Apa hukuman bagi orang yang menyembunyikan kebenaran

Apa hukuman bagi orang yang menyembunyikan kebenaran
Apa hukuman bagi orang yang menyembunyikan kebenaran

Surah Al Baqarah Ayat 159: Larangan Menyembunyikan Ilmu

Islam memerintahkan umatnya agar senantiasa menyebarkan dan menyiarkan ilmu agama guna eksistensi dan keberadaannya tetap terjaga. Allah Swt dalam Alquran surah al Baqarah [2] ayat ke 159 dengan tegas melaknat seseorang yang menyembunyikan ilmu atau menyimpan pengetahuannya. Namun, bila ditelusuri lebih lanjut, laknat pada ayat tersebut diperuntukkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang saat itu tengah menyembunyikan kebenaran yang termaktub dalam kitab merka. Lantas apakah khitab ayat tersebut khusus kepada kaum Yahudi-Nasrani atau juga berlaku kepada umat muslim?

Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 159 Allah Swt berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.

Menurut kitab Rawaiul Bayan karya Syaikh Ali as-Sobuny, sebab turunnya ayat tersebut ialah berkenaan dengan ahl kitab di mana mereka enggan menjelaskan sifat-sifat Nabi Saw yang telah diuraikan dan dijelaskan di dalam kitabnya. Riwayat Ibn Abbas menyebutkan, Muadz bin Jabal dan beberapa dari kalangan sahabat pernah menemui sekelompok tokoh Yahudi untuk menanyakan apa saja yang tengah dijelaskan di dalam kitab taurat, tetapi mereka enggan menyebutkannya dan menyembunyikan kebenaran. Kemudian turunlah ayat 159 surat al-Baqarah yang melaknat perbuatan tersebut, [Rawaiul Bayan, 01/117].

Baca Juga: Perbedaan Pendapat Tentang Lafaz Basmalah Sebagai bagian Alquran

Kitab al-Tafsir al-Wasit Li al-Qur’an al-Karim menyebutkan bahwa yang menjadi penyebab turunnya ayat ke 159 surat al-Baqarah adalah perbuatan para pembesar kaum Yahudi yang telah menyembunyikan kebenaran dan tak mau menjelaskan isi kita Taurat ketika ditanya para sahabat Nabi saw., kendati demikian, laknat Allah yang ada pada ayat tersebut tidak khusus ditujukan kepada orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut, melainkan mencakup terhadap semua orang yang menyembunyikan pengetahuannya. Pernyataan ini diperkuat dengan salah satu hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawabnya), Allah akan mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat nanti, [al-Tafsir al-Wasit Li al-Qur’an al-Karim, 01/325].

Syaikh Ali as-Shobuny menambahkan keterangan dalam kitabnya yang berjudul Rawaiul Bayan. Menurutnya yang menjadi penyebab turunnya ayat adalah kasus tertentu, tapi laknat Allah Saw dan ketentuan hukumnya berlaku terhadap semua orang yang telah menyembunyikan ilmu agama.  Sebagaimana yang telah disampaikan ulama usul fikih bahwa yang menjadi pertimbangan pada suatu hukum adalah keumuman lafad ayat bukan masalah khusus pemicu turunnya ayat. Pada redaksi tersebut Allah Swt menyampaikan firmannya menggunakan isim mausul yang mengindikasikan umum terhadap semua orang, tidak khusus terhadap kaum yahudi saja, [Rawaiul Bayan, 01/123].

Di dalam kitab Mafatih al-Gayb dijelaskan bahwa ada dua pendapat yang mencoba menafsiri maksud الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ,  “orang-orang yang menyembunyikan”. Pertama mengatakan bahwa yang dimaksud orang yang menyembunyikan ilmu dan dilaknat pada al-Baqarah ayat ke 159 adalah mencakup semua orang yang telah menyimpan pengetahuannya dan tidak mau menyebarkannya. Kedua berpendapat bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut hanya khusus kepada orang yahudi saja dan redaksi ayat tidak dipahami secara dohir teks saja, yakni umum terhadap semua orang.

Akan tetapi bila dikaji lebih dalam, pendapat yang lebih unggul adalah pendapat yang pertama. Kitab Mafatih al-Gayb memberikan dua alasan. Pertama, karena yang diperhitungkan dalam suatu hukum adalah keumuman lafad ayat. Penyebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat tidak berimplikasi terhadap penafsiran atau objek yang khusus.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 221: Hukum Nikah Beda Agama

Alasan kedua, suatu lafaz ketika dikaitkan dengan sifat tertentu, mengindikasikan bahwa sifat tersebutlah yang menjadi lllat (alasan) dari adanya hukum. Jelaslah pada al-Baqarah 159 menyembunyikan ilmu agama (sifat) telah dikaitkan dengan adanya laknat dari Allah swt (hukum). Dengan begitu laknat tersebut berlaku terhadap setiap tindakan yang mencerminkan pelit dan enggan berbagi kebenaran, [Mafatih al-Gayb,4/139].

Kesimpulannya, berdasarkan surat al-Baqarah ayat ke 159, kita dilarang menyembunyikan ilmu pengetahuan terutama ilmu agama. Sekali pun pemicu turunnya ayat adalah menyembunyikan isi kitab Taurat, tetapi menurut mayoritas ulama ancaman tersebut ditujukan terhadap seluruh bentuk menyembunyikan ilmu. Wallahu A’lam.

Rabu, 19 Agustus 2020 - 05:00 WIB

Ilustrasi/SINDOnews

DI antara dosa yang besar, yang ditunjukkan dan anjurkan al Quran agar kita segera bertaubat darinya adalah: dosa menyembunyikan kebenaran serta tidak menjelaskannya kepada manusia. Ini adalah dosa para ahli ilmu pengetahuan yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan risalah-risalah Allah SWT, dan menjelaskan hukum Allah SWT kepada mereka. Serta mengatakan kebenaran, serta tidak menyembunyikannya, tidak seperti tindakan ahli kitab yang mendapatkan kecaman dari Allah SWT dalam firman-Nya:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima." (QS. Ali Imran: 187).

Baca juga: Orang yang Tidak Bertobat Adalah Orang yang Zalim

Karena mereka menyembunyikan berita gembira akan datangnya Muhammad SAW yang terdapat dalam kitab-kitab mereka, serta mereka mengubah dan menggantinya, karena semata kepentingan dunia, yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai "harga yang murah". Seperti firman Allah SWT:

Profetik UM Metro – Allah SWT Berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya,” (Surat Al-Baqarah ayat 42).

Kebahagiaan seorang mukmin adalah ketika hatinya mampu menerima segala yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur [24]: 51-52).  Juga dalam ayat yang lain “Dan apa yang diberikan Rasulullah SAW  kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr: 7).

Demikianlah seharusnya orang mukmin ketika al Qur’an di hadapanya maka dia memperlakukan dirinya seperti gelas kosong yang siap diisi oleh Allah SWT, apapun isinya, karena seorang mukmin sangat yakin Allah SWT akan mengisi gelas (hati) yang kosong tersebut dengan curahan air kebaikan, walaupun serasa pahit. Bisa saja Allah swt mengisi dengan air susu yang nikmat, madu bahkan kopi manis, yang semua mukmin akan merasakan kenikmatan langsung. Akan tetapi bisa jadi Allah SWT mengisi gelas mukmin dengan jamu yang sangat pahit, yang mana tidak semua mukmin mampu meminumnya, akan tetapi Allah SWT menjadikan jamu untuk mengobati penyakit yang ada pada diri mukmin tersebut, sehingga esok harinya dirinya akan sehat dan bugar.

Akan tetapi betapa banyak hari ini orang yang ragu akan hal ini, mereka hanya siap ketika menerima kenikmatan tetapi ragu bahkan tidak terima dengan pahitnya kehidupan. Banyak syariat Allah SWT yang logik mudah diterima manusia, dan mudah dilaksanakan, akan tetapi betapa banyak syariat Allah SWT sebagai ujian yang diragukan bahkan ditolak oleh manusia.

Penolakan akan syariat dengan berbagai dalih, salah satunya adalah dalih keilmiahan. Dalih keilmiahan sering menjadi justifikasi atau pembenaran akan konsep seseorang, yang kadang mengkaburkan ajaran syariat itu sendiri, dia melakukan proses talbis (pencampur adukan) antara teori manusia yang memperkosa konsep kebenaran mutlak al-Qur’an dan sunnah. Dan pola ini sangatlah berbahaya.

Surat al baqarah ayat 42 ada dua karakter manusia yang menolak ajaran kebenaran, tetapi tidak dengan terang-terangan, mereka menggunakan dua pola yang seakan dianggap baik dan ilmiah: yang pertama, pola talbis ( cammpur aduk kebenaran dan kebatilan)  dan yang kedua, Menyembunyikan kebenaran yang diketahui (kitman al haq).

Yang pertama, Campur aduk Kebenaran dan Kebatilan (talbis al haq wa al bathil)

Allah swt berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Ayat ini adalah larangan untuk mencampur adukan kebenaran dan kebatilan. Kata larangan (al-nahyu) dalam kaidah ushul fiqih adalah keharaman, karena asal dari larangan adalah haram. Ayat ini jelas menunjukan keharaman melakukan pencampur adukan kebenaran dengan kebatilan, karena akan menyebabkan ketidak jelasan kebenaran itu sendiri. Ini adalah pola tasybih (membuat syubhat) sebuah konsep kebenaran, tasywih (membuat samar kebenaran) dan talfiq al batil (pencampuran yang batil).

Saat ini diakui trend pengkajian pola integrasi keilmuan, yang memadukan agama dengan keilmuan umum, agar umat Islam mampu berfikir secara universal. Hal ini adalah sebuah keharusan, karena semua ilmu diyakinin datang dari Allah SWT, tetapi pola integrasi adalah untuk menguatkan keilmuan itu sendiri, membangun keyakinan dan menjalankan perintah Allah SWT dan mengetahui hikmah dari sebuah pelarangan.

Berbeda dengan pola talbis ini, karena ini mencoba memperkosa kebenaran dengan segala nilai yang bertentangan dengan kebenaran.

Imam Jalaluddin dalam Kitab Tafsirul Jalalain mengatakan, kata “al-haqq” atau kebenaran pada Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah kitab suci yang diturunkan kepada Ahli Kitab. Sedangkan kebatilan pada Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah keterangan dusta yang mereka ada-adakan. Sementara kebenaran yang mereka sembunyikan adalah sifat Nabi Muhammad SAW.

Imam Al-Baidhawi dalam Kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, kata “talbisū” atau mencampur adalah tindakan membuat sesuatu menjadi mirip dengan yang lain. Dengan demikian, makna Surat Al-Baqarah ayat 42 adalah, “Jangan kalian mencampur kebenaran yang diturunkan kepada kalian dengan kebatilan yang kalian rekayasa dan menyembunyikan kebenaran tersebut sehingga keduanya tidak dapat dibedakan.”

Pencampur adukan ini sering terjadi dalam konteks kehidupan, berdalih toleransi maka harus melunturkan prinsip keyakinan, misal harus bersama merayakan hari raya. Bahkan muncul banyak pemahaman yang terkait kesatuan agama (wihdatul adyan) sehingga tidak nampak prinsip dan cabang dalam sebuah agama. Akhirnya efek dari pencampur adukan ini menyebabkan kerusakan faham beragama, terutama agama Islam.

Pencampur adukan biasa dilakukan oleh para ilmuwan yang berpaham pluralisme. Hakikatnya penulis tidak menolak pluralitas (perbedaan agama) akan tetapi memahami semua agama adalah sama, mengakibatkan sebuah masalah besar, karena umat tidak akan mampu memahami mana agama yang dianggap benar. Paham pluaralisme sangat berbeda dengan paham pengakuan akan pluralitas beragama, karena Islam sendiri menerima pluralitas agama, sebagaimana Allah SWT berfirman: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (al maidah 48)

Namun, Islam menolak pluralisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam surat nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam.

Pluralisme didefinisikannya sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan, karena itu, tiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan agama lainnya salah. Adapun liberalisme agama dimaknai MUI sebagai paham yang hanya menerima doktrin agama yang sesuai kebebasan akal pikiran saja. Kemudian, sekularisme agama sebagai paham yang ingin agar agama hanya mengatur soal hablu minaallah, sedangkan habluminannas mesti diatur via konvensi sosial. Dalam masalah akidah dan ibadah, demikian fatwa MUI, umat Islam wajib bersikap eksklusif. Namun, di saat yang sama, sifat eksklusif demikian tidak menghalangi orang Islam untuk berinteraksi secara wajar dengan umat agama lain.

Hakikatnya secara eksplisit pencampur adukan ini tidak nampak, akan tetapi bagi mereka yang memiliki dasar dan prinsip beragama yang kuat akan memahami hal ini. Banyak kajian-kajian ilmiah yang secara dzohir sangat bagus, sistematis dan logis, akan tetapi menggiring umat untuk tidak memiliki prinspi beragama sama sekali, akhirnya sisipan-sisipan kebatilan berkedok keilmiahan dan riset yang secara metodologis benar itu, diakui oleh umat dan dunia.

Yang kedua, menyembunyikan kebenaran dan ilmu (kitman al haq)

Larang Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 42 adalah menyembunyikan kebenaran. Hakikatnya hal ini terjadi pada orang-orang yahudi yang menyembunyikan kebenaran kerasulan nabi Muhammad saw oleh para rahib mereka, bahkan mereka merubah ayat atau menghapusnya. Sehingga umat benar-benar tersesat dengan keinginan dan nafsu para Rahib mereka.

Hakikatnya penyakit ini juga banyak terjadi pada kalangan ilmuwan muslim, yang mereka menyembunyikan ayat Allah SWT yang tidak sesuai dengan nalar berfikir mereka, karena mereka lebih mengedepankan logika mereka. Bahkan kadang mereka asyik dengan mengambil sebagian yang mereka sukai, dan meninggalkan ayat yang mereka sendiri ragu dan berat melakukan. Sebagaimana Allah SWT berfirman: Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir pada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami ingkar terhadap (sebagian yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan,” (QS. An-Nisa: 150-151).

Begitu indah ayat al-Qur’an, dengan ungkapan dalih mencari jalan tengah akan tetapi harus menyembunyikan kebenaran. Banyak sekali ayat al Qur’an disembunyikan baik sengaja maupun tidak sengaja, misal ayat tentang jihad harus ditafsiri dengan tafsir yang menghilangkan makna hakikinya, bahkan sangat jarang sekali mendapatkan porsi pembahasan. Ayat dalam keluarga misal poligami, selalu diragukan dengan dalih keadilan, akhirnya mayoritas umat ragu dan dianggap tidak baik. Ayat tentang warisan, yang seakan tidak adil mendapatkan sorotan tajam dalam konteks keadilan dan kesetaraan. Dan masih banyak lagi ayat yang tidak mendapatkan perhatian, dengan berbagai macam cara untuk mendistorsi ayat tersebut.

Seharusnya orang beriman menjadikan hati untuk mengimani, kemudian iman melakukan dorongan (drive) kepada akal untuk mengungkap makna (hikmah) dan melakukan relation of understanding sehingga menghadirkan pemahaman yang baik. Tentu ini adalah kerja akademis yang tidak mudah, sehingga membutuhkan kemampuan ilmu dan iman yang totalitas.

Insan profetis hendaknya meninggalkan dua larangan ini, karena ini sangat bahaya bagi umat, terkecuali karena ketidak tahuanya. Akan tetapi ketika ada kesengajaan mencampur adukan karena sebuah proyek akademik, atau menyembunyikan dengan berbagai dalih, karena ketidak cocokan atau keraguan, maka sungguh Allah SWT akan tusuk mereka dengan api neraka sebagaimana hadits nabi: Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang yang hafal suatu ilmu, namun dia menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dengan keadaan dikekang dengan tali kekang dari neraka” [HR. Ibnu Majah, no. 261; Syaikh al-Albani menyatakan tentang hadits ini ‘Hasan Shahîh).

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an!
Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)