Yang bukan isi dari perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667 adalah

Isi Perjanjian Bongaya, Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Indonesia memiliki histori perjuangan panjang dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Salah satunya dibuktikan dengan terjadinya Perjanjian Bongaya. Isi Perjanjian Bongaya dapat dikatakan sebagai awal kehancuran kesultanan terbesar di kawasan Indonesia Timur, yakni Kesultanan Gowa-Tallo.

Lebih lanjut, simak latar belakang, isi, dan dampak ditandatanganinya Perjanjian Bongaya dalam pembahasan berikut ini.

Latar Belakang Perjanjian Bongaya

Ilustrasi perdagangan di masa penjajahan. Foto: Sejarah Indonesia

Sejarah Perjanjian Bongaya dilatarbelakangi oleh keinginan VOC untuk melemahkan Kesultanan Gowa-Tallo dan memonopoli rempah-rempah. Disadur dari buku Sejarah 2 SMP Kelas VIII oleh Prawoto, Kesultanan Gowa terletak di ujung selatan Sulawesi. Kesultanan itu dikenal juga sebagai Kerajaan Makassar. Sebab, sebagian besar penduduk Kesultanan Gowa-Tallo terdiri dari suku Makassar.

Kesultanan Gowa-Tallo memiliki kekuatan militer yang sangat kuat. Hal itu menjadikan Kesultanan Gowa-Tallo mendapatkan pengawasan lebih ketat dibandingkan musuh-musuh VOC lainnya di wilayah Maluku Selatan.

Selain itu, Kesultanan Gowa-Tallo juga memiliki kekuatan ekonomi perdagangan yang kuat. Kondisi itu dibuktikan dengan adanya pelabuhan perdagangan internasional yang berlokasi di Somba Opu (pesisir Sulawesi Selatan).

Kekuasaan VOC di kawasan Indonesia Timur diketahui bertepatan pada masa kejayaan Kesultanan Gowa-Tallo, tepatnya di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669 M). Mengetahui hal tersebut, VOC merasa terancam. Dengan rivalitas yang semakin meruncing, perang di antara VOC dengan Kesultanan Gowa-Tallo tak bisa dihindarkan.

Kala itu, Sultan Hasanuddin memperkaya pasukannya dengan memerintah kerajaan bawahan di Nusa Tenggara. Tujuannya tak lain untuk melawan tindakan VOC yang semena-mena di wilayah itu.

Di sisi berlawanan, VOC menggunakan politik Devide et Impera (politik adu domba) dengan meminta bantuan Aru Palaka, seorang Pangeran Bugis dari Kesultanan Bone. Di saat yang sama, Aru Palaka ingin membalaskan dendamnya ke Kesultanan Gowa-Tallo dan ingin merebut kemerdekaan Bone.

Sebagai tambahan informasi, pada 1660, Aru Palaka bersama 10.000 orang Bugis dari Bone melakukan pemberontakan ke Kesultanan Gowa. Akan tetapi, pemberontakan itu gagal dilakukan.

Kemudian, Aru Palaka bersama pengikutnya melarikan diri dan diberi perlindungan oleh VOC untuk tinggal di Batavia. Di sana, ia tergabung ke dalam tentara VOC dan menjadi prajurit yang tangkas.

Berdasarkan alasan tersebut, Aru Palaka menerima permintaan VOC. Kerja sama tersebut membuat permusuhan dengan Kesultanan Gowa-Tallo semakin sengit.

Sebenarnya, permusuhan antara VOC dengan Kesultanan Gowa-Tallo sudah berlangsung sejak 1615. Pada 1660, VOC memaksa Sultan Hasanuddin untuk menerima persetujuan perdamaian.

Kendati demikian, perjanjian perdamaian tersebut ternyata tak dapat mengakhiri permusuhan. Kondisi itu diperparah saat Sultan Hasanuddin mengetahui bahwa VOC memberi perlindungan pada Aru Palaka.

Melihat peluang berdamai dengan Kesultanan Gowa-Tallo sulit untuk diwujudkan, VOC memutuskan untuk kembali menyerang Gowa. Pada 1666 VOC, membawa sekitar 1.900 prajurit berkebangsaan Eropa dan 21 armada kapal perang.

Di samping itu, pihak VOC diperkuat dengan serdadu Ambon dan Aru Palaka beserta anak buahnya, di bawah pimpinan J. Cornelis Speelman.

Keterlibatan Aru Palaka yang mendorong orang Bugis melawan Gowa berhasil memenuhi harapan VOC. Aru Palaka memimpin pasukan untuk melakukan pertempuran di darat. Sementara itu, Speelman berhasil menghancurkan armada Kesultanan Gowa.

Melihat hal itu, Sultan Hasanuddin menyerang kapal-kapal Belanda dan menenggelamkannya. Tak tinggal diam, VOC kemudian melakukan serangan balasan.

Lantas, apa dampak dari perlawanan Gowa? Panjangnya perseteruan antara Kesultanan Gowa-Tallo dengan VOC akhirnya membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya.

Penandatanganan Perjanjian Bongaya itu sekaligus mengakhiri perang besar-besaran antara Kesultanan Gowa dengan VOC.

Jelaskan Isi dari Perjanjian Bongaya dan Apa Akibatnya?

Sultan Hasanuddin, Foto; p2k.unugha.ac.id

Setelah mengetahui latar belakang di balik peristiwa Perjanjian Bongaya, waktu ditandatanganinya Perjanjian Bongaya juga perlu diketahui. Perjanjian Bongaya yang melibatkan Kesultanan Gowa-Tallo dan pihak VOC ditandatangani pada 18 November 1667 Masehi.

Lalu, di mana Perjanjian Bongaya dilakukan? Sesuai namanya, perjanjian itu dilakukan di daerah Bongaya. Dikutip dari buku Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Mundzirin Yusuf, (2006:120), berikut isi Perjanjian Bongaya:

  1. Makassar mengakui monopoli VOC dengan wilayah yang dipersempit menjadi Gowa saja

  2. Makassar harus membayar ganti rugi atas peperangan dalam bentuk hasil bumi ke VOC setiap tahun

  3. Hasanuddin harus mengakui Aru Palaka sebagai Raja Bone

  4. Gowa tertutup bagi orang asing selain VOC

  5. Benteng-benteng yang pernah ada harus dihancurkan, kecuali Benteng Rotterdam

Perjanjian ini sempat dibatalkan oleh Sultan Hasanuddin pada awal 1668. Akan tetapi, pada 1669, Aru Palaka menyerang Benteng Somba Opu dengan kekuatan 7.000-8.000 pasukan sehingga Benteng Somba Opu berhasil ditaklukkan.

Sementara itu, Sultan Hasanuddin dan pasukannya melarikan diri dan meninggal pada 1670. Hingga kini Sultan Hasanuddin dikenal sebagai pahlawan paling berani dari Makassar. Untuk itu, sebutan 'Ayam Jantan dari Timur' disematkan sebagai julukan yang tepat bagi beliau.

Berdasarkan peristiwa di atas, tentu muncul pertanyaan mengenai siapakah yang paling merugi dalam Perjanjian Bongaya? Seperti yang diketahui bahwa isi Perjanjian Bongaya sebenarnya terpaksa ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin.

Sebab politik adu domba yang dilakukan VOC atas Aru Palaka yang saat itu masih menaruh dendam ke Kesultanan Gowa-Tallo berhasil memengaruhinya. Kondisi itu juga diperparah dengan kuatnya serangan VOC yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap.

Meskipun disebut sebagai perjanjian damai, pada kenyataannya Perjanjian Bongaya membuat pihak Kesultanan Gowa-Tallo merugi. Lain halnya dengan penandatanganan Perjanjian Bongaya yang justru mendatangkan keuntungan besar bagi VOC.

Adapun isi perjanjian Bongaya memuat ketentuan yang cenderung menguntungkan pihak VOC. Dalam buku Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas Program Bahasa yang disusun oleh Nana Supriatna, disebutkan dalam perjanjian tersebut bahwa Belanda berhak memonopoli dagang rempah-rempah di wilayah Makassar sekaligus mendirikan benteng pertahanan di wilayah tersebut.

Sementara itu, pihak kesultanan harus melepaskan daerah kekuasaannya di luar Makassar. Secara tak langsung, perjanjian tersebut menunjukkan betapa besar kerugian yang dialami oleh Kesultanan Gowa-Tallo.

Itulah uraian mengenai latar belakang dan isi Perjanjian Bongaya. Lebih lanjut peristiwa di atas sedikit banyak membawa pembelajaran bagi kita, bahwa praktik politik adu domba dapat merugikan banyak pihak. Selain itu, peristiwa di balik Perjanjian Bongaya membuktikan kebenaran peribahasa "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."