Tercermin dari apakah kesempurnaan iman seseorang itu dan siapakah orang mukmin yang paling sempurna imannya?

Tercermin dari apakah kesempurnaan iman seseorang itu dan siapakah orang mukmin yang paling sempurna imannya?

Seringkali perempuan masih diperlakukan tidak wajar oleh sebagian laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan beredarnya berita-berita kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Padahal, hal ini bukanlah ajaran Rasulullah saw. Lalu bagaimana laki-laki terbaik menurut Rasulullah saw. itu?

Berkaitan dengan laki-laki terbaik menurut Rasulullah saw., sahabat Abu Hurairah r.a. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِنِسَائِهِمْ. (رواه الترمذي)

Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang memiliki akhlak mulia dan sebaik-baik kalian adalah mereka yang berperilaku baik terhadap perempuan-perempuan mereka. (H.R. At-Tirmidzi).

Berdasarkan riwayat Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. menegaskan pentingnya posisi akhlak dan relasi kemanusiaan dalam misi kenabiannya.

Rasulullah saw. menyadarkan kepada umatnya bahwa kesempurnaan iman adalah tercermin dengan sikap dan akhlaknya.

Selain itu, Rasulullah saw. juga mengingatkan bahwa berbuat baik kepada perempuan adalah menjadi syarat keimanan. Sekaligus juga indikator laki-laki terbaik dan terpilih. Dengan demikian hal ini adalah pengakuan tegas Rasulullah saw. atas posisi penting dan martabat perempuan di dalam kacamata Islam.

Yakni perempuan ada untuk diperlakukan sebagai manusia bermartabat. Berhak dimuliakan. Bukan dilecehkan, direndahkan, atau pun dipinggirkan. Apalagi dijadikan korban kekerasan.

Penegasan Rasulullah saw. tersebut menjadi suatu gebrakan di tengah masyarakat Jahiliyyah yang tidak mau mengakui keberadaan perempuan. Malu memiliki anak perempuan. Dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya terhadap perempuan.

Namun, hadis tesebut juga dapat dipahami sebaliknya. Yakni perempuan mukmin yang terbaik adalah perempuan yang berbuat baik kepada laki-laki. Khususnya kepada suaminya.

Dengan demikian, umat Muslim yang baik menurut Rasulullah saw. dalam hadis tersebut adalah mereka yang berakhlak mulia, baik laki-laki kepada perempuan, atau perempuan kepada laki-laki. Semoga kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.  (ef/bincangsyariah)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya dan orang yang menjauhkan diri dari yang tidak berguna dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri mereka dan budak belian yang mereka miliki; maka sesungguhnya dalam hal seperti itu tidak tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang yang memelihara amanat, memelihara janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al Mukminun [23]: 1-11).

Ayat di atas menjelaskan adanya relasi simbiosis antara iman (akidah) dan perilaku (amal) seorang manusia. Seorang mukmin akan khusyuk dalam shalat dan menjauhkan diri dari kehidupan yang sia-sia.

Ia akan selalu meninggalkan perbuatan buruk dan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya serta lingkungan sekitar. Rasulullah SAW bersabda, “Dari kebaikan orang Islam adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya.” (HR HR Tirmidzi dam Ibnu Majah). 

Oleh karena itu, tidak pantas bila seorang mukmin menyia-nyiakan waktu, masa muda, kesehatan, kekayaan, dan setiap peluang dalam hidupnya. Namun, tak sedikit dari kita menyia-nyiakan masa muda karena salah mengartikan apa itu masa muda.

Prinsip yang kurang benar masa muda tidak akan kembali dipegang kuat sehingga seluruh aktivitas hidupnya diisi dengan foya-foya dan melayangkan angan tak nyata.

Orang yang percaya penuh pada Allah SWT akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya, hidup hati-hati, menjaga shalat, membayar zakat, dan menjauhkan diri dari maksiat sehingga kehidupannya tetap terpelihara.

Orang beriman sadar betul kehidupan ini sementara dan segala amal akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Karena itu, orang beriman selalu berprinsip keinginan dan nafsu syahwat itu kalau diperturutkan akan mengakibatkan kesengsaraan jasmani maupun ruhani.

Orang yang imannya sempurna selalu memegang janji dan menjaga amanah yang dibebankan padanya. Hifdzul amanah (menjaga amanah) adalah salah satu pekerjaan mulia dan sulit. Banyak orang yang diberi amanah jabatan dan amanah kepercayaan, namun mengkhianatinya.

Timbulnya krisis ekonomi yang menimpa suatu bangsa disebabkan kurangnya para pemimpin memelihara amanah yang diemban.

Kondisi ini mengakibatkan banyak terjadi penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin.

Akhlak orang beriman akan selalu berdampak baik bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Ia selalu mengadakan hubungan baik dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk Allah seluruhnya.

Ia juga selalu takut pada Allah. Ketakutan ini merupakan ketakutan yang positif. Seperti yang tercermin di dalam firman-Nya, “Padahal, Allah-lah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS at-Taubah [9]: 13).

Oleh karena itu, keimanan yang kuat harus dimiliki siapa saja. Sebab, keimanan bisa mengatur manusia untuk selalu mengisi kehidupan di muka bumi dengan segenap kebajikan.

Keimanan membuat orang-orang secara tulus dan ikhlas melakukan hubungan dengan sesama manusia berdasarkan kerangka Ilahiah.

Segala gerak hidupnya, baik dalam rangka bekerja atau berniaga, berpolitik atau memimpin dan bermuamalah, selalu merujuknya pada pembenaran iman pada Allah SWT. Wallahua’lam bis-shawab.

Dadang Kahmad, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung dan Direktur Pascasarjana UIN SGD Bandung.

Sumber, Republika 29 April 2015.

Tercermin dari apakah kesempurnaan iman seseorang itu dan siapakah orang mukmin yang paling sempurna imannya?
OLEH AGUS SOPIAN Dari Abu Hurairah RA ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik budi pekertinya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, dan Darimi). Hadis tersebut menegaskan bahwa budi pekerti atau akhlak merupakan penentu sempurna atau tidaknya keimanan seseorang. Tidaklah seseorang merasa telah sempurna imannya hanya karena ibadah ritual semata, tetapi ia harus menunjukkannya pada kehidupan dan akhlak keseharian. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita bergaul dengan orang yang beragam watak, karakter, kebudayaan, agama, bahkan prinsip hidup yang berbeda. Sikapi segala perbedaan dengan mengedepankan budi pekerti atau akhlak yang baik. Belajarlah menerima perbedaan. Perlakukan setiap orang yang berbeda dengan kita sebagaimana kita ingin diperlakukan. Tanamkan dalam hati bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan. Dengan begitu, kita akan selalu merasa nyaman hidup berdampingan. Membuat hidup jauh dari permusuhan dan saling menjatuhkan, apalagi mencaci dan merendahkan. Ketika an-Nawwas bin Sam’an RA bertanya kepada Nabi SAW tentang kebajikan dan dosa, Rasulullah SAW menjawab, “Kebajikan adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang merisaukan hati, dan kamu tidak senang apabila hal itu diketahui orang lain.” (HR Muslim). Dengan akhlak yang baik, kita bisa membuat orang lain merasakan kedamaian, tidak tersakiti oleh lisan dan tindakan. Allah dan Rasul-Nya sangat mencintai orang yang berbudi pekerti luhur. Bahkan dikatakan, orang berbudi pekerti luhur termasuk yang paling banyak masuk surga. Sebagaimana ketika Rasulullah SAW ditanya, “Apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga?” Beliau menjawab, “Bertakwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik.” Dan beliau pun ditanya, “Perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka?” Beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR Tirmidzi). Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam akhlak. Kesempurnaan akhlak beliau menjadi wasilah keberhasilan dakwah. “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS Ali Imran: 19) Teruslah berbuat kebajikan. Hiasi diri dengan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Jangan lelah belajar. Carilah pengalaman hidup sebanyak mungkin. Dari pengalaman itu, kita akan mendapat banyak pelajaran. Adapun puncak dari proses belajar adalah kita menjadi tahu hakikat sebuah kebenaran dan keburukan. Lalu, senantiasa melaksanakan kebenaran dan meninggalkan keburukan.

Jika kita menyempurnakan keimanan dengan terus memperbaiki akhlak, keindahan Islam akan semakin dirasakan. Bukan hanya oleh kita, melainkan orang-orang yang ada di sekitar. Wallahu a’lam.


sumber: republika.co.id