Mahasiswa dari delapan perguruan tinggi dan akademi swasta se Jawa Barat, berkunjung ke makam pahlawan Nasional asal Aceh Cut Nyak Dhien, di Gunung Puyuh, Desa Suka Jaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Minggu (5/2/2017). Makam pahlawan Aceh tersebut merupakan salah satu situs wisata sejarah.
(Inspirasi bagi Perempuan Aceh) Oleh Murni PADA 6 November 2018 lalu, genap 110 tahun wafatnya pahlawan Nasional, Cut Nyak Dhien (1848-1908). Beliau adalah satu dari sekian banyak perempuan Aceh yang perkasa yang sudah dikenal dunia, baik nama, foto asli, bahkan film yang dirilis oleh Sutradara Eros Djarot pada 1988 silam. Ia adalah The Queen of Aceh Battle (Ratu Perang Aceh), yang berjuang mati-matian melawan Belanda pada masa Perang Aceh, hingga menghembuskan nafas terakhir pada 6 November 1908, di daerah pengasingan yang jauh dari tanah kelahirannya dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. Perang Aceh (1873-1904) telah melahirkan perempuan-perempuan perkasa berhati baja, tidak hanya diakui oleh bangsanya, tapi juga musuhnya. Belanda menyebutnya sebagai Grandes Dames (Wanita-wanita besar) yang perannya melebihi kaum pria. Beberapa sejarawan Belanda mengutarakan seperti Van der Pol dalam satu kalimat, Een der merkwaardigste vrouwen in Nederlandsche Indie (Seorang wanita yang ajaib di Hindia Belanda). H.C. Zentgraff, penulis Belanda dalam buku Atjeh menyebut perempuan-perempuan perkasa itu sebagai De leidster van het verzet, para pemimpin perlawanan yang memegang peranan besar dalam perpolitikan dan peperangan. Zentgraaf menulis, “Keberanian wanita Aceh dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya. Ia rela hidup dalam perang dan melahirkan putra-putrinya di situ. Ia berperang bersama suaminya, kadang-kadang di samping, di hadapan, atau di tangannya yang kecil dan halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya.” Cut Nyak Dhien lahir pada 1848 di Lampadang, Aceh Besar, merupakan putri seorang bangsawan dan ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, yang menjabat sebagai Uleebalang VI Mukim. Cut Nyak Dhien memperoleh pendidikan agama Islam yang kuat sejak kecil dan juga didukung oleh suasana lingkungannya. Ia mendapat pengajaran khususnya pendidikan agama Islam dari ulama-ulama di wilayah kekuasaan ayahnya. Maka tidak heran jika ia mahir menghafal Alquran, dan juga cerdas dalam strategi perang. Di samping itu, orang tuanya mengajarkan ia bagaimana menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Mulai dari memasak, mengurus suami, serta melakukan hal-hal kecil lainnya, terkait kehidupan rumah tangganya. Cut Nyak Dhien dikarunia oleh Allah Swt dengan paras wajah yang cantik, sehingga banyak pemuda terpikat dan ingin melamarnya kala itu. Yang lebih mengagumkan lagi, Cut Nyak Dhien benar-benar memiliki tingkat kedisiplinan yang luar biasa, serta idealisme pantang menyerah. Sehingga tidak heran pada saat dewasa benar-benar, ia telah membuktikan dirinya menjadi seorang wanita yang tabah, tangguh, teguh pendirian, tawakkal, ibu rumah tangga yang baik, panglima perang dan memiliki keimanan yang tinggi. Walaupun di usianya yang sudah tua, mata buta, penyakit lainnya yang ia derita, kekurangan makanan dan kehabisan harta akan tetapi tetap memiliki mental baja dan semangat beragama yang tetap menggelora di dalam dada hingga akhir hayatnya. Membicarakan sosok Cut Nyak Dhien beserta kiprahnya demi agama dan bangsa yang sangat dicintainya seperti tidak pernah habis-habisnya. Apabila melihat kondisi kaum hawa di Aceh saat ini, sepertinya sulit mencari sosok yang sepadan dengannya. Namun paling tidak kaum remaja putri di Aceh bisa menjadikan Cut Nyak Dhien sebagai contoh teladan dalam kehidupan sehari-hari. Patut diteladani Halaman selanjutnya arrow_forward Sumber: Serambi Indonesia
Tepat kemarin Senin (6/11) 109 tahun yang lalu, Cut Nyak Dhien wafat di Sumedang, Jawa Barat pada usia 60 tahun. Selama hidup, sosok wanita yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 2 Mei 1964 ini berjuang melawan pasukan Belanda yang berusaha merebut tanah Aceh dari genggaman rakyat Indonesia. Iklan – Artikel dilanjutkan di bawah Beliau adalah sosok ibu, istri dan perempuan secara mandiri yang patut dijadikan panutan. Berikut 4 pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari Cut Nyak Dhien agar jadi sosok cewek hebat seperti beliau. (Baca juga: ) Pantang menyerah dan bertekad kuat Iklan – Artikel dilanjutkan di bawah Saat suami pertamanya, Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada 29 Juni 1878, Cut Nyak Dhien bersumpah bahwa suatu saat dia akan meneruskan perjuangannya untuk menghancurkan dan mengusir Belanda dari tanah Aceh. Sumpah ini dia buktikan saat menerima lamaran dari Teuku Umar pada tahun 1880. Cut Nyak Dhien saat ini berjanji akan menikahi laki-laki pertama yang membantunya untuk menumpas pasukan Belanda. Bersama, mereka membangun kembali kekuatan dan menghancurkan markas Belanda di sejumlah tempat. Iklan – Artikel dilanjutkan di bawah Enggak larut dalam kesedihan Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Ketika anaknya dengan Teuku Umar, Cut Gambang menangisi kepergian sang ayah, Cut Nyak Dhien memeluknya dan bilang, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah mati syahid!” (Lulofs, 2010). Enggak larut dalam kesedihan, Cut Nyak Dhien kemudian bangkit memimpin garda paling depan perlawanan rakyat Aceh meski kondisi kesehatan dan pasukannya udah melemah. (Baca juga: ) Pendirian yang kuat Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dhien terus menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang. Dia menjadi pemimpin dan dikelilingi oleh orang-orang tangguh yang setia padanya. Tapi perjuangan melawan pasukan Belanda yang lebih unggul dari segi kekuatan semakin berat. Pasukan Cut Nyak Dhien semakin habis. Kondisi kesehatannya yang memburuk, membuat salah satu pengikutnya, Pang La’ot menawarkan Cut Nyak Dhien bekerja sama dengan Belanda agar bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik. Cut Nyak Dhien menolak mentah-mentah tawaran itu dan lebih memilih untuk mati. Paang La’ot yang tetap merasa enggak tega melihat kondisi Cut Nyak Dhien akhirnya diam-diam membuat perjanjian dengan Belanda dengan memberi tahu lokasi persembunyian pasukan Aceh. Sebagai imbalan, Belanda harus memperlakukan Cut Nyak Dhien dengan hormat dan memberikan perawatan yang baik. Menebar kebaikan selagi bisa Cut Nyak Dhien (kedua dari kiri) saat dalam pengasingan. | COLLECTIE TROPENMUSEUMCut Nyak Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh sesuai dengan kesepakatan. Beliau dirawat hingga kondisinya mulai membaik. Tapi, Belanda masih khawatir suatu saat Cut Nyak Dhien akan memulai kembali perlawanan. Akhirnya beliau diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat pada tahun 1905. Memasuki usia senja, kondisi kesehatan Cut Nyak Dhien kembali menurun. Dia pun mengalami gangguan penglihatan. Meski begitu di tempat pengasingan, Cut Nyak Dhien masih menyempatkan diri menebar kebaikan dengan mengajarkan agama hingga membuatnya disebut “Ibu Perbu.” Beliau pun akhirnya menutup usia pada tanggal 6 November 1908. Sikap kepahlawanan Cut Nyak Dien antara lain sebagai berikut.
Dengan demikian nilai-nilai kepahlawanan Cut Nyak Dien, yaitu cinta tanah air, memiliki kepercayaan diri, dan tidak mudah putus asa. Kaum perempuan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) perlu meneladani kecerdasan dan pemikiran brilian yang diperlihatkan Cut Nyak Dhien sepanjang perjuangan, guna diimplementasikan dalam kehidupan menghadapi era kemajuan globalisasi di masa mendatang. "Cut Nyak Dhien bukan hanya cerdas dalam hal strategi perang, tapi juga mahir bidang agama dan mampu menghafal Al-Quran. Dua hal ini saya kira penting diteladani kaum perempuan," kata Meutia Azwar Abubakar dan Marlinda Abdullah Puteh yang dihubungi secara terpisah di Jakarta, Kamis. Pernyataan tersebut disampaikan berkaitan dengan kegiatan napak tilas dan ziarah ke makam pahlawan nasional Cut Nyak Dhien di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan rombongan yang pimpin Darwati, istri Gubernur Irwandi Yusuf didamping istri Wakil Gubernur Muhammad Nazar, Dewi Meuthia. Napak tilas dan ziarah berkaitan seratus tahun meninggalnya Cut Nyak Dhien yang dipandu Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Raihan Putry Ali Muhammad itu diharapkan dapat membangkitkan kembali semangat kaum perempuan Aceh di masa mendatang. Meutia Azwar menilai, kegiatan yang pertama sekali dilaksanakan itu bagus untuk mengenang kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dan menambah pengetahuan bagi perempuan Aceh, terutama kelebihan dan kecerdasan Cut Nyak Dhien baik bidang agama maupun lainnya. "Dengan menyaksikan secara langsung makam dan bekas rumah tempat tinggalnya, saya kira banyak pengetahuan yang dapat dipetik dan aplikasikan dalam kehidupan masa kini. Paling tidak, natap tilas dan ziarah ini bisa memberi motivasi bagi perempuan Aceh untuk melangkah lebih maju di masa mendatang," katanya. Sementara Marlinda Abdullah Puteh mengatakan, sejarah perjuangan Cut Nyak Dhien seperti disampaikan Bupati dan masyarakat Sumedang, agaknya dapat menjadi panutan bagi perempuan negeri ini terutama dari kecerdasannya dalam memimpin dan mendalami pengetahuan agama Islam. Menurut dia, pahlawan nasional Cut Nyak Dhien merupakan sosok perempuan disiplin dan luar biasa serta idealisme pantang menyerah. Sosok dan semangat seperti ini agaknya perlu diteladani dan diaplikasikan agar kaum perempuan cerdas dalam kehidupan di bidang ekonomi, politik dan kepemimpinan. Untuk mewujudkan semua itu diperlukan kerjasama semua pihak dan kaum perempuan hendaknya mampu meningkatkan kualitas seperti yang diperlihatkan pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Pemerintah kini sudah membuka ruang gerak bagi perempuan berkiprah di bidang politik dan ini harus dimanfaatkan, katanya. "Ruang gerak bagi perempuan sudah terbuka, kini tinggal bagaimana cara mengisinya. Perempuan harus memiliki idealisme agar dapat mengisi kesempatan yang terbuka itu. Kemitraan penting untuk mewujudkan semua ini," kata Marlinda sambil mengharapkan doa restu masyarakat Aceh bagi kesehatan suami dan keluarganya. (ANT) Baca berikutnya |