Pengujian Angka Lempeng Total (ALT) dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroorganisme dalam suatu produk yang menunjukkan pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah sampel diinkubasi dalam perbenihan yang cocok selama 24-48 jam pada suhu 37oC. Prinsip dari ALT yaitu metode hitungan cawan adalah jika sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat langsung dilihat mata setelah cuplikan diinokulasikan pada lempeng agar dengan cara tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai. Pengujia dilakukan secara duplo. Setelah diinkubasi, dipilih cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 30-300 koloni. Jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan dengan faktor pengencerannya. Hasil dinyatakan sebagai Angka Lempeng Total (ALT) dalam tiap gram contoh bahan. Metode hitungan cawan merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik karena beberapa hal yaitu:
Adapun kelemahan dari metode ini adalah: Memungkinkan terjadinya koloni yang berasal lebih dari satu sel mikroba, seperti pada mikroba yang berpasangan, rantai atau kelompok sel.
Teknik yang harus dikuasai oleh dalam metode ini ialah mengencerkan sampel dan mencawankan hasil pengenceran tersebut. Sebelum mikroorganisme ditumbuhkan dalam media, terlebih dahulu dilakukan pengenceran sampel menggunakan larutan fisiologis. Tujuan dari pengenceran sampel yaitu untuk mengurangi jumlah kandungan mikroba dalam sampel sehingga nantinya dapat diamati dan diketahui jumlah mikroorganisme secara spesifik sehingga didapatkan perhitungan yang tepat. Pengenceran memudahkan dalam perhitungan koloni. Setelah diinkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyaratan statistik, cawan yang dipilih untuk perhitungan koloni ialah yang mengandung antara 25 sampai 250 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000 dan seterusnya, atau 1:100; 1:10000, 1: 1000.000 dan seterusnya. Tahapan pengenceran dimulai dari membuat larutan sampel sebanyak 10 ml (campuran 1 ml/1gr sampel dengan 9 ml larutan fisiologis sehingga didapatkan pengenceran 10-2. Dari pengenceran 10-2 diambil lagi 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan fisiologis sehingga didapatkan pengenceran 10-3, begitu seterusnya sampai mencapai pengenceran yang kita harapkan. Jumlah organisme yang terdapat dalam sampel asal ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan. Secara keseluruhan, tahap pengenceran dijelaskan dalam Gambar 40. Gambar 40. Teknik pengenceran dan inokulasi sampel pada medium Plate Count Agar (Sumber: Pearson, 2016) Setelah dilakukan pengenceran, kemudian dilakukan penanaman pada media lempeng agar. Setelah diinkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan diamati dan dihitung. Koloni merupakan sekumpulan mikroorganisme yang memiliki kesamaan sifat seperti bentuk, susunan, permukaan, dan sebagainya. Sifat-sifat yang perlu diperhatikan pada koloni yang tumbuh di permukaan medium adalah sebagai berikut:
Pengenceran bertingkat adalah tahap analisis laboratorium yang berfungsi untuk mengencerkan jumlah mikroorganisme di dalam sampel (jika diperkirakan sangat padat) dengan perbandingan pengenceran 1:9 sehingga diperoleh pengenceran 1/10 untuk setiap tingkat pengencerannya. Perbandingan lain juga dapat diaplikasikan, misalnya 1:2 atau 1:5. Pengenceran pertama (Initial suspension/primary dilution) adalah suspensi, larutan atau emulsi yang diperoleh setelah menimbang atau mengukur kuantitas suatu produk sebelum diuji (atau sampel uji yang dipersiapkan dari produk) yang telah dicampur dengan pengencer sebanyak sembilan kali lipatnya sehingga jika terdapat partikel besar dapat terendapkan. Sedangkan pengenceran bertingkat selanjutnya (further decimal dilution) adalah suspensi atau larutan yang diperoleh dengan mencampur volume yang terukur dari pengenceran pertama dengan volume sembilan kali lipatnya dan dengan mengulangi cara ini dengan pengenceran desimal selanjutnya sampai diperoleh pengenceran yang cocok untuk inokulasi (ISO 6887-1, 1999, hal. 1). 1. Pemilihan Larutan PengencerBerbagai cairan pengencer dapat dijumpai pada Tabel 1. Diluent ini dapat dengan bebas dipilih sesuai kegunaannya. Namun jika metode yang dirujuk menyebutkan nama cairan pengencer tertentu maka sebaiknya tetap memakai cairan pengencer tersebut. Tabel 1. Berbagai larutan pengencer yang dapat dipilih untuk digunakan dalam pengenceran bertingkat. Diolah dari ISO 6887-1 (1999);6887-2 (2003); ISO 8199 (2005); AOAC OM 966.23 (2005).
ISO 8199 (2005) menyatakan bahwa cairan pengencer dapat disimpan pada suhu 5±3 °C selama maksimum 6 bulan dan dapat dibagikan ke tabung atau botol setelah atau sebelum sterilisasi (hal. 2-4). King dan Hurst (1963) melaporkan bahwa larutan pengencer yang paling baik adalah 0,1 % peptone solution. Sedangkan larutan air + 0,1 % Na2S2O3 menghasilkan data yang lebih tidak memuaskan. Namun larutan quarter–strength ringer solution, 0,85% NaCl dan air destilasi menunjukkan sifat bakterisidal kepada satu atau lebih dari 4 spesies bakteri yang diuji (hal. 504). Sedangkan McFetters et al. (1982) juga menunjukkan bahwa larutan peptone water dan phosphate buffer + 0,1 % peptone adalah pengencer yang paling stabil dibandingkan yang lain yaitu mampu menghasilkan recovery antara 80-90 % untuk jenis Coliform (hal. 99), seperti yang ditunjukkan pada Grafik 1. Straka dan Stokes (1956) juga merekomendasikan 0,1 % peptone sebagai larutan pengencer untuk mempertahankan bakteri paling tidak selama 1 jam karena telah membuktikan bahwa air destilasi akan mengurangi 90 % jumlah bakteri dalam 1 jam dan phosphate water juga dapat mematikan 80 % dalam waktu yang sama (hal. 24). Oleh karena itu, dari beberapa studi diatas (jika tidak mengikuti syarat metode baku terkait) perlu dipertimbangkan menggunakan larutan peptone 0,1 % atau yang mengandung peptone 0,1 % untuk menghasilkan larutan yang mampu mempertahankan bakteri hidup tanpa mereplikasinya dan memulihkan bakteri yang terluka. Grafik 1. Pengaruh jenis larutan pengencer dan lama pemaparan pada recovery bakteri E.coli yang terluka (90%) dan tidak terluka pada suhu 24 °C. Diadaptasi dari” Influence of diluents, media, and membrane filters on detection of injured waterborne coliform bacteria.”, oleh McFetters et al., 1982, hal. 99. 2. Prosedur pengenceranCairan pengencer yang telah siap sebaiknya dibagikan ke dalam tabung atau labu berpenutup ulir dengan volume 9,0 mL setelah sterlisasi. Volume akhir ini harus tidak melebihi ±2 %. Pemindahan cairan saat pengenceran sebaiknya menggunakan pipet ukur 1 dan 10 mL dengan skala 0,1 mL dan 0,5 mL (ISO 6887-1, hal. 3-4). Air yang digunakan sebaiknya memiliki karakterstik sesuai dengan persyaratan pembuatan media. ISO 6887-1 (1999) merekomendasikan tahap-tahap pengenceran yaitu : Pengenceran pertama:
Pengenceran bertingkat selanjutnya:
Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan tahap persiapan pengenceran pertama sampai diinokulasikan ke medium sebaiknya tidak melebihi 45 menit. Sedangkan waktu yang direkomendasikan untuk melakukan tahap pengenceran pertama sampai akhir pengenceran bertingkat adalah selama 30 menit. Jika suhu ambien di laboratorium cukup tinggi, maka batas waktu pengerjaan tersebut sebaiknya dipersingkat (hal. 4-5) (lihat Gambar 2). Pembatasan waktu pengenceran ini dilakukan untuk menjaga bakteri pada suspensi tidak bertambah dan tidak berkurang. Gambar 2. Tahap-tahap proses pengenceran pada pengenceran pertama dan pengenceran selanjutnya berdasarkan interpretasi dari ISO 6887-1 (1999). Diambil dari dokumentasi pribadi. Dapat digarisbawahi pada prosedur diatas bahwa disarankan untuk mengendapkan dahulu pengenceran pertama selama 15 menit yang berfungsi untuk memisahkan partikel besar sampel dengan larutan yang mengandung mikroorganisme. Setelah perlakuan pendiaman tersebut dimungkinkan sel mikroorganisme akan tetap terlarut di diluent sedangkan partikel sampel akan mengendap. Selain itu, fungsi lainnya adalah untuk menyadarkan (resuscitation) mikrob yang stress pada sampel dan menghilangkan busa yang terbentuk pada jenis sampel tertentu. Namun, terdapat pandangan lain dalam pengenceran ini, yaitu pengenceran pertama harus dikocok/dihomogenkan dahulu bersama partikel sampel sampai sesaat sebelum dipindahkan oleh pipet (tanpa didiamkan) untuk mendapatkan distribusi sampel yang seragam karena dimungkinkan terdapat mikroorganisme dalam partikel tersebut yang tidak terambil jika diendapkan. Jadi partikel sampel harus ikut terisap oleh pipet saat partikel tersebut berada dalam kondisi tersebar merata sebelum mengendap. Cara kedua ini lebih berisiko karena keberadaan partikel sampel dapat dimungkinkan menghambat pertumbuhan. Ilustrasi perbedaan ini dapat diperhatikan pada Gambar 3. Hartman dan Huntsberger (1961) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada jumlah hitungan cawan total dengan penanaman 1, 2, 3, 4 dan 8 menit setelah proses homogenisasi dengan blender selama 2 menit. Sampel yang digunakan adalah pai ayam beku (hal. 36). Gambar 3. Perbedaan perlakuan pengambilan homogenat pada pengenceran pertama untuk ditanam atau diencerkan lebih lanjut. Setelah partikel sampel didiamkan dan mengendap atau setelah partikel sampel dikocok dan masih tersebar. Titik putih adalah partikel sampel dan titik hitam adalah gambaran sel. Diambil dari dokumentasi pribadi. Indra Pradhika, 2018 AOAC OM 17.2.01. 966.23 Microbiological methods, AOAC Official Method of Analysis Microbiological Methods (2005). Hartman, P. A. & Huntsberger, D. V. (1961). Influence of subtle differences in plating procedure on bacterial counts of prepared frozen foods. Iowa agricultural and home economic experiment station, Journal paper no. J-3843 Vol. 9, 32-36. Abstrak diperoleh dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1057665/# ISO 6887-1:1999 Microbiology of food and animal feeding stuffs – Preparation of test samples, initial suspension and decimal dilutions for microbiological examination – Part 1: General rules for the preparation of the initial suspension and decimal dilution. (1999). ISO 6887-2: 2003 Microbiology of food and animal feeding stuffs – Preparation of test samples, initial suspension and decimal dilutions for microbiological examination – Part 2: Spesific rules for the preparation of meat and meat product. (2003). ISO 8199: 2005 Water quality — General guidelines on the enumeration of microorganisms by culture. (2005). King, W. L., & Hurst, A. (1963). A note on the survival of some bacteria in different diluents. Journal of Applied Microbiology, Vol. 26, Iss. 3, 504-506. doi: 10.1111/j.1365-2672.1963.tb04803.x |