Apa isi kandungan surat al a raf ayat 54?

Pecihitam.org – Allah SWT di dalam Surah Al-A’raf Ayat 54 memberitahukan bahwa Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan segala isinya dalam waktu enam hari. Sebagaimana hal tersebut juga telah dijelaskan oleh beberapa ayat lain di dalam al-Qur’an.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.
DONASI SEKARANG

Firman Allah SWT di dalam Al Qur’an Surah Al-A’raf Ayat 54

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Terjemahan: Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

Tafsir Jalalain: إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ (Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari) menurut ukuran hari dunia atau yang sepadan dengannya, sebab pada zaman itu masih belum ada matahari.

Akan tetapi jika Allah menghendakinya niscaya Ia dapat menciptakannya dalam sekejap mata, adapun penyebutan hal ini dimaksud guna mengajari makhluk-Nya agar tekun dan sabar dalam mengerjakan sesuatu

ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ (lalu Dia bersemayam di atas Arsy) Arsy menurut istilah bahasa artinya singgasana raja, yang dimaksud dengan bersemayam ialah yang sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya

يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ (Dia menutupkan malam kepada siang) bisa dibaca takhfif yakni يُغْشِي dan dibaca tasydid, yakni yughasysyii, artinya: keduanya itu saling menutupi yang lain silih-berganti

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 171; Seri Tadabbur Al-Qur'an

يَطْلُبُهُ (yang mengikutinya) masing-masing di antara keduanya itu mengikuti yang lainnya حَثِيثًا (dengan cepat) secara cepat وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ (dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang) dengan dibaca nashab diathafkan kepada as-samaawaat, dan dibaca rafa’ sebagai mubtada sedangkan khabarnya ialah:

مُسَخَّرَاتٍ (masing-masing tunduk) patuh بِأَمْرِهِ (kepada perintah-Nya) kepada kekuasaan-Nya أَلَا لَهُ الْخَلْقُ (ingatlah, menciptakan itu hanya hak Allah) semuanya وَالْأَمْرُ (dan memerintah) kesemuanya adalah hak-Nya pula. تَبَارَكَ اللَّهُ (Maha Suci) Maha Besar رَبُّ (Allah, Tuhan) Pemelihara الْعَالَمِينَ (semesta alam).

Tafsir Ibnu Katsir: Dijelaskan bahwa Keenam hari tersebut adalah; hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jum’at. Di dalamnya-lah seluruh penciptaan diselesaikan dan di dalamnya pula Adam as. diciptakan.

Ulama tafsir memiliki perbedaan pendapat terkait hal ini, apakah setiap hari dari keenam hari tersebut sama seperti hari-hari yang ada pada kita sekarang ini ? Ataukah setiap hari itu sama dengan seribu tahun, sebagaimana yang telah dinashkan oleh Mujahid dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan hal itu diriwayatkan dari riwayat adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas.

Sedangkan hari Sabtu di dalamnya tidak terjadi penciptaan, karena ia merupakan hari ketujuh. Dan dari itu Pula hari itu dinamakan hari Sabtu, yang berarti pemutusan/penghentian.

Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Hurairah ra, di mana ia berkata: Rasulullah pernah menarik tanganku seraya bersabda: “Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, Allah menciptakan gunung-gunung di bumi itu pada hari Ahad, menciptakan pepohonan di bumi itu pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang dibenci pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarluaskan binatang pada hari Kamis dan menciptakan Adam setelah Ashar pada hari Jum’at sebagai ciptaan terakhir pada saat paling akhir dari hari Jum’at, yaitu antara waktu Ashar sampai malam.”

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 160-162; Seri Tadabbur Al-Qur'an

(Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj dalam Shahih Muslim dan Imam an-Nasa’i, dari Hajjaj Ibnu Muhammad al-A’war, dari Ibnu Juraij, yang di dalamnya mengandung pengertian tujuh hari, sedangkan Allah sendiri telah menyebutkan “dalam enam hari”. Oleh karena itu Imam al-Bukhari dan beberapa huffazh berpendapat mengenai hadits ini dan menilainya berasal dari Abu Hurairah, dari Ka’ab al-Ahbar, bukan sebagai hadits marfu’. Wallahu a’lam.)

Firman-Nya selanjutnya: ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ (Kemudian Allah bersemayam di atas Arsy) Mengenai firman ini, para ulama mempunyai pendapat yang sangat banyak sekali. Di sini bukan tempat untuk menjelaskannya.

Namun pendapat dari para ulama, seperti Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan imam-imam lainnya, baik yang terdahulu maupun yang hidup pada masa berikutnya. Yaitu dengan membiarkannya seperti apa adanya, tanpa adanya takyif (mempersoalkan kaifiatnya/hakikatnya), tasybih (penyerupaan) dan ta’thil (penolakan).

Dan setiap makna dhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut paham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut terjauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya.

Seperti yang difirmankan-Nya yang artinya berikut ini: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Allahlah yang Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)

Baca Juga:  Surah Hud Ayat 18-22; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Fiman-Nya selanjutnya; يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا (Allah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat) Artinya, kegelapan malam menghilangkan cahaya siang dan cahaya siang melenyapkan gelapnya malam. Masing-masing dari keduanya mengikutinya dengan cepat, tidak ada yang terlambat satu dari yang lainnya. Tapi jika salah satu pergi pasti yang lainnya akan muncul dan begitu sebaliknya.

Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ (Yang mengikutinya dengan cepat. dan (Allah juga menciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang (yang masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya).

Di antara para ulama ada yang menashabkan (membaca dengan harakat fathah) dan ada juga yang merafa’nya (membaca dengan harakat dhammah). Keduanya mempunyai makna yang berdekatan. Artinya, bahwa semuanya itu berada dalam kendali dan kehendak-Nya.

Oleh karena itu, Allah memperingatkan: أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ (Ingatlah, mencipta dan memerintah itu hanya hak Allah) Maksudnya, Allah mempunyai kekuasaan dan kendali. تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (Mahasuci Allah, Rabb semesta alam).

Alhamdulillah demikian telah kita tadabburi bersama Surah Al-A’raf Ayat 54 berdasarkan Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir yang merupakan kelanjutan dari seri Tadabbur Al Qur’an kita di situs ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin

(Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa) menurut ukuran hari dunia atau yang sepadan dengannya, sebab pada zaman itu masih belum ada matahari. Akan tetapi jika Allah menghendakinya niscaya Ia dapat menciptakannya dalam sekejap mata, adapun penyebutan hal ini dimaksud guna mengajari makhluk-Nya agar tekun dan sabar dalam mengerjakan sesuatu (lalu Dia bersemayam di atas Arsy) Arsy menurut istilah bahasa artinya singgasana raja, yang dimaksud dengan bersemayam ialah yang sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya (Dia menutupkan malam kepada siang) bisa dibaca takhfif yakni yughsyii dan dibaca tasydid, yakni yughasysyii, artinya: keduanya itu saling menutupi yang lain silih-berganti (yang mengikutinya) masing-masing di antara keduanya itu mengikuti yang lainnya (dengan cepat) secara cepat (dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang) dengan dibaca nashab diathafkan kepada as-samaawaat, dan dibaca rafa` sebagai mubtada sedangkan khabarnya ialah (masing-masing tunduk) patuh (kepada perintah-Nya) kepada kekuasaan-Nya (ingatlah, menciptakan itu hanya hak Allah) semuanya (dan memerintah) kesemuanya adalah hak-Nya pula (Maha Suci) Maha Besar (Allah, Tuhan) Pemelihara (semesta alam).

Sesungguhnya Tuhan kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam (berkuasa) di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang; (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah. Tuhan semesta alam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta ini, termasuk langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari. Hal seperti ini disebutkan di dalam Al-Qur'an melalui bukan hanya satu ayat. Yang dimaksud dengan enam hari ialah Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Pada hari Jumat semua makhluk kelak dihimpunkan, dan pada hari Jumat pula Allah menciptakan Adam a.s. Para ulama berselisih pendapat mengenai pengertian makna hari-hari tersebut. Dengan kata lain. apakah yang dimaksud dengan hari-hari tersebut sama dengan hari-hari kita sekarang, seperti yang kita pahami dengan mudah. Ataukah yang dimaksud dengan setiap hari adalah yang lamanya sama dengan seribu tahun, seperti apa yang telah dinaskan oleh Mujahid dan Imam Ahmad ibnu Hambal, yang hal ini diriwayatkan melalui Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas. Adapun mengenai hari Sabtu, tidak terjadi padanya suatu penciptaan pun, mengingat hari Sabtu adalah hari yang ketujuh. Karena itulah hari ini dinamakan hari Sabtu, yang artinya putus. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya menyebutkan: telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Abdullah ibnu Rafi maula Ummu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ memegang tangannya, lalu bersabda: Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung yang ada di bumi pada hari Ahad, menciptakan pepohonan yang ada di bumi pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tidak disukai pada hari Selasa, menciptakan nur pada hari Rabu, menebarkan hewan-hewan di bumi pada hari Kamis, dan menciptakan Adam sesudah atsar pada hari Jumat sebagai akhir makhluk yang diciptakan di saat yang terakhir dari saat-saat hari Jumat, tepatnya di antara waktu atsar dan malam hari. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim ibnu Hajjaj di dalam kitab sahihnya dan juga oleh Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Hajjaj (yaitu Ibnu Muhammad Al-A'war), dari Ibnu Juraij dengan sanad yang sama. Di dalamnya disebutkan semua hari yang tujuh secara penuh. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan dalam Firman-Nya enam hari. Karena itulah maka Imam Bukhari dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan para huffaz mempermasalahkan hadits ini. Mereka menjadikannya sebagai riwayat dari Abu Hurairah, dari Ka'b Al-Ahbar, yakni bukan hadits marfu. Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Lalu Dia beristiwa di atas Arasy. (Al-A'raf: 54) Sehubungan dengan makna ayat ini para ulama mempunyai berbagai pendapat yang cukup banyak, rinciannya bukan pada kitab ini. Tetapi sehubungan dengan ini kami hanya meniti cara yang dipakai oleh mazhab ulama Salaf yang saleh, seperti Malik, Auza'i, Ats-Tsauri, Al-Al-Laits ibnu Sa'd, Asy-Syafii, Ahmad, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta lain-lainnya dari kalangan para imam kaum muslim, baik yang terdahulu maupun yang kemudian. Yaitu menginterpretasikannya seperti apa adanya, tetapi tanpa memberikan gambaran, penyerupaan, juga tanpa mengaburkan pengertiannya. Pada garis besarnya apa yang mudah ditangkap dari teks ayat oleh orang yang suka menyerupakan merupakan hal yang tidak ada bagi Allah, mengingat Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyerupai-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, (Asy-Syura; 11) Bahkan pengertiannya adalah seperti apa yang dikatakan oleh para imam, antara lain Na'im ibnu Hammad Al-Khuza'i (guru Imam Bukhari). Ia mengatakan bahwa barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, kafirlah dia. Barang siapa yang ingkar kepada apa yang disifatkan oleh Allah terhadap Zat-Nya sendiri, sesungguhnya dia telah kafir. Semua apa yang digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai diriNya, juga apa yang digambarkan oleh Rasul-Nya bukanlah termasuk ke dalam pengertian penyerupaan. Jelasnya, barang siapa yang meyakini Allah sesuai dengan apa yang disebutkan oleh ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, kemudian diartikan sesuai dengan keagungan Allah dan meniadakan dari Zat Allah sifat-sifat yang kurang, berarti ia telah menempuh jalan hidayah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Al-A'raf: 54) Yakni menghilangkan kegelapan malam hari dengan cahaya siang hari, dan menghilangkan cahaya siang hari dengan gelapnya malam hari. Masing-masing dari keduanya mengikuti yang lainnya dengan cepat dan tidak terlambat. Bahkan apabila yang ini datang, maka yang itu pergi; begitu pula sebaliknya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 37-40) Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: dan malam pun tidak dapat mendahului siang. (Yasin: 40) Artinya, tidak akan terlambat darinya serta tidak akan ketelatan darinya, bahkan yang satunya datang sesudah yang lainnya secara langsung tanpa ada jarak waktu pemisah di antara keduanya. Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang; (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. (Al-A'raf: 54) Di antara ulama ada yang membaca nasab, ada pula yang membaca rafa tetapi masing-masing dari kedua bacaan mempunyai makna yang berdekatan. Dengan kata lain, semuanya tunduk di bawah pengaturanNya dan tunduk di bawah kehendak-Nya. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. (Al-A'raf: 54) Yakni hanya Dialah yang berhak menguasai dan mengatur semuanya. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. (Al-A'raf: 54) Sama dengan yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang. (Al-Furqan: 61), hingga akhir ayat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Hisyam Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Abdul Gaffar ibnu Abdul Aziz Al-Ansari, dari Abdul Aziz Asy-Syami, dari ayahnya yang berpredikat sahabat, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang tidak memuji Allah atas amal yang dikerjakannya, yaitu amal yang saleh; dan bahkan dia memuji dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia telah ingkar dan amalnya dihapuskan. Dan barang siapa yang menduga bahwa Allah telah menjadikan bagi hamba-hamba-Nya sesuatu dari urusan itu, berarti ia telah ingkar terhadap apa yang diturunkan oleh Allah kepada nabi-nabi-Nya. Dikatakan demikian karena ada firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang mengatakan: Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. (Al-A'raf: 54) Di dalam sebuah doa yang matsur (bersumber) dari Abu Darda dan telah diriwayatkan secara marfu' disebutkan: Ya Allah, bagi-Mu semua kekuasaan, dan bagi-Mu semua pujian, dan hanya kepada Engkaulah semua urusan dikembalikan. Saya memohon kepada-Mu semua kebaikan, dan saya berlindung kepada-Mu dari semua kejahatan.

Sungguh, Tuhanmu, Pemelihara dan Pembimbingmu, adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa atau periode, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Dia menutupkan malam dengan kegelapannya kepada siang yang mengikutinya dengan cepat sehingga begitu siang datang, ketika itu juga malam pergi. Semua makhluk-Nya termasuk matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan, yakni menetapkan ukuran tertentu bagi ciptaan dan segala urusan, menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam. Berdoalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan dan memeliharamu, dengan rendah hati dan suara yang lembut, yakni tidak terlalu keras, namun tidak pula terlalu pelan, tetapi di antara keduanya. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas dalam berdoa dan segala hal.

Pada permulaan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa). Dialah Pemilik, Penguasa dan Pengaturnya, Dialah Tuhan yang berhak disembah dan kepada-Nya manusia harus meminta pertolongan. Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanya langit dan bumi saja, tetapi yang dimaksud ialah semua yang ada di alam ini, karena yang dimaksud dengan langit ialah semua alam yang di atas, dan yang dimaksud dengan bumi ialah semua alam di bawah, dan termasuk pula alam yang ada di antara langit dan bumi sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. (al-Furqan/25: 59) Adapun yang dimaksud dengan enam hari ialah enam masa yang telah ditentukan Allah, bukan enam hari yang kita kenal ini yaitu hari sesudah terciptanya langit dan bumi, sedang hari dalam ayat ini adalah sebelum itu. Berikut ini penjelasan arti enam hari dalam ayat ini menurut para ilmuwan: Menurut Marconi (2003) penjelaskan keenam masa tersebut sebagai berikut: Masa Pertama, yakni masa sejak 'Dentuman Besar (Big Bang) dari Singularity, sampai terpisahnya Gaya Gravitasi dari Gaya Tunggal (Superforce), ruang-waktu mulai memisah. Namun Kontinuum Ruang-Waktu yang lahir masih berujud samar-samar, dimana energi-materi dan ruang-waktu tidak jelas bedanya. Masa Kedua, masa terbentuknya inflasi Jagad Raya, namun Jagad Raya ini masih belum jelas bentuknya, dan disebut sebagai Cosmic Soup (Sup Kosmos). Gaya Nuklir-Kuat memisahkan diri dari Gaya Elektro-Lemah, serta mulai terbentuknya materi-materi fundamental: quarks, antiquarks, dan sebagainya. Jagad Raya mulai mengembang. Masa Ketiga, masa terbentuknya inti-inti atom di Jagad Raya ini. Gaya Nuklir-Lemah mulai terpisah dengan Gaya Elektromagnetik. Inti-inti atom seperti proton, netron, dan meson tersusun dari quark-quark ini. Masa ini dikenal sebagai masa pembentukan inti-inti atom (Nucleosyntheses). Ruang, waktu serta materi dan energi, mulai terlihat terpisah. Masa Keempat, elektron-elektron mulai terbentuk, namun masih dalam keadaan bebas, belum terikat oleh inti-atom untuk membentuk atom yang stabil. Masa Kelima, terbentuknya atom-atom yang stabil, memisahnya materi dan radiasi, dan Jagad Raya, terus mengembang dan mulai nampak transparan. Masa Keenam, Jagad raya terus mengembang, atom-atom mulai membentuk aggregat menjadi molekul-molekul, makro-molekul, kemudian membentuk proto-galaksi, galaksi-galaksi, bintang-bintang, tata-surya tata surya, dan planet-planet. Adapun mengenai lamanya sehari menurut agama hanya Allah yang mengetahui, sebab dalam Al-Qur'an sendiri ada yang diterangkan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan seribu tahun, dalam firman-Nya yang disebutkan: Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (al-hajj/22: 47) Dan ada pula yang diterangkan lima puluh ribu tahun seperti dalam firman-Nya: Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. (al-Ma'arij/70: 4) Ada beberapa hadis yang menunjukkan bahwa hari yang enam itu ialah hari-hari kita sekarang di antaranya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata: "Rasulullah memegang tanganku lalu bersabda, "Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, menciptakan bukit-bukit pada hari Ahad, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tak baik pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menciptakan gunung-gunung pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari Jum'at sesudah Asar, merupakan ciptaan terakhir, pada saat terakhir itu antara waktu asar dan permulaan malam". (Riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah) Hadis ini ditolak oleh para ahli hadis karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an. Dari segi sanadnya pun hadis ini adalah lemah karena dirawikan oleh Hajjad bin Muhammad al-Ajwar dari Juraij yang sudah tidak waras di akhir hayatnya. Menurut al-Manar hadis ini termasuk hadis-hadis Israiliyat yang dibikin oleh kaum Yahudi dan Nasrani dan dikatakan dari Rasulullah ﷺ Pada ayat-ayat yang lain diterangkan lebih terperinci lagi tentang masa-masa penciptaan langit dan bumi seperti terdapat dalam firman Allah: Katakanlah, "Pantaskah kamu ingkar kepada Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan seluruh alam." (Fushshilat/41: 9) Allah menciptakan gunung-gunung yang kokoh di atas bumi. Dia memberkahi dan menentukan kadar makanan penghuninya dalam empat masa yang sama (cukup) sesuai bagi siapa yang memerlukannya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan bumi itu masih merupakan asap, Allah berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka atau terpaksa. Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka." Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penciptaan bumi yang berasal dari gumpalan-gumpalan yang kelihatan seperti asap adalah dua masa dan penciptaan tanah, bukit-bukit, gunung-gunung serta bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan bintang dalam dua masa pula. Dengan demikian sempurnalah penciptaan bumi dan segala isinya dalam empat masa. 2. Penciptaan langit yang berasal dari gumpalan-gumpalan kabut itu dengan segala isinya dalam dua masa pula. Adapun bagaimana prosesnya kejadian langit dan bumi. Al-Qur'an tidak menjelaskannya secara terperinci dan kewajiban para ahli untuk menyelidikinya dan mengetahui waktu atau masa yang diperlukan untuk masing-masing tahap dari tahap-tahap kejadiannya. Kemudian setelah selesai penciptaan langit dan bumi, Allah bersemayam di atas Arsy mengurus dan mengatur semua urusan yang berhubungan dengan langit dan bumi sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Tentang bagaimana Allah bersemayam di atas Arsy-Nya dan bagaimana Dia mengatur semesta alam ini tidaklah dapat disamakan atau digambarkan seperti bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya karena Allah tidak boleh dimisalkan atau disamakan dengan makhluk-Nya. Namun hal ini harus dipercayai dan diimani dan hanya Allah sendiri Yang Mengetahui bagaimana hakikatnya. Para sahabat Nabi tidak ada yang merasa ragu dalam hatinya mengenai bersemayam-Nya Allah di atas Arsy. Mereka meyakini hal itu dan beriman kepada-Nya tanpa mengetahui bagaimana gambarannya. Demikianlah Imam Malik berkata ketika ditanyakan kepadanya masalah bersemayamnya Allah di atas Arsy sebagai berikut, "Bersemayamnya Allah adalah suatu hal yang tidak asing lagi, tetapi bagaimana caranya tidak dapat dipikirkan." Kerasulan itu adalah dari Allah dan kewajiban Rasul ialah menyampaikan, maka kewajiban manusia ialah membenarkannya. Demikianlah pendapat dan pendirian ulama-ulama dari dahulu sampai sekarang, maka tidak wajar manusia memberanikan diri untuk menggambarkan bersemayam-Nya Allah di atas Arsy-Nya. Na'im bin Ahmad guru Imam al-Bukhari berkata tantang hal itu, "Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah kafir, orang yang mengingkari sifat Allah sebagaimana diterangkan-Nya (dalam kitab-Nya) adalah kafir, dan tiadalah dalam sifat Allah yang diterangkan-Nya atau diterangkan Rasul-Nya sesuatu penyerupaan. Maka barang siapa yang menetapkan hal-hal yang diterima dari hadis yang sahih sesuai dengan keagungan Allah dan meniadakan sifat-sifat kekurangan bagi-Nya, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan yang benar. Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dialah yang menutupi siang dan malam sehingga hilanglah cahaya matahari di permukaan bumi dan hal ini berlaku sangat cepat. Maksudnya malam itu selalu mengejar cahaya matahari telah tertutup terjadilah malam dan di tempat yang belum terkejar oleh malam, matahari tetap meneranginya dan di sana tetaplah siang. Demikianlah seterusnya pergantian siang dengan malam atau pergantian malam dengan siang. Dalam ayat lain Allah berfirman: Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun. (az-Zumar/39: 5) Hal ini terjadi karena bumi yang berbentuk bulat selalu berputar pada sumbunya di bawah matahari. Dengan demikian, pada permukaan bumi yang kena cahaya matahari terjadilah siang dan pada muka bumi yang tidak terkena cahayanya terjadilah malam. Kemudian Allah menerangkan pula bahwa matahari, bulan dan bintang semuanya tunduk di bawah perintah-Nya dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Semuanya bergerak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dan di antaranya tidak ada yang menyimpang dari aturan-aturan yang telah ditentukan itu. Dengan demikian terjadilah suatu keharmonisan dan keserasian dalam perjalanan masing-masing sehingga tidak akan terjadi perbenturan atau tabrakan antara satu dengan yang lainnya, meskipun di langit terdapat bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya yang jumlahnya tak terhingga. Semua itu adalah karena Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam. Hanya Allah yang patut disembah, kepada-Nya setiap hamba harus memanjatkan doa memohon karunia dan rahmat-Nya dan kepada-Nya pula setiap hamba harus bersyukur dan berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Sungguh amat jauh kesesatan orang yang mempersekutukan-Nya dengan makhluk-Nya dan memohonkan doa kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudarat. .


Ayat 54

“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah."

Sebagaimana berulang-ulang telah kita katakan dan telah diterangkan dalam tafsir ini bahwa di dalam bahasa Arab, Allah itu mempunyai dua sifat pokok, yaitu ilah dan rabbun. Sebagai pencipta menjadikan dari tidak ada kepada ada. Dia adalah llah. Tidak ada yang menciptakan alam ini selain Dia. Setelah alam Dia ciptakan, Dia pula yang terus mengatur, memelihara, menguasai, dan mendidik.

Dia sebagai Ilah. Oleh sebab itu, tidak ada Ilah yang lain kecuali Dia. Maka, segala persem-bahan, segala ibadah, tertujulah kepada Allah sebagai Ilah. Dan di dalam mengatur, memelihara, mendidik, dan menguasai yang sepenuhnya itu, tidaklah Dia bersekutu dengan yang lain. Dia sendirilah Rabbun, tidak ada Rabbun atau Arbaab yang lain. Ini selalu dijelaskan karena banyak manusia mengakui bahwa Ilah itu memang hanya satu, yaitu Allah. Namun, kelak dalam persembahan dan pemujaan, dalam ibadah dan meminta tolong mereka persekutukanlah yang lain dengan Dia. Itulah yang dijelaskan pada pangkal ayat ini, “Sesungguhnya Rabbun kamu itu adalah Allah." Tidak ada tempat menyembah selain Dia. Sebab, tidak ada yang lain turut mengatur, memelihara, dan mendidik alam ini bersama dia. ‘Yang telah menciptakan langit dan bumi di dalam enam hari."

Supaya kita dapat memahami apa arti Allah menjadikan semua langit dan bumi dalam enam hari, hendaklah kita langsung mengambil dari Al-Qur'an sendiri dengan penafsiran alam menurut perkembangan ilmu pengetahuan. Dan, yang demikian itu telah lebih mudah di zaman modern kita sekarang ini. Penyelidikan tentang alam ini berangsur-angsur maju di luar dari kepercayaan turun-temurun manusia. Karena hubungan orang Arab dengan Yahudi berdekatan maka tidak sedikit masuk pengaruh kitab Perjanjian Lama kepada ahli-ahli tafsir Islam pada zaman pengetahuan umum belum maju itu, Oleh karena itu, tidaklah kita heran jika di dalam beberapa tafsir Al-Qur'an lama, banyak ditafsirkan orang menurut Perjanjian Lama dan dongeng-dongeng orang israili. Menurut Perjanjian Lama itu, Allah menjadikan langit dan bumi ini dalam enam hari, dimulai hari Ahad, disudahi hari Jum'at dan pada hari Sabtu Allah istirahat, berlepas lelah!

Setelah ayat Al-Qur'an yang menyebutkan enam hari ditilik dari segi bahasa Arab dan dari ayat lain sendiri di dalam Al-Qur'an, sudahlah nyata bahwa yang dimaksud dengan hari pada ayat ini bukanlah hari 24 jam seperti yang kita hitung sekarang. Kemajuan ilmu pengetahuan tentang alam, yang anak sekolah dasar pun telah tahu, telah menunjukkan bahwa yang kita namai sehari semalam sekarang ini ialah edaran bumi mengedari atau mengelilingi matahari. Sekarang orang telah tahu, selain bumi ada lagi beberapa buah bintang yang mengelilingi matahari dan mereka ada yang lebih besar daripada bumi dan lebih jauh jarak putarannya dari matahari sehingga edaran dari bintang-bintang itu tidaklah 24 jam sebagai bumi. Bintang-bintang Mars, Mercurius, Saturnus, Neptunus, dan beberapa buah bintang lagi yang diriamakan satelit matahari. Atau dalam bahasa populernya, pengiring. Mereka juga mengelilingi matahari menurut jarak yang lebih jauh dari edaran bumi. Oleh sebab itu, siang-malam di sana berbeda dari siang-malam di bumi. Padahal, makhluk Allah yang bernama “semua langit" itu sangatlah banyak. Keluarga matahari dengan satelitnya dan bintang-bintangnya yang lain yang berjuta-juta banyaknya itu hanyalah satu kekeluargaan saja, dari berpuluh, entah beratus, entah berapa lagi makhluk yang lain. Dibawa pada makhluk yang maha luas itu, matahari dengan bumi dengan bulan dan bintang-bintang dan satelitnya hanyalah satu kelompok kecil kekeluargaan saja. Oleh sebab itu, dengan ini saja sudah nyata bahwa enam hari di dalam Al-Qur'an itu bukanlah enam hari 24 jam.

Di dalam Al-Qur'an surah al-Haj ayat 47 dan surah as-Sajdah ayat 5, dijelaskan bahwa ada bilangan hari satu hari di sisi Allah sama dengan 1.000 tahun hitungan kita manusia. Sedangkan 1.000 tahun kita itu ialah 1.000 kali 365 hari kita. Di dalam surah al-Ma'aarij ayat 4 diterangkan lagi satu macam hari di sisi Allah, yang pada waktu itu malaikat dan ruh naik ke atas, jumlah bilangan hari itu ialah 50.000 tahun menurut hitungan tahun edaran bumi matahari kita ini; 50.000 kali 356 hari kita. Itu baru dua contoh Allah menyebutkan hari-Nya kepada kita. Berapa juta lagikah macam hari Allah yang lain? Hanya Dia saja yang tahu. Sedangkan hari yang kita pakai hanya satu macam saja, yaitu 24 jam sekali edaran bumi keliling matahari. Oleh sebab itu, Allah menjadikan semua langit dan bumi dalam enam hari, bukanlah hari menurut hitungan kita, melainkan hari menurut hitungan Allah sendiri. Di dalam bahasa Arab pun hari itu berarti juga zaman atau masa. Maka, dapatlah kita simpulkan maksud ayat, berdasar arti yang lain dari hari dalam bahasa Arab dan kemajuan penyelidikan ilmu bahwa kejadian alam semua langit dan bumi adalah melalui enam masa. Zaman pertama bahwa semuanya masih merupakan uap atau kabut. Dari kabut itulah timbul satu pecahan kecil yang kemudiannya berbentuk jadi bumi. Zaman kedua, uap telah bersilih menjadi air. Zaman ketiga, mulai timbul yang kering, yang kelaknya akan berkumpul menjadi bukit-bukit dan gunung-gunung. Zaman keempat, mulailah kelihatan yang hidup dalam air, yaitu tumbuh-tumbuhan dan binatang. Zaman kelima, keenam, sampai sebagai yang sekarang ini.

Demikianlah, pada zaman Rasulullah ﷺ sendiri orang Yahudi menyampaikan paham dalam kalangan Arab jahiliyyah bahwasanya hari Sabtu hendaklah dijadikan hari Sabat, sebab pada hari itu Allah istirahat. Datang Al-Qur'an membantah, seperti tersebut di dalam surah ar-Rahmaan ayat 29 bahwa setiap waktu, ataupun setiap hari ada saja urusan Allah itu. Allah bukan makhluk, yang perlu istirahat.

Sungguh pun demikian ada juga dike-mukakan orang hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ memang pernah mengatakan, menurut riwayat Muslim, ahli hadits yang besar itu dan Imam Ahmad menerangkan dalam masnadnya, diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Allah menjadikan tanah hari Sabtu, menjadikan gunung-gunung hari Ahad, menjadikan kayu-kayuan hari Isnin (Senin), menjadikan segala yang dibenci hari Selasa, menjadikan cahaya (nur) hari Arba'a (Rabu), menjadikan bintang-bintang hari Khamis (Kamis), dan menjadikan Adam di waktu Ashar hari Jum'at itu sampai malam."

Hadits ini diselidiki orang dengan saksama menurut ilmu hadits, walaupun nama Imam Muslim disebut-sebut sebagai perawinya. Hadits jenis ini ada macam-macam, tetapi yang satu ini sanadnya agak kuat. Bukan sangat kuat, melainkan agak kuat. Tiba-tiba bertemulah dalam sanad yang merawikan itu nama Hajjaj bin Muhammad al-A'war, yang menurut penyelidikan, beliau ini pada hari tuanya jadi kacau akalnya hingga hafalannya. Menurut keterangan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya pula bahwa hadits ini telah dibicarakan dengan saksama oleh Imam Bukhari. Ternyata bahwa hadits ini dari riwayat Abu Hurairah, yang diterimanya daripada Ka'ab al-Ahbar. Dan, kita sudah mengetahui bahwa Ka'ab al-Ahbar adalah Yahudi yang masuk Islam, banyak sekali membawa dongeng-dongeng israiliyat. Kerap kali riwayat-riwayat yang diterima dari Ka'ab ini ditulis tanpa komentar, sebab dia sendiri memang orang shalih dan taat.

Sedangkan satu hadits betapa pun bagus matannya, kalau tidak sejalan isinya dengan Al-Qur'an, sudah boleh diletakkan saja, apatah lagi jika sudah terdapat nama-nama yang mencurigakan, seperti Hajjaj bin Muhammad al-A'war tadi, yang pada hari tuanya mulai rusak hafalannya dan bertemu pula keterangan Bukhari bahwa Ka'ab al-Ahbar ada pula campur tangan di dalam memasukkan cerita ini. Maka, kalau kita tolak, bukan berarti kita menolak keterangan Rasulullah ﷺ, melainkan hanya tidak lekas menerima suatu hadits sebab riwayat silsilah atau rantai perawinya meragukan kita.

Jika kita melepaskan diri dari hadits-hadits semacam itu, yang jalan riwayatnya banyak cacatnya menurut ilmu hadits, lalu kita baca beberapa ayat dari Al-Qur'an dan disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan tentang alam maka ayat-ayat itu akan dapat dipahamkan dengan tuntunan ilmu pengetahuan alam itu. Misalnya, pertama sekali tersebut di dalam Al-Qur'an, surah Fushshilat,

“Kemudian itu dia menuju kepada (pembikinan) langit dan langit itu adalah asap."

Sesuai dengan hasil penyelidikan ilmiah yang menyatakan, asal-usul materi kejadian bumi dan langit itu mulanya seumpama asap saja, yang kemudian berpisah-pisah menurut hukum daya tarik, yang selalu bergerak, mengumpul, dan memisah melalui proses jutaan tahun. Di dalam surah al-Anbiyaa' ayat 30 diterangkan pula bahwa pada asal mulanya langit dan bumi itu adalah sekepal, kemudian dipisahkan oleh Allah di antara keduanya. Inilah yang dikatakan oleh penyelidik ilmu alam tentang dahulunya masih chaos, kemudian membentuk diri menjadi matahari sebagai induk asal, lalu terjadilah bintang-bintang dan di antara bintang-bintang itu ialah bumi. Dan, bumi itu sendiri, yang mulanya berupa gas yang selalu menyala, dengan melalui berjuta masa, turun derajatnya menjadi air. Lama-lama, timbullah sifat kering, sezaman demi sezaman, dan setingkat masa pada setingkat, yang kemudian menimbulkan jenis logam, jenis kehidupan dan adanya tumbuh-tumbuhan, sampai martabat kehidupan itu dari lumut, naik menjadi semacam kerang, dan naik menjadi tumbuh-tumbuhan. Materi atau zat yang mulai diberi hidup itu, diriamai oleh ahli ilmu pengetahuan dengan protoplasma. Semuanya ini adalah menurut kadar atau jangka, yang telah ditentukan, yang itu dibayangkan di dalam Al-Qur'an surah al-Furqaan ayat 2. Tentang tingkat-tingkat kehidupan atau giliran-giliran hidup itu, menanjak sejak dari hidup yang mulai didapat pada lumut, berasal dari protoplasma itu, sampai pada tumbuh-tumbuhan kemudian meningkat kepada kehidupan kerang, batas di antara tumbuh-tumbuhan dengan ikan dan maju lagi pada giliran yang telah pula dibayangkan Allah di dalam surah Nuuh ayat 14.

Oleh sebab itu, ratusan tahun sebelum Darwin mengeluarkan teorinya, Ibnu Maska-waihi dan kemudian Ibnu Khaldun telah menyatakan teorinya terlebih dahulu perihal tingkatan makhluk bernyawa menempuh hidup. Menurut mereka, giliran terakhir dari tingkat kemajuan hidup binatang ialah kera. Permulaan atau tapak pertama dari permulaan hidup insan ialah kehidupan orang Zanji di tengah-tengah Benua Afrika. (Atau sebagai apa yang kita namai suku-suku terbelakang.)

Kemudian, ahli tasawuf besar Jamaluddiri Rumi menyatakan pula pendapatnya bahwa pada mulanya ialah benda semata-mata, kemudian baru timbul apa yang diriamai hidup. Permulaan hidup terbagi pada tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan meningkat pada hewan (binatang), tetapi melalui pula zaman peralihan yang terdapat pada hidup kerang di laut, yang bernyawa sebagai binatang, tetapi dia berurat dan berbunga seperti tum-uh-tumbuhan. Dari tingkat binatang itulah dia berangsur mencapai derajat paling tinggi, yaitu manusia. Dia pun sepaham dengan Ibnu Khaldun bahwa ekor terakhir dari proses kebinatangan ialah kera dan mula pertama tumbuhnya manusia ialah kera. Dan, menurut Jamaluddiri Rumi, perjalanan kehidupan itu tidaklah habis setahap itu saja, bahkan dia akan lebih naik lagi, sampai manusia yang diriamai alam nasut, naik lagi dan naik lagi sampai mencapai alam malakut (alam malaikat) dan akhir sekali, Inna lillahi wa inna Ilaihi raji'una.

Namun, teori-teori dari ahli filsafat Islam itu, baik Ibnu Maskawaihi ahli akhlak (etika) dalam Islam atau Ibnu Khaldun ahli filsafat sejarah atau Jamaluddiri Rumi ahli filsafat tasawuf, tidaklah terdapat dalam teori mereka itu yang melepaskan diri dari rangka bahwa semuanya itu sunnatullah, garis ketentuan Allah, bukan materialistis yang sengaja mengelak dari Allah.

Penafsir besar, ar-Razi, pun berkata dalam tafsirnya, “Yang lebih dapat diterima oleh akal ialah bahwa bumi yang telah ramai didiami sejak zaman purbakala adalah masih lautan semata-mata. Lama-lama timbullah daripada tanah luluk yang amat banyak, yang kian lama kian membatu. Setelah itu mulailah ia terpisah-pisah. Kemudian timbullah lembah-lembah yang rendah karena aliran banjir dan angin. Karena aliran air dan hembusan angin itu, timbullah lurah dan timbullah gunung. Yang lebih memperkuat persangkaan ini ialah karena ada didapati. Batu itu kita selidiki maka terdapatlah pada pecahan batu-batu itu bekas bagian daripada binatang-binatang air, sebagai lokan-lokan ataupun ikan," Sekian ar-Razi.

Keterangan ar-Razi dalam tafsirnya ini, membuktikan pula bagi kita bahwa sarjana-sarjana Islam telah mulai menyelidiki alam dan mengeluarkan teori dari hasil penyelidikannya dalam bidang masing-masing. Kemudian mundurlah penyelidikan sendiri, dirigin semangat menyelidik dan ijtihad. Maka, setelah timbul teori Charles Darwin dalam abad kesembilan belas, mulailah dia membebaskan ilmu itu dari kepercayaan kepada Allah, menjadi semata-mata materialistis, dan disangka oranglah bahwa di kalangan Islam soal itu adalah baru, padahal sudah lama dan lebih lengkap dari segi ruhaniyahnya, yaitu kepercayaan akan kebenaran Allah. Malahan kalangan Islam sendiri tidak sanggup menilai pendapat Darwin itu dari segi pandangan sarjana Islam karena pengetahuan umum telah lama ditinggalkan, dan berpegang teguhlah setengah mereka kepada tafsir-tafsir yang bersifat israiliyat, yang dimasukkan ke dalam Islam oleh seumpama Ka'ab al-Ahbar.

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

“Kemudian bersemayamlah Dia di atas Arsy." Artinya, setelah Allah menciptakan semua makhluk-Nya, langit dan bumi dan seba-gainya itu, bersemayamlah Dia menurut kelayakan bagi-Nya di atas Arsy.

Istawaa diartikan “bersemayam". Karena itulah kata kehormatan yang tertinggi yang biasanya kita pakai dalam bahasa Melayu klasik terhadap raja yang bersemayam di singgasana. Arsy itu pun bisa diartikan singgasana atau mahligai atau takhta. Kalau orang biasa disebutkan duduk di kursi maka raja disebut bersemayam di mahligai.

Boleh kita ambil isi maksudnya, Allah “Malikul Mulki", raja dari segala raja, Mahakuasa di atas segala kekuasaan, bersemayam di atas Arsy-Nya, mengatur segala sesuatunya dengan segala kebesaran dan kekuasaan yang Mahasempurna. Di surah Huud ayat 7 disebut pula bahwa Arsy itu di atas air dan di surah al-Haqqah ayat 17, dikatakan bahwa Arsy itu dipikul oleh delapan malaikat.

Menjalar pertanyaan-pertanyaan orang, bagaimana Allah itu duduk semayam? Apakah kalimat istawaa yang diartikan semayam itu atau duduk itu keadaannya menurut arti yang kita pikirkan bila kita melihat orang duduk di kursi atau seorang raja tengah duduk di hadapan menteri-menteri dan hulu balang-hulu balang, biti-biti perwara? Besarkah Arsy-Nya daripada dirinya sendiri? Bertubuhkah Allah dan bertempatkah Dia? Kalau demikian niscaya serupa Dia dengan yang baru. Itulah tanya yang akan timbul.

Ulama-ulama salaf (yang datang kemudian) memberi tafsiran bahwa maksud perkataan ini untuk menjelaskan Maha Kebesaran dan Maha Kekuasaan Allah. Bilamana telah selesai Dia menjadikan semua langit dan bumi dalam masa enam hari, yaitu enam giliran zaman, yang satu zaman itu entah berjuta tahunkah, Dia saja yang tahu, kemudian Dia pun duduklah mentadbirkan alam itu menurut kehendak qudrat dan iradat-Nya. Kata mereka, kepada raja-raja yang besar-besar pun selalu dikatakan orang bahwa raja anu duduk bersemayam di atas singgasananya sekian tahun lamanya, artinya ialah bahwa raja itu berkuasa sekian tahun. Arsy itu sendiri adalah lambang ibarat dari kekuasaan. Tidak perlu kita berpikir bahwa Allah bertubuh dan Arsy-Nya itu lebih besar dari Dia. Sebab di dalam Ayat Kursi yang terkenal di dalam surah al-Baqarah ayat 255 disebutkan juga bahwa Kursi Allah meliputi semua langit dan bumi.

Akan tetapi, ulama salaf tidak mau menyinggung menafsirkan itu berdalam-dalam, melainkan menerima saja ayat itu keseluruhannya. Daerah alam jabarut, yaitu alam kebesaran Ilahi yang seperti demikian tidaklah ada bagi kita alat yang tepat buat menafsirkannya. Kita tafsirkan dengan agak-agak, padahal entah bukan begitu.

Menurut riwayat Ibnu Mardawaih dan al-La-Lakaaiy bahwa ibu orang yang beriman, ibu kita Ummi Salamah pernah berkata tentang bagaimana arti Allah bersemayam di Arsy itu. Kata ibu kita itu, “Tentang betapa keadaannya tidaklah dapat dicapai dengan akal dan tentang Dia bersemayam tidaklah majhul dan mengakui tentang hal itu adalah termasuk iman dan menolaknya adalah suatu kekufur-an.1' Itulah perkataan sahabat Rasulullah ﷺ

Dan mengeluarkan pula al-La-Lakaaiy di dalam as-Sunnah dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Asma' was-Shifat, “Bahwa Rabi'ah, guru dari Imam Malik ditanyai orang tentang arti bersemayam di Arsy, betapa sema-yamnya?" Beliau menjawab, “Tentang bersemayam, bukanlah tidak diketahui dan betapa keadaannya bukanlah yang dapat dipikirkan. Dari Allah datang risalah dan Rasul adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah membenarkan." Rabi'ah adalah tabi' tabi'in.

Dan, menurut riwayat itu, datang pula orang bertanya kepada Imam Malik tentang soal ini. Tampak susah dia hendak menjawab karena marah beliau kepada orang yang bertanya setelah beliau bisa menyelesaikan napasnya, dijawabnyalah pertanyaan orang itu, “Tentang bagaimana caranya Dia duduk, tidaklah dapat dipikirkan dengan akal, tentang arti bersemayam tidaklah hal yang majhul, dan iman kepada-Nya adalah wajib bagi kita, tetapi bertanya tentang itu adalah bid'ah, dan saya takut engkau akan tersesat!" Lalu, beliau suruh orang untuk mengeluarkan orang yang bertanya itu dari dalam majelis pengajian beliau. Dan dalam riwayat yang lain tersebut beliau menjawab pertanyaan itu demikian, “Tentang ar-Rahman bersemayam di atas Arsy, adalah keadaannya sebagaimana telah disifatkan-Nya itu, dan tidak perlu kita bertanya ‘betapa', itu tidak bisa dipasangkan kepada Allah, sedang engkau sendiri adalah seorang yang jahat, tukang bid'ah."

Di sini kita, menampak bahwa ulama-ulama salaf ikutan kita, sejak sahabat-sahabat Rasulullah yang dicerminkan oleh Ibu Mukminin Ummi Salamah tadi, lalu kepada tabi'in, tabi' tabi'in dan ulama yang terdahulu (muta-qaddimin), tidaklah memandang layak kita membicarakan hal-hal semacam itu. Dan apabila Imam Malik marah kepada orang yang bertanya itu karena bertanya semata hendak membongkar-bongkar soal yang bisa menimbulkan keraguan dan memperpanjang debat, bukan karena hendak menuntut ilmu.

Bahkan, keadaan ini adalah seperti yang dikatakan salah seorang Imam ikutan, yaitu Nu'aim bin Hammad al-Khuza'i, guru dari Imam Bukhari. Kata beliau, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah kafir, dan barangsiapa yang tidak mau percaya akan sifat Allah yang telah dije-laskan-Nya sendiri tentang dirinya, dia pun kafir. Dalam sifat Allah tentang diri-Nya atau diterangkan oleh Rasul-Nya, tidaklah terdapat perserupaan dengan sifat makhluk. Barangsiapa yang mengakui apa yang tersebut di dalam nash yang demikian, jelasnya dalam Al-Qur'an dan demikian pula dari kabar-kabar (hadits) yang shahih, menurut keadaan yang layak bagi kemuliaan Allah, serta menafikan dari Allah segala kekurangan, orang itulah yang telah berjalan di atas garis petunjuk yang benar."

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah madzhab salaf yang shalih, yaitu Imam Malik dan al-Auzal dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad, dan asy-Syafi'i, dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi, dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat. Dan, segala yang cepat terkenang di dalam otak orang yang hendak menyerupakan Allah dengan yang lain, sekali-kali tidaklah sesuai dengan keadaan Allah sebab tidak ada makhluk yang menyerupai Allah. Tidak sesuatu yang rae-nyerupal-Nya dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini. Di dalam filsafat modern ada satu daerah yang disebut trancendentialisme, yaitu daerah yang di atas dari kekuatan akal. Bukan daerah yang tidak masuk akal.

Kemudian, datang sambungan ayat, “Dia tutupkan malam pada siang, yang mengiringinya dengan cepat." Di dalam ayat ini, Allah menerangkan bagaimana Allah menutupkan malam pada siang, yaitu ketika matahari mulai ghurub. Dalam beberapa menit saja, kegelapan malam itu telah menutup cahaya siang, dengan terbenamnya matahari ke ufuk barat, cepat saja berubah keadaan daripada siang kepada malam, dalam masa yang tidak lebih dari 10 menit. Bahkan, setelah matahari terbenam ke ufuk barat, yang lebih jelas kalau kita lihat di tepi laut, waktu maghrib pun masuk dan hari pun telah malam.

“Dan, matahari, bulan dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepada ketetapan-Nya." Apabila kita perhatikan betapa besarnya matahari itu yang sekian juta kali besarnya daripada besar bumi dan matahari itu adalah beredar pula dalam falaknya. Bukan saja bumi yang meng-edarinya, dia pun beredar pula. Bumi pun beredar mengelilingi matahari dan bulan pun beredar mengelilingi bumi yang sedang mengedari matahari itu, dan di samping itu sekalian bintang-bintang pun beredar pula pada falaknya masing-masing. Dan, masing-masingnya itu beredar dan bergerak dengan sangat teratur, yang disebut dalam ilmu pengetahuan alam dengan perseimbangan daya tarik. Karena adanya per-seimbangan itulah maka tidak pernah terjadi kekacauan alam ini sehingga manusia yang telah diberi oleh Allah Ta'aala ilmu pengetahuan tentang perjalanan falak dapat memastikan bahwa sekian tahun lagi, dalam hari sekian, jam sekian, menit dan detik sekian akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Bukanlah orang yang berpengetahuan tentang falak itu mengorek-ngorek hal yang gaib, yang “di atas dari kemauan" akal, tetapi diberi Allah mereka pengetahuan tentang kepastian peraturan dan ketetapan Allah di dalam alam ini. Bahkan, segala cabang ilmu pengetahuan tentang alam adalah menambah keyakinan tentang adanya Yang Maha Mengatur. Oleh sebab itu, ujung ayat berbunyi, “Ketahuilah bagi-Nyalah seluruh pen-ciptaan dan ketentuan." Di sini bertemu kembali tentang uluhiyah dan rububiyah tadi, yaitu tentang ilah sebagai pencipta dan rabbun sebagai penetapkan peraturan. Tidak ada campur tangan yang lain menciptakan seluruh alam itu dan tidak pula ada campur tangan yang lain di dalam mengatur dan menetapkan. Tegasnya, perjalanan matahari, bulan, bumi dan seluruh bintang-bintang dalam cakrawala yang demikian luas dan menakjubkan, tidak mungkin ada yang lain yang mengaturnya kecuali Allah. Bumi mengedari matahari dengan demikian teratur, bukanlah atas kehendak dan kemauan bumi itu sendiri.

“Mahasucilah Allah, Pemelihara sekalian Alam."

Mahasuci, Mahaberkat, penuh Kebesaran dan Kemuliaan Allah, sebagai Pengatur sekalian makhluk-Nya, sebab itu dia pula Yang Mahasuci buat disembah dan diibadati. Sebab tidak ada yang bergerak ataupun diam, tidak ada, yang beredar ataupun menetap, yang terlepas daripada hukum dan ketentuan-Nya.

Menjadi peringatan bagi kita bahwasanya dalam Al-Qur'an banyak terdapat ayat-ayat yang seperti ini. Dengan demikian, bukanlah berarti bahwa ayat-ayat Al-Qur'an itu sudah ilmiah atau watenschap atau Science sifatnya.

Ayat-ayat seperti ini hanyalah semata-mata untuk perangsang pikiran bagi menyelidiki alam lebih luas dan mendalam. Kadang-kadang teori pengetahuan alam yang kuno telah diperbaiki oleh teori yangbaru. Penafsir-penafsir kuno pun kadang-kadang ketika menafsirkan suatu ayat, terpengaruh pengetahuan alam yang sedang berkembang pada zaman mereka. Misalnya pengetahuan Yunani tentang falak dan tentang langit yang tujuh. Bertemu di setengah tafsir bahwa langit yang tujuh ialah menurut Bintang Besar yang Tujuh: zuhal, musytari, marikh, syama (matahari), zahrah (Venus), utharid, dan ardh (bumi). Mereka katakan pula bahwa kursi yang tersebut di surah al-Baqarah ayat 255 itu ialah falak kedelapan, dan Arsy ialah falak kesembilan. Sekarang ilmu pengetahuan alam sangat pesat majunya dan teori Yunani tadi tidak terpakai lagi. Kalau ulama-ulama Islam hanya membaca tafsir lama, dan bersitegang mempertahankannya, padahal pengetahuan sudah sangat maju, tentu mereka ketinggalan zaman. Oleh karena itu, hendaklah kita menyadari kembali bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang menyebut-nyebut keadaan alam itu, bukanlah dia itu sendiri yang ilmu; dia adalah semata-mata pemancing atau perangsang untuk menaruhkan perhatian pada alam keliling bagi menambah iman kepada Allah. Oleh sebab itu, kalau ada mubaligh berkata bahwa di dalam Al-Qur'an sudah cukup sekalian ilmu, maksud perkataan itu hendaklah disalurkan pada jalannya yang sebenarnya, yaitu cukup anjuran buat menuntut dan menyelidiki segala ilmu. Al-Qur'an bukanlah berisi ilmu falak, tetapi menganjurkan menyelidiki falak, buat menambah Iman.

Ayat 55

“Serulah Tuhanmu dengan merendahkan diri dan bersunyi. Sesungguhnya Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang melewati batas."

Serangkaian dengan memerhatikan betapa pentadbiran Allah atas seluruh alam makhluk-Nya ini, sebagaimana yang tersebut di ayat terdahulu maka sesudah memandang alam, niscaya sadarlah manusia akan kecil dirinya. Misalnya kita berdiri di tepi laut yang luas melihat betapa luasnya laut dan kapal hanyalah laksana sepotong sabut kecil terapung-apung diayun-ayunkan gelombang, akan terasalah di waktu itu betapa kecilnya diri kita ini di hadapan kebesaran Allah. Boleh dikatakan bahwa kita sudah tidak ada arti apa-apa di tengah-tengah alam itu. Pada saat yang demikian datanglah sambungan seruan Allah, supaya serulah Dia, Dekatkanlah diri yang kecil itu kepada Kebesaran-Nya. Serulah Tuhanmu dengan merendahkan diri dan bersunyi. Di sini terdapat dua cara, pertama tadharru'an, merendahkan diri dan yang kedua khujyatan, kita artikan “bersunyi". Dengan ini terdapatlah dua macam cara menyeru atau cara mendoa. Yang pertama pilihlah saat yang baik, ketika yang elok, misalnya waktu tengah malam, sedang alam hening sepi maka pada waktu demikian serulah Dia, berdoalah dan shalatlah dengan merendahkan diri kepada-Nya, memohonkan petunjuk dan hidayah-Nya. Akuilah kecil dan lemahnya diri ini dan hanya akan mendapat sedikit kekuatan apabila diberi-Nya anugerah. Dan, tujukanlah segenap perhatian dan ingatan kepada-Nya saja. Dengan demikian, akan terasalah bahwa diri ini adalah semata-mata hamba yang bergantung kepada belas-kasihan Allah. Tidak mempunyai daya upaya sendiri, kalau bukan dari kurunia-Nya.

Yang kedua ialah bersunyi, artinya jika mengerjakan ibadah bersama-sama dengan teman-teman yang lain, misalnya di dalam berjamaah kerjakanlah dengan teratur, ja

ngan ribut yang dapat menimbulkan riya, yaitu beribadah karena ingin dilihat orang. Setelah ahli tafsir mempertalikan di antara keduanya. Di antara tadharru dengan khujyah adalah terjalin menjadi satu. Ketika sendirian kerjakanlah dengan merendahkan diri dan tadharru dan ketika bersama pun hendaklah sikap tadharru itu disempurnakan dengan kesunyian.


jangan menonjol, jangan mengeraskan suara! Sebab, Allah yang diseru itu bukanlah pekak atau tuli. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari, di dalam satu perjalanan bersama-sama dengan Rasulullah ﷺ ada beberapa orang yang membaca takbir dengan suara keras. Maka, bersabdalah Rasulullah ﷺ menegur mereka itu,

“Wahai manusia, batasilah dirimu karena yang kamu seru itu bukanlah pekak dan bukan pula gaib di tempat jauh. Sesungguhnya kamu menyeru yang selalu mendengar dan dekat dan Dia adalah besertamu selalu." (HR Rukhari dan Muslim)

Lantaran itu, Imam Nawawi mengatakan bahwa ini menunjukkan bahwa saat mengerjakan dzikir hendaklah dengan suara rendah dan jangan keras kalau bukan sangat perlu karena dengan bersunyi lebih memperdalam rasa kemuliaan-Nya dan membesarkan-Nya.

Kemudian Allah menyatakan bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. Berdoa merendahkan diri atau bersunyi diri sehingga putus hubungan sama sekali dengan masyarakat, tidaklah pula disukai Allah. Berdzikir dan berdoa keras-keras sehingga mengganggu ibadah orang lain, tidaklah disukai Allah, Dan, berpanjang-panjang, bersajak berirama, tidak disukai Allah.

Mendoa meminta yang tidak-tidak, tidaklah disukai Allah. Berdoa meminta celaka bagi orang lain, tidaklah disukai Allah. Tekun beribadah dan berdoa sehingga terlalai dari keperluan sehari-hari, tidaklah disukai Allah. Maka, bersihkanlah hati, mohonkanlah kepada Allah perlindungan dan petunjuk sambil berdoa, sambil berusaha.

Dari keterangan ayat ini, ditambah lagi dengan hadits larangan Rasulullah ﷺ ber-dzikir keras-keras karena Allah tidaklah pekak dan tidaklah jauh dari kita ini, penulis tafsir ini pernah dianjur-anjurkan oleh seorang guru tarikat yang datang ke Jakarta dari Sumatera Timur. Sehabis shalat lima waktu atau dalam waktu-waktu tertentu yang lain, pengikut tarikat yang mereka namai ‘Tarikat Mufradiyah" itu telah dzikir membaca, “Allah, Allah, Allah"; bersama-sama dengan suara keras sambil menggeleng-gelengkan kepala sehingga kadang-kadang saking sangat kerasnya mereka dzikir, ada di antara mereka yang lupa diri. Dan, kebanyakan yang menjadi pengikutnya bukanlah orang yang telah ada pengertian terlebih dahulu dalam hal ilmu-ilmu agama yang perlu sehingga dzikir yang mereka sangka memuja Allah itu telah melanggar kepada larangan Allah sendiri.

Demikian juga, sewaktu penulis tafsir ini masih kecil, usia lima belas tahun, berjangkit penyakit cacar sehingga penulis dihinggapi penyakit itu, (di Napal Putih 1923). Maka, seorang guru di Napal Putih itu menggerakkan murid-muridnya mengadakan apa yang mereka namai “Ratib Tolak Bala". Berjalan beriringan di jalan raya, sambil membakar kemenyan dan mengucapkan kalimat syahadat “Laa ilaha illallah" dengan suara keras bersama-sama, beramal-ramai dan berdzikir dengan suara keras-keras, “Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Nabiyun akhirun zaman." Sebagaimana yang penulis lihat pula dilakukan orang di Makassar (Ujung Pandang) sewaktu penulis berada di sana pada 1932.

Semuanya ini tampaknya perbuatan yang telah menyalahi ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yakni mengada-ada dalam hal agama (bid'ah), bahkan dengan terang-terang melanggar apa yang dilarang Allah. Itulah bid'ah yang lebih dahsyat lagi.


Ayat 56

“Dan janganlah kamu metusak (mengusut) di bumi sesudah selesainya."

Diriwayatkan oleh Abu Syekh dari Abu Bakar bin lyyasy bahwa beliau ini ditanyai orang tentang apa maksud dari ayat Allah yang mengusut di bumi sesudah selesai, beliau menjawab, “Nabi Muhammad ﷺ telah diutus Allah ke muka bumi ini, padahal waktu itu bumi sudah kusut-masai. Dengan kedatangan Muhammad, hilanglah kekusutan itu dan timbullah bumi yang selesai. Maka, kalau ada orang yang mengajak manusia kepada ajaran yang menyalahi akan ajaran Muhammad itu, orang itulah dia yang diriamai tukang membawa kusut di muka bumi."

Membuat kusut sesudah selesai jauhlah lebih buruk dari membuat kusut sesuatu yang telah kusut juga. Maka, kalau tidak sanggup membuat yang lebih baik, janganlah dirusakkan yang telah baik. Orang yang suka membuat kusut dan merusakkan ialah orang yang jadi musuh dari masyarakat. Puncak segala kacau, kusut dan kerusakan ialah takabur, zalim, dan sewenang-wenang. Dan, ini berpokok pada bangsa yang maju ilmu pengetahuannya di zaman modern ini, kita akui bahwa mereka telah banyak membawa kemajuan dalam peri kehidupan. Perbaikan pada pabrik, perbaikan pada hubungan lalu lintas dunia, perbaikan pada hidup yang lebih mewah, tetapi sangat sedikit ikhtiar kepada perbaikan pada jiwa manusia sehingga kian lama di muka bumi ini rasa permusuhan dan dendamlah yang tumbuh di mana-mana di antara bangsa-bangsa itu. Maka, seorang Muslim yang sadar pada agamanya mempunyai kewajiban supaya jangan menambah kusut yang telah kusut, melainkan memelihara menyelesaikan yang telah ada, jangan dikusutkan lagi, dan berusaha pula membuatyang lebih baik dan yang lebih selesai.

“Dan serulah Dia dengan keadaan takut dan sangat harap." Maka, di dalam menghadapi pergaulan hidup sesama manusia tadi, yang di atasnya dirnulai dengan menyeru Allah untuk menguatkan pribadi dengan merendahkan diri dan bersunyi, lalu diiringi dengan hidup di tengah masyarakat, jangan mengusut yang selesai dan merusakkan yang telah baik, kemudiannya dikembalikan lagi kepada mendekati Allah, supaya diseru Allah itu dengan keadaan takut dan sangat harap. Takut akan dilepaskan Allah hidup sendirian, menurut kehendak hawa nafsu saja sehingga tersesat pada kerusakan atau jadi perusak dan takut pula akan siksaan yang akan ditimpakan Allah karena telah terlanggar peraturannya. Diserati keinginan yang besar, kesungguh-sungguhan dan bersemangat, mengharapkan agar selalu memberikan pimpinan-Nya. Selain ayat yang tersebut, supaya berdoa dengan merendahkan diri dan bersunyi, hendaklah sikap doa itu penuh takut dan penuh semangat keinginan. Takut akan murkanya dan sangat ingin akan ridha-Nya. Maka, orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dengan bekal kekuatan hidayah Allah karena doanya yang tidak putus-putus, niscaya akan mendapat hidayat dan taufik dari Allah sehingga dia tidak menjadi tukang perusak dan tukang kusut, melainkan turut berusaha membuat bumi yang lebih selesai dan dunia yang lebih baik, terutama memperdalam pengaruh ishlah atau perbaikan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ ke alam ini.

Dengan doa yang khusyu dan bersunyi, diikuti dengan berkhidmat kepada pergaulan hidup memelihara hubungan sesama manusia, keselamatan dan keselesaian diiringi pula kembali dengan doa yang penuh takut dan sangat mengharap maka seseorang menjadilah seorang yang baik. Baik pribadiriya terhadap Allah dan baik pula pribadiriya terhadap masyarakat. Pada waktu senang atau waktu susah, dia selalu berkontak dengan Allah. Itulah dia orang yang disebut Muhsin, yaitu orang yang selalu mempertinggi mutu diri, mutu iman dan mutu kehidupan. Maka, berfirmanlah Allah, memberikan janjinya kepada orang-orang seperti itu, sebagai ujung dari ayat,

“Sesungguhnya rahmat Allah adalah dekat kepada orang-orang yang berbuat kebajikan."

Ihsan berarti selalu baik dan memperbaiki, selalu berbuat kebajikan, membuat yang lebih elok dan lebih baik, untuk diri dan untuk orang lain. Inilah yang membuat hidup manusia ber-tambah maju meningkat naik, (kata ahli ilmu ukur ialah spiral), bukan surut ke bawah dan bukan sebagai menghasta kain sarung, berputar-putar dari sana ke di sana juga.

Maka diperintahkan kita berbuat ihsan itu, terutama dan pertama sekali dalam hal ibadah, seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ,

“Al-Itaan … bahwa kamu menyembah kepada Allah seakan-akan engkau meiihat Dia, meskipun engkau tidak melihat Dia, namun dia selalu melihat engkau."

Kemudian, berbuatlah ihsan dalam segala lapangan sehingga menyembelih binatang ternak yang akan dimakan, berbuat ihsanlah dengan memakai pisau yang sangat tajam supaya binatang itu jangan lama menderita. Di dalam berperang, kalau musuh telah mati, berbuat ihsanlah, jangan dicincang atau ditikam lagi mayat yang telah mati. Oleh sebab itu, perhaluslah perasaan hati dengan takwa sehingga dia bertambah suka pada yang lebih baik, yang lebih benar, cinta akan kebenaran, berjuang untuk keadilan, belas kasihan kepada yang lemah.

Oleh karena itu, sampai pun ke dalam peperangan, orang Islam diwajibkan berbuat ihsan. Sampai dikatakan menyuruh memakai pedang yang tajam, dan kalau memotong leher musuh hendaklah dengan pedang yang sangat tajam dan kalau sudah menyerah hendaklah ditawan dengan baik, dan negeri yang telah minta damai, hendaklah segera menghentikan perang.

Ihsan inilah yang memengaruhi Manshur lbnu Abu Amir pada zaman kejayaan Islam di Andalusia sehingga harga sebidang tanah yang akan dijadikan jembatan telah dibayar oleh pegawai kerajaan 10 diriar emas kepada seorang orang tua, dipanggilnya orang tua itu kembali dan ditambahnya 90 diriar emas lagi karena menghargai kejujuran orang tua itu. Ihsan ini pula yang menyebabkan Shalahuddiri al-Ayubi ketika berperang dengan raja Inggris, Richard, The Lion Heart (hati singa), terdengar olehnya musuhnya sakit lalu dikirimnya dokter pribadiriya untuk mengobati musuhnya itu sampai sembuh supaya kalau sudah sembuh bisa meneruskan peperangan lagi dengan badan sehat.

Itulah sebabnya, terdapat tiga pokok dasar pandangan hidup seorang Muslim, pertama iman, yaitu kepercayaan yang enam perkara, kedua Islam, yaitu rukun yang lima perkara, dan ketiga ihsan, sebagai kunci atau patri dari iman dan Islam itu.

Pada suatu hari Sayyidiria Umar bin Khaththab ketika menjadi Khalifah, berjalan di pasar dalam Kota Madiriah. Tiba-tiba dilihatnya ada seorang orang tua yang sudah payah berjalan beringsut-ingsut dan badannya bertongkat-tongkat. Dia meminta-minta derma, atas belas kasihan orang. Kemudian, beliau panggil orang tua renta itu. Ternyata seorang Yahudi. Maka, bertanyalah beliau, “Wahai orang tua! Mengapa sudah sampai begini nasibmu?"

Orang tua itu menjawab bahwa dia telah tinggal sebatang kara di dunia, anak-anak tidak ada lagi yang akan membantu, sedangkan dia mesti membayar jizyah tiap tahun. Untuk membayar jizyah itulah dia meminta-minta.

Terharu hati beliau mendengar perkataan orang tua itu. Lalu, beliau perintahkan kepada pegawai yang mengiringi beliau, “Hapuskan nama orang tua ini dari daftar orang yang wajib membayar jizyah dan sebaliknya keluarkan dari Baitul Maal belanja hidupnya sampai dia meninggal!"

Orang tua itu berlinang air mata mendengar keputusan demikian dan Sayyidiria Umar pun berlinang air mata, sambil berkata, ‘Tenaganya telah dihabiskannya untuk kita pada waktu mudanya, mengapa dia tidak akan merasai pembelaan kita di waktu tuanya?"

Inilah contoh ihsan.

Dan inilah yang dijanjikan Allah bahwa rahmat Allah selalu dekat kepada orang-orang yang mempunyai jiwa ihsan itu.

(57) Dan Dialah yang mengirim berbagai angin sebagai pembawa berita gembira di hadapan rahmat-Nya sehingga apabila dia telah membawa mega yang berat, Kami tariklah dia ke negeri yang mati dan Kami turunkanlah dengan dia air. Maka, Kami keluarkanlah dengan (air) itu tiap-tiap tumbuh-tumbuhan. Demikian pulalah akan Kami hidupkan orang yang telah mati supaya kamu mau ingat.

(58) Dan negeri yang baik akan keluarlah tumbuh-tumbuhannya dengan izin Tuhannya dan yang buruk tidaklah akan keluar melainkan dengan susah-payah. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat bagi kaum yang mau berterima kasih,

Setelah itu Allah pun menerangkan lagi bagaimana perhubungan manusia dengan alam kelilingnya sehingga berita tentang hari depan, tentang surga dan neraka, diimbangi kembali dengan kenyataan hidup yang ada sekarang. Karena memerhatikan alam itulah pangkal kesadaran akan adanya Allah.


Ayat 57

“Dan, Dialah yang menginim berbagai angin sebagai pembawa berita gembira di hadapan rahmat-Nya."

Di dalam ayat ini angin itu disebut riyah, artinya banyak angin atau berbagai macam angin. Mufrad-nya ialah nih. Allah menyatakan di sini pokok kata, yaitu bahwasanya segala macam angin adalah pembawa berita gembira, yaitu sebagai permulaan daripada rahmat Allah yang akan dilimpahkan kepada makhluk. Jangkauan dari kata ini amat luas dari jauh. Sebab kalimat riyah dan nih itu satu pokok asalnya dengan kalimat ruh dan arwah. Tegasnya kata angin atau berbagai angin, sama artinya dengan nyawa atau berbagai nyawa. Malahan, dalam bahasa Arab yang fasih kerap kali juga kata-kata nyawa berarti angin, sebagai syair Ummi Hani binti Bahdal, perempuan desa yang diambil istri oleh Khalifah Mu'awiyah, pindah dari rumahnya di desa ke dalam istana permai di Damaskus, pernah bersyair karena teringat kembali kampung halamannya,

Sesungguhnya rumah yang diembus-embus oleh angin seperti (di desaku) lebih tercinta di hatiku daripada istana yang indah permai.

Oleh karena itu, dapatlah kita perluas arti ayat ini lebih jauh bahwa segala angin yang berembus membawa berita gembira atau rahmat Allah yang akan datang kepada manusia.

Kalau tidaklah ada angin yang meluas artinya mengandung udara atau hawa atau cuaca, tidaklah akan ada apa yang diriamai hidup di dalam alam ini. Dan, nyawa adalah sebagian dari angin, atau satu pokok artinya dengan angin. Oleh sebab itu, dapat ditegaskan bahwa nyawa tidak ada kalau angin tidak ada. Dan, bolehlah diuraikan lagi menurut ilmu fisika atau kimia bahwa udara atau hawa terdiri daripada oksigen, nitrogen, dan karbonik, yang kalau salah satunya itu tidak ada, tidaklah ada pula yang bernama hidup dalam dunia ini. Kemudian, bolehlah kita sambungkan maksud pangkal ayat ini dengan lanjutannya, “Sehingga apabila dia telah membawa mega yang berat, Kami tariklah dia ke negeri yang mati dan Kami turunkanlah dengan dia air." Angin atau hawa udara atau cuaca tadi bila telah sampai pada puncak diriginnya, berubahlah ia menjadi uap dan dari uap berubahlah ia menjadi gumpalan mega atau awan yang berat dan tebal. Dan, dari diriginnya itu, ia pun berubah menjadi air dan air itu kalau sudah meningkat lagi tinggi diriginnya, berubahlah ia menjadi salju atau es. Apabila telah cukup berat dalam diriginnya itu, jatuhlah dia menjadi hujan, membasahi bumi. Dan, di musim dirigin dia kembali menjelma menjadi salju pula. Diterangkan di sini bahwa bila mega itu telah berat, diantarkanlah ia oleh angin lagi ke bagian bumi yang telah mati karena sudah lama tidak mendapat air. Dengan turunnya air hujan itu, bumi yang telah mati atau kering itu hidup kembali."Maka, Kami keluarkanlah dengan (air) itu tiap-tiap tumbuh-tumbuhan." Yaitu, dari sebab air yang turun itu, hidup kembali tanah yang telah mersik kering, yang sudah lama tidak merasai hidup itu, lalu hiduplah kembali. Benih-benih atau biji-biji yang kering karena air, mencari hidup dan besar dan berbuah. Rumput-rumput di padang luas yang sudah sangat gersang, dijalari oleh air yang turun ke bumi itu lalu hidup kembali dengan gembiranya.

Negeri yang mati atau bagian bumi yang mati ada yang dalam masa pendek, seumpama daerah-daerah padang rumput di negeri-negeri yang berganti di antara musim panas dengan musim hujan. Pada musim panas rumputnya mati belaka dan di musim hujan dia hidup kembali. Atau kayu-kayuan yang gugur daun sampai seumpama mati pada musim gugur, kelak di musim kembang, sehabis musim dirigin, dia hidup kembali dengan riang gembira warna-warni. Namun, ada juga yang dalam jangka lama, berpuluh bahkan beratus, bahkan beribu tahun. Misalnya beberapa padang pasir di dunia ini yang sudah kering, tandus dan mati, tidak terdapat lagi kehidupan di tanah itu. Dan, meskipun ada hujan turun, oleh karena tandusnya tanah, hanyalah banjir yang dibawanya, dan air itu langsung saja ke laut. Meskipun ada yang diisap bumi, ia hilang saja ke dalam pasir, mengendap ke bawah dan mencari jalannya sendiri di bawah tanah untuk menuju lautan. Namun, apabila beberapa ribu tahun di belakang, manusia dapat menembus bumi dan mengebor agar air itu keluar maka ia dapat pula dipergunakan buat menghidupkan padang yang telah beribu tahun mati itu. Dengan ini kita mengerti betapa pentingnya hujan, la jatuh ke bumi menjadi tiga macam: Semacam ialah yang menyiram basah seluruh bumi sebagai biasa. Semacam mengendap di gunung-gunung, lalu berkumpul menjadi sungai dan mengalir. Dan, semacam lagi mengendap ke bawah tanah.

Di dalam ayat ini disebut riyaah, yang berarti berbagai hembusan angin. Bermacam angin membawa berita gembira tentang rahmat Allah yang akan turun. Maka, kata-kata yang menunjukkan angin dengan arti jamak itu, amat menarik perhatian orang yang berminat memerhatikan penjuru angin dan musim. Untuk mengetahui berbagai ragamnya penjuru angin dan perangai angin, bertanyalah kepada orang pelayaran “Kalau angin selatan turun, bahtera akan berlayar bagai pucuk dilancarkan", demikian pepatah orang pelayaran. Negeri kita yang terdiri dari pulau-pulau dan lautan luas pun mempunyai angin sendiri-sendiri yang dapat dipedomani oleh penghuni tepi pantai. Misalnya saja, orang Tanjung Pinang tidak mau berlayar ke pulau-pulau Natuna (Pulau Tujuh) pada bulan Juni dan Juli sebab saat itu waktu ombak dan gelombang sangat besar. Di bagian pulau-pulau yang lain pun, lain pula perhitungan orang tentang angin dan cuaca. Sekarang setelah ilmu pelayaran di laut ditambah dengan ilmu penerbangan di udara, perhatian terhadap angin dan cuaca lebih mendalam lagi. Tidak setiap angin membawa berita rahmat bagi setiap bagian dunia yang didiami manusia, tetapi ada di antara angin membawa gembira bagi satu bagian dunia dan angin itu juga belum tentu membawa gembira bagi bagian yang lain.

Soal embusan angin dan turunnya hujan itu dapatlah diperdalam dan diperluas lagi oleh ahli penilik cuaca. Namun, ayat telah melanjutkan lagi setelah melihat angin berembus, awan bermega, hujan pun turun, bumi pun hidup, tanaman berbuah, hendaklah manusia langsung lagi memikirkan kelanjutan dari itu.

“Demikian pulalah akan Kami hidupkan orang yang telah mati supaya mereka mau ingat."

Artinya, apabila telah kamu perhatikan bumi yang kering dan mati, bisa hidup kembali setelah ditimpa hujan, ingatlah bahwa bagi Allah Ta'aala adalah perkara mudah pula akan menghidupkan kembali kelak orang yang telah mati. Maka, dengan melihat mega berkumpul, hujan turun dan tanah menjadi hidup kembali, dapatlah itu jadi dasar bagi kepercayaanmu bahwa hari akan Kiamat kelak dan manusia yang telah mati ini akan dihidupkan kembali.

Mau tidak mau ayat yang setegas ini, tentu saja menimbulkan perbincangan yang mendalam di antara ulama Islam sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Sampai Ibnu Sina, filsuf Islam yang terkenal, mengeluarkan pendapat bahwasanya sebagai Muslim dia percaya akan hari kebangkitan kembali itu, tetapi jika menurut pikirannya secara filsafat, yang akan bangkit itu hanyalah ruhnya, bukan dengan badannya, bukan dengan tubuh yang telah hancur itu, bahkan bukan dengan tulang-tulangnya menurut zahir kenyataan bunyi ayat bahwa tulang akan dibajui kembali dengan tubuh. Di sinilah pangkal bantahan hebat dari Imam Ghazali dan ini pula yang menjadi sebab satu pokok bagi setengah golongan ilmul kalam buat menuduh ahli filsafat Ibnu Sina dan yang sepaham dengan dia itu telah tergelincir dari Islam, bahkan ada yang menuduh telah kafir sebab pendapatnya telah sangat bertentangan dengan bunyi ayat.

Ibnu Sina mengatakan bahwa tidak mungkin manusia dibangkitkan kembali dengan tubuhnya yang ditinggalkan oleh nyawanya, dimasukkan ke dalam kubur hingga hancur dan tubuh itu pula yang akan dikumpul kembali membajui nyawa di waktu berbangkit. Dia berkata demikian karena tubuh ini katanya bukanlah pakaian tetap dari satu orang tetapi terjadi dari kumpulan benda halus (material) yang berganti-ganti manusia dan tubuh-tubuh lain memakainya. Kalau lebih dipopulerkan lagi, tubuh itu ialah dari kumpulan atom halus, yang satu waktu jadi sayur, satu waktu jadi darah, satu waktu jadi tubuh, satu waktu hancur dan jadi tanah, atau jadi abu kalau dibakar dan di laut dia bergabung dalam air, jadi garam atau jadi yang lain.

Pertukaran pikiran tentang ini atau peninjauan kembali tidaklah berhenti. Pada masa 60 tahun yang lalu (awal abad kedua puluh), Syekh Husain al-jasar mengarang kitab tauhid yang bernama al-Hushunul Hami-diyah. Menerangkan bahwa tubuh manusia

itu adalah dua bagian, yaitu bagian yang asli dan bagian yang tambahan. Yang tambahan itu bisa berubah, orang bisa jadi kurus atau gemuk, namun tubuh aslinya tidaklah berubah-ubah. Ketika Syekh Husain al-Jasar masih hidup, pengetahuan ahli-ahli tentang kejadian manusia telah mulai maju sehingga zaman Ibnu Sina telah jauh ketinggalan. Ahli-ahli mengatakan bahwa setetes air mani itu mengandung berjuta-juta bibit yang akan jadi manusia. Sehingga ahli mengatakan bahwa sekiranya sebelum manusia yang ada di dunia sekarang ini habis mati dan tinggal saja setetes air mani maka dengan mani yang setetes itu dapatlah diganti sekian miliar manusia yang hilang itu. Dan, tiap-tiapnya itu bisa hidup. Oleh karena itu, menurut beliau hari Kiamat atau kebangkitan kembali itu tidak usah dipikirkan bahwa tubuh yang telah hancur itu yang akan dibajukan kembali kepada nyawa, melainkan manusia yang hidupnya telah di-nonaktifkan selama alam Barzakh itu yang akan dipanggil kembali sebab pada hakikatnya dia masih hidup. Dan, dari sebab itu pula menurut paham itu dapat kita pahamkan bunyi ayat 172 dalam surah al-A'raaf ini nanti tentang anak-cucu Bani Adam yang terletak dalam tulang belakang Nabi Adam, ketika mereka ditanya, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Semuanya menjawab, “Sebenarnya!'1 Artinya sejak kita manusia ini masih tersimpan di dalam tulang belakang Nabi Adam, semua kita telah mendapat pertanyaan siapa Tuhan kita, dan kita telah menjawab, memang Allah-lah Tuhan kita. Yang menjawab itu telah ada di masa itu kemudian menurut waktunya kita pun zahir ke dunia, setelah itu kita pun mati, dengan arti berpisah tubuh asli dengan tubuh tambahan. Setelah mati itu kita dirion-aktifkan untuk kelak dibangkitkan kembali.

Sebagaimana banyak dasar-dasar hidup tumbuh-tumbuhan yang nonaktif beribu tahun di padang pasir, setelah tanah itu disirami air, bibit itu kembali. Lantaran itu, filsafat Ibnu Sina telah ditinggalkan oleh zaman karena kemajuan penyelidikan manusia.

Kemudian, diketahui orang pula bahwa tidak mesti kita berbangkit dengan tubuh yang kita pakai ini karena sebagian besar adalah tambahan belaka. Karena ternyata, segala Stof yang kita pakai buat badan kita ini, sejak kita lahir sampai kita mati, selalu berganti-ganti. Cuma bentuk dan rupa yang tidak berubah, tetapi bahannya selalu bertukar. Bahan tubuhku 50 tahun yang lalu tidak ada lagi dalam diriku, namun aku tetap aku. Dosa dan kesalahan 40 tahun yang lalu masih tetap mengganggu perasaanku sampai sekarang, walaupun anasir tubuh dan darahku telah berganti-ganti berpuluh kali. Maka, yang akan dibangkitkan kembali itu ialah aku. Ialah aku yang bahan tubuh tetap berganti, sedangkan aku sendiri masih tetap ada.

Dengan tuntutan ayat ini, tetaplah percaya kepada hari Kiamat menjadi salah satu tiang kepercayaan. Bagaimana kebangkitan itu, bolehlah kita berbincang. Sedang teori Ibnu Sina bisa dibantah oleh teori Ghazali dan teori Ghazali pada abad keenam Hijriyah, bisa disempurnakan lagi oleh teori Syekh Husain al-Jasar pada awal keempat belas Hijriyah, dan ilmu pengetahuan tentang alam dan tentang ihsan bertambah maju. Sebab itu kepercayaan kita pun akan bertambah kukuh.


Ayat 58

“Dan, negeri yang baik akan keluarlah tumbuh-tumbuhannya dengan izin Tuhannya dan yang buruk tidaklah akan ketuai melainkan dengan susah payah."

Artinya jika dapat tanah yang memang subur, tiba hujan pun akan hidup dia kembali dengan segera. Kalau negerinya dasar tanah tandus, walaupun akan hidup juga, tumbuhnya itu susah-payah juga. Betapa pun lebatnya hujan turun, kalau tanahnya gersang sebagai padang pasir itu, hanyalah banjir yang akan terjadi dan bunga tanah akan dibawa hanyut oleh hujan itu ke laut. Namun, kalau tanah subur, misalnya adanya rimba belukar guna menahan air, tidak ada erosi, niscaya hujan atau air itu akan menghasilkan “hidup subur dan berbuah".

Ayat ini pun bisa direntang panjang. Dia dapat memberikan dorongan kepada manusia bagaimana menghidupkan kembali tanah yang tandus. Dia pun sebagai isyarat buat menjaga jangan terjadi erosi yang ditakuti itu. Dan, keseluruhan ayat menimbulkan perangsang guna mengatur pemberian Ilahi itu di dalam menyusun kesehatan dalam kota, memelihara taman untuk mengatur udara dan cuaca sehat sehingga penduduk kota jangan diracuni oleh debu, yang berbahaya di zaman modern ini bagi kesehatan. Dia pun memberi perangsang perseimbangan tanah rimba sebagai pemelihara hujan, mengatur agraria dan industri. Itu sebabnya, ujung ayat berbunyi,

“Demikianlah. Kami menjelaskan ayat-ayat bagi kaum yang mau berterima kasih."