Tuliskan contoh dari janji terhadap sesama yang dilakukan secara lisan dan tulisan

Jakarta -

Janji Allah SWT pada umat Islam terdapat dalam ayat-ayatNya yang mulia. Janji-janji bersifat duniawi dan ukhrawi ini ditujukan bagi hambaNya yang beriman dan beramal sholeh.

Harapan dari Allah SWT inilah yang sangat dinanti-nantikan hambaNya. Sebab Allah adalah sebaik-baiknya pembuat janji dan mustahil mengingkari janji-Nya. Apa sajakah janji-janji Allah tersebut?

Berikut beberapa janji Allah SWT kepada umat Islam yang berhasil dirangkum detikcom,

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

1. Janji akan surga

Janji Allah SWT pertama ditujukan bagi orang yang bertakwa. Allah menjanjikan surga seluas langit dan bumi dalam QS. Ali Imran ayat 133,

۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ

Artinya: "Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa."

2. Janji disempurnakan pahala

Berikutnya adalah janji Allah SWT dalam menyempurnakan pahala bagi mereka mengamalkan segala perintah Allah, serta meninggalkan semua larangan-Nya. Allah berfirman,

وَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Artinya: "Dan adapun orang yang beriman dan melakukan kebajikan, maka Dia akan memberikan pahala kepada mereka dengan sempurna. Dan Allah tidak menyukai orang zalim." (QS Ali Imran: 57).

3. Janji tambahan nikmat

Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Dengan bersyukur, Dia menjanjikan tambahan nikmat kepada hamba-Nya

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS Ibrahim: 7).

4. Janji diingat Allah SWT

Menurut tafsir Kemenag, yang dimaksud dalam mengingat Allah SWT pada ayat ini dilakukan melalui lisan dengan berdzikir, melalui hati dengan mengingat kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, maupun melalui fisik dengan menaati Allah SWT.

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ

Artinya: "Maka ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku." (QS Al Baqarah: 152).

5. Janji diijabah doanya

Janji ini dimaksudkan Allah SWT dengan tujuan untuk mengajak hambaNya datang dan mendekatkan diri kepadaNya. Berdasarkan tafsir Kemenag, QS Ghafir atau Al-Mu'min ayat 60 menjelaskan Allah SWT akan mengabulkan doa hambaNya.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖࣖࣖ

Artinya: "Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina."

6. Janji diberikan kehidupan yang baik

Allah SWT menjanjikan kehidupan yang baik di dunia bagi siapa pun yang mengerjakan kebajikan sekecil apa pun. Kehidupan bahagia dan sejahtera di dunia yang dimaksud dalam ayat ini adalah suatu kehidupan di mana jiwa manusia memperoleh ketenangan dan kedamaian karena merasakan kelezatan iman dan kenikmatan keyakinan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: "Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS An Nahl: 97).

Masih banyak lagi janji Allah SWT kepada umat Islam yang mengerjakan perintah-Nya dan amal saleh. Semoga dengan mengetahui janji Allah SWT dapat menambah keimanan dan meningkatkan frekuensi ibadah kita kepada Allah, Amin.

(rah/row)

Sebagian orang sangat mudah membuat janji, namun mudah pula menyelisihi janji yang dibuatnya dan tidak mau berusaha menepati janjinya. Tindakan semacam ini termasuk dosa lisan, dan merupakan salah satu tanda kemunafikan. Berikut kami akan coba jelaskan hukum menepati janji.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga, (1) jika berbicara berdusta; (2) jika berjanji maka tidak menepati; dan (3) jika diberi amanah, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan diksi “ayat” (tanda). Dalam bahasa Arab, “ayat” adalah tanda yang tidak mungkin meleset, berbeda dengan “alamat” (yang juga memiliki makna “tanda” dalam bahasa Indonesia) yang bisa jadi meleset. Sehingga dapat dipahami dari hadits di atas, bahwa siapa saja yang memiliki tiga karakter di atas, maka bisa dipastikan bahwa terdapat cabang kemunafikan dalam dirinya.

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Terdapat empat perkara yang jika semuanya ada pada diri seseorang, maka jadilah dia orang munafik tulen (maksudnya, akan mengantarkan kepada nifak akbar, pen.). Dan jika ada pada dirinya salah satunya, maka dia memiliki sifat kemunafikan, sampai dia meninggalkannya, (yaitu): (1) jika berbicara, dia berdusta; (2) jika membuat perjanjian, dia melanggarnya; (3) jika membuat janji (untuk berbuat baik kepada orang lain, pen.), dia menyelisihi janjinya; dan (4) jika bertengkar (berdebat), dia melampaui batas.” (HR. Bukhari no. 34 dan Muslim no. 59, lafadz hadits ini milik Bukhari)

Terdapat dua kondisi dalam diri seseorang yang melanggar (menyelisihi) janji, yaitu:

Pertama, membuat janji untuk berbuat baik kepada orang lain (misalnya memberi hadiah), akan tetapi ketika membuat janji, dia sudah berniat dan bertekad untuk tidak memenuhi janji tersebut, dan secara riil memang dia tidak memenuhi janji yang sudah dibuat. Ini adalah perbuatan menyelisihi janji yang paling jelek.

Ke dua, ketika membuat janji tidak ada niat untuk tidak memenuhi janji tersebut. Dia memiliki tekad untuk memenuhi janjinya. Namun ketika tiba hari H, dia tiba-tiba tidak memenuhi janjinya tersebut tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Dua perbuatan ini termasuk dalam perbuatan menyelisihi janji atau tidak menepati (memenuhi) janji yang telah dibuat.

Baca Juga: Pandemi: Kepastian Janji Allah dan Ujian bagi Orang-Orang Sabar

Dalam masalah hukum menepati janji atau hukum menyelisihi janji, ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum memenuhi janji yang itu murni berbuat baik kepada orang lain adalah sunnah (mustahab) dan tidak wajib.

Janji yang murni berbuat baik kepada orang lain misalnya seseorang berjanji jika dia mendapatkan bonus gaji, dia akan mentraktir makan bakso temannya. Maka menurut jumhur ulama, janji semacam ini hukumnya sunnah untuk dipenuhi, tidak sampai derajat wajib.

Pendapat ke dua adalah pendapat Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa hukum memenuhi janji itu wajib jika janji tersebut menyebabkan orang lain sudah melakukan suatu tindakan tertentu, dan jika janji tersebut tidak dipenuhi, maka orang tersebut akan menderita kerugian atau mengalami kesusahan.

Misalnya, ada seorang pemuda bujangan yang ingin menikah namun tidak memiliki dana untuk melangsungkan pernikahan. Lalu seseorang berjanji kepada pemuda tersebut bahwa dia lah yang akan menanggung mahar dan biaya pernikahannya. Dengan janji tersebut, sang pemuda melamar wanita yang hendak dinikahinya. Janji seperti inilah yang dalam madzhab Imam Malik rahimahullah wajib untuk ditunaikan dan haram diselisihi karena akan menimbulkan kesusahan bagi orang lain.

Pendapat ke tiga mengatakan bahwa memenuhi janji hukumnya wajib secara mutlak dan menyelisihi janji hukumnya haram.

Dan wallahu a’lam, pendapat ke tiga inilah yang paling kuat karena menyelishi janji adalah tanda kemunafikan, sehingga tidak mungkin kita katakan bahwa hukum menyelisihi janji itu tidak sampai derajat haram. Dan juga, menyelisihi janji disamakan dengan berkata dusta, sedangkan dusta (bohong) itu haram, sehingga tidak mungkin kalau menyelisihi janji itu tidak haram (sebatas makruh saja, misalnya). Sehingga yang lebih tepat, menyelisihi janji itu hukumnya haram dan sebaliknya, hukum memenuhi janji adalah wajib.

Oleh karena itu, karena hukum menepati janji adalah wajib, dan menyelisihinya adalah haram, maka sudah seharusnya seorang muslim berhati-hati dalam membuat janji. Seorang muslim tidak akan bermudah-mudah mengobral janji kemudian melupakan dan menyelisihi janjinya sendiri.

[Selesai]

Baca Juga:

***

@Jogjakarta, 10 Syawwal 1440/14 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.Id

Catatan kaki:

Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 97-98 dengan tambahan penjelasan dari guru kami, Ustadz Aris Munandari hafidzahullahu Ta’ala ketika menjelaskan bab tersebut.

🔍 Tata Cara Shalat Duduk, Ayat Al Qur'an Yang Melarang Riba, Hukum Menelantarkan Anak Dalam Islam, Menjalani Hidup Dalam Islam, Jam Waktu Adzan