan. Seni bangunan, rumah-rumah dibangun dengan material yang sama berasal dari alam, bentuk rumah panggung lengkap dengan kolongnya, dan lumbung padi yang disebut leuit.

Arsitektur bangunan yakni bentuk rumah yang memiliki ciri khas tradisi ke-Sunda-an, suhunan berbentuk julang ngapak dan tagog anjing. Di sini, anda akan menjumpai sebuah rumah yang berfungsi sebagai mandala, yakni gedong ageung dan gedong alit. Meskipun disebut gedong, ternyata arsitektur rumah ini sama saja dengan rumah-rumah lainnya yakni panggung. Gedong ageung digunakan sebagai pusat kewenangan dan kepemimpinan adat. Sedangkan, gedong alit dipegang oleh keturunan prabu Siliwangi yang ke-9. 

Berkunjung ke kampung ini, anda akan disuguhi pemandangan sebuah perkampungan yang unik. Hamparan pesawahan yang membentang luas, dengan ilustrasi para petani sedang membajak sawah, dan menggembala ternak. Sejuknya udara, dan jernihnya air terjun, serta mata air dari sungai-sungai yang mengelilingi perkampungan, membuat anda enggan untuk pulang.

ilustrasi kampung adat Urug |instagram.com/Peden_red

6. Kampung Pulo

Sahabat Kompasianer yang berada di Garut, dalam perjalanan melewati kota Garut, atau sedang berwisata ke Situ Cangkuang. Ada destinasi wisata, yang layak anda kunjungi lho. Sebagai sarana rehat di perjalanan. Itulah dia, Kampung Pulo. Merupakan suatu kampung adat yang berada di dalam pulau, di tengah-tengah kawasan Situ Cangkuang. Terletak di desa Cangkuang, kecamatan Leles. 

Berbeda dengan kampung-kampung adat lainnya, yang bertahan pada tradisi, dan budaya lokal, kampung Pulo lumayan mengikuti arus modernisasi. Namun, tetap ada larangan yang masih dipertahankan. Umpama, pada hari Rabu, dilarang melakukan aktivitas lain, karena hari tersebut waktunya untuk menggali ilmu agama Islam. Ada larangan, tidak boleh memukul gong besar, tidak boleh memelihara ternak berkaki empat, dan rumah diwariskan kepada anak perempuan, tidak boleh menambah bangunan pokok, menambah kepala keluarga, dan mencari nafkah di luar wilayah.

Ciri khas kampung pulo adalah hanya memiliki enam bangunan rumah, dan satu mesjid. Bentuk atap rumah dari arsitektur rumah adat kampung Pulo adalah berbentuk prisma dan memanjang. Di tempat ini, anda akan disuguhi pemandangan Situ Cangkuang dengan airnya yang tenang. Untuk menuju ke lokasi kampung Pulo, anda dapat menggunakan alat transportasi berupa rakit yang terbuat dari bambu, dan dikayuh oleh satu orang pengemudi, menggunakan bambu panjang sebagai alat kayuh. Wah, asyik, ya.

ilustrasi Kampung Pulo |instagram.com/candicangkuang_garut

7. Kampung Kuta

Tahukah sahabat Kompasianer, jika kampung Kuta adalah satu-satunya daerah di Ciamis yang masih bertahan dengan kearifan lokal, di tengah gempuran modernisasi. Kampung adat ini berada di dusun Kuta, desa Karangpaninggal, kecamatan Tambaksari. Untuk menempuh tempat ini, dari kabupaten Ciamis, anda menggunakan angkutan umum sampai di kecamatan Rancah. Jarak dari Ciamis ke Rancah, sekitar 34 km. Dari Rancah, lanjutkan perjalanan dengan ojeg atau motor sewaan. Anda akan diantar langsung hingga tiba di lokasi.

Di sini, anda akan disuguhi dengan kesejukan udara hutan yang masih asri dan perawan. Bila anda datang tepat pada tanggal 25 bulan shapar, maka anda akan berkesempatan menyaksikan upacara 'nyuguh' yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta. Anda yang senang ber-swa foto, diperbolehkan kok untuk mengambil foto di tempat ini. Asalkan, bila masuk ke wilayah hutan, jangan memakai alas kaki, pakaian dinas, mengambil kayu bakar, dan menebang pohon. Untuk masuk ke wilayah hutan, hanya diperbolehkan pada hari Senin dan Jum'at saja, hari lainnya tidak boleh.

Di Kampung Kuta, anda tidak akan menjumpai sumur. Sumber air untuk keperluan penduduk, diambil dari mata air asli dari pegunungan. Masyarakat Kampung Kuta, dilarang membuat sumur. Mungkin, karena tanah di sekitar pemukiman, konturnya tidak stabil, jadi akan berdampak buruk, bila masyarakat membangun sumur.

Sama seperti kampung-kampung adat yang lainnya. Bentuk rumah, material rumah, dan arsitektur rumah di kampung Kuta berbentuk panggung. Sambil menikmati pemandangan yang asri, udara sejuk dan gemericik suara air, anda juga dapat berkeliling mencari gula aren yang baru saja selesai dimasak. Dijadikan kudapan, ditemani teh panas, mantap tenan. Anda juga dapat membelinya, untuk dijadikan sebagai buah tangan bagi rekan dan handai taulan.

ilustrasi gerbang masuk kampung Kuta |instagram.com/Dwy.septyawan.20

8. Kampung Dukuh

Secara geografis, wilayah kampung Dukuh agak terisolir, sehingga akses mereka ke dunia luar, sangat terbatas sekali. Hal ini disebabkan oleh rimbunnya hutan yang berada di sisi selatan Garut. Sehingga akses masyarakat terhadap hal-hal yang berbau modernisasi agak susah dijangkau. Masyarakat Kampung Dukuh benar-benar tradisional, sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang menggunakan peralatan elektronik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kampung Dukuh, benar-benar kampung adat yang masih orisinil. 

Berkunjung ke Kampung Dukuh, anda akan menemui 42 rumah dan 1 mesjid sebagai pusat peribadatan. Kampung dukuh, seperti halnya Baduy dibagi ke dalam dua bagian, yaitu Kampung Dukuh Dalam, dan Kampung Dukuh Luar. Ada 172 orang penduduk yang mendiami Kampung Dukuh Dalam, dan 70 kepala keluarga yang mendiami Kampung Dukuh Luar.

Anda akan disuguhi pemandangan alam yang eksotik, dan situs religi peninggalan sejarah yang dikeramatkan, yaitu makam Syekh Abdul Jalil. Maka, tidak mengherankan, jika tempat ini ramai dikunjungi, meski akses menuju ke tempat ini penuh tantangan.

Arsitektur rumah adat Kampung Dukuh, menarik perhatian sejumlah mata memandang. Rumah-rumah panggung dengan dinding anyaman dari bambu, dan ijuk sebagai penutup atas. Rumah kuncen-Mama Uluk tampak lebih besar dari ukuran rumah-rumah penduduk lainnya. Hal ini mungkin salahsatu keistimewaan bagi kepala adat.

ilustrasi kampung Dukuh |instagram.com/kp_adat_dukuh

Halaman Selanjutnya