Analisis strategi yang dijalankan untuk menciptakan kolaborasi digital antara keluarga dan sekolah

Analisis strategi yang dijalankan untuk menciptakan kolaborasi digital antara keluarga dan sekolah
http://www.goodnewsfromindonesia.org

Pekan-pekan ini kita diramaikan dengan isu kekerasan anak dan kenakalan remaja. Harus diakui, problematika generasi muda semakin kompleks. Terutama yang berkaitan dengan amoralitas keseharian mereka.

Semua ini tak terlepas dari pengaruh teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih. Seperti dijelaskan Kristina E. Hatch dalam Determining the Effects of Technology on Children (2011), tentang sisi positif dan negatif teknologi. Paparan efek negatif era digital semakin massif. Akses informasi yang tak terbatas di era digital ini menyulitkan untuk melakukan filterisasi.

Semakin akut paparan efek negatif teknologi digital, semakin terancam masa depan generasi negeri ini. Satu-satunya penyelamat adalah pendidikan. Tapi, sekolah dan guru sebagai representasi pendidikan tak bisa sendiri. Butuh sinergi dengan orangtua selaku “guru pertama” di sekolah pertama (rumah). Artikel ini mencoba menawarkan solusi atas persoalan ini.

Pendidikan Era Digital
Dunia semakin digital, termasuk dunia pendidikan. Muncul beberapa inovasi pendidikan berbasis digital, seperti inibudi.org, sekolahpintar.com, bangsacerdas.com, Indonesia X, ruanguru.com, Akademi Berbagi, Haruka Edu, dan lainnya. Fenomena distance learning, sharing resources, perpustakaan digital adalah contoh lain gejala digitalisasi pendidikan.

Dunia pendidikan bukan hanya tidak akan bisa menghindar dari era digital, tapi memang tidak boleh menghindar. Semakin mencoba menghindar, dunia pendidikan akan semakin tersisih peran dan signifikansinya, kemudian akhirnya “mati”.

Era digital harus dihadapi dan dimanfaatkan untuk menunjang kualitas pendidikan. Seperti kata Tony Bates (1995), teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan secara bijak untuk pendidikan dan latihan. Hanya lentera pendidikan yang bisa membawa generasi mendatang ke sisi terang era digital, dan menjauh dari sisi gelapnya.

Dunia digital membuat pendidikan semakin mudah (diakses) dan murah (biayanya). Dalam konteks ini, dunia pendidikan “diuntungkan” dengan datangnya era digital. Namun, di balik kemudahan dan kemurahan yang ditawarkan, dunia digital menyimpan sisi negatif yang bisa membuat dunia pendidikan “buntung”.

Demoralisasi dan dekarakterisasi akibat paparan konten negatif teknologi digital akan menjadi beban yang justru memperberat tanggung jawab dunia pendidikan di masa depan. Sekadar contoh, kini sudah beredar “narkoba digital” yang bisa dikonsumsi secara online oleh semua kelompok usia.

Ini baru awal, ke depan akan muncul beragam produk negatif dunia digital tanpa bisa dikontrol. Hanya pendidikan yang bisa melahirkan generasi cerdas digital, yang bisa menempatkan fungsi teknologi secara proporsional sebagai “people tools, resources, to solve problems or to extend their capabilities” (David Goetech: 2005)

Di era pendidikan digital, dibutuhkan kolaborasi digital antara “sekolah pertama” (keluarga) dan “sekolah kedua” (lembaga pendidikan). Sinergi antara “guru pertama” (orangtua) dan “guru kedua” (guru). Keduanya harus menciptakan sistem edukasi bersama yang terintegrasi secara digital untuk mengkolaborasikan dan mensinergikan peran masing-masing. Sebab, tantangan dunia pendidikan di era digital semakin kompleks.

Rosenberg (2001) menyatakan, perkembangan penggunaan teknologi informasi dalam dunia pendidikan mengakibatkan terjadinya 5 (lima) pergeseran dalam proses pembelajaran, yaitu: dari pelatihan ke penampilan, dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, dari kertas ke online, dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan dari waktu siklus ke waktu nyata. Dunia pendidikan di sekolah maupun rumah harus mampu bertransformasi menuju lima (5) pergeseran ini.

Dalam Reinventing Education, Louis V. Gerstmer (1995) menegaskan bahwa di masa-masa mendatang peran guru akan mengalami perluasan, yaitu sebagai pelatih, konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Jadi, kolaborasi digital antara orangtua dan guru mutlak diperlukan sebagai jawaban tantangan pendidikan era digital.

Strategi Kolaborasi Digital
Indonesia sebenarnya sudah memiliki modal sosio-digital yang bagus untuk memulai proses kolaborasi digital orangtua dan guru. Riset Digital Citizenship Safety among Children and Adolescents in Indonesia yang dilakukan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 2014 menemukan fakta bahwa dari 30 juta anak-anak dan remaja pengguna internet di Indonesia, ada 3 (tiga) motivasi utama untuk mengakses internet, yaitu: untuk mencari informasi, untuk terhubung dengan teman (lama dan baru), dan untuk hiburan.

Pencarian informasi yang dilakukan sering didorong oleh tugas-tugas sekolah, sedangkan penggunaan media sosial dan konten hiburan didorong oleh kebutuhan pribadi. Penelitian terhadap pola komunikasi anak dan remaja melalui internet mengungkapkan bahwa mayoritas komunikasi mereka dilakukan dengan teman sebaya, diikuti komunikasi dengan guru, dan komunikasi dengan anggota keluarga juga cukup signifikan (kominfo.go.id, 2014).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan internet oleh anak-anak dan remaja relatif memiliki korelasi dengan pendidikan di rumah maupun sekolah. Ini modal sosial yang harus dioptimalkan untuk membangun kolaborasi digital antara orangtua dan guru dalam mengedukasi anak.

Untuk menciptakan kolaborasi digital antara orantua (keluarga) dan sekolah (guru), ada beberapa strategi yang dijalankan. Pertama, memanfaatkan teknologi digital untuk mengoptimalkan pola komunikasi, relasi, dan interaksi antara orangtua dan guru. Di era digital, relasi keduanya berpotensi merenggang, jika tidak ditunjang oleh sistem komunikasi, relasi, dan interaksi yang berbasis digital. Bangun sistem berbasis digital sebagai jawaban atas kebutuhan zaman.

Kedua, orangtua harus membuka diri untuk belajar sistem teknologi digital. Dunia anak semakin digital, maka orangtua tidak boleh ketinggalan. Edukasi kepada anak akan efektif jika sesuai dengan dunia mereka. Di sini komitmen kuat orangtua di Indonesia untuk belejar digital sangat dibutuhkan.

Riset UNICEF di atas mengungkapkan bahwa pihak orangtua masih cukup ketinggalan dari anak-anak mereka dalam hal penguasaan dan menggunakan media digital. Sedikit dari orangtua yang mengawasi anak-anak mereka ketika mengakses internet, dan sedikit juga yang menjadi “teman” anaknya dalam jejaring sosial (kominfo.go.id, 2014). Orangtua yang gagap digital bukan hanya akan mudah untuk “diakali” oleh anaknya, tapi juga akan “berjarak” dengan mereka. Anak akan cenderung resisten pada sesuatu yang kontra dengan dunianya. Masa depan membutuhkan sosok orangtua digital juga.

Ketiga, menciptakan pola edukasi berbasis digital di dalam rumah. Para orangtua harus kreatif dan inovatif mengadopsi teknologi digital sebagai perangkat edukasi di rumah. Tidak perlu perangkat yang mahal, yang penting efektif dan positif sebagai instrumen pendidikan. Jika pola edukasi di rumah masih analog (non-digital), maka tidak akan efektif mengedukasi anak.

Keempat, edukasi berbasis digital di rumah kemudian disinergikan dan diintegrasikan dengan pola serupa yang diciptakan sekolah (guru). Dengan bertransformasi menuju format digital, peran edukasi orangtua tidak akan tereliminasi. Kolaborasi digital dengan pihak guru multak diperlukan agar terjalin tandem yang senyawa. Namun demikian, bukan berarti orangtua harus total bertransformasi menuju format digital dalam menjalankan peran edukatifnya terhadap anak-anak mereka. Bagaimanapun, edukasi tatap muka (analog) memiliki kelebihan yang tidak ditemukan pada edukasi dalam format digital.

Meskipun sistem edukasi di rumah mengadopsi teknologi digital, penggunaannya tetap harus dibatasi dan dikontrol. Menurut riset, gaya hidup digital memberi beberapa efek negatif terhadap anak, yaitu antisosial, empati tumpul, kematangan semu, emosional-tempramental, dan moralitas lemah (Suardi: 2006).

Kolaborasi digital orangtua dan guru diharapkan mampu membuat anak kritis dan selektif dalam menggunakan teknologi digital sesuai dengan peruntukan positifnya. Dengan demikian, mereka menjadi generasi yang manusiawi sekaligus digital.

Kolom Terkait:

Ikhtiar Pendidikan Menjadi Indonesia

apa yang dimaksud dengan syirik ​

apa yang dimaksud dengan baik ​

Satuan passer pusaka merupakan satuan generasi ke?​

Setelah periode I berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang..., meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.​

Sebutkan Kerajaan Gowa Tallo​

Sebutkan Kerajaan Gowa dan Tallo​

nulis Syairr tembang Dhandhanggula,pilihh salah satuu#Corona#sekolahann#lingkungan#kemerdekaan ​

tolongggg yaaa, pilih lebih dari 1, yg a itu memang udah termasuk, trs yang mana lagii??​

Jelaskan 4 tanda akan datangnya hari kiamat , jelaskan 4 hikmat mempercayai hari kiamat ,& jelaskan 4 perbedaan kiamat sugri dan kiamat kubro tolo … ng ya yang ngerti :)​

Look at the dates. Complete the words. Number 1 is the example for you.1. 19-01-2010 = Nineteenth of January, two thousand ten.2. 01-10-1963 3. 10-07- … 19864. 05-07-20125. 09-04-20016. 21-11-20027. 04-04-20198. 17-08-19459. 03-09-200810. 22-06-199911. 23-12-2006​