Apa maksud buku tidak ori

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Isal Mawardi

TRIBUNJABAR.CO.ID, BANDUNG - Masyarakat bisa jadi kesulitan membedakan buku original dengan buku KW (tiruan).

Supervisor di Rumah Buku, Adhitya, menjelaskan 4 perbedaan mencolok antara buku original dengan buku KW.

1. Material Kertas

Perbedaan yang sangat mencolok adalah dari material kertas.

Buku original kertasnya halus dan berwarna cerah sedangkan buku KW teksturnya kasar plus warna putih pudar (buram).

2. Print

"Buku original tulisanya di-print sedangkan buku KW difotokopi," ujar Adhitya kala ditemui Tribun Jabar, Kota Bandung, Sabtu (1/7/2017).

3. Layout

Layout cetak buku KW tidak simetris, kadang-kadang agak miring dan tidak sesuai dengan kertas buku.

Berbeda dengan layout buku original yang cetakannya lurus, rapi, dan simetris dengan kertas.

4. Warna Sampul

"Paling mudah dilihat antara buku KW dan buku original adalah dari covernya. Sampul buku KW agak pudar, tidak secerah buku original," kata Adhitya. (*)

Sumber: Tribun Jabar

Tags:

Suatu hari ada customer yang tanya begini.. “Mas, buku X beneran ori? Bedanya ori sama kw apa ya?”, tanyanya. “Original, buku asli dicetak legal sama penerbit yang punya hak. KW sebaliknya, ilegal..”, jawabku. “Kertasnya gimana?”, tanyanya lagi. Sebagian dari kita menganggap buku itu hanya sekadar kertas dan tulisan. Nggak peduli itu buku asli atau bajakan. Toh isinya sama saja. Cuma beda kualitas kertasnya. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Begitu aku ditawari buku yang katanya bagus sama penjualnya, aku beli juga. Walaupun itu buku bajakan. Karena harganya lebih murah tentunya. Selisihnya jauh banget. Aku ditawari dengan harga 15 ribu – 30 ribu, sedangkan di Gramedia harganya antara 60 ribu – 85 ribu. Sekarang, kalau aku mengoleksi buku bajakan, rasanya aku tidak menghargai sebuah karya. Lebih jauh lagi, artinya aku tidak menghargai jerih payah penulisnya. Aku membayangkan betapa panjangnya proses terbitnya sebuah buku hingga sampai ke tangan pembaca. Dari penulis yang mencari ide, lalu membuat naskah yang tebalnya bisa sampai beratus-ratus halaman, kemudian dikirimkan ke penerbit. Dari penerbit masih harus mengantri dulu dengan ribuan naskah lainnya. Baru kemudian diproses, dibaca, dibalikin lagi ke penulis untuk direvisi sana-sini. Penulisnya sampai kurang tidur karena dikejar deadline. Sampai masuk angin juga. O iya, ada juga proses desain cover, layout, dan ilustrasi (bila diperlukan). Ketika fixed, naskah baru dicetak. Setelah dicetak baru didistribusikan ke toko-toko buku. Baru kemudian, sampai ke tangan pembaca. Apakah ini bisa diproses hanya 1-2 hari saja? Nggak kan? Dan tahu nggak sih, penulis itu dapatnya berapa? Kurang lebih 10% dari harga jual per buku (tergantung penerbit juga). Nah, kalau kita beli buku bajakan, yang berarti tidak dicetak sama penerbit yang punya hak untuk mencetak buku itu, berarti ada hak dari penulis yang kita abaikan. Jelas hanya menguntungkan penerbit ilegal yang mencetak itu. Sedangkan penulisnya nggak dapat apa-apa. Bayangkan kalau kita jadi penulis itu. Aku aja, cuma gara-gara foto produk yang aku jual dicrop sama orang lain, terus dipajang di tokonya, aku bisa muring-muring. Apalagi kalau beratus-ratus eksemplar yang dicetak ilegal. Nggak ada profesi yang nggak penting di dunia ini. Semua profesi itu penting. Walaupun itu hanya petugas kebersihan. Bayangkan aja, betapa repotnya kita kalau nggak ada petugas kebersihan di dunia ini. Gimana kalau nggak ada pelukis, nggak ada asisten rumah tangga, nggak ada penyanyi, nggak ada penulis, nggak ada petani, nggak ada koki, nggak ada atlet, nggak ada tukang bangunan, dan masih banyak lagi lainnya. Apapun profesinya, menurutku bukan masalah bekennya, bukan masalah kerennya, bukan masalah gajinya, tapi apakah kita sudah berkarya melalui profesi yang kita jalani sekarang? Apakah kita sudah membuat impact for the society melalui profesi kita? Dan nggak akan mungkin kita punya dedikasi, berkarya sepenuh hati, membuat impact, kalau kita nggak happy dengan yang profesi yang dijalani. So, are you happy? Are you ready to create a masterpiece? Buku asli atau bajakan bagiku bukan hanya sekadar masalah kualitas cetakan dan kualitas kertas. Nggak sesepele itu. Nggak seremeh itu. Tapi, apakah kita bisa menghargai karya dari penulisnya. It’s about how we appreciate writer’s masterpiece. Kalau pengen karya kita dihargai orang lain, tentunya kita yang lebih dulu menghargai karya orang lain, iya kan?

Apa maksud buku tidak ori
Penulis sekelas Dee Lestari juga geram akan buku bajakan.

Buku & Membaca > Beli Mana, Buku Bajakan, Buku Original atau Buku Bekas?



back to top

Flag Abuse

Flagging a post will send it to the Goodreads Customer Care team for review. We take abuse seriously in our discussion boards. Only flag comments that clearly need our attention. As a general rule we do not censor any content on the site. The only content we will consider removing is spam, slanderous attacks on other members, or extremely offensive content (eg. pornography, pro-Nazi, child abuse, etc). We will not remove any content for bad language alone, or being critical of a particular book.

Tiga jam saya habiskan untuk searching buku di dunia maya, selepas kerja (Sabtu juga saya kerja, FYI. Hiks). Dimulai dari getol menelusuri situs khusus penjual buku original seperti Bukupedia, Bukukita, Grobmart, dan belasan situs sejenis lainnya, lalu saat buku yang saya cari tidak tersedia karena kehabisan stok dan beberapa memang tidak ditemukan, saya akhirnya menyatroni situs jual beli semacam OLX, Matahari Mall maupun Tokopedia.

Voila! Norwegian Wood tak lama lagi akan sampai dalam waktu beberapa hari.

Setelah checkout, saya iseng browsing lagi. Lima seri buku Supernova karangan Dewi (Dee) Lestari kini menjadi incaran —minus Akar, karena sudah dibeli terpisah, dan Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh memang sengaja ditambah ke dalam list untuk koleksi. Harganya cukup menggiurkan, kurang dari dua ratus ribu untuk enam buku. Padahal biasanya dua ratus ribu paling hanya dapat dua buku plus duit kembalian beberapa puluh ribu. Ini benar-benar menggugah selera baca. Curiousity talks; singkat cerita, karena kasus ini kemudian bertemulah saya dengan dua jenis buku yang mungkin sudah dikenal sejak lama oleh kaum pemburu; original dan bajakan.

Selama ini saya terbiasa belanja buku (asli) di Gramedia, Togamas atau jika dana lebih tersedia, aman lah semisal khilaf di Periplus. Hingga saat kesibukan makin menjadi, saya memutuskan untuk rutin langganan Bookmate setiap bulan. Pikir saya, lumayan, lima puluh ribu rupiah saja bisa baca ratusan buku yang nggak hanya berbahasa Indonesia. Yah, nggak bisa dipungkiri, aroma buku baru memang menggoda hati. Saya rindu dengan jejeran print out di toko buku. Apa daya, kuota waktu tak mampu.

Dilema kan?

Kembali lagi ke soal buku bajakan nan murah meriah, batin saya memecah menjadi angel dan devil:-

Devil: Udah sih, beli aja yang bajakan! Harganya aja setengah buku original, yang penting isinya sama. Toh baca buku juga cuma sekali.
Angel: Yang namanya bajakan, resiko buku rusak juga gede. Nggak bisa dibalikin lagi kalau halamannya hilang atau robek. Cukup nonton filmnya aja yang bajakan. Buku, jangan! *eh

Hmm.

Jujur, saya lebih pro ke sisi baik batin saya itu, saya lebih memilih membeli buku original biar harganya selangit, yang penting asli. Walaupun harus mengalokasikan gaji untuk buku. Alasannya banyak… kalau buku ori itu kertasnya rapi cantik dan wangi kertas khas buku baru, cover pasti menarik hati, cetakan timbul dan menarik, dan tidak mudah lepas. Dan yang paling penting, saya mengapresiasi si pengarang sebagai sesama penulis. Hahaha.

Ada option lain yang saya lakukan jika memang budget lagi kendur; beli buku bekas. Buku bekas yang original lho ya, bukan bajakan. Buku bekas semakin tua semakin berbau lapuk dan I really loooove it. Apalagi kalau yang punya suka mencantumkan tanggal belinya. Lebih baik bekas daripada nggak puas. Atau kalau memang malas beli karena dibaca sekali, lebih baik pergi ke Perpustakaan Daerah, rumah baca, atau tempat penyewaan.

FYI, untuk jaga-jaga, saya cantumkan saja cara membedakan buku original dan bajakan. Karena kemungkinan ini juga bisa terjadi meskipun membeli langsung di toko buku.

1. Cover buku cenderung pudar (blur) dan tidak tajam.
Pada buku bajakan, gambar pada cover biasanya tidak tajam, seperti hasil cetakan pada printer biasa. Sebelum membeli, coba perhatikan dulu cover buku tersebut. Hal ini tidak mungkin sama dengan buku keluaran percetakan.

2. Buku asli menggunakan cetakan timbul.
Selain tidak blur, tekstur cover pada buku original memiliki cetakan timbul dan ini mempermudah konsumen untuk mengenali bahwa ini buku asli. Ini kali ya yang bikin buku ori mahal? Heheheh.

3. Menggunakan kertas yang kualitasnya kurang.
Saya kira bagian ini agak susah, namun tanpa membuka pembungkus buku pun, buku non-original masih bisa dideteksi. Lihat saja dari bagian bawah buku yang memperlihatkan kertas cetak yang dipakai. Biasanya, warna kertas pada buku bajakan itu sangat berbeda dari kertas di buku original. Kertas yang dipakai pada buku non-original cenderung pudar dan kusam (mirip kertas daur ulang). Malah yang lebih parah, ada yang menggunakan kertas koran sebagai kertas cetaknya.

4. Berkurangnya ketebalan buku.
Karena kertas yang digunakan memiliki kualitas rendah dan tipis, otomatis mempengaruhi ketebalan buku.

5. Buku tidak dijilid dengan rapi.
Buku bajakan sebagian besar kurang memperhatikan bagian ini. Coba perhatikan apakah jilidan agak menganga atau masih terlihat sisa lemnya. Malah ada yang tidak simetris dan sisa potongan kertas masih nyangkut di sisi buku.

Jadi, kalau ditanya lagi mending buku original (mahal), buku original (murah+bekas), atau buku bajakan (murah) di saat duit lagi seret, saya pilih nomor 2! kampanye udah lewat
Somehow, buku bekas nggak selamanya jelek. Apalagi kalau buku bekas itu terbitan pertama malah jadi koleksi yang ‘wah’ banget. 

Apa maksud buku tidak ori

Baca juga: Membudayabacakan Masyarakat

Apa maksud buku tidak ori