Tata cara sholat berjamaah bagi wanita

Red:

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum fikih wanita yang mengimami shalat berjamaah bagi kaum wanita lainnya. Ada ulama yang memandang sunah, makruh, bahkan tidak membolehkannya. Persoalan juga berlanjut pada pelaksanaannya. Jika memang boleh sekelompok wanita ingin melaksanakan shalat berjamaah, lantas bagaimanakah tata cara pelaksanaannya? Apakah shalat mereka sebagaimana layaknya shalat yang diimami laki-laki?

Mazhab Hanafiyah berpendapat, shalat berjamaah bagi wanita hukumnya makruh. Pendapat ini diyakini ulama Mazhab Hanafiyah, seperti Az-Zaila’i dan Badruddin Al-Aini. "Makruh hukumnya, jika seorang wanita mengimami jamaah wanita. Begitu juga shalat berjamaah bagi para wanita, makruh hukumnya," jelas Al-Aini dalam kitabnya Al-Binayah Syarah Al-Hidayah (2/336).

Ulama Mazhab Hanafiyah lainnya, Ibnu Abdin, dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar mengatakan, wanita yang ingin shalat berjamaah sesama wanita dihukum makruh. Mereka boleh melakukan shalat berjamaah dengan sebab-sebab tertentu. Menurut Abdin, jika kaum wanita tetap ingin shalat berjamaah, posisi imam harus berada di tengah-tengah (tidak maju sendiri di depan).

Sedangkan, Mazhab Malikiyah memahami, shalat yang diimami wanita tidak sah, walaupun seluruh makmumnya adalah wanita. Hal ini diyakini para ulama mazhab ini seperti Abu At-Thahir At-Tanwikhi Al-Mahdawi. Dalam kitabnya, At-Tanbih ’ala Mabadi Taujih, ia menyebutkan, pendapat yang masyhur dalam persoalan fikih ini adalah pendapat yang tidak membolehkannya.

Pendapat ulama Maliki lainnya, Ibnu Aiman yang meriwayatkan dari Malik mengatakan, larangan wanita menjadi imam jika makmumnya laki-laki. Hal ini berdalil dari sabda Rasulullah SAW, "Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki." (HR Ibnu Maajah). Namun, jika jamaah shalat tersebut semuanya wanita, tak menjadi persoalan bagi salah seorang wanita di antara mereka untuk mengimami shalat berjamaah.

Namun, pendapat ini dibantah Al-Mahdawi, ulama dari kalangan Maliki sendiri. Menurutnya, menjadi imam tidak boleh dilakukan oleh wanita secara mutlak. Demikian juga dengan shalat. Sama halnya mengimami shalat fardhu atau shalat sunah. Sama juga halnya mengimami makmum yang wanita saja, apalagi mengimami makmum laki-laki. Ia berdalil, suara wanita adalah aurat. Sedangkan, imam harus membaca takbir setiap perpindahan gerakan shalat. Demikian juga untuk shalat jahar (Subuh, Maghrib, dan Isya). Imam harus membaca surat al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran. Demikian ia terangkan dalam kitabnya, At-Tanbih ‘ala Mabadi At-Taujih (1/441).

Al-Qarafi, ulama Mazhab Maliki, dalam kitabnya Mudawwanah (2/241) menambahkan, larangan bagi wanita menjadi imam shalat sifatnya umum dan mutlak. Sebagaimana syarat sahnya shalat, imam haruslah laki-laki. Ia merujuk kepada pendapat Imam Malik sendiri, shalat berjamaah kaum wanita tidak sah dan harus diulang kembali.

Adapun di kalangan Mazhab Syafi'iyah sendiri, lebih dekat dengan pendapat Ibnu Aiman dari Mazhab Maliki. Kaum Syafi'iyah meyakini, larangan wanita mengimami shalat berjamaah jika ada di antara makmumnya yang laki-laki. Jika semua mereka adalah wanita, shalatnya dipandang sah.

Sebagaimana diterangkan Ibnu Maajah dalam Al-Minhaj Al-Qawim karya Ibnu Hajar al-Haitami, ia hanya melarang wanita mengimami laki-laki. Demikian pula pendapat Al-Khatib asy-Syirbini, salah seorang ulama Syafi'iyah. Menurutnya, shalat berjamaahnya kaum wanita adalah sah, sebagaimana sahnya shalat laki-laki sesama laki-laki.

Asy Syirbini mengategorikan lima bentuk shalat berjamaah yang dipandang sah, yaitu laki-laki bermakmum kepada laki-laki, khuntsa (kelamin ganda) bermakmum kepada laki-laki, wanita bermakmum kepada laki-laki, wanita bermakmum kepada khuntsa, wanita bermakmum kepada wanita. Demikian seperti diterangkan dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (1/482).

Jadi, ringkasnya Mazhab Syafi'iyah memandang sah shalat berjamaah kaum wanita, bahkan memandangnya sebagai sunah (dianjurkan). "Bagi Mazhab Syafi’i, disunahkan bagi wanita mengimami jamaah wanita dalam shalat wajib dan shalat sunah," demikian diterangkan Imam Al-Mawardi, ulama Mazhab Syafi'iyah dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir (2/356)

Pendapat yang sama dengan Syafi'iyah juga didukung Mazhab Hanabilah. Ulama dari kalangan Hanbali, Ibnu Qudamah, menyetujui wanita menjadi imam bagi kaum wanita lainnya, baik dalam shalat sunah maupun wajib. Imam Ahmad sendiri tak mempersoalkan jika kaum wanita ingin menegakkan shalat berjamaah sesama mereka.

Pendapat ini juga didukung Mazhab Zahiriyah. Mereka memandang shalat berjamaah yang dilakukan sekelompok wanita adalah hasan (amal baik). Tokoh mazhab ini, Ibnu Hazm, mengatakan, pembolehan shalat berjamaah wanita tersebut karena tidak ditemui dalil spesifik yang melarangnya. Demikian ia terangkan dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar (2/167).

Lantas bagi mazhab yang membolehkan, bagaimanakah tata cara pelaksanaan shalat berjamaah tersebut? Mazhab Hanafiyah mengatakan, imam wanita harus berdiri di tengah dan sejajar dengan wanita lainnya. Kalaupun agak maju sedikit ke depan, diperbolehkan. Namun, tidak seperti imam laki-laki yang berdiri sendiri di depan. Ia hanya maju sedikit sebagai penanda bahwa dia adalah imam. Demikian diterangkan ulama mazhab ini, seperti As-Sarakhsi, Al-Kasani, dan Ibnu Humam.

Pendapat yang sama juga diyakini Mazhab Syafi'iyah. Imam harus berdiri di  tengah dan posisinya sejajar dengan shaf pertama. Menurut As-Syairazi, Aisyah RA dan Ummu Salamah RA pernah mengimami shalat para sahabiyah dengan berdiri sejajar dengan mereka. (HR Baihaqi).

Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bil Atsar (2/168) menambahkan, boleh bagi imam wanita untuk mengeraskan bacaannya. Hal itu dapat dilakukan jika lokasi shalat berjamaah ada di rumah dan terhindar dari fitnah. n ed: hafidz muftisany

Tata cara sholat berjamaah bagi wanita

Shalat jamaah merupakan shalat yang dikerjakan oleh minimal dua orang secara bersama-sama dengan salah satunya menjadi imam, sedangkan yang lainnya menjadi makmum. Shalat wajib berjamaah sangat diutamakan, bahkan hukumnya sunnah muakkad, yakni sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan setiap muslimin. Bahkan, sebagian ulama mengungkapkan hukum shalat berjamaah adalah fardhu kifayah. Shalat berjamaah memiliki keutamaan 27 derajat dibandingkan shalat munfarid.

Anjuran shalat berjamaah terdapat dalam Hadits Rasulullah saw. “Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda: shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR Bukhari dan Muslim). Ini menandakan betapa pentingnya kedudukan shalat berjamaah bagi umat muslim.

Jika dalam suatu jamaah yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, sudah pasti yang menjadi imam adalah laki-laki. Namun, bagaimana jika dua orang perempuan atau lebih ingin sholat berjamaah? Bagaimana posisi imam dalam shalat berjamaah bagi perempuan? Dan bagaimana hukum shalat berjamaah bila imamnya adalah perempuan? Berikut penjelasannya.

Para ulama menyebutkan bahwa barisan yang terbaik bagi wanita ada pada bagian paling belakang. Dalam hal ini dimaksudkan jika shalat berjamaah di masjid, yang mana makmumnya terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Kemudian, yang harus diperhatikan ketika hendak shalat berjamaah bagi perempuan adalah tak ada laki-laki, maka perempuan boleh menjadi imam. Kalau jumlahnya dua orang, maka posisi imam berada sejajar dengan makmum, sama dengan posisi laki-laki jika berdua. Namun, jika jumlah perempuannya lebih dari dua orang, maka imam perempuan posisinya berada di tengah jamaah serta berada dishaf paling depan. Posisi seperti ini berbeda dengan imam shalat jamaah laki-laki.

Pendapat ini berdasarkan dari dalil hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Binti Abu Bakar ra. dan Ummu Salamah ra. : “Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa seorang wanita mengimami jamaah shalat dari kaum wanita, dan ia (imam) berdiri di tengah-tengah mereka yang ada di barisan paling depan.”

Namun, seringkali kita juga menemukan imam wanita berdiri di depan para jamaahnya. Hal ini masih dapat dikatakan sah shalatnya karena posisi di depan adalah posisi yang lazim bagi imam, sebagaimana posisi imam laki-laki saat shalat berjamaah.

Akan tetapi, lebih baik bagi imam wanita yang memposisikan dirinya di tengah-tengah barisan depan makmum. Ibnu Qudamah dari madzhab al-Hanabilah mengatakan bahwa wanita dianjurkan untuk beristitar (berada di tempat yang tertutup), maka berada di tengah-tengah para jamaah makmum wanita akan menjadi tempat yang tertutup bagi imam wanita.Allahua’lam bish showab.(Nad)

Saat akan menunaikan sholat jamaah di masjid, sebaiknya sudah mengambil air wudhu sejak dari rumah. Hal ini sesuai dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim)

2. Membaca Doa

Tata cara sholat berjamaah termasuk dengan menjalankan adabnya, membaca doa dalam perjalanan menuju masjid yang berbunyi;

"ALLAHUMMAJ'AL FII QOLBI NUURA WA FII BASHARI NUURA WA FII SAM'I NUURA WA'AN YAMIINIHI NUURA WA'AN YASAAARII NUURA WA FAUQI NUURA WA TAHTI NUURA WA AMAANI NUURA WA KHALFI NUURA WAJ'AL LII NUURA"

Artinya: "Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya di belakangku. Dan jadikanlah untukku cahaya". (HR. Muslim).

3. Membaca Doa Masuk dan Keluar Masjid

Telah diajarkan dalam Islam bahwa ketika masuk masjid, disunnahkan untuk mendahulukan kaki kanan baru kaki kiri, sambil memanjatkan doa sebagai berikut:

"ALLOHUMMAFTAHLII ABWAABA RAHMATIK" Artinya: "Ya Allah! Bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu."

Sedangkan ketika keluar masjid sebaiknya membaca doa:

"ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA MIN FADHLIK'" Artinya: "Ya Allah! Aku memohon pada-Mu di antara karunia-Mu."

4. Tidak Melewati Orang yang Sedang Sholat

Adab yang berikutnya adalah tidak melewati orang yang sedang sholat. Berdasarkan sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Seandainya orang yang lewat di depan orang yang salat mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscahya ia memilih untuk berhenti selama 40 (tahun), itu lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang sholat." (HR. Bukhari 510 dan Muslim 1132).

5. Sholat Sunnah Tahiyatul Masjid

Adab sholat berjamaah selanjutnya dengan menunaikan salat tahiyatul masjid ketika sudah masuk dan sebelum duduk seperti riwayat yang berbunyi; "Jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam masjid, maka hendaklah ia sholat dua rakaat sebelum dia duduk." (HR. Bukhari 537 dan Muslim 714).

6. Menjawab Panggilan Azan dan Berdoa

Menjadi sunnah bagi umat muslim yang mendengar azan, maka menjawab setiap kalimat panggilan tersebut. Ketika muadzin mengumandangkan iqamah juga terdapat kalimat jawaban. Semisal, bila muazin berucap " Allahu akbar Allahu akbar" maka Anda jawab dengan ucapan yang sama, "Allahu akbar Allahu akbar" . Bacaan doa seusai mendengar adzan adalah:

"ALLAAHUMMA ROBBA HAADZIHID DAWATIT TAAMMAH, WASHSHOLAATIL QOO-IMAH, AATI SAYYIDANAA MUHAMMADANIL WASHIILATA WAL FADHIILAH, WASYSYAROFA, WAD DARAJATAL, AALIYATAR ROFIIAH, WABATSHU MAQOOMAM MAHMUUDANIL LADZII WAADTAH, INNAKA LAA TUKHLIFUL MIIAADZ."

Artinya: "Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah al-wasilah (derajat di surga), dan al-fadhilah (keutamaan) kepada nabi Muhammad. Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati kedudukan terpuji yang Engkau janjikan." (HR. Bukhari, Abu dawud, Tarmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).

7. Membaca Doa Sesudah Iqomah

"ALLAAHUMMA ROBBA HAADZIHID DAWATIT TAAMMAH, WASHSHOLAATIL QOO-IMAH, SHALLI WA SALLIM ALAA SAYYIDINIA MUHAMMADIN WA AATIHI SULAHU YAUMUL QIYAAMAH"

Artinya: "Ya Allah Tuhan yang memiliki panggilan yang sempurna, memiliki salat yang ditegakkan, curahkanlah rahmat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan berilah/kabulkanlah segala permohonannya pada hari kiamat."

8. Merapikan Shaf Sholat

Adab sholat berjamaah selanjutnya dengan meluruskan dan merapikan barisan sholat. Perhatikan depan, belakang, kanan dan kiri apakah para jamaah telah berada pada shaf yang tepat. Sesuai dalam hadis berikut, Rasulullah SAW bersabda:

"Hendaknya kalian bersungguh-sungguh dalam meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh kana memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian." (HR. Bukhari 717 dan Muslim).