PERUNDINGAN Linggarjati merupakan suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan. Show Isi kesepakatan dari perjanjian linggarjatiBerikut isi kesepakan perjanjian Linggarjati yang dikutip lewat buku Sejarah Nasional dan Sejaran Umum, Penerbit Angkasa (1995): 1. Belanda mengakui secara de facto atas wilayah Jawa, Sumatera dan Madura 2. Pemerintah Belanda dan Indonesia sepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat pada 1 Januari 1949 3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan pesertanya RIS, Nederland, Suriname Curacao dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya Baca juga: Mengintip Sejarah Teks Proklamasi Dibuat Hingga Diproklamirkan 17 Agustus 1945 Dampak yang terjadi setelah melakukan perjanjian linggarjati: Dampak positif :1. Citra Indonesia di mata dunia semakin kuat, dengan adanya pengakuan Belanda terhadap 4. Selesainya konflik antara Belanda dan Indonesia. Dampak Negatif:1. Indonesia hanya memiliki wilayah kekuasaan yang kecil. Selain itu Indonesia harus mengikuti persemakmuran Indo-Belanda. 2. Memberikan waktu Belanda untuk mempersiapkan melanjutkan agresi militer. 3. Perjanjian ini ditentang oleh sejumlah masyarakat, seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakjat Sosialis. 4. Dalam perundingan tersebut, Sutan Syahrir telah dianggap memberikan dukungan pada Belanda. Sehingga membuat anggota dari Partai Sosialis dan KNIP mengambil langkah penarikan dukungan pada 26 Juni 1947 Baca juga: Harkitnas: Sejarah Budi Utomo Tokoh yang terlibat dalam perundingan Linggarjati:Di pihak Indonesia adalah: 1. Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia 2. Amir Sjarifuddin, Menteri Pertahanan 3. Johannes Leimena Pihak Belanda terdiri dari: 1. Willem Schermerhorn, Perdana Menteri Belanda tahun 1945-1946 2. F. De Boer, politikus Partai Liberal 3. Max van Poll, politisi Partai Katolik 4. Hubertus van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. (OL-13) Liputan6.com, Jakarta - Setelah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih menjadi incaran Belanda untuk kembali dikuasi. Pasca proklamasi, pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands-Indies Civiele Administration) kembali ke Tanah Air dengan membonceng pasukan Sekutu. Untuk mempertahankan kemerdekaan, genjatan senjata hingga berbagai diplomasi pun dilakukan. Salah satunya yakni melalui Perjanjian Linggarjati. Sebelum kesepakatan digelar di salah satu wilayah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat itu, Indonesia dan Belanda sudah beberapa kali melakukan pertemuan. Namun seringkali tidak mencapai titik temu. Rushdy Hoesein dalam bukunya Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati menyatakan, perundingan di luar negeri pertama antara Indonesia dengan Belanda setelah merdeka diagendakan di Hoge Veluwe 14 April 1946. Namun agenda itu dianggap gagal dan tidak mencapai kesepakatan. Setelah itu, perundingan antara kedua negara ini sempat terhenti beberapa bulan. Kemudian peluang kembali muncul saat pemerintah Inggris sebagai penanggung jawab penyelesaian konflik politik dan militer di Asia mendesak agar Indonesia dan Belanda kembali melakukan perundingan. Tanggal 7 Oktober 1946, dibuka perundingan di Konsulat Jenderal Inggris Jakarta. Saat itu perundingan dipimpin oleh Lord Killearn. Sedangkan Ketua delegasi RI adalah Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda Schermerhorn. Dalam perundingan itu menghasilkan persetujuan gencatan senjata pada 14 Oktober 1946 hingga puncaknya 10 November 1946. Lalu dilanjutkan dengan perundingan yang terjadi pada 11-14 November 1946 di Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Berdasarkan laporan Tempo (9 Maret 2009), lokasi tersebut merupakan usulan dari Menteri Sosial kala itu, Maria Ulfa yang saat itu merupakan orang terdekat Sjahrir. Ayah Maria pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan. Kemudian secara kebetulan Bupati Cirebon, yang kala itu dipegang Makmun Sumadipradja merupakan sahabat Sjahrir. Perundingan yang berlangsung beberapa hari itu berlangsung alot, sebab terdapat 17 pasal yang dibahas. Setelah perjanjian disepakati, kedua delegasi membawa rencana persetujuan ke masing-masing parlemen untuk disahkan. Republik Indonesia mengesahkan Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947. Dalam Perundingan Linggarjati tersebut secara de facto Belanda mengakui eksistensi negara Republik Indonesia. Namun, hanya tiga wilayah Indonesia yang diakui, di antaranya Sumatera, Jawa, dan Madura. Lalu, yang kedua Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam bentuk negara Indonesia Serikat, salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia. Selanjutnya Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Elshinta.com - Setelah berlangsung sejak 11 November 1945, Perundingan Linggarjati akhirnya membuahkan beberapa keputusan. Namun, sering terjadinya ketidaksepahaman antara Indonesia dan Belanda membuat hasil dari perjanjian Linggarjati tak juga ditandatangani kedua belah pihak. Baca juga Hasil perundingan Linggarjati ditandatangani Hasil perundingan Linggarjati baru ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947. Adapun isi perjanjian Linggarjati adalah: - Belanda mengakui secara de facto RI dengan daerah kekuasaan meliputi Madura, Sumatera dan Jawa. Belanda harus pergi meninggalkan daerah de facto tersebut paling lambat 1 Januari 1949. - Belanda dan Republik Indonesia sepakat membentuk negara serikat dengan nama Negara Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari RI, Timur Besar dan Kalimantan. - Belanda dan RIS sepakat untuk membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua. Baca juga Perjanjian Linggarjati ditandatangani Indonesia dan Belanda
Jumat, 10 Juni 2022 - 10:45 WIB Kiai Dimyati Rois meninggal dunia Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H.Dimyati Rois meninggal dunia di Rumah Sakit Telo... Perundingan Linggarjati (juga dieja sebagai Perundingan Linggajati) atau Perundingan Cirebon[1] adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.[2] Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Pada awalnya, Indonesia dan Belanda diajak untuk berunding di Hoge Veluwe yang akan dilaksanakan pada tanggal 14-15 April 1946, tetapi perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatra dan Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.[3][4] Dalam perjanjian tersebut terdapat beberapa tokoh yang datang sekaligus mewakili masing-masing pihak. Para tokoh yang terdapat dalam perjanjian bersejarah tersebut,yaitu:[5]
Persetujuan gencatan senjata yang membuka peluang Perundingan Linggarjati. Soetan Sjahrir berada di kanan Potongan pemberitaan mengenai Linggarjati (dalam bahasa Belanda) Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.[2] Setelah pemilihan umum Belanda pada tahun 1946, koalisi pemerintahan yang baru terbentuk memutuskan untuk mendirikan "Komisi Jenderal" untuk memulai negosiasi dengan Indonesia. Pemimpin dari komisi ini adalah Wim Schermerhorn. Tujuan didirkannya komisi ini adalah untuk mengatur konstitusi Hindia Belanda pada pasca-Perang Dunia II tanpa memerdekakan koloninya.[6] Dalam perundingan ini, Wim Schermerhorn beserta komisinya dan Hubertus van Mook mewakili Belanda, sementara Soetan Sjahrir mewakili Indonesia, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini. Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:[7]
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.[6] Perundingan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.[8] Perjanjian ini memberikan dampak buruk bagi Indonesia. Indonesia harus kehilangan wilayah kekuasaannya, berdasarkan perjanjian ini wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura. Bagi beberapa pihak kehilangan wilayah ini adalah sebuah kesalahan besar. Langkah ini terpaksa diambil dengan pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan militer Belanda yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya, apabila perundingan ini tidak membuahkan hasil akan mengakibatkan perang kembali yang akan berdampak buruk bagi Indonesia. Selain itu Indonesia harus ikut dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda.[9] Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus [[.]] Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.[10]
|