apahabar.com, Lombok – Sunan Prapen disebut-sebut sebagai penyebar Islam di Tanah Lombok. ‘Fakta’ itu terungkap dalam Babad Lombok yang dibukukan Alfons van Der Kraan, dengan judul “Lombok, Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940”. Babad Lombok tersebut menurut Dosen jurusan Sejarah Ekonomi Universitas Murdoch di Perth Australia itu, menyebutkan Susuhunan Ratu Giri (Sunan Giri) di Gresik, Jawa Timur, memerintahkan supaya keyakinan yang baru itu (Islam) dibawa ke pulau-pulau. Dilembu Mangku Rat dikirim dengan sebuah pasukan bersenjata ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makassar, Tidore, Seram, dan Galea. Putra Susuhunan sendiri, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen berlayar ke Lombok, di mana dengan kekerasan ia mengubah keyakinan rakyat untuk memeluk agama Islam. Setelah melaksanakan tugas itu, ia melanjutkan pelayaran ke Sumbawa dan Bima. Selama kepergian Prapen, terutama karena para wanita masih terus menganut keyakinan penyembah berhala, sebagian besar rakyat Lombok kembali ke penyembahan berhala itu. Setelah kemenangan-kemenangan di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dibantu oleh Raden dari Sumuliya dan Raden dari Salut (Sasak). Dia (Sunan Prapen) menyusun gerakan baru yang kemudian terbukti berhasil. Sebagian penduduk lari ke pegunungan, sebagian lagi tunduk dan beralih keyakinan dan masuk Islam, dan sebagian lainnya hanya ditaklukan. Prapen meninggalkan Raden dari Sumuliya dan Raden Salut untuk bertanggung jawab mempertahankan Islam di daerah itu dan berpindah ke Bali, di mana ia mulai perundingan-perundingan (yang tidak berhasil) dengan Dewa Agung dari Klungkung. Maka sesuai Babad Lombok, bisa dikatakan penyebar Agama Islam di Bayan, yakni Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri pada abad ke-16 atau setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478. Hal itu menguatkan, masuknya Islam di Lombok khususnya tidak terlepas dari peran Sunan Prapen (1548-1602). Sumber: Antara
pada awal abad ke-16 agama Islam belum mendapatkan tempat di Sumbawa. Jumat , 14 Sep 2018, 22:10 WIB Antara Red: Agung Sasongko REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duarte Barbarosa, seorang pegawai pos dagang Portugis di Cannanor di Malabar menyebut sebuah pulau yang lebih kecil dari Jawa. Lewat bukunya yang ditulis pada 1518, Livro, Barbarosa menyebut pulau itu dengan nama Cinboaba. Tanahnya subur dan kaya dengan berbagai jenis bahan makanan. Tapi, raja dan penduduknya masih menyembah berhala. Dilansir dari Jurnal Lektur Keagamaan Kemenag, pulau itu kemudian dikenal dengan nama Sumbawa. Berdasarkan laporan Duarte tersebut, Kuperus berkesimpulan jika pada awal abad ke-16 agama Islam belum mendapatkan tempat di Sumbawa. Penulis buku Sumbawa Pada Masa Dulu Lalu Manca menjelaskan, agama Islam dibawa ke Sumbawa oleh para mubaligh Arab dari Gresik sambil berniaga. Salah seorang di antaranya adalah Syekh Zainul abidin, salah seorang murid Sunan Giri.Jika benar, nama Syekh Zainul Abidin mengingatkan kita pada Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Dialah raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk agama Islam. Syekh Zainal Abidin dikenal pernah belajar agama di Pesantren Giri. Di Jawa, dia dipanggil Raja Bulawa (Raja Cengkih) karena membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan. Sekembalinya dari Jawa, Zainal Abidin membawa seorang mubaligh bernama Tuhu Bahalul. Tidak tertutup kemungkinan, dalam perjalanan pulang ke negerinya (Ternate), mereka singgah di Sumbawa untuk menyebarkan agama Islam. Di dalam Babad Lombok disebutkan jika pembawa agama Islam ke Pulau Lombok adalah Sunan Prapen Putra Susuhunan Ratu dari Giri, Gresik. Sunan Prapen mengislamkan penduduk Lombok lewat satu ekspedisi militer. Setelah berhasil mengislamkan Lombok, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa mengislamkan Taliwang, Seran, dan Bima. H J de Graaf menjelaskan, jika informasi dalam Babad Lombok itu benar maka peristiwa itu berlangsung pada masa pemerintahan Sunan Dalem di Giri, Gresik, yakni antara 1506-1545. Mengacu pada Babad Lombokdan berita Duarte Barbarosa, agama Islam datang ke Tanah Sumbawa dari Gresik antara 1518- 1545. Selain dari Jawa, Islam dibawa dari Sulawesi Selatan oleh orang-orang Bugis dan Makassar. Islam hadir baik lewat perang maupun cara damai. Salah satu di antaranya, yakni lewat perkawinan antara elite politik di Sumbawa, baik di Kasultanan Bima maupun di Kasultanan Sumbaw. Dalam Kronik Gowa disebutkan bahwa Bima, Dompu, dan Sumbawa ditaklukkan oleh Karaeng Matoaya, Raja Tallo. Dia merupakan perdana menteri Kerajaan Goa. Kerajaan ini empat kali mengirim ekspedisi militer ke Bima, dua kali ke Sumbawa, dan satu kali ke Dompu, Kengkelu (Tambora) dan Papekat. Pengiriman ekspedisi Kerajaan Goa berlangsung pada 1619. Usai ekspedisi tersebut, perjanjian Tanah Goa dan Tanah Sumbawa berlangsung usai Perang Sariyu. Dalam perjanjian itu, Raja Sumbawa dengan suka rela mengucap dua kalimat syahadat di hadapan Raja Goa, Tuminang Riagamana dengan syarat adat dan rapangnya tidak diganggu atau dirusak. Peristiwa itu disaksikan Menteri Tetelu, Rangga Kiku, Nene Kalibelah, dan semua pejabat Kerajaan Sumbawa
sumber : Dialog Jumat Republika Lombok dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid. Masyarakatnya dikenal religius. Islam menjadi sipirit penggerak kemajuan peradaban masyarakat Lombok hingga kini. Tapi tidak banyak yang tahu bagaimana Islam masuk dan berkembang di Lombok. Lombok Post menelusuri catatan sejarahnya dari buku “Sejarah Islam Lombok; Abad ke-16 hingga Abad ke-20” karya Dr Jamaluddin. SIRTUPILLAILI, Mataram ===================== Penyebaran Islam tidak lepas dari perkembangan perdagangan antar daerah di nusantara. Di sepanjang pantai kepulauan nusantara, tumbuh kota-kota bandar perdagangan dan pelayaran. Sekitar abad ke-13, tumbuh kota-kota pusat perdagangan di bawah hegemoni kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai. Di susul Malaka abad ke-15, termasuk kota-kota bandar di Pulau Jawa, berlanjut ke Kalimantan, Maluku, Bali hingga Nusa Tenggara. Kehadiran kota-kota emporium (pusat perdagangan) Islam di Nusantara membuat para pedagang Islam ikut ambil bagian dalam perdagangan internasional maupun regional, termasuk ke Lombok. Karena itu, Jamaluddin dalam bukunya memperkirakan pada abad ke-15 sudah ada pedagang muslim bermukim di Lombok. Sejak saat itu pula Islam hadir di Lombok. Meski bukti-bukti masih minim, namun ia yakin orang-orang Islam sudah ada yang tinggal di Lombok. Terkait hal itu, belum banyak catatan sejarah yang bisa membuktikan. Dalam buku “Sejarah Islam Lombok” Jamaluddin menelusuri sejarah masuk dan berkembangnya Islam melalui sumber-sumber lokal, salah satunya naskah Babad Lombok. Dalam naskah tersebut disebutkan, dari Pulau Jawa agama Islam berkembang ke Kalimatan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Penyebaran dilakukan oleh beberapa ulama, salah satunya Sunan Prapen atas perintah Sunan Giri. Sunan Prapen mendarat pertama kali di Salut, perkampungan tua yang ada di wilayah pesisir timur Lombok. Salut pada zaman itu merupakan bagian dari wilayah kerajaan Bayan, masa kini masuk ke dalam Kecamatan Kayangan, Lombok Utara. Jamaluddin memperkirakan, waktu kedatangan Sunan Prapen sebelum tahun 1545 M. Sebelum mengislamkan kerajaan Lombok, Sunan Prapen terlebih dahulu mengislamkan masyarakat Salut. Salah satu buktinya adalah masjid tua di Desa Salut yang bisa dilihat hingga saat ini. Artinya yang pertama memeluk Islam bukan kerajaan Lombok/Selaparang, tetapi masyarakat Salut dan wilayah barat daya. ”Desa Salut memiliki peran sangat strategis dalam proses islamisasi wilayah Lombok,” kata Jamaluddin, yang ditemui di rumahnya. Rangga Salut, seorang komandan prajurit di Salut menyarankan kepada Sunan Prapen, jika ingin mengislamkan Lombok secara lebih luas, mereka harus mengislamkan terlebih dahulu kerajaan Lombok/Selaparang di bawah kekuasaan Raja Prabu Rangkesari. Saat itu kerajaan Lombok terpusat di wilayah Labuan Lombok. Setelah Salut dan sekitarnya terislamkan, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan menuju Labuan Lombok yang saat itu menjadi pusat kerajaan-kerajaan Lombok. Mengislamkan Raja Lombok sangat penting untuk memuluskan gerakan dakwah ke berbagai tempat di Lombok, khususnya kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Selaparang. Dalam Babad Lombok dijelaskan, raja Lombok menerima kehadiran agama Islam di bawah mubalig Jawa setelah melakukan beberapa kesepakatan. Namun dalam perkembangannya, kesepakatan itu ternodai, hasutan beberapa tokoh dalam istana membuat raja berbalik haluan dan mengingkari kesepakatan tersebut. Dapat Penolakan Raja Lombok pun menyiapkan tentara untuk mengusir prajurit Islam di Labuan Lombok. Ketagangan pun terjadi dan perang tidak bisa dihindari. Dalam peperangan itu, raja Lombok dan rakyatnya melarikan diri ke hutan dan gunung. Baca Juga : Mengenal Andre Sugianto, Sosok Pejuang Pendidikan tanpa Pamrih Tapi akhirnya raja bisa dikerja dan ditangkap menghadap Sunan Prapen. Dia diampuni kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dan dikhitan. Raja dan para pengikitnya kemudian diajarkan berbagai pengetahuan agama. Kemudian di pusat pemerintahan didirikan masjid. Kaum pria saat itu dikhitan, sementara khiatan bagi kaum perempuan ditunda. Dalam menjalankan misi dakwahnya, Sunan Prapen tidak sendiri. Dia datang bersama rombongan dan mereka membagi tugas. Selain membawa prajurit, Sunan Prapen dia dibantu beberapa orang patih, antara lain Patih Mataram Arya Kertasura, Jaya Lengkara. Adipati Semarang, Tumenggung Surabaya, Tumenggung Sedayu, Tumenggum Anom Sandi, Ratu Madura dan Ratu Sumenep. Setelah mengislamkan kerajaan Lombok, agama Islam pun disebarkan ke daerah-daerah kedatuan yang berada di bawah kerajaan Lombok. Seperti kedatuan Pejanggik, Langko, Parwa, dan Suradadi. Proses pengislaman kedatuan di bawah kerajaan Lombok itu tidak berjalan mulus. Meski kerajaan Lombok telah diislamkan, namun kadatuan punya otonomi sendiri terkait persoalan keyakinan. Meski para dai sudah menyampaikan dakwah, tetap ada yang menolak. Di beberapa tempat seperti Perigi dan Suradadi, pajurit Islam mendapat perlawanan sengit. Rakyat Suradadi di bawah kepemimpinan Patih Biku’ Mangkurat coba menghalau prajurit Islam, namun perlawanannya berhasil dilumpuhkan, dan masyarakat Suradadi masuk Islam. Setelah itu, hampir seluruh desa dan kedatuan di bawah kerajaan Lombok memeluk agama Islam. Kecuali beberapa tempat seperti Pengantap, Pejarakan di bagian barat dan sebagian di Tanjung, Gangga, Pekanggo dan Sokong. Mereka yang tidak mau masuk Islam lari ke gunung-gunung. Masyarakat di desa-desa itu juga tidak terhindukan pada masa kekuasaan Majapahit berkuasa di Lombok. Mereka tetap memeluk agama Budha. (bersambung/r3) |