Upacara yadnya sebelum siswa menuntut ilmu pengetahuan disebut

MUTIARAHINDU.COM -- Manusia tumbuh melalui berbagai tahap usia dalam hidup mereka, proses yang dikenal sebagai siklus kehidupan manusia. Berbagai poin sepanjang siklus kehidupan seseorang menawarkan berbagai pertumbuhan dan perkembangan, baik pada tingkat fisik dan emosional. Sebagai orang yang bergerak melalui kehidupan dari satu siklus ke siklus yang lain, ia juga mengalami perkembangan konstan dari kehidupan seluler, kematian dan regenerasi, dari saat pembuahan sampai saat kematian.

Kita mesti bangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang kehidupan seorang manusia yang tersusun secara sistimatis dalam Catur Asrama. Dalam kepercayaan lain konsep ini nampak tidak begitu jelas, dimana seorang yang sebenarnya sudah masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga sebaliknya diusia yang masih sangat muda seseorang telah dinikahkan.

Upacara yadnya sebelum siswa menuntut ilmu pengetahuan disebut
Odalan purnama ke tiga di Pura Kerta Bumi, Bongso wetan, Gresik, Jatim

Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari fisiktapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.

na prasiddhyed akarmaṇa, (Bhagavadgītā III.8.42).

Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.

Kata Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan ’kerohanian’. Kata ’asrama’ sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat perilaku manusia.

Susunan tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani seseorang. Perkembangan rohani berproses mulai dari bayi, muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi rohani yang mantap mengalami ketenangan dan keseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas memperlihatkan bahwa hidup itu diprogram menjadi empat fase dalam kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan manusia mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan menunjukkan hasil yang sempurna,  (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:146).

Dalam fase pertama, kedua, ketiga, dan keempat rumusan tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga, ataupun keempat.

Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan mudah tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mengalami hal yang sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini. Masing-masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan atma menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.

Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

“Pelaksanaan Brahmacari Membawa Akibat Bagi Leluhurnya”

Tersebutlah seorang Brahmana yang bernama Sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru, sangatlah takut pada kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang wiku terpilih atas ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir padi yang tercecer di jalan atau di sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila sudah terkumpul banyak lalu ditanaknya, digunakan sebagai korban kepada para Dewa dan juga untuk dihidangkan kepada para tamu. Demikianlah ketetapan budi leluhurnya Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan.

Dikisahkan sekarang Sang Maha Raja Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh Bhagawan £renggi supaya digigit naga Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa. Setelah ia berhasil bertapa mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala tempat, termasuk tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka namanya Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sedang terhukum tergantung pada pohon bambu besar, mukanya tertelungkup ke bawah kakinya diikat sedangkan di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan menuju kawah neraka. Roh akan tepat jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu putus. Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit pohon bambu tersebut. Peristiwa ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang terhukum. Melihat kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan roh terhukum tersebut, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:147).

Didekatilah roh itu dan ditanya satu persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu. Semua roh menyampaikan suatu alasan penyebabnya, seperti mencuri, irihati memfitnah, berzina dan lain-lain yang menurut Jaratkaru memang pantas pula mendapatkan hukuman seperti itu. Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum, lalu roh itu menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakan keadaan saya semua, keturunan kami putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan tergantung di bambu besar ini seakan-akan sudah masuk neraka. Saya punya seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang brahmacari sejak masih kecil.

Itulah sebabnya saya ada di buluh ini, karena berata semadinya keturunan saya di asrama pertapaannya. Mungkin ia telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak ada buah dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina yang pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu hidup. Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur, katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya ia juga berbelas kasihan.

Mendengar kata-kata leluhurnya itu, makin berlinang-linanglah air matanya dan tanpa disadari ia menangis, hatinya makin tersayat melihat leluhurnya menderita, lalu berkata: “saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa yang telah berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke surga, janganlah khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”.

Saya akan mencari istri agar mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam perkawinan saya. Kalau saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi. Demikian kata Sang Jaratkaru dan pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru sudah dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka dia tidak tahu apa yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara.

Kemudian masuklah ia ke hutan sunyi, sambil menangis mengeluh kepada segala makhluk, termasuk makhluk yang tidak bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri berilah saya istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya leluhur saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh para naga, dalam waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang bernama Jaratkaru oleh Sang Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar mempunyai anak brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular.

Terjadilah perkawinan kedua mempelai Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara. Kemudian Sang Jaratkaru mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan. Demikianlah kata Sang Jaratkaru kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama. Beberapa bulan kemudian terlihatlah tanda-tanda bahwa istrinya hamil, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:148).

Pada suatu waktu ia akan tidur, ia minta ditunggui oleh istrinya, karena dikiranya akan ditinggalkan. Ia minta agar kepalanya dipangku oleh istrinya dan tidak mengganggunya selama beliau tidur. Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya yang cukup lama sampai waktu senja tepat waktu waktu pemujaan. Lalu sang Nagini Jaratkaru membangunkan brahmana Jaratkaru, takut kelewatan waktu memuja. Setelah membangunkan Jaratkaru justru terbalik, brahmana Jaratkaru malah marah-marah mukanya merah karena marahnya. Brahmana berseru: ”Hai Nagini (Jaratkaru) jahanam! Sangatlah penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu tidurku! Tidak selayaknya tingkah laku istri seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan kutinggalkan”. Demikian kata-katanya lalu memandang kepada istrinya.

Nagini mengikutinya, lari lalu memeluk kaki suaminya. ”Oh tuanku, Ampunilah hamba tuanku ini. Tidak karena hinaan hamba membangunkan tuanku. Tetapi hanya memperingatkan tuanku akan waktu pemujaan setiap hari waktu senja. Salah kiranya, karena itu hamba menyembah, minta ampun tuanku, baik kiranya tuanku kembali................Kalau hamba sudah punya anak yang akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular, sejak itulah tuanku boleh bertapa kembali”.

Demikian Nagini minta belas kasihan. Jaratkaru menjawab “Alangkah baiknya perbuatanmu, Nagini, memperingatkan pemujaan kepadaku pada waktu senja, tapi sama sekali aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan engkau. Jangan khawatir keinginanmu untuk memiliki Asti, anakmu sudah ada. Itulah yang akan melindungimu kelak pada waktu korban ular. Senanglah Nagini Jaratkaru. Sang Nagini ditinggalkannya. Nagini lalu mengatakan kepada Sang Basuki tentang kepergian suaminya. Mengatakan segala perkataan Sang Jaratkaru, dan mengatakan pula tentang isi kandungannya, yang menyebabkan girangnya sang Basuki. Setelah berselang beberapa lama lahir seorang bayi laki-laki sempurna keadaan badannya, kemudian diberi nama Sang Astika, karena bapaknya bilang ”asti”. Bayi itu disambut oleh Sang Basuki dan diberi upacara sebagai seorang brahmana. Baru lahir Sang Astika seketika itu leluhur yang bergantungan tadi lepas dari penderitaan dan melayang ke surga mengenyam hasil tapanya dahulu. Demikian pula Naga Taksaka terhindar dari korban ular yang dilangsungkan oleh Raja Janamejaya.

Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu dijelaskan sebagai berikut:

“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya” (Sīlakrama hal 8).

"Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:149).

Berdasarkan uraian dari Agastya Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur Asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. Dari keempat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang.

Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada jenjang Moksa sebagai akhir pengasramaan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh setiap umat. Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri atas:

  1. Brahmacari asrama.
  2. Grhastha asrama.
  3. Wanaprastha asrama.
  4. Bhiksuka (Sanyasin) asrama.

Masing-masing jenjang memiliki kurun waktu tertentu untuk melaksanakannya. Pelaksanaan jenjang per jenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban moral dalam hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya permasalahan yang dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah dikeluhkan oleh pelakunya.

Idealnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu “permasalahan” yang patut kita keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang pribadi kita tidak akan pernah membantu secara ihklas untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya mampu mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama telah menggariskan kepada umatnya untuk tidak mengeluh. Renungkanlah sloka suci berikut ini:

“Niyatam kuru karma tvam,

karma jyayo hy akarmanah,

a prasidheyed akarmanah", (Bhagavadgītā III.8.42).

"Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja".

"yajñārthāt karmaṇo ‘nyatr

loko ‘yaḿ karma-bandhanaḥ

tad-arthaḿ karma kaunteya

mukta-sańgaḥ samācara", (Bhagavadgītā III.9.43)

"Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk Yadnya dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan dari semua ikatan", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:150).

Demikianlah Sri Bhagawan Kresna menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang telah diwajibkan dengan benar dan tanpa terikat akan hasilnya. Tujuannya tiada lain adalah agar semua karma atau perbuatan yang kita lakukan diubah menjadi yoga, sehingga kegiatan itu dapat membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Bila seseorang melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka menyamakan dirinya sebagai manusia yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak akan menjadi karma yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan mementingkan dirinya sendiri, dengan rasa keterikatan, yaitu merasa perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu akan mengakibatkan kesedihan. Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut:

"na buddhi-bhedaḿ janaye

vidvān yuktaḥ samācaran", (Bhagavadgītā III.26.50).

"Orang yang pandai seharusnya jangan menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang terikat pada pekerjaannya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa yoga, harus menyebabkan orang lain juga bekerja".

“Berkarmalah” untuk dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Catur Purusartha. Hanya dengan melakukan kewajiban karma seseorang akan terbebas dari dari semua masalah yang dihadapinya.

Dari bagian-bagian catur asrama tersebut masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

Brahmacari terdiri atas dua kata yaitu kata Brahma dan kata cari. Kata Brahma berarti ilmu pengetahuan atau pengetahuan suci. Kata cari berarti tingkah laku dalam mencari atau mengejar ilmu pengetahuan. Jadi Brahmacari berarti tingkatan hidup bagi orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan.

“Brahmacari ngaranya sang sedeng mangabhyasa Sang Hyang Śāstra,mnwang Sang Wruh ring tingkah Sang hyang aksara, sang mangkana karamanya sang Brahmacari ngaranya". (Silakrama hal 8)

"Brahmacari namanya bagi orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan dan yang mengetahui perihal ilmu huruf (aksara)".

Brahmacari atau Brahmacarya dikenal juga dengan istilah hidup aguron-guron atau Asewaka guru. Dalam istilah Jawa kuno disebut dengan lapangan hidup asrama, yaitu tempat penampungan bagi siswa yang sedang menuntut ilmu. Di dalam tingkatan Brahmacari ini guru mendidik para siswa atau murid dengan petunjuk kerohanian, kebajikan, amal, pengabdian dan semuanya itu didasari oleh Dharma (kebenaran), (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:151).

Di samping itu guru memberikan berbagai ilmu pengetahuan kepada para muridnya. Sistem Brahmacari lebih mengutamakan pada pembentukan pribadi-pribadi manusia yang tangguh dan handal serta memiliki berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Semuanya itu untuk menjadikan manusia bisa hidup mandiri dan siap untuk menempuh kehidupan berumah tangga nantinya.

Demikian juga Brahmacari merupakan pondasi/dasar untuk menempuh tingkat dan jenjang kehidupan lainnya seperti Grhastha (berumah tangga) wanaprastha dan Biksuka lapangan atau tingkat hidup pada masa menuntut ilmu ini. Siswa tidak boleh melakukan perkawinan. Jadi hubungan seksual itu sangat dilarang.Namun setelah tamat masa Brahmacari tersebut, menurut pandangan sosiologi dalam masyarakat Hindu, maka dilanjutkan dengan kehidupan­ jenjang yang kedua yaitu Grhastha hidup berumah tangga/suami istri.

Dengan adanya hubungan sosiologis tersebut maka tingkat hidup Brahmacari itu dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

Sukla Brahmacari yaitu orang yang tidak kawin sejak dari kecil sampai tiba ajalnya atau mati. Orang yang melaksanakan Sukla Brahmacari dengan sungguh-sungguh maka dalam ingatannya tidak ada terlintas nafsu seks dan beristri. Kesadaran melaksanakan Sukla Brahmacari ini memang tumbuh dari getaran batin dan hatinya yang suci murni. Bukan disebabkan karena menderita penyakit kelamin (impoten) dan lain sebagainya.

Pada tahap ini ditekankan bahwa pelaksanaan Sukla Brahmacari itu sudah merupakan niat secara murni dari sejak lahir sampai meninggal. Di dalam buku Silakrama halaman 32 ada disebutkan sebagai berikut:

"Sukla brahmacari ngaranya tan parabi sangkan rare, tan maju tan kuring sira, adyapi teku ring wreddha teewi tan pangucap arabi sangkan pisan". (Sīlakrama hal. 32)

"Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak kawin sejak dari lahir sampai meninggal. Hal ini bukan disebabkan karena impoten atau pun lemah sahwat. Dia takkan pernah kawin walaupun sampai umur lanjut".

Contoh tokoh yang menjalankan kehidupan Sukla Brahmacari ialah Teruna Laksmana. Dalam Itihasa Ramayana ada disebutkan bahwa Rāmā mempunyai adik Teruna Laksmana. Dia adalah seorang tokoh yang menjalankan kehidupan Sukla Brahmacari. Dia takkan kawin seumur hidupnya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:152).

Kehidupan sukla Brahmacari yang dijalankan oleh Teruna Lakṣmaṇa tidak ada kaitan atau sangkut paut dengan suatu janji atau sumpah. Sehingga pada waktu Lakṣmaṇa digoda oleh Surpanaka, hati Lakṣmaṇa tak tergoyah sedikitpun. Sehingga akhirnya Surpanaka jengkel dan marah dan mengadu kepada Rahwana.

Rahwana marah, karena aduan dari Surpanaka, mengatakan dirinya dianiaya dan disiksa oleh Lakṣmaṇa. Sehingga Rahwana mengirim patih Merica untuk menggoda Dewi Sītā. Patih marica berubah menjadi kijang Mas, sehingga Dewi Sītā tertarik terhadap Kijang itu, dan menyuruh Rama untuk menangkapnya. Rama mengikuti kehendak Dewi Sītā, untuk menangkap kijang itu. Rama berpisah pergi mengejar kijang itu. Saat Rama berpisah dengan Sītā dipergunakan sebagai kesempatan oleh Rahwana untuk melarikan Dewi Sītā dibawa ke Alengka.

Sawala Brahmacari ialah orang yang kawin beristri atau bersuami hanya sekali saja. Selanjutnya tidak akan kawin lagi, walaupun suami atau istrinya meninggal dunia. Dalam hidupnya mereka sudah bertekad hanya kawin sekali saja. Dalam Silakrama ada disebutkan:

"Sawala Brahmacari ngaranika, marabi pisan, tan parabi muwah yon kahalangan mati strinnira, tan parabi muwah sira, adyapi teka rika patinira, tan pangucap arabya. Mangkana Sang Brahmacari­ yan sira sawala Brahmacari," (Sīlakrama hal. 32)

"Sawala Brahmacari namanya bagi orang yang hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal,­ maka ia takkan kawin lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah yang namanya Sawala Brahmacari".

3). Tṛṣṇa (Krsna) Brahmacari

Tṛṣṇa Brahmacari berarti kawin lebih dari satu kali yaitu sampai batas maksimal empat kali. Keempat istri-istri yang dikawini itu adalah istri yang sah menurut hukum, baik hukum agama maupun perundang-undangan yang ada. Tṛṣṇa Brahmacari ini dapat dilakukan apabila:

  • Istri yang pertama tidak dapat melahirkan keturunan. Demikian juga istri yang kedua juga tidak melahirkan anak-maka seorang suami bisa kawin lagi sampai batasnya empat.
  • Istri tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya (sakit yang tak dapat disembuhkan).

Yang harus diperhatikan tiap pengambilan istri yang baru, harus seizin istri-istri yang terdahulu demi menjaga ketenteraman dan kerukunan rumah tangga. Dalam hal ini suami harus dapat memenuhi kebutuhan dalam keluarga sehingga benar-benar dapat mencerminkan keluarga yang sejahtera dan bahagia. Tetapi kalau Trsna (Krsna) Brahmacari itu dilakukan atas dorongan nafsu untuk kepuasan (kama), maka orang semacam itu tidak dapat disebut Trsna Brahmacari, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:153).

Walaupun dalam Tṛṣṇa Brahmacari disebutkan boleh kawin lebih dari satu kali, namun ada aturan yang harus ditaati agar ketenteraman rumah tangga tetap dapat terbina. Aturan atau syarat-syarat yang harus ditaati bagi yang mau menjalankan kehidupan Tṛṣṇa Brahmacari adalah:

  1. Mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istrinya.
  2. Suami harus bersifat adil terhadap istri-istrinya secara lahir dan batin.
  3. Suami sebagai seorang ayah harus dapat berlaku adil terhadap anak-anak yang dilahirkan.
Kewajiban dalam Brahmacari:

Sebagai seorang siswa yang sedang menuntut ilmu pengetahuan ia harus taat terhadap petunjuk dan nasihat yang diajarkan oleh guru yang mengajarnya. Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal adanya empat guru, yang disebut dengan Catur Guru, yaitu:

a. Guru Swadyaya, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa).

b. Guru Rupaka, yaitu orang tua (Ibu dan Bapak) yang melahirkan dan membesarkan kita.

c. Guru Pangajian, yaitu  guru  yang mendidik dan mengajar di sekolah.

d. Guru Wisesa, yaitu pemerintah.

Kewajiban terhadap Guru Swadyaya:

Adapun kewajiban sebagai seorang siswa terhadap Guru Swadyaya tersebut, harus taat terhadap segala petunjuk dan ajaran-Nya. Sebagai umat yang percaya tentang kemahakuasaan Tuhan, yang merupakan sumber dari segala yang ada di dunia ini, maka taat kepada Guru Swadyaya dapat diwujudkan dengan cara sujud bakti memujanya.

Hyang Widhi Wasa sebagai guru dari alam semesta beserta isinya, sering digelari dengan sebutan “Dewa Guru” atau Sang Hyang Paramesti Guru. Berguru ke hadapan Tuhan dapat dilakukan dengan cara mentaati ajaran suci yang telah diwahyukan melalui para maharesi. Setiap hari kita harus mendekatkan diri pada Beliau sebagai Guru dari semua guru. Dalam hubungan ini kita manusia adalah murid dari Sang Hyang Widhi (Tuhan), yang sering disebut dengan “Brahmacarin”. Brahman artinya Tuhan. Carin artinya berguru. Jadi berguru kepada Tuhan.

Amal baik atau perbuatan dosa yang dilakukan selama berguru kepada Hyang Widhi hasilnya berupa subha dan asubha karma. Subha asubha karma ini dapat diterima hasilnya berupa:

  1. Sancita Karmaphala, yaitu hasil perbuatan pada waktu kehidupannya yang lalu, baru dapat dinikmati pada kehidupannya sekarang ini.
  2. Prarabda Karmaphala, yaitu perbuatan pada waktu kehidupan sekarang, langsung dapat dinikmati sekarang juga.
  3. Kriymana Karmaphala, yaitu hasil perbuatan pada kehidup­an sekarang, tapi belum sempat dinikmati dalam kehidupan sekarang ini, sehingga dapat dinikmati pada kehidupan yang akan datang, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:154).

Berhubungan dengan hal tersebut di atas maka semua manusia yang hidup di atas dunia ini adalah berguru kepada Sang Hyang Widhi­. Oleh karena itu maka kita wajib untuk mentaati segala petunjuk ajaran yang diwahyukan berupa kitab suci dan menjauhi segala larangannya, adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri pada Guru Swadyaya (Sang Hyang Widhi Wasa).

Kewajiban kepada Guru Rupaka:

Guru Rupaka ialah orang tua (Ibu dan Bapak) yang mengadakan atau yang ngerupaka kita. Sebagai seorang anak harus menyadari bahwa jasa orang tua (Ibu dan Bapak) adalah sangat berat, dan tak ternilai berapa besar jasanya lebih-lebih sang ibu yang mengandung dan melahirkan kita, dengan bertaruhan nyawa.

Demikian tinggi rasa cinta kasihnya ibu kepada kita, sehingga ia rela berkorban untuk menjadi badan perantara untuk memperbanyak umat manusia di mayapada ini. Dalam manu Smrti II, 227 ada disebutkan:

“Yam mata pitaram klesam sehete sambawe nmam natasya niskrtih sakya kartum warsaca tai rapi".

"Penderitaan yang dialami oleh orang tua pada waktu melahirkan anaknya, tidak dapat dibayar walaupun dalam waktu seratus tahun".

Kalau kita lihat dari persentasenya anak-anak itu sebagian besar bergaul dan bersama orang tuanya, maka itu pengaruh orang tua sangat menentukan dalam perkembangan watak/kepribadian si anak. Maka dari itu di dalam Sarasamuccaya ada disebutkan:

"Mātā gurutarā bhūmeh khāt

manah çighrataram wāyoçcintā

"Apan lwih temen bwatning ibu, Sangkeng bwatning lemah, katsangana, tar bari-barin kalinganya, aruhur temen sang bapa sangke langit, adrs temen ang manah sangkeng bayu, akweh temen angenangen sangkeng dukut". (Sarasamuccaya, 240)

"Sebab sesungguhnya ibu dikatakan lebih berat dari ibu pertiwi (tanah), karenanya patut menghormati ia dengan sungguh-sungguh, demikian pula lebih tinggilah sesungguhnya penghormatan kepada bapak daripada tingginya langit, lebih deras jalannya pikiran dibandingkan dengan jalannya angin, lebih banyak sesungguhnya angan-angan itu dibandingkan dengan banyaknya rumput", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:155).

Sesuai dengan makna sloka di atas, orang tua sangat berjasa terhadap anaknya. Walaupun demikian besar jasa dari orang tua itu, namun ia tak pernah menuntut balas jasa dari anaknya. Walaupun demikian kita sebagai seorang anak yang berbudi luhur harus mengakui pernyataan yang dimuat dalam Sarasamuccaya sloka 242 yang menyatakan sebagai berikut: Tiga hutang yang dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya yang patut dibayar untuk memenuhi darma baktinya terhadap orang tua sebagai guru rupaka yaitu:

  1. Śarīra kṛta, yaitu hutang badan (sarira data)
  2. Annadatta, yaitu hutang budhi karena orang tualah yang memberikan makan, minum, pakaian, pendidikan, dan lain sebagainya.
  3. Praṇadatta, yaitu hutang jiwa dalam arti pemeliharaan atau kelanjutan hidup.
Dengan memperhatikan hutang tersebut di atas, maka seorang anak berusaha melakukan “Swadharmanya” dengan rela hati melayani segala keperluan orang tuanya. Selanjutnya seorang anak berkewajiban memberikan atau mengorbankan harta benda, tenaga dan pikirannya untuk kebahagiaan orang tuanya. Malahan lebih dari itu seorang anak ihklas mengorbankan jiwa dan raganya demi untuk berbakti pada orang tua. Di samping itu masih ada suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anak terhadap leluhurnya yaitu melaksanakan upacara Pitra Yadnya. Walaupun upacara Pitra Yadnya telah dapat dilakukan sebagai tanda pembayaran hutang kepada orang tuanya, tapi bukanlah berarti sudah lunas segala kewajiban kita sebagai seorang anak. Namun yang paling penting pembayaran hutang pada orang tua adalah pada waktu orang tua masih hidup, yaitu dengan jalan membuat bahagia hati orang tuanya. Oleh karena itu tidak ada suatu alasan bagi seorang anak untuk membenci orang tuanya apalagi menyakiti atau membunuh orang tuanya. Sebab membenci, menyakiti, atau membunuh orang tua adalah merupakan suatu perbuatan dosa besar. Maka dari itu jauhilah segala perbuatan terkutuk itu. Kita harus berbakti dan hormat kepada orang tua. Di dalam kitab Sarasamuccaya ada disebutkan:

"Pitā mātā ca rājendra


tusyāto yasya dehinah,
iha pretya ca tasyātha
kīrtirbawati çāçwati".

“Ikang bhakti makawwitan, paritusta sang rawwitnya denya phalanya mangke dlāha, langgeng paleman ika ring hayu". (Sarasamuccaya 241)

Terjemahan:

"Orang yang setia dan hormat kepada orang tua, sehingga membuat orang tua menjadi senang dan bahagia, maka anak yang demikian akan memperoleh kemasyuran dan keselamatan pada kehidupannya sekarang dan kelak di kemudian hari", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:156). Dengan memperhatikan sloka tersebut di atas maka pahala yang diperoleh oleh orang yang hormat pada orang tua ialah ada empat hal yaitu:
  1. Kerti yaitu kemasyuran yang baik.
  2. Yusa yaitu panjang umur.
  3. Bala yaitu kekuatan.
  4. Yasa yaitu jasa atau penghargaan.
Keempat hal ini bertambah-tambah kesempurnaannya, sebagai pahala bagi orang yang hormat dan berbakti kepada orang tua.

Kewajiban kepada Guru Pengajian:

Yang dimaksud dengan Guru Pengajian ialah guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang memberi pendidikan tertentu, di sekolah maupun di asrama. Tugas guru pengajian cukup berat tetapi mulia. Guru Pengajian berfungsi untuk melanjutkan pendidikan dari Guru Rupaka, yang bertitik tolak dari segi kerohanian dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Di samping itu Guru Pengajian bertugas untuk mengembangkan intelek dan pengetahuan siswa, demi tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yaitu membentuk manusia susila yang cakap, cerdas dan terampil, berbudi pekerti yang luhur, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat, Nusa dan Bangsa. Tugas yang lebih berat lagi yaitu tugas dari seorang guru agama yang mengajarkan pengetahuan agama, membentuk moral serta budi pekerti yang luhur, serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara singkat tugas Guru Pengajian ialah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan penuh cinta kasih agar anak didiknya menjadi manusia susila lahir batin (wahyadyatmika). Hubungan antara murid dengan guru benar-benar dapat mewujudkan keharmonisan, sebagai halnya antara seorang ayah dengan anaknya. Seorang murid tidak boleh menjelek-jelekkan atau menghina guru. Hal ini disebut dengan istilah alpaka Guru (menentang guru), siswa (murid) harus taat dan menuruti nasihat serta ajaran-ajaran Guru Pengajian. Dalam Niti Sastra ada disebutkan:

"Haywa maninda ring dwija daridra dumada atȇmu. çāstra teninda denira kapātaka tinēmu magӧng. Yan kita ninda ring guru patinta maparȇk atȇmu. Lwirnika wangça-patra tunibeng watu rȇmȇk apasah ", (Nitiśāstra II, 13)

Terjemahan:

“Janganlah sekali-kali mencela guru, perbuatan itu akan dapat mendatangkan kecelakaan bagimu. Jika kamu mencela buku-buku suci, maka kamu akan mendapatkan siksaan dan neraka, jikalau kamu mencela guru maka kamu akan menemui ajalmu, ibarat piring yang jatuh hancur di batu", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:157).

Adapun orang berkhianat kepada guru, berarti ia telah berbuat dosa besar. Dalam kitab Sarasamuccaya ada disebutkan seperti:

“Samyaṅ mithyāprawrtte wā


wartitawyam gurāwiha,
gurunindā nihantyāyurmanusyānām
nā samçayah".

"Lawan waneh, hay wa juga ngwang mangupat ring guru, yadyapin salah kene polahnira, kayatnākena juga gurūpacarana, kasiddhaning kasewaning kadi sira, bwat amuharāpāyusa amangun kapāpan, kanin-dāning kadi sira", (Sarasamuccaya, 238)

Terjemahan:

"Sebagai seorang siswa (murid), tidak boleh mengumpat guru, walaupun perbuatan beliau keliru, adapun yang harus diusahakan dengan baik ialah perilaku yang layak kepada guru agar berhasil dalam menimba ilmu. Bagi yang suka menghina guru, akan menyebabkan dosa dan umur pendek baginya".

Dalam hal belajar, agama Hindu menguraikan secara panjang lebar mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar seperti umur dalam belajar, tata tertib dalam belajar, materi pelajaran, dan upacara dalam menuntut ilmu.

Umur untuk belajar (Brahmacari)

Kitab Dharmasastra oleh Rsi Yajnawalkya menyatakan bahwa umur untuk mulai belajar adalah umur semasih kanak-kanak yakni umur lima tahun dan selambat-lambatnya umur delapan tahun. Pada umur delapan tahun seorang anak harus sudah menikmati masa belajar melalui proses belajar mengajar. Sedangkan kitab Grihya Sutra menyatakan bahwa masa belajar berlangsung jangan sampai melampaui batas umur 24 tahun. Ini berarti setelah berumur 24 tahun seseorang sudah semestinya mempersiapkan diri untuk memasuki masa hidup Grhasta. Dalam kitab Niti Sastra ada dijelaskan sebagai berikut:

"Taki-takining sewaka guna widya


Smara-wisaya rwang puluh ing ayusya
tȇngah i tuwuh san-wacana gȇgӧn-ta
patilaring atmeng tanu pagurokȇn", (NitiśāstraV.I )

Terjemahan:

"Seorang pelajar wajib menuntut pengetahuan dan keutamaan. Jika sudah berumur 20 tahun orang harus kawin. Jika sudah setengah tua berpeganglah pada ucapan yang baik. Hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru".

Atas dasar itu maka seorang yang berumur di atas 20 tahun sudah dinyatakan dewasa dan wajib memikirkan masa hidup berikutnya, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:158).

Tata tertib pada masa belajar

Tertib dan disiplin merupakan modal utama untuk meraih sukses dalam usaha dan perjuangan. Demikianlah dalam pendidikan Hindu diatur pula tata tertib masa belajar. Secara umum tata tertib itu antara lain:
  1. Siswa wajib taat dan bakti pada catur guru (guru susrusa).
  2. Siswa harus hidup sederhana.
  3. Berpakaian bersih, rapi, sopan dan sederhana.
  4. Makan sederhana (aharalaghawa).
  5. Siswa harus bisa dan biasa hidup jujur.
  6. Tidur secukupnya dan sepatutnya.
  7. Tidak menghibur diri berlebih-lebihan (liar),
  8. Tidak kawin selama masa belajar.
Materi Pendidikan Materi pendidikan Hindu lebih banyak mengacu kepada disiplin moral dan keterampilan yang langsung dapat diterapkan dalam hidup keseharian untuk menunjang hidupnya. Dengan demikian bidang ilmu yang diberikan dalam pendidikan itu ialah pendidikan agama yang mengandung tattwa, susila, dan yajna.

Upacara dalam masa belajar

Sebelum mengikuti dan menerima materi pelajaran, seorang calon siswa terlebih dahulu diupacarai yang disebut upacara Upanayana. Adapun maksud upacara tersebut adalah untuk membersihkan pribadi siswa agar ilmu kesucian yang diterimanya dapat menetap dengan harmonis pada dirinya. Demikian pula pada saat mengakhiri masa pendidikan maka semua siswa diupacarai lagi dengan upacara Samawartana. Mengenai maksud upacara­ ini ialah untuk menguatkan penempatan ilmu pada pribadi siswa agar ilmu yang diperolehnya selama belajar benar-benar dikuasai dan dapat menolong­ hidupnya. Belajar berbagai hal dalam hidup ini baik lisan maupun tertulis hanya secara teori tentu belum dapat menolong manusia itu sendiri. Oleh karena berbagai ilmu itu patut dicoba dan dipraktikkan dalam hidup ini, demi kebahagiaan umat manusia. Berbagai keterampilan ada teori dan petunjuknya. Membuat banten, bermain catur, tinju, naik sepeda, membaca, menggambar dan sebagainya selalu dapat dipelajari melalui teorinya masing-masing. Tetapi bila hanya mempelajari teori saja, jelas tidak akan dapat menolong hidup manusia. Untuk itu perlu dipraktikkan dan dilatih secara teratur. Orang tidak akan pernah pintar bermain catur bila tidak sering berlatih bermain catur. Orang yang sering mempelajari petunjuk bermain bola maupun sering membaca resep masakan, juga tidak dengan sendirinya akan menjadi pemain bola atau tukang masak yang baik tanpa banyak berlatih. Latihan dalam menghadapi kenyataan hidup tidak selalu dengan perencanaan seperti halnya bermain catur. Banyak peristiwa yang dialami seseorang, di luar dugaan dengan dan tanpa persiapan mental untuk menerimanya. Demikianlah setiap persoalan hidup sekaligus merupakan latihan lahir batin bagi seseorang, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:159). Hidup dengan aneka problemnya merupakan latihan yang sekaligus ujian dalam usaha mencapai kebebasan tertinggi. Untuk itu setiap orang dituntut harus sadar bahwa hidup ini adalah perjuangan dan medan untuk latihan, sehingga di dunia inilah manusia harus giat melatih diri. Dunia dengan segala isinya yang bersifat maya menjadikan hidup manusia penuh persoalan. Setiap persoalan hidup harus dihadapi dan diselesaikan. Jangan menghindari kegiatan hidup dan jangan pula lari dari kenyataan dunia ini.

"na karmaṇām anārambhā


naiṣkarmyaḿ puruṣo ‘śn
na ca sannyasanād eva
siddhiḿ samadhigacchati", (Bhagavadgītā III. 4)

Terjemahan:

"Tanpa kerja orang tidak akan mencapai kebebasan pun juga tidak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja".

"niyataḿ kuru karma tvaḿ


karma jyāyo hy akarmaṇa
śarīra-yātrāpi ca te
na prasiddhyed akarmaṇa", (Bhagavadgītā III. 8)

Terjemahan:

"Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab bekerja lebih baik dari tidak bekerja kalau engkau tidak bekerja hidup sehari-haripun tidak mungkin".

Dengan demikian kegiatan kerja sebagai suatu latihan dan kewajiban hidup harus dikerjakan demi tercapainya kebebasan. Oleh karena itu dalam hidup ini ternyata bukan pelajaran di sekolah saja mesti dipelajari dan dilatih. Ilmu yang didapat di sekolah hanyalah sebagian dari teori dan kunci yang harus dikuasai untuk menghadapi persoalan hidup. Untuk itulah teori-teori tersebut patut dipraktikkan dan dilatih dalam kehidupan ini dalam bentuk kerja. Ilmu bukanlah bekal hidup kelak dihari tua, tetapi adalah alat untuk menghadapi hidup sekarang.Tentu dalam pergaulan itu patut disesuaikan dengan desa-kala-patra sehingga tidak mengganggu ketertiban hidup bersama. Teori sembahyang dengan segala perlengkapannya dan petunjuknya harus dilatih dan dilaksanakan setiap hari terutama Puja Tri Sandhya. Berpikir, berkata, dan berbuat sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha wajib­ dilaksanakan oleh setiap orang dan harus dilatih mulai saat ini. Orang yang tiada terbiasa berbicara sopan akan merasakan sukar untuk berkomunikasi yang sopan, ramah, dan benar. Demikianlah dalam hidup ini orang wajib berbuat dan melatih diri dengan teratur. Sukar akan merasakan­ kenyamanan dalam hidup sehari-hari bila orang tidak hidup teratur. Tidak setiap orang dapat sembahyang dan berdoa setiap hari sesuai petunjuk agama. Hal ini terjadi bukan karena tidak ada waktu, bukan juga karena tidak tahu, namun hanya karena hidup tidak teratur dan tidak berusaha untuk melatih diri, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:160). Berlatih di bidang fisik saja tidak cukup karena persoalan hidup manusia bukan hanya persoalan lahiriah saja. Oleh karenanya patutlah unsur kejiwaan juga dilatih agar terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Unsur kejiwaan yang patut dilatih ialah pengendalian keinginan dan kegemaran, sebab kedua ini sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi hidup manusia. Pengendalian terhadap kedua dorongan itu harus benar-benar dilatih.


"Na jātu kāmah kāmānām


Upa bhogena śāmyati
havişā kŗşṇ̣a vartmeva
bhūya evābhi varddhate", (Manawa Dharma Śāstra II. 94 )

Terjemahan:

"Keinginan tak pernah lenyap dengan memperoleh benda-benda duniawi, hanya akan lebih memperkuat, seperti halnya api yang disirami minyak".

"Nora’na mitra manglȇwihane wara- guna maruhur nora’na satru manglȇwihane gȇlȇng ana ri hati nora’na sih mahānglȇwihane sihikang atanaya nora’na sakti daiwa juga çakti tan ana manahȇn ",(NitiśāstraII. 5)

Terjemahan:

"Tidak ada sahabat yang dapat melebihi pengetahuan yang tinggi . Tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada nafsu jahat dalam hati sendiri. Tidak ada cinta yang melebihi cinta orang tua kepada anak-anaknya. Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun".

"Yat krodhano yajati yaddadāti yadwwā


tapastapati yajjuhoti,
waiwaswatastaddharatyasya sarwam
wŗthā çramo bhawati krodhanasya".

"Apan ikang wwang kakawaça dening krodhanya, salwiring pinūjā-kenya, sāwakaning pawehnya dāna, salwirning tapanya, salwirning hinomākenya, ika ta kabeh bhatāra yama sira umalap phalanika, tanpa phala irya, twas nghel. matangnyat kawaçākena tang krodha," (Sarasamuccaya 102)

Terjemahan:

"Sebab orang yang dikuasai oleh nafsu amarahnya, segala apa yang dipersembahkannya, segala pemberian dana yang dilakukan olehnya, segala macam tapanya, segala homa yang dikerjakannya, Bhatara Yamalah yang mendapatkan hasilnya itu semua, tidak ada pahala baginya, kecuali kepayahan, karena itu kuasailah nafsu amarah itu," (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:161).

"Nityam krodhāt tapo raksecchriyam


raksecca matsarāt,
widyām mānāwamānābhyāmātmānam
tu pramādatah.

"Nihan tang kayatnākena ikang tapa raksan, makasādhana kapa- demaning krodha ika, kuneng hyang çrī, pademning īrsyā pangraksa ri sira, kuneng sang hyang aji, pademning ahangkāra mwang awa-mana pangraksa ri sira, yapwan karaksanyawakta, si tan pramada sadhana irika", (Sarasamuccaya 103)

Terjemahan:

"Inilah hendaknya engkau perhatikan, pegang teguh tapa dengan jalan memusnahkan nafsu amarah itu, adapun Dewi Sri (kebahagiaan tertinggi) melalui pengendalian kedengkian (sebagai) penyelamatnya, adapun ilmu darma sastra pemunah keakuan dan lenyapnya kecongkakan yang ada pada dirinya, karena itu supaya engkau menjaga dirimu, orang yang tidak lalai merupakan jaJan baginya di situ".

Atas dasar itulah jelas bahwa nafsu keinginan dan amarah harus dikendalikan demi ketenteraman dan kedamaian hidup. Pengendalian atas keduanya itu tentu tidak sepontan akan berhasil tanpa latihan secara tekun dan terus-menerus dengan dukungan ilmu pengetahuan kebenaran. Jadi disamping melakukan pengendalian diri maka penguasaan terhadap ilmu kebenaran dan ilmu kesucian tidak boleh diabaikan. Belajar melalui kitab suci harus dilakukan sebanyak-banyaknya agar sirnalah kebodohan. Sirnanya kebodohan adalah langkah awal untuk mengatasi kemarahan, kelobaan yang berarti menurunnya frekuensi kesengsaraan hidup. Berjuanglah mengejar kebenaran untuk melenyapkan kebodohan dengan belajar rajin, teratur, dan terus menerus.

"Ajṅānaprabhawam hīdam


yaddhukhamu palabhyate,
lobhādewa tad ajṅānam
ajnana lobha ewa ca".

"Apan ikang sukhaduhkha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika,­ matangnyan punggung sangkaning sangsāra",(Sarasamuccaya 400)

Terjemahan:

"Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan, kebodohan itu ditimbulkan oleh loba, sedang loba itu kebodohanlah asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu", (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:162).

"Prajṅayā yā nirmitairdhīrāstarayan


tyabudhān phawaih,
nābudhāstarayantyanyā
nātmanam wā kadācana".

"Ika tang punggung, yatika klabakenanta, makasādhanang kapraj-ṅan, prajṅa ngaraning tutur tan pahingan, si wruh ta ring wastu tattwa, apan sang pandita, wenang sira mangentasaken wwang len tuwi, sangkeng bhawarnawa, makasadhanang parahu, winangun dening kaprajṅānira, kunang ikang apunggung, tan hanang kaprajṅānan iriya, awaknya tuwi, tan kāntas denya", (Sarasamuccaya 402).



Terjemahan:

"Kebodohan itulah yang engkau harus lenyapkan dengan kebijaksanaan; prajna adalah kesadaran yang tiada hingganya; pengetahuan tentang hakikat barang sesuatu; karena sang pendeta, sanggup menyeberangkan orang lain dari samudra kelahiran dengan perahu yang diperbuat daripada kepandaiannya; akan tetapi si bodoh tidak ada kepandaiannya; dirinya sendiri tidak terseberangkan olehnya".

"Anistasamprayogācca wupra


yogāt priyasyā ca,
manusyā mānasairduh khairyujyante
ye’lpabuddhayah".

"Kunang ikang apunggung, niyata juga ya humidep ikang kaprihati, makahetu patemunya lawan keliknya, papasahnya lawan kāsihnya, arah denyāhangkāranya, makanimitta punggungnya" (Sarasamuccaya 404).

Terjemahan:

"Adapun orang yang bodoh, tak tersangsikan lagi, selalu ia merasakan kesedihan hati, sebagai akibat pertemuannya dengan orang yang dibencinya dan oleh perceraiannya dengan orang yang dikasihinya; sungguh, karena nafsu egois yang ditimbulkan oleh kebodohannya".

Demikianlah masa belajar itu harus betul-betul dipergunakan untuk mencari kebenaran dan kebijaksanaan agar kesengsaraan hidup semakin berkurang. Di sekolah diajarkan berbagai ilmu secara teori juga diberikan pendidikan yang mengarah pada latihan fisi dan mental seperti kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan secara terarah dan terpadu.

Kewajiban kepada Guru Wisesa (Pemerintah)

Guru Wisesa ialah pemerintah yang sah. Sebagai seorang siswa, dan sekaligus juga merupakan bagian dari anggota masyarakat maka kita harus menghormati dan menjunjung tinggi martabat bangsa, negara, dan pemerintahannya. Sebaliknya pemerintah selalu memikirkan dan mengusahakan kesentosaan dan kemakmuran rakyat, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:163). 1Di samping itu harus dapat memberikan perlindungan kepada rakyat dari berbagai problem seperti kesusahan, kesewenangan (monarkhi), menjalankan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Menyelenggarakan pendidikan bagi warganya demi kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam Kekawin Ramayana, Rama memberikan nasehat kepada Wibhisana tentang bagaimana tindakan guru wisesa (pemerintah) menjadi abdi rakyat tanpa ikatan nafsu untuk mendapat sanjungan, kemasyuran, kemewahan dan lain sebagainya. Bunyi sloka dalam kekawin itu adalah:

"Prihen temen dharma dhumaranang sarat, saraga sang sadhu sireka tutana, tan artha tan kama pidonya tan Yasa. Ya sakti sang sajana dharma raksaka", (Ramayana, 81)



Terjemahan:

"Utamakanlah keadilan dan kebajikan itu untuk melindungi dunia. Kita harus mengikuti cita-cita orang  budiman, yang tidak gelisah hendak mendapat kemasyuran, sanjungan, harta dan kemewahan. Adapun kemuliaan orang budiman adalah sebagai pelindung kebenaran (dharma), beramal dan mengabdi serta mempertahankan keadilan".

"Sakan ikang rat kita yan wenang manut, manupa desa prihatah rumak saya ke say an ikang papa Nahan prayo jana, jana nuragadi tuwin kapangguha", (Ramayana, 82)



Terjemahan:

"Tegakkanlah Dharma atau kebenaran itu sebagai tiang Negara, utamakan ajaran Manu untuk mengabdi pada negara, lenyapkanlah dan perangilah kesengsaraan itu, sehingga kecintaan dan kesetiaan rakyat pasti akan dijumpai".

Tidak hanya rakyat yang cinta, tetapi Tuhan sebagai pelindung Dharma akan merahmati umat-Nya yang berbudi mulia. Oleh karena itu ajaran agama Hindu kita diharapkan dalam melaksanakan tugas, berpegang pada motto dan pedoman sepi ing pamerih rame ing gawe, demi kepentingan masyarakat dan umat manusia.

2. Gṛhaṣtha

Gṛhaṣtha ialah tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga yaitu sejak kawin. Kata Grha berarti rumah atau rumah tangga. “Stha (stand) artinya berdiri atau membina. Tingkat hidup Gṛhaṣtha yaitu menjadi pimpinan rumah tangga yang bertanggung jawab penuh baik sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat serta sekaligus sebagai warga negara jenjang kehidupan Grhastha dapat dilaksanakan apabila keadaan fisik maupun psikis dipandang sudah dewasa dan bekal pengetahuan sudah cukup memadai, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:164). Setelah memasuki tingkat hidup Grhastha, bukan berarti masa belajar atau menuntut ilmu itu berakhir sampai disitu saja. Belajar tidak mengenal batas usia. Belajar berlangsung selama hayat dikandung badan. Maka orang mengatakan masa muda adalah masa belajar. Hal ini mengandung arti bahwa tidak ada istilah tua dalam hal belajar. Karena ilmu pengetahuan­ itu sifatnya berkembang terus. Ilmu yang didapatkan dalam jenjang Brahmacari itu lebih diperdalam serta ditingkatkan lagi setelah menginjak hidup berumah tangga (Gṛhaṣtha). Dalam hidup berumah tangga ini ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu:
  1. Melanjutkan keturunan
  2. Membina rumah tangga
  3. Bermasyarakat
  4. Melaksanakan Pañca Yajña
Untuk itu maka dalam jenjang kehidupan ini masalah artha dan kama menduduki tujuan utama, dengan berlandaskan darma (kebenaran).
  • Kewajiban Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
Kita telah ketahui bahwa keluarga Hindu menganut hukum patriaarchat atau patrilineal (kebapaan). Dengan demikian jelaslah di sini bahwa suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga. Bila suami tidak mampu lagi bertindak sebagai kepala rumah tangga, karena suatu penyakit atau meninggal maka istrilah yang menggantikan suami selaku kepala rumah tangga. Menurut undang-undang Perkawinan yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 bahwa suami dan istri masing-masing memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Secara garis besarnya kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
  1. Hak dan kedudukan suami istri dalam pergaulan kehidupan dalam masyarakat adalah seimbang.
  2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
  3. Suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
  4. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, dan saling memberikan bantuan secara lahir dan batin.
Dalam keluarga terdapat “Suami Istri” yang memegang peranan penting bagi kesejahteraan “Keluarga” pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Adapun hubungan antara suami dan istri harus dapat menjalin kerukunan dalam kesatuan pikiran, ucapan, perbuatan serta sesuai dengan norma-norma agama. Hidup suami istri bukanlah merupakan suatu persaingan dalam menuntut persamaan hak dan bukan merupakan suatu perlombaan dalam melakukan tugas dan kewajiban itu, melainkan merupakan suatu keharmonisan dan kesatuan hidup lahir dan batin. Hal ini disimbulkan sebagai ardanaraswari yaitu persatuan antara laki dan perempuan dalam satu badan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:165). Segala kebajikan perlu diamalkan dalam rumah tangga sesuai dengan swadharmanya Gṛhaṣtha baik bersifat lahir maupun batin. Karena rumah tangga itu adalah dunia kecil bagi kita dan merupakan sumber fakta-fakta yang menunjukkan tingkat kepribadian dari semua anggota keluarga­. Oleh karena itu hendaknya selalu memupuk pribadi yang baik dalam rumah tangga, sehingga dapat menjadi anggota-anggota masyarakat yang baik, dan dapat menjadi warga negara yang mulia. Antara suami­ dan istri harus selalu ada saling pengertian untuk mewujudkan keluar­ ga sejahtera. Sebagai seorang suami dan istri haruslah tetap ingat melaksanakan kewajiban dengan penuh kesadaran sebagai anggota atau kepala rumah tangga sehingga dapat terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Sejalan dengan dasar-dasar ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 itu, Kitab suci Hindu yang merupakan dasar Hukum Hindu telah pula menggariskan ketentuan yang menjadi­ syarat dan landasan bagi pembinaan keluarga itu. Tentang garis-garis besar mengenai kewajiban Suami-Istri dicantumkan dalam Kita Manava dharmasastra Bab. IX mulai dari pasal 1 sampai dengan pasal 103. Untuk dapat mengetahui pokok-pokok pikiran yang mengatur hubungan hukum mengenai hak dan kewajiban suami istri menurut ajaran agama Hindu adalah sebagai berikut: Menurut kitab suci Hindu (Weda Smerti) seorang suami berkewajiban:
  1. Melindungi istri dan anak-anaknya. la harus mengawinkan anaknya kalau sudah waktunya.
  2. Menugaskan istrinya untuk mengurus rumah tangga. Dan urusan agama dalam rumah tangga ditanggung bersama.
  3. Menjamin hidup dengan memberi nafkah kepada istrinya bila akan pergi keluar daerah.
  4. Memelihara hubungan kesucian dengan istri, saling percaya mempercayai, memupuk rasa cinta dan kasih sayang serta jujur lahir batin. Suka dan duka dalam rumah tangga ditanggung bersama sehingga terjaminnya kerukunan dan keharmonisan.
  5. Menggauli istrinya dan mengusahakan agar tidak terjadi perceraian dan masing-masing tidak melanggar kesucian.
  6. Tidak merendahkan martabat istri. Janganlah terlalu cemburuan, yang menyebabkan timbulnya percekcokan dan perceraian dalam keluarga.
Di samping kewajiban suami menurut Weda Smerti, ditetapkan pula pokok kewajiban istri, sebagai timbal balik dari kewajiban suaminya. Kewajibannya ini meliputi kewajiban sebagai seorang istri dan kewajiban sebagai wanita dalam rumah tangga. Adapun kewajibannya itu adalah:
  1. Sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita hendaknya selalu berusaha tidak bertindak sendiri-sendiri. Setiap rencana yang akan dibuat harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan suami.
  2. Istri harus pandai membawa diri dan pandai pula mengatur dan memelihara rumah tangga, supaya baik dan ekonomis.
  3. Istri harus setia pada suami dan pandai meladeni suami dengan hati yang tulus ikhlas serta menyenangkan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:166).
  4. Istri harus dapat mengendalikan pikiran, perkataan, dan tingkah laku dengan selalu berpedoman pada susila. la harus dapat menjaga kehormatan dan martabat suaminya.
  5. Istri harus dapat memelihara rumah tangga, pandai menerima tamu, dan meladeni dengan sebaik-baiknya.
  6. Istri harus setia dan jujur pada suami, dan tidak berhati dua.
  7. Hemat cermat dalam menggunakan harta kekayaan, tidak berfoya-foya, dan boros.
  8. Tahu dengan tugas wanita, rajin bekerja, merawat anak dan meladeni kepentingan semua keluarga.  Berhias diwaktu perlu.
Demikianlah antara lain kewajiban sebagai seorang suami dan istri. Oleh karena itu hendaknya selalu memupuk pribadi yang baik. Selain itu rasa kasih dan sifat lemah lembut bersaudara harus kita tumbuh kembangkan. Contoh hal tersebut dapat kita temui dalam wiracarita Mahabarata, dimana diceritakan bahwa Pandawa bersama lima saudaranya bersatu dan hidup rukun, sehingga ia dapat terangkat dari lembah kesengsaraan menuju bahagia.

3. Wanaprastha

Jenjang kehidupan yang ketiga dari Catur Asrama ialah wanaprastha. Wanaprastha terdiri dari dua rangkaian kata Sansekerta yaitu wana artinya pohon kayu, hutan semak belukar dan prastha artinya berjalan/berdoa paling depan dengan baik. Pengertian Wanaprastha dimaksudkan berada dalam hutan, mengasingkan diri dalam arti menjauhi dunia ramai secara perlahan-lahan untuk melepaskan diri dan keterikatan duniawi. Dalam upaya melepaskan diri yang dimaksud adalah berusaha membatasi dan mengendalikan diri dari unsur Triguna yaitu sifat Rajas dan Tamas, agar dalam Satwam kerohaniannya lebih mantap dan diberkahi oleh Hyang Widhi sebagai tujuannya menjadi lebih dekat. Tingkatan hidup Wanaprastha merupakan persiapan diri mengurangi keterikatan dan keterlibatan dengan kehidupan duniawi. Dalam kehidupan sehari-hari tingkatan hidup Wanaprastha ini dapat dilaksanakan setelah anak kita dewasa semua bebas dari tanggungan. Wanaprastha adalah jenjang kehidupan untuk mencari ketenangan batin dan mulai melepaskan diri dari keterikatan terhadap kemewahan duniawi. Pada masa kehidupan Wanaprastha ini, tanggung jawab rumah tangga dan kewajiban-kewajiban selaku anggota masyarakat, diambil alih oleh anak dan cucu. Kenikmatan dan kepuasan yang bersifat lahiriah sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Pusat perhatian pada jenjang ini adalah mengarah pada kenikmatan rohani yang bersifat abadi yaitu moksa. Dia tidak terikat lagi dengan Artha dan Kama, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:167). Kalau kita memperhatikan istilah Wanaprastha berarti hidup mengasingkan diri ke hutan, tetapi zaman sekarang, menjalani masa hidup Wanaprastha itu tidak usah pergi ke hutan. Lebih baik ketenangan itu kita cari pada diri masing-masing. Berbuat baik untuk kepentingan masyarakat, nusa dan bangsa, dengan menegakkan ajaran Ahimsa (tanpa kekerasan) ajaran agama lainnya. Adapun manfaat menjalankan hidup Wanaprastha adalah:
  1. Untuk mencapai ketenangan rohani.
  2. Memanfaatkan sisa-sisa kehidupan di dunia ini untuk mengabdi dan berbuat amal kebajikan kepada masyarakat umum.
  3. Melepaskan segala keterikatan terhadap duniawi.
  • Masa mulai Menempuh Hidup Wanaprastha
Masa yang baik untuk mulai menempuh hidup sebagai seorang Wanaprastha adalah setelah berusia kurang lebih 60 tahun ke atas. Karena pada usia seperti itu, anak-anaknya sudah dapat hidup mandiri. Bagi seorang pegawai negeri ia sudah pensiun sehingga ia sudah lepas dan bebas dari tugas dinasnya. Ia dapat menikmati sisa usianya yang sudah senja untuk ketenangan batinnya, agar dapat berpegang pada ucapan-ucapan yang baik, terutama mempelajari persiapan-persiapan untuk lepasnya Atma dari tubuh kita yaitu mati. Mati adalah pasti karena tidak dapat dihindari, hanya waktunya kita tidak tahu karena itu merupakan kuasa Tuhan. Maka menempuh hidup Wanaprastha bagi setiap orang tidak sama usianya, karena tingkat sosial ekonomis tiap-tiap orang adalah berbeda.

4. Bhiksuka/Sanyasin

Bhiksuka juga sering disebut Sanyasin. Kata Bhiksuka berasal dari kata Bhiksu, sebutan untuk pendeta Buddha. Bhiksu artinya meminta-minta. Bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran kesusilaan. Dalam pengertian sebagai peminta-minta dimaksudkan ia tidak boleh mempunyai apa-apa dalam pengabdiannya pada Hyang Widhi dan untuk makannya pun ditanggung oleh murid-murid pengikutnya ataupun umatnya sendiri. Dalam pengertian sebagai Sanyasin dimaksudkan meninggalkan keduniawiaan dan hanya mengabdi kepada Hyang Widhi dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian. Bagi orang yang telah menjalankan hidup Bhiksuka, akan mencerminkan suatu sifat dan tingkah laku yang baik serta bijaksana. Seorang Bhiksuka akan selalu memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain menjadi bahagia, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:168).

Dia akan tetap menyebarkan angin kesejukan, angin kebenaran, tidak mudah diombang-ambing oleh gelombang kehidupan­ duniawi. Dia telah mampu menundukkan musuh-musuh yang ada dalam dirinya, seperti Sad Ripu, Sapta Timira, Sad Atatayi, dan Tri Mala, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:169).

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                 Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,