Apa balasan bagi orang yang menuntut ilmu sebagaimana yang dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 122?

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education).  Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Seperti wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW saja adalah tentang perintah membaca, Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Dapat dilihat betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa madharat. Tanpa pengetahuan niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat, yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di akhirat nanti.

Barangsiapa menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu.”

Begitulah penyataan dari Imam Syafi’i. Dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan, selayaknya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.

BAB II

PEMBAHASAN

            Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S At-Taubah : 122)

  1. Asbabun Nuzul At-Taubah:122

Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada didaerah badui atau pedalaman. Karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya ”sungguh ada orang-orang yang tertinggal didaerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu” kemudian turunlah firmannya yang menyatakan tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya” (ke medan perang).

Ibnu Abu  Hatim telah mengetengahkan pula hadits lainya melalui abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila rasulullah SAW mengirimkan syariahnya, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan nabi. Di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah.[1]

  1. Penjelasan QS. At-Taubah: 122

Ayat ini merupakan penjelasan dari Allah SWT bagi golongan penduduk Arab yang hendak berangkat bersama Rasulullah SAW ke perang Tabuk. Ada segolongan ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap muslim wajib berangkat untuk berperang, apabila Rasulullah pun berangkat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman, “Maka pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat.” (Q.S At-Taubah: 41)[2].

Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abdullah bin Ubaid bin Umar dikemukakan bahwa kaum Mukminin, karena kesungguhannya ingin berjihad, apabila diseru oleh Rasulullah SAW untuk berangkat ke medan perang, mereka serta merta berangkat meninggalkan Nabi SAW beserta orang-orang yang lemah. Ayat ini QS at-Taubah:122 turun sebagai larangan kepada kaum Mukminin serta merta berangakat seluruhnya, tapi harus ada yang menetap untuk memperdalam pengetahuan agama.[3]

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas se­hubungan dengan firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Yakni tidaklah sepatutnya orang-orang mukmin berangkat semuanya ke medan perang dan meninggalkan Nabi Saw. sendirian. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Yaitu suatu golongan. Makna yang dimaksud ialah sepasukan Sariyyah (pasukan khusus) yang mereka tidak berangkat kecuali dengan seizin Nabi Saw. Sedangkan mereka yang tetap tinggal untuk memperdalam ilmu bersama Nabi Saw. Akan mengatakan kepada Sariyyah, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Nabi kalian dan telah kami pelajari”. Selanjutnya Sariyyah itu tinggal untuk mempelajari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka, sesudah keberangkatan mereka dan Nabi pun mengirimkan Sariyyah lainnya yang demikian itulah pengertian firman Allah Swt.:

{لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ}

untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122)

      Yakni agar mereka mempelajari apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka. Selanjutnya mereka akan mengajarkannya kepada Sariyyah apabila telah kembali kepada mereka.

{لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ}

supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Yaitu untuk menjaga dari siksaan Allah dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.[4]

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi Saw yang pergi ke daerah-daerah pedalaman, lalu mereka beroleh kebajikan dari para penduduknya dan beroleh manfaat dari kesuburannya, serta menyeru orang-orang yang mereka jumpai ke jalan petunjuk (hidayah). Maka orang-orang pedalaman berkata kepada mereka, “Tiada yang kami lihat dari kalian melainkan kalian telah meninggalkan teman kalian (Nabi Saw) dan kalian datang kepada kami.” Maka timbullah rasa berdosa dalam hati mereka, lalu mereka pergi dari daerah pedalaman seluruhnya dan menghadap Nabi Saw. Maka Allah Swt berfirman Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) untuk mencari kebaikan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122) dan untuk mendengarkan apa yang terjadi di kalangan orang-orang serta apa yang telah diturunkan oleh Allah. Allah memaafkan mereka. Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya. (At-Taubah: 122) Yakni semua orang apabila mereka kembali kepada kaumnya masing-masing. Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Jadi dalam pasukan tersebut ada dua kelompok yaitu kelompok yang berjihad dan kelompok yang memperdalam agama melalui Rasul.[5]

Dalam penjelasan lain juga kalimat di atas sebenarnya  fardhu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ain, yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Artinya agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu ingin membimbing kaumnya tentang akibat dari kebodohan dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah dan berhati hati terhadap kemaksiatan juga agar mampu menyebarkan dakwah dan membela.[6]

Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada didaerah badui atau pedalaman. Karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya ”sungguh ada orang-orang yang tertinggal didaerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu” kemudian turunlah firmanya yang menyatakan tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya” (ke medan perang)

Ibnu Abu  Hatim telah mengetengahkan pula hadits lainya melalui abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila rasulullah SAW mengirimkan syariahnya, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan nabi dimadinah bersama dengan orang-orang yang lemah.[7]

  1. Analisis QS. At-Taubah:122

Dalam ayat ini dibahas enam masalah, yaitu :

Pertama: firman Allah SWT, وما كا ن المؤمنون , ‘maksudnya adalah perintah jihad bukanlah fardhu ain melainkan fardhu kifayah.

Kedua: ayat ini adalah asal perintah untuk menuntut ilmu, karena makna ayat tersebut adalah tidaklah patut semua mukmin keluar  untuk berjihad, sedangkan nabi SAW berada di Madinah tidak ikut berperang فلولا نفر maksudnya adalah tidak dituntut semuanya berjihad sedangkan sisa dari kelompok tersebut tinggal bersama Nabi dan mendalami ilmu agama.

Ketiga: kata طائفة (kelompok orang). Ukuran kelompok itu paling sedikit berjumlah dua orang.

Keempat: firman Allah ليتفقهوا maksudnya ialah untuk mereka yang menetap bersama Nabi SAW.

Kelima: hukum menuntut ilmu terbagi menjadi dua, yaitu:

  1. Fardhu’ain, seperti shalat, zakat dan puasa
  2. Fardhu Kifayah, seperti memperoleh hak-hak menegakkan hukum atau hudud dan melerai dua orang yang bertengkar.

Keenam: menuntut ilmu memiliki keutamaan dan martabat yang mulia.[8]

  1. Aspek Tarbawi QS. At-Taubah:122
  2. Menuntut Ilmu merupakan kewajiban bagi setiap mukmin laki-laki dan perempuan, yang pahalanya disamakan dengan berjuang di medan perang.
  3. Kewajiban menuntut ilmu agama bagi orang-orang muslim lalu mengajarkannya kepada yang lain, bertujuan agar ilmu dan peradaban Islam dapat terus ada dari generasi ke generasi.
  4. Kaum muslimin hendaknya mengerti pembagian tugas dan peran masing-masing, ada yang dalam bidang pertahanan dan keamanan, ada yang dalam bidang pendidikan, agar dalam kelangsungan hidupnya mereka dapat saling memberi manfaat satu sama lain.
  5. Hakekat manusia tidak bisa dipisahkan dari kemampuan untuk mengembangkan ilmi pengetahuan, maka ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia.[9]

öNs9urr&(#÷rttƒy#ø‹Ÿ2ä—ωö7リ!$#t,ù=y‚ø9$#¢OèOÿ¼çn߉‹Ïèãƒ4¨bÎ)šÏ9ºsŒ’n?tã«!$#׎Å¡o„ÇÊÒÈö@è%(#r玍ř†ÎûÇÚö‘F{$#(#rãÝàR$$sùy#ø‹Ÿ2r&y‰t/t,ù=yÜø9$#4¢OèOª!$#à×Å´Yãƒnor’ô±¨Y9$#notÅzFy$#4¨bÎ)©!$#4’n?tãÈe@à2&äóÓx«ÖƒÏ‰s%ÇËÉÈ

Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah “Berjalanlah di (muka) bumi. Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi [1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

  1. Penjelasan QS. Al-Ankabut: 19-20

Ayat 19 masih lanjutan dari ayat sebelumnya akan tetapi dalam ayat ini cenderung di pahami sebagai komentar Allah SWT, karena redaksinya menbentuk pesona ketiga, tidak sebagaimana lalu menggunakan ayat ke dua, yakni ditujukan langsung kepada mitra bicara yakni dengan menolak langsung ajakan rosul penggunakan pesona ketiga itu mengesankan kejauhan mereka dari kehadirat ilahi dan bahwa mereka tidak wajar memperoleh kehormatan diajak berdialog dengan Allah swt.

Kata (يروا) yarau terambil kata (راى) ra’a yang dapat diartikan dapat melihat dengan mata kepala atau mata hati  atau memikirkan atau memperhatikan. Sementatara ulama antara lain yaitu thaba’thaba’i memahami makna tersebut dalam arti dengan mata hati atau memikirkan bukan dengan mata kepala, tetapi ulama lain seperti thahrir ibn Ayhur memahaminya dengan kedua makna diatas. Kejadian manusia dan kematianya atau munculnya tumbuhan dan layunya, dapat terlihat sehari hari dengan mata kepala yang mau melihatnya. Demikian ia juga dapat di pikirkan dan di renungkan oleh siapapun walaupun tidak melihatnya dengan mata kepala.

Kata (يبدئ) yabdi’u terambil dari kata (بدا) bada’a. Kata yang terdiri dari huruf-huruf (ب) ba’,(د) dzal dan (ء) hamzah, berkisar maknanya dalam memulai sesuatu. Orang yang terkemuka dinamai bad’u, karena biasanya namanya disebut terlebih dahulu .

Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti “dia yang menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia yang menciptakan dari ada menjadi tiada, maka wujudlah sesuatu apa yangdi kehendaki-Nya. “Dan apakah tidak mereka perhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan.” (pangkal ayat 19). Allah tidaklah dapat dilihat dengan mata. Untuk meyakinkan adanya Allah, hendaklah perhatikan alam yang diciptakan oleh Allah. Untuk mencari Allah perhatikanlah alam. Kian diperhatikan, akan kian teranglah dalam hatimu bantahan kepada pendirianmu yang kaku dan kejang, yang selama ini mengatakan Tuhan itu tidak ada. Di awal ayat ini kita dianjurkan memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan. Banyak terdapat permulaan penciptaan Ilahi yang sangat ajaib, yang begitu teratur dan mengagumkan kalau dia terjadi dengan sendirinya. Tetapi suatu waktu kelak, manusia yang telah mati itu pula dihidupkan kembali dalam kejadian yang baru. “Sesungguhnya pada yang demikian atas Allah adalah mudah.” (ujung ayat 19) Sebagaimana kuning telur bisa jadi seekor  ayam yang bernyawa, kemudian ayam itu mati atau seperti manusia yang hidup di dunia ini, kemudian mati setelah mati kelak menurut ukuran yang telah ditentukan Allah, manusia itu akan dibangkitkan kembali, semuanya adalah urusan yang mudah saja bagi Allah.[10]

“Katakanlah Mengembaralah di muka bumi, lalu perhatikan bagaimana Dia memulai penciptaan” (pangkal ayat 20) di sini perintah itu sudah lebih tegas lagi. Manusia disuruh mengembara di muka bumi. Supaya dia jangan membeku saja tidak berfikir, tidak menyelidiki. Penyelidikan-penyelidikan itu akan sampai kepada permulaan timbulnya ciptaan pertama tentang hidup. Lanjutan ayat menyuruh manusia sampai kepada penyelidikan selanjutnya: “Kemudian Allah memunculkan kemunculan yang lain.” Artinya ialah setelah manusia memperhatikan awal mula penciptaan-penciptaan alam ini sampai menjadi ilmu, dianjurkan manusia supaya merenungkan kemungkinan yang amat luas bagi Maha Penguasa itu. Setelah Dia senggup menciptakan awal permulaan kejadian yang mudah baginya, manusia bagaimanpun pintarnya tidak dapat menciptakan seperti itu. Kalau manusia sudah mengakui bahwa segala permulaan penciptaan itu sangat teratur dan mengagumkan, meninggalkan kesan bahwa pencipta itu memang maha kuasa, maka tidak ada lagi jalan untuk memungkiri bahwa Dia pun maha kuasa pula membuat bentuk alam kelak dalam bentuk yang lain, dan mengulangi kehidupan manusia dalam alam yang lain. “ Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa.” (Ujung ayat 20) Segala yang kita pandang sulit dan mustahil, bagiNya adalah perkara mudah belaka. [11]

  1. Analisis QS. Al- Ankabut: 19-20

Allah tidaklah dapat dilihat dengan mata. Untuk meyakinkan adanya Allah, hendaklah perhatikan alam yang diciptakan oleh Allah. Di awal ayat ini kita dianjurkan memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan. Banyak terdapat permulaan penciptaan Ilahi yang sangat ajaib, yang begitu teratur dan mengagumkan kalau dia terjadi dengan sendirinya. Tetapi suatu waktu kelak, manusia yang telah mati itu pula dihidupkan kembali dalam kejadian yang baru. “Sesungguhnya pada yang demikian atas Allah dalah mudah.” (ujung ayat 19) Sebagaimana kuning telur bisa jadi seekor  ayam yang bernyawa, kemudian ayam itu mati, atau seperti manusia yang hidup di dunia ini, kemudian mati, setelah mati kelak menurut ukuran yang telah ditentukan Allah, manusia itu akan dibangkitkan kembali, semuanya adalah urusan yang mudah saja bagi Allah.

Firman Allah SWT:

أَوَلَوْيَرَوْأكَيْفَ يُبْدِى الله الْخَلْقُ

Bacaan yang lazim dipakai adalah dengan memakai huruf ya’pada khobar. Abu ubaid mengatakan bahwa hal ini untuk mengingatkan manusia seolah-olah allah berfirman “apakah kamu tidak tau bagaimana umat-umat terdahulu”. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah “apakah kalian tidak melihat bagaimana allah menjadikan buah-buahan itu, menghidupkanya kemudian mematikanya dan mengulangi hal-hal yang demikian itu terus-menerus.[12]

Firman allah SWT:

قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ

Jika kita perhatikan seksama kita akan mendapatkan banyak perbedaan dengan mereka,baik dari segi tempat tinggal,tingkah laku dan perbedaan pola fikir. Semua itu terjadi karena kekuasaan Allah SWT dengan keadilan.[13]

Dalam QS. Al-Ankabut:19-20 ini Allah memerintahkan agar manusia mempelajari dan berfikir untuk memperdalam pengetahuan melalui objek berupa ciptaan-ciptaanNya, baik ciptaan yang merupakan permulaan yang awalnya tidak ada sebagaiamana Allah menciptakan manusia dari nutfah atau ciptaan yang merupakan menghidupkan kembali setelah musnah, seperti membangkitan manusia yang sudah mati di alam akhirat kelak. Dari ayat ini dapat dilihat pula bahwa tujuan dan hasil belajar yang dilakukan diharapkan dapat melahirkan atau meningkatkan kepercayaan akan adanya Allah SWT yang Maha Kuasa, serta agar manusia tidak sombong sebab seberapa pintarnya manusia tidak ada yang mampu menandingi kekuasaan Allah yang mampu menciptakan sesuatu yang awalnya tidak ada, dan mengadakan kembali sesuatu yang telah binasa.

  1. Aspek Tarbawi QS. Al- Ankabut:19-20
  2. Ilmu Pengetahuan bisa didapat tidak hanya melalui pendidikan formal saja, akan tetapi sepanjang hiduplah pengetahuan dapat terus digali dengan mengamati kejadian alam sekitar.
  3. Tujuan memiliki pengetahuan adalah agar memantapkan keimanan.
  4. Tidak sepatutnya orang yang memiliki bermacam-macam ilmu pengetahuan menjadi sombong ketika dapat menyelidiki sesuatu dan menghasilkan penemuan baru, sebab semua pengetahuan manusia adalah karunia Allah dan hasil ciptaan manusia seperti apapun cerdasnya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ciptaan Allah yang Maha Kuasa.
  5. Hendaknya setiap manusia percaya dan yakin kepada Allah, bahwa Dia-lah yang mejalankan semua yang ada di alam semesta ini dengan qadar dan perhitungan.[14]

BAB III

SIMPULAN

Dalam surat At-Taubah ayat 122 menjelaskan :

  • Pertama, perintah jihad bukanlah fardhu ain melainkan fardhu kifayah.
  • Kedua,ada pembagian proposional atara berjihad dan menuntut ilmu
  • Ketiga, hukum menuntut ilmu terbagi menjadi dua, yaitu:
  1. Fardhu’ain, sepertishalat, zakat dan puasa
  2. Fardhu Kifayah, seperti memperoleh hak-hak menegakkan hukum atau hudud dan melerai dua orang yang bertengkar.
  • Keempat, menuntut ilmum emiliki keutamaan dan martabat yang mulia.

Adapun dalam surat Al-Ankabut ayat 19-20 menjelaskan:

  • Agar manusia mempelajari dan berfikir untuk memperdalam pengetahuan melalui objek berupa ciptaan-ciptaanNya, baik ciptaan yang merupakan permulaan yang awalnya tidak ada sebagaiamana Allah menciptakan manusia dari nutfah atau ciptaan yang merupakan menghidupkan kembali setelah musnah
  • tujuan dan hasil belajar yang dilakukan diharapkan dapat melahirkan atau meningkatkan kepercayaan akan adanya Allah SWT yang Maha Kuasa, serta agar manusia tidak sombong sebab seberapa pintarnya manusia tidak ada yang mampu menandingi kekuasaan Allah yang mampu menciptakan sesuatu yang awalnya tidak ada, dan mengadakan kembali sesuatu yang telah binasa.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah. Jakarta : Lentera Hati

Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas

Nasir ar-Rifa’i, Muhammad. 2005. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2  cet. Ke-7 Terjemahan Drs. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani

Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1989. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz 11. Semarang: PT. Karya Toha Putra

Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti, Imam. 1990. Terjemah Tafsir Jalalain Terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: CV Sinar Baru

Qardhawi, Yusuf. 1999. Al-Aqlu wal-‘Ilmu fil-Qur’anil-Karim Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim dan Sochimien. Jakarta: Gema Insani

Nadra, Isnin. 2014. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 190-193 Dan Surat Attaubah 122 (Konsep Pendidikan Jihad), Skripsi. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah

Imam Al-Qurtubhi,Syaikh. 2008. Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Terj. Budi Rosyadi, Fathurrahman dan Nasyiul Haq. Jakarta: Pustaka Azzam

Munir,  Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Teras

[1]Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti. Terjemah Tafsir Jalalain Terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: CV Sinar Baru, 1990) hlm. 842

                [2] Muhammad Nasir ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2  cet. Ke-7 Terjemahan Drs. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 684

                [3]Isnin Nadra, Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 190-193 Dan Surat Attaubah 122 (Konsep Pendidikan Jihad), Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014 hlm. 44-45

                [4] Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti, Op.Cit hlm. 819

                [5]Ibid,.hlm. 685

                [6]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghijuz 11(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1989) hlm. 86

                [7]Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti,Op-cit,hlm. 842

                [8]Syaikh Imam Al-Qurtubhi, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Terj. Budi Rosyadi, Fathurrahman dan Nasyiul Haq (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm. 731-735

                [9]Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi (Yogyakarta: Teras, 2008) hlm. 89

                [10]Quraish Shihab,Tafsir Al Misbah, jakarta : Lentera Hati 2002

                [11]Hamka, Tafsir Al Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, hlm.163-166

                [12] Al- Qurthubi,Op-cit,hlm. 854

                [13] Al- Qurthubi,Op-cit,hlm. 856-857

                [14]Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal-‘Ilmu fil-Qur’anil-Karim Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim dan Sochimien (Jakarta: Gema Insani, 1999) cet. Ke-3 hlm. 207