Suku Asmat dapat menghasilkan patung apa?

Asmat -

Bicara soal Suku Asmat, kita dibawa ke daerah eksotis di bumi Papua. Kebudayaannya juga sudah begitu terkenal. Jika kita bicara soal Suku Asmat di Papua, ada beberapa hal yang terbersit di dalam benak banyak orang. Antara lain terkait tradisi mereka di bidang ukir, anyaman, tarian dan budaya.

Menurut Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua, bagi Suku Asmat tradisi mengukir, menganyam, menyanyi dan menari merupakan kehidupan mereka. Bagi yang tidak memiliki ketrampilan tersebut berarti mati.

Suku Asmat percaya bahwa pengetahuan dan keahlian mengukir mereka berasal dari nenek moyang yang bernama Fumiripitsy, seorang ahli ukir. Fumiripitsy telah menciptakan sebuah tifa yang indah sekali, ia beri nama Eme serta patung-patung yang diberi nama Mbis.

Suku Asmat dapat menghasilkan patung apa?
Alat musik tradisional papua tifa Foto: istimewa

Apabila tifa ini ditabuh, maka patung Mbis akan menjelma menjadi manusia yang menari mengikuti bunyi tifa. Fumiripitsy berkata kepada Mbis, mulai saat itu Mbis menjadi anak-anaknya.

Dalam budaya tradisionalnya, Suku Asmat tidak mengenal pahat dari logam untuk mengukir. Mereka menggunakan pahat yang terbuat dari tulang kasuari.

Suku Asmat mulai mengenal besi ketika ekspedisi Lorentz tahun 1907 melewati sungai-sungai di sekitar Asmat dalam upaya mencapai puncak bersalju Jayawijaya. Mereka melakukan kontak dengan Suku Asmat dan melakukan barter pisau besi, kapak besi, kaleng makanan dengan produk-produk seni pahat Asmat yang istimewa.

Rupanya benda besi, barang baru bagi Suku Asmat, menjadi benda yang tidak puas-puasnya digemari oleh mereka. Apalagi mereka merasa bahwa dengan benda-benda besi tersebut, dalam proses mengukir kayu menjadi mudah, jika dibandingkan dengan menggunakan pahat tulang kasuari.

Suku Asmat dapat menghasilkan patung apa?
Suku Asmat (dok Pemda)

Kegemaran pada benda besi ini, pernah diberitakan dalam surat kabar Belanda pada tahun 1930. Koran itu menyebutkan, bahwa suatu armada orang-orang Asmat yang bersenjata busur, panah dan tombak menyerang sebuah kampung di perbatasan Mimika.

Mereka mengobrak-abrik bangku-bangku sekolah milik gereja, hanya untuk mencopot paku-pakunya. Dengan paku-paku tersebut orang-orang Asmat hanya mengenal satu kegunaan yaitu untuk dijadikan pahat.

Seni Suku Asmat terkenal memiliki tradisi seni ukir yang khas dan terkenal sampai ke mancanegara. Bahkan seniman terkenal Eropa, Pablo Picasso, pada masa hidupnya mengagumi seni ukir ini.

Informasi menarik lainnya, Suku Asmat merupakan salah satu suku terbesar di Papua. Suku ini tinggal di rumah adat yang disebut rumah Jew. Di dalam rumah adat yang juga disebut dengan rumah bujang ini tersimpan senjata Suku Asmat yakni tombak, panah untuk berburu, dan noken.

Rumah Jew terbuat dari kayu dan didirikan menghadap arah sungai. Panjang rumah adat ini bisa sampai berpuluh-puluh meter. Atap rumah adat Suku Asmat terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang telah dianyam. Warga menganyam beramai-ramai sampai selesai.

Simak Video "Gempa M 5,7 Guncang Keerom Papua, Pusat di Darat"


[Gambas:Video 20detik]
(rdy/ddn)

Indonesia merupakan negara yang banyak memiliki suku dan budaya, salah satunya adalah Papua. Papua tidak hanya terkenal dengan objek wisata yang indah namun juga memiliki suku yang sangat terkenal dengan hasil kerajinan pahatnya yaitu suku Asmat. Kerajinan seni pahat mereka bahkan menurut riwayat sudah dikenal sejak tahun 1700-an.

 Tema Arwah

Suku Asmat biasa dikenal karena hasil kerajinan tangan yang berupa ukiran kayu yang sangat khas. Dari beberapa ukiran kayu tersebut biasanya mengambil tema arwah nenek moyang mereka atau biasanya disebut dengan mbis.

Dahulu, pengukir Asmat membuat ukiran patung untuk media upacara pemanggilan roh. Oleh karena itu, di dalam patung untuk upacara adat diyakini terdapat roh leluhur  yang menjadikan patung tersebut “hidup”. Patung-patung tersebut tidak boleh diperjualbelikan.

Gaya Berbeda

Pada dasarnya, pengukir suku Asmat  memiliki gaya masing-masing. Dengan begitu, ukiran antara pemahat yang satu dengan yang lain dapat dibedakan. Namun, tidak semua orang Asmat bisa mengukir. Keahlian mengukir biasanya merupakan bakat yang diturunkan oleh keluarga.

Ada sedikit kemiripan antara seni pahat Asmat dengan Batak. Keduanya sering menggunakan tiga warna utama yaitu hitam, putih, dan merah.

Sejak era kolonial Belanda, patung Asmat tadinya dinilai sebagai benda primitif dan wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat. Tapi, pada akhirnya menjadi terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia. Biasanya pemahat bekerja bukan atas pesanan atau unsur komersial saja, sehingga karyanya tetap terasa orisinal.

Yang Khas dari Papua:

Makanan                        : Sagu, buah matoa

Senjata tradisional      : Pisau belati, busur, dan panah

Pakaian tradisional     : Koteka

Alat musik                     : Tifa’, atowo, fu

Tarian daerah               : Gale-gale, tari pacul tiga, tari seka, tari

sajojo, tari balada, tari cendrawasih

Rumah Adat                  : Honai, Jeu

Lagu daerah                  : Apuse, yamko rambe yamko

Pahlawan nasional      : Johannes Abraham Dimara, Silas Papare,

Marthen Indey, Frans Kaisiepo

Ibukota                          : Timika

Teks: JFK      Foto: Istimewa

Ukiran Asmat merupakan tradisi yang sudah ada turun-temurun, yang memiliki nilai sakral dalam kehidupan masyarakat suku asmat itu sendiri. Ukiran ini tergores pada patung yang berbentuk wujud manusia yang disebut Patung Mbis. Bentuk patung ini dipahat bertingkat dengan bentuk beberapa manusia, ada yang posisinya duduk, berdiri saling menyusun sehingga patung ini menjadi lebih tinggi bisa mencapai 3 ? 5 meter. Patung Mbis ini melambangkan sosok nenek moyang mereka, sehingga patung-patung ini dianggap sakral oleh masyarakat Asmat. Patung dan memahat adalah bagian penting dalam kehidupan orang Asmat. Legenda suci orang Asmat mengatakan bahwa asal usul orang Asmat berasal dari kayu yang dipahat menyerupai wujud manusia dan akhirnya hidup menjadi orang Asmat. Dikisahkan, leluhur orang Asmat yang bernama Fumeripits dihidupkan kembali oleh seekor burung bertuah setelah ia terdampar di muara sungai di kawasan Asmat. Ia terlunta-lunta dan mengembara seorang diri, sampai saat ia membangun rumah bujang (jew) dengan bentuk memanjang. Untuk mengisi kesendiriannya, sepanjang waktu Fumeripits memahat patung, hingga puluhan patung manusia dibuatnya. Suatu ketika, ia membuat tifa, alat perkusi tradisional Asmat. Ketika ia bernyanyi dan menabuh tifa, puluhan patung pahatan Fumeripits berubah wujud menjadi manusia, cikal bakal orang Asmat. Fumeripits melanjutkan pengembaraannya di pesisir selatan Papua dan masuk ke hulu sungai besar di kawasan itu. Di setiap persinggahannya, Fumeripits kembali membangun jew dan memahat patung manusia. Setiap ia bernyanyi dengan menabuh tifa, patung itu kembali menjadi manusia yang menurunkan suku Asmat yang sekarang kita kenal tersebar di pesisir selatan Papua. Keturunan Fumeripits inilah yang kemudian menjadi wow-ipits atau wow iwir, para pemahat Asmat. Anak turunan Fumeripits menjadi cikal bakal pengukir Asmat, yang secara turun-temurun mengulangi kembali apa yang dikisahkan dalam legenda suci Fumeripits. Legenda itu menggambarkan bahwa patung dan memahat adalah suatu yang memiliki nilai sakral bagi orang Asmat. Mengukir patung pada suku Asmat ini merupakan aktualisasi dan kepercayaan terhadap nenek moyang yang mereka simbolkan dalam ukiran patung dan menamai patung tersebut dengan nama orang yang telah meninggal. Demikian selama ratusan atau bahkan ribuan tahun anak cucu Fumeripits terus memahat patung untuk mengantarkan roh kerabatnya berpulang ke safar. Pengukiran patung ini sebagai penghormatan kepada nenek moyang dimana di sebagian daerah, memiliki sebuah upacara yang menghendaki adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna menenangkan arwah nenek moyang. Untuk menghormati arwah nenek moyang, mereka membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang tersebut, khususnya yang datang dalam mimpi. Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu. Pada mulanya, patung-patung dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para arwah yang tinggal untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama masyarakat Asmat. Namun demikian, kejayaan ukiran Asmat yang asli dari buah tangan putra asli secara perlahan mulai pudar bersamaan dengan munculnya pemalsuan ukiran Asmat di sejumlah wilayah di Indonesia. Lihat saja di Bali, Yogyakarta, Jepara, dan di daerah-daerah lain, di mana ukiran-ukiran khas Asmat dengan mudah dapat ditemukan di daerah-daerah tersebut. Di masa jayanya, para turis, baik asing maupun domestik, kolektor, seniman, dan pencinta ukiran harus mengunjungi Asmat untuk mendapatkan ukiran atau patung asli. Namun dimulai sejak tahun 2000-an, mereka tidak lagi datang ke Asmat. Selain biaya yang cukup tinggi, mereka bisa mendapatkan patung Asmat dengan datang ke Jawa dan Bali. Apalagi ukiran Asmat di daerah-daerah tersebut sangat mirip dengan aslinya yang dibuat pengrajin dari Asmat sendiri. Tentunya dalam hal ini, masyarakat Asmat sudah mengalami kerugian, baik dari sisi bisnis maupun kekayaan intelektual. Apalagi para pengrajin di Asmat tidak tahu bagaimana proses mendapatkan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) atas keterampilan itu. Jadinya karya mereka dengan mudah ditiru di berbagai tempat di Tanah Air. Padahal ukiran itu memiliki sejarah dan asal-usulnya. Sejak era kolonial Belanda, patung Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif dan wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat, pada akhirnya menjadi terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia. Nilai patung Asmat setingkat dengan barang-barang hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil, Eupharathes, Gangga, dan Indus. Patung Mbis merupakan salah satu patung yang dikeramatkan oleh suku Asmat karena merupakan cikalbakal suku Asmat, sehingga suku Asmat sangat menghargai budaya memahat patung. Bentuk patung ini dipahat bertingkat dengan bentuk beberapa manusia, ada yang posisinya duduk, berdiri saling menyusun sehingga patung ini menjadi lebih tinggi bisa mencapai 3 ? 5 meter.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010