Apa fungsi dari struktur suku bunga

Salah satu prinsip utama yang perlu diketahui dalam berinvestasi obligasi adalah harga obligasi bergerak dengan arah yang berlawanan dibandingkan suku bunga dan imbal hasil (yield) obligasi.

Sebagai sebuah produk investasi, obligasi memiliki harga. Harga tersebut dapat berubah, naik atau turun, karena berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi harga tersebut adalah suku bunga.

Perubahan suku bunga itu juga akan diikuti dengan perubahan yield. Yield adalah imbal hasil yang diharapkan oleh investor obligasi dalam kurun waktu satu tahun. Yield biasanya dinyatakan dalam persentase.

Dalam hubungan dengan sejumlah konsep tersebut, apabila suku bunga meningkat maka harga obligasi akan turun, begitupula sebaliknya. Sejalan dengan hal tersebut, apabila harga obligasi turun maka yield obligasi akan meningkat.

Hubungan ini dikenal dengan nama risiko suku bunga (interest rate risk) atau salah satu risiko yang dihadapi oleh investor obligasi.

Hubungan terbalik antara suku bunga dan harga obligasi ini bisa dianalogikan dengan sebuah papan jungkat-jungkit yang biasa dimainkan di taman kanak-kanak atau taman publik. Ketika satu sisi papan tersebut naik maka sisi lain papan itu turun.

Di sisi lain, seiring peningkatan harga tersebut, yield atau tingkat keuntungan yang akan diperoleh investor obligasi dari obligasi X hingga jatuh tempo akan mengalami penurunan.

Bagaimana bila suku bunga meningkat?

Katakanlah suku bunga meningkat menjadi 7% setahun kemudian. Jika obligasi X itu hendak dijual di pasar sekunder sebelum jatuh tempo, harga obligasi X itu akan lebih rendah dibandingkan dengan harga satu tahun yang lalu.

Mengapa? Obligasi X itu memiliki kupon yang lebih rendah dibandingkan dengan obligasi yang diterbitkan setelah suku bunga dinaikkan yang memiliki kupon lebih tinggi.

Harga dan Yield

Seperti yang telah dijelaskan di atas, harga obligasi dan yield berbanding terbalik. Perubahan harga berpengaruh terhadap besaran yield to maturity atau potensi keuntungan tahunan yang diperoleh dari kupon dan selisih harga apabila memegang obligasi hingga jatuh tempo.

Berikut ini ilustrasi di antara tiga obligasi yang memiliki tiga harga yang berbeda:

Obligasi K Obligasi L Obligasi M
Harga (% dari nilai nominal) 100 (harga par) 90 (harga diskon) 110 (harga premium)
Jatuh tempo 10 tahun 10 tahun 10 tahun
Nilai nominal Rp100.000.000 Rp100.000.000 Rp100.000.000
Kupon 6% 6% 6%
Yield to maturity 6% 7.37% 4.76%


Harga par adalah harga obligasi yang sama dengan nilai par atau nilai nominal (=100%), harga premium adalah harga obligasi di atas harga par (>100%) dan harga diskon adalah harga obligasi di bawah nilai par (<100%). 

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa apabila investor membeli obligasi L di harga diskon memiliki yield to maturity yang lebih tinggi dibandingkan dengan kupon. Sebaliknya, apabila membeli Z di harga premium maka nilai yield to maturity akan lebih rendah daripada kupon.

Contoh Kasus

Lima tahun lalu, Pak Didi membeli obligasi ABCD dengan kupon 10% dengan harga 100 dengan nilai Rp100.000.000. Pak Didi membeli obligasi itu dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan setelah pajak sekitar Rp8,5 juta per tahun atau sekitar Rp4,25 juta per 6 bulan.

Hasil investasi obligasi dari Pak Didi setiap tahunnya digunakan untuk membeli berbagai aneka tanaman serta perlengkapan berkebun di rumah sesuai dengan hobinya. Dalam 5 tahun, Pak Didi menerima keuntungan sekitar Rp42,5 juta (5 tahun dikali Rp8,5 juta per tahun).

Setelah 5 tahun, Pak Didi membutuhkan uang untuk merenovasi rumah. Pak Didi kemudian berpikir untuk menjual obligasinya. Pada saat itu, harga obligasi sebesar 98. Apabila Pak Didi menjual obligasi tersebut di harga 98 apakah dia mengalami kerugian dari investasi tersebut?

Jawabannya tidak. Dalam 5 tahun, dia telah mendapatkan keuntungan dari kupon yang dibayar setiap tahun atau 2 kali setiap 6 bulan. Pergerakan harga tidak mempengaruhi nilai kupon yang diterima oleh investor.

Pada saat menjual obligasi di harga 98, dia akan mengalami capital loss sebesar Rp2 juta yang berasal dari perhitungan= Rp100.000.000 x (98-100) %. Namun, kerugian itu dikompensasi dari keuntungan yang telah diperoleh setiap tahun dari kupon.

Salah satu a good rule of thumb dalam berinvestasi obligasi adalah investor yang memiliki horizon waktu investasi lebih panjang dibandingkan dengan durasi akan merasakan manfaat dari peningkatan suku bunga.

Masih bingung? Jangan khawatir. Kalau kamu masih bingung tentang investasi obligasi, kamu bisa DM digibank di Instagram @digibankid untuk tanya seputar investasi Yuk, tunggu apalagi, segera investasi obligasi!

Bank Indonesia (BI) sudah mengerek BI Rate menjadi 7,25%. Kenaikan BI Rate tersebut untuk merespons kenaikan inflasi dan luruhnya nilai tukar rupiah. BI rate sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia juga memiliki tujuan dasar sebagai kebijakan moneter yakni menjaga kestabilan harga barang. Hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas ekonomi dalam jangka panjang maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips-curve) sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, national economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam mendoronh inflasi dapat mendorong terjadinya permasalahan time-consistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijakan moneter mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi. Lalu bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Apakah sudah sesuai dengan untuk apa teori kebijakan moneter itu dilakukan?

Jika kita melihat inflasi year on year Indonesia Oktober 2013 dapat dikategorikan cukup terkendali pada 8,32 persen, hanya sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya. Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme dari variabel BI rate, inflasi, dan nilai tukar rupiah? Jika suku bunga naik, hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Di sisi lain dengan suku bunga yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS konversi ke rupiah dengan bunga bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah.

Efektifkah kebijakan ini? Jika kita lihat sampai saat ini, mungkin bisa dikatakan kebijakan ini belum efektif karena nilai tukar rupiah hampir menyentuh Rp 12.000 per 1 U.S. Dollar. Namun Friedman pada 1968 menyatakan bahwa kebijakan moneter mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang (Long-Run) dan mempunyai lag. Sejarah membuktikan, BI senantiasa menggunakan suku bunga tinggi untuk meredakan panasnya ekonomi Indonesia.

Apa yang akan terjadi? Pengalaman menunjukkan, kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia ke lembah krisis. Tahun 1997/1998 BI menerapkan kebijakan suku bunga tinggi hingga money market sampai dengan 70% untuk meredam inflasi. Efeknya kurang mendorong pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan besar. Dampak yang berat dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang kelojotan—kredit menjadi puso atawa macet. Nilai tukar rupiah menyala sampai dengan di atas Rp15.000 per US$1. Bank-bank masuk jurang dengan kelojotan likuiditas yang kering. Akhirnya bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit yang menjadi almarhum. Pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank sampai dengan Rp650 triliun.

Tahun 2005 dan 2008 pola yang sama kembali dianut, kendati agak berbeda efeknya. Pada 2005 kenaikan harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga dan tak berbeda pada 2008. Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat situasi pasar mencari keseimbangan baru yang bukan berarti tidak menelan korban. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah (BI) pada 2008 relatif berhasil karena krisis tidak sampai melumatkan ekonomi Indonesia, hanya menekan pertumbuhan ekonomi menjadi di kisaran 4,1%. Kebijakan bailout terhadap Bank Century yang dilakukan pemerintah dengan mekanisme asuransi (bukan APBN seperti 1998) bisa jadi ikut berperan dalam menahan krisis perbankan.

Kebijakan suku bunga tinggi dari BI ini telah diantisipasi oleh bank-bank dengan menaikkan suku bunga, baik suku bunga dana maupun sudah pasti suku bunga kredit. Kebijakan pembatasan pembelian properti dengan menaikkan uang muka merupakan sinyal agar bank-bank mengerem laju ekspansi. Apakah keseimbangan baru yang trennya menurun atau justru keseimbangan baru yang lebih tajam menukiknya? Tidak ada yang bisa memastikan bahwa kondisi ke depan akan seperti bara api krisis dengan menelan banyak korban atau justru akan dingin kembali seperti 2008?

Banyak langkah yang akan dilakukan bank-bank untuk menyedot banyak likuiditas di pasar. Tidak peduli likuiditas dolar ataupun rupiah. Semua dilahap habis oleh bank-bank. Jika demikian, akan terjadi koreksi di perbankan. Bank-bank yang hanya mengandalkan dana mahal akan banyak terkena dampak karena kredit secara mendadak juga akan terhenti menunggu kepastian pasar.Perebutan dana makin sengit dan tetap menjaga kualitas kredit menjadi sangat penting. Jangan sampai menelan dana sangat mahal, tapi kreditnya batuk-batuk dan seret karena dikelola tidak benar. Efek jangka pendek ialah akan terjadi flight to quality; dana berpindah ke tempat yang diyakini lebih aman.

Semoga keseimbangan baru ke depan tidak akan memakan korban bank sebab transmisi krisis selalu bermula dari bank. Jika bank baik-baik saja, krisis akan datang ke sini hanyalah hembusan angin semata. Namun, siapa yang berani memastikan akan ada krisis atau tidak akan ada krisis? Yang pasti tetaplah berjaga-jaga dengan cadangan likuiditas yang memadai karena kita tengah memasuki rezim suku bunga tinggi kembali dengan siklus lebih pendek. Sekali lagi proses dan transmisi dari kebijakan moneter selalu memakan waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968).

Patrick Kuntara Harpranata Silangit

Staff Kajian Strategis BEM FEB UGM

(Dari Berbagai Sumber)