Apa maksud dari pendidikan dengan bumi

Sule Subaweh

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Pada zaman kolonial Belanda pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Praktek pendidikan Barat ini diharapkan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai “pangreh praja”. Tetapi praktek pendidikan kolonial tersebut masih menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.

Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya. Suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.

Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu: Pertama Sistem Dualisme. Dalam Sistem dualisme diadakan garis pemisahan antara Sistem pendidikan untuk golongan Eropa dan Sistem pendidikan untuk golongan bumi putra. Ke dua Sistem Korkondasi, sistem pendidikan ini disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. Maka mutu pendidikan tersebut diasumsikan setingkat pendidikan di Negara Belanda. Ke tiga Sentralisasi, Kebijakan pendidikan di zaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen tersebut yang mengatur segala sesuatu mengenai pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar. Ke empat Menghambat gerakan Nasional. Di dalam kurikulum pendidikan kolonial pada waktu itu, diutamakan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda, dan ke lima tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis

Jika kita telaah lagi. Sistem pendidikan kita tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan pada masa colonial belanda. Sistem dualisme dan sistem Korkondasi yang diterapkan oleh belanda waktu itu hampir sama dengan sistem pendidikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasiona (SRBI). Dimana sistem RSBI lebih menekankan pada bahasa internasional (Inggris) yang lebih disesuaikan dengan gaya pendidikan luar. Seperti adanya pengantar bahasa inggris dan mengutamakan pada golongan tertentu. Sehingga terjadi kesenjangan antara RSBI dan sekolah biasa. Karena RSBI dianggap sekolah elit yang menimbulkan asumsi hanya orang yang mampu yang sekolah di situ.

Sistem pendidikan Menghambat gerakan Nasional adalah Salah satu cara untuk memutus gerakan nasionalis bangsa kita. Pada pendidikan kita hal tersebut juga pernah terjadi. Kita masih ingat dengan kejadian pada tahun 2010 lalu. Bahwa pada Ujian Nasional (UN) nilai bahasa Indonesia siswa lebih tinggi dengan bahasa inggris, bahkan sampai sekarang. Dan semakin menyusutnya pendidikan budi pekerti yang mengakibatkan banyak siswa suka tawuran. Serta semaraknya budaya luar esperti Korea, Inggri, Jepang dll yang mengakibatkan genarasi muda lupa akan nasionalisme.

Kesamaan yang masih melekat di bangsa kita dengan belanda adalah tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematik. Entah sudah berapa kali kurikulum pendidikan di Negara kita diganti. Kurikulum yang katanya untuk perubahan selalu gagal diterapkan pada dunia pendidikan kita. Bahkan juga dinyatakan gagal. Dengan kata lain setiap perubahan atau pergantian adalah bagian dari kurangnya perencanaan pendidikan yang sistematik.

Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia. Mengutip istilah dari Ki Hajar Dewantara Aku adalah orang Indonesia biasa//Yang bekerja untuk bangsa Indonesia//Dengan cara Indonesia. Semoga pendidikan yang kita perjuangkan juga melahirkan pejuang-pejuang yang melahirkan kemerdekaan Indonesia. Amin.

Artikel ini di muat di Republika

Penulis adalah pengelola WEB UAD

Sule Subaweh

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Pada zaman kolonial Belanda pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Praktek pendidikan Barat ini diharapkan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai “pangreh praja”. Tetapi praktek pendidikan kolonial tersebut masih menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.

Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya. Suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.

Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu: Pertama Sistem Dualisme. Dalam Sistem dualisme diadakan garis pemisahan antara Sistem pendidikan untuk golongan Eropa dan Sistem pendidikan untuk golongan bumi putra. Ke dua Sistem Korkondasi, sistem pendidikan ini disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. Maka mutu pendidikan tersebut diasumsikan setingkat pendidikan di Negara Belanda. Ke tiga Sentralisasi, Kebijakan pendidikan di zaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen tersebut yang mengatur segala sesuatu mengenai pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar. Ke empat Menghambat gerakan Nasional. Di dalam kurikulum pendidikan kolonial pada waktu itu, diutamakan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda, dan ke lima tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis

Jika kita telaah lagi. Sistem pendidikan kita tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan pada masa colonial belanda. Sistem dualisme dan sistem Korkondasi yang diterapkan oleh belanda waktu itu hampir sama dengan sistem pendidikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasiona (SRBI). Dimana sistem RSBI lebih menekankan pada bahasa internasional (Inggris) yang lebih disesuaikan dengan gaya pendidikan luar. Seperti adanya pengantar bahasa inggris dan mengutamakan pada golongan tertentu. Sehingga terjadi kesenjangan antara RSBI dan sekolah biasa. Karena RSBI dianggap sekolah elit yang menimbulkan asumsi hanya orang yang mampu yang sekolah di situ.

Sistem pendidikan Menghambat gerakan Nasional adalah Salah satu cara untuk memutus gerakan nasionalis bangsa kita. Pada pendidikan kita hal tersebut juga pernah terjadi. Kita masih ingat dengan kejadian pada tahun 2010 lalu. Bahwa pada Ujian Nasional (UN) nilai bahasa Indonesia siswa lebih tinggi dengan bahasa inggris, bahkan sampai sekarang. Dan semakin menyusutnya pendidikan budi pekerti yang mengakibatkan banyak siswa suka tawuran. Serta semaraknya budaya luar esperti Korea, Inggri, Jepang dll yang mengakibatkan genarasi muda lupa akan nasionalisme.

Kesamaan yang masih melekat di bangsa kita dengan belanda adalah tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematik. Entah sudah berapa kali kurikulum pendidikan di Negara kita diganti. Kurikulum yang katanya untuk perubahan selalu gagal diterapkan pada dunia pendidikan kita. Bahkan juga dinyatakan gagal. Dengan kata lain setiap perubahan atau pergantian adalah bagian dari kurangnya perencanaan pendidikan yang sistematik.

Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia. Mengutip istilah dari Ki Hajar Dewantara Aku adalah orang Indonesia biasa//Yang bekerja untuk bangsa Indonesia//Dengan cara Indonesia. Semoga pendidikan yang kita perjuangkan juga melahirkan pejuang-pejuang yang melahirkan kemerdekaan Indonesia. Amin.

Artikel ini di muat di Republika

Penulis adalah pengelola WEB UAD

Digital. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan merupakan tiang peradaban. Mati dan hidupnya sebuah komunitas budaya tergantung sejauhmana nilai – nilai kesadaran akan internalisasi ilmu pengetahuan masih dipegang teguh. Kesadaran tersebut akan selalu menstimulasi manusia untuk terus berkreasi menciptakan tatanan baru yang lebih baik. Kesadaranakan proses, bukan hasil, akan memberikan pengalaman spiritual yang terus dimaknai sebagai keyakinan hidup yang tinggi.

Dewasa ini tidak dapta dipungkiri bahwa dunia telah membawa kita ke era globalisasi. Berbagai definisi tentang globalisasi bias ditemukan diberbagai tulisan tentang globalisai. Menurut Steger 2003, pada dasarnya globalisasi sebagai sebuah proses ke arah globalitas, yaitu “a social condition characterized by the existence of global economic, political, cultural, aducation and environmental interconnection and flows that make many of the currently existing borders and boundaries irrelevant”, yang artinya suatu kondisi sosial yang ditandai oleh keberadaan dari budaya, politik, ekonomi global, pendidikan dan interkoneksi – interkoneksi lingkungan serta arus – arus kehidupan menjadi tidak relevan.

Globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan erat dengan perkembangan tekhnologi, terutaman media massa. Akibat adanya globalisasi inilah kemajuan tekhnongi terutama media massa masuk ke dalam kehidupan kita, dan memberikan kontribusi, baik positif maupun negatif.

Dampak perkembangan tekhnologi, terutama media massa terhadap dunia pendidikan sangat besar. Hal ini dibuktikan denagn adanya perdabatan publik mengenai dampak perkembangna media massa terhadap sistem edukasi. Sementara itu penyelenggaraan pendidikan yang dilaksakan di Indonesia dari masa ke masa lebih bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi kepada kuantitas untuk dapatmelayani sebanyak – banyaknya jumlah siswa. Kelemahan yang tampak dari penyelenggaraan pendidikan seperti itu adalah tidak terakomodasinya kebutuhan individual siswa di luar kelompok siswa normal. Padahal hakikat pendidikan itu sendiri adalah untuk memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi kecerdasan dan bakatnya secara optimal.

Undang – undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Tiap – tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran“, untuk mengamalkan amanat tersebut pemerintah mulai menaruh perhatian pendidikan ketika Indonesia memasuki pembangunan jangka panjang kesatu tahun 1969/1970 – 1993/1994. Bersamaan dengan itu pada tahun 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan program Sekolah Unggul (School Excellent) diseluruh provinsi sebagai langkah awal untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki. Namun akhirnya, program ini dianggap tidak cukup member dampak positifpada siswa berbakat untuk mengembangkan potensi intelektualnya yang tinggi. Menurut Reni dkk 1998, hal ini disebabkan karena keluhan yang muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi terhadap 20 SMU unggulan di Indonesia yang menunjukkkan 21,75 % siswa SMU unggulan hanya memiliki kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata. Sedangkan mereka yang tergolong anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa hanya 9,7%.

Melihat kenyataan itu, pendidikan menjadi semacam mesin produksi yang harus bekerja terus menerus dengan logika efektivitas dan efisiensi untuk menciptakan generasi intelektual instan, yaitu sebuah sistem pendidikan yang tega memangkas dan mempersingkat waktu pembelajaran. Tentu saja hal ini sangat mengesampingkan sebuah proses pendidikan yang didalamnya terdapat titik – titik pencerahan dan pembebasab manusia dari keterkungkungan. Peserta didika hanya akan menjadi manusia seragam yang diproduksi secara massal, tanpa adanya kesadaran kritis yang dimiliki.

Disamping itu, keyakinan masyarakat yang selama ini mempercayai bahwa pendidikan yang bermutu itu hanya bisa dicapai dengan biaya tinggi, harus mendapat sorotan dari dari semua pihak, terutam pemerintah. Dari gagasan yang telah ada dan berdasarkan beberapa pengalaman pribadi serta kejadian diseputar masalah pendidikan yang semakin santer, ditemukan bahwa pendikan yang bermutu tidaklah mutlak dengan biaya yang mahal, karena pendidikan yang mahal hanya akan mempercepat kehancuran negeri ini.

Memang, untuk menciptakan sebuah pendidikan yang berkualitas dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi tidak selayaknya bila orang tua siswa selalu menjadi korban “pemerasan” ini. Disaat kondisi perekonomian yang masih terpuruk di negeri kita, maka pendidikan yang mahal akan menambah beban hidup orang tua siswa, terutama orang tua siswa yang kurang mampu.

Biaya pendidikan mahal yang dibebankan kepada orang tua siswa akan menjadi hak yang buruk, dan kesadaran tinggi akan pentingnya pendidikan lama kelamaan akan terkikis. Disini yang perlu dipertanyakan adalah komitmen pemerintah mengenai kebijakan dibidang pendidikan. Terasa janggal bila subsidi pendidikan lebih kecil daripada subsidi militer. Ini merupakan sebuah bukti bahwa pemerintah lebih bangga dan senang dengan kekerasan daripada kecerdasan warganegaranya yang bisa muncul melalui pendidikan.

Yang lebih mencengangkan lagi pendidikan itu sangat identik dengan orang yanga mampu, dalam arti kata hanya orang – orang yang beruanglah yang mampu menyekolahkan anak – anaknya. Sementara orang yang tidak mampu hanya terdiam tanpa ada “makan bangku sekolah”. Mereka menunggu akan adanya bantuan dari pemerintah.

Kenyataan ini sungguh ironis, pendidikan yang selayaknya berakar ke Bumi, namun malah berakar ke Langit. Yang seharusnya semua masyarakat Indonesia, baik dari kelas bawah, menengah, maupun kelas atas dapat mengenyam pendidikan yang sewajarnya. Bagaimana negara kita akan menjadi sebuah negara yang maju jika masih ada sebagian masyarakatnya yang belum diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Menyadari akan hal itu, diharapkan agar para petinggi negara, pemerintah khususnya yang berhubungan langsung dengan dunia pendidikan agar lebih memperhatikan pendidikan di negara kita. Hal ini di maksudkan agar generasi muda Indonesia menjadi generasi muda  yang cerdas, terampil dan berfikir kritis dalam menghadapi gejolak dunia yang semakin mengglobal. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan jika kedepannya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, bukan hanya karena sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga dengan sumber daya manusia yang memadai.