Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum dan di dalam pemerintah

Selain itu ada pula asas dan tuntutan persamaan Iain, seperti persamaan di Iapangan ekonomi, persamaan sosial. Bahkan persamaan di hadapan (dalam) dari persamaan yang Iebih luas yaitu persamaan politik. Dalam tatanan konstitusi (UUD 1945) dan politik di Indonesia, persamaan ekonomi merupakan salah satu asas demokrasi atau asas bernegara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hatta mengatakan, persamaan politik tidak (belum) melahirkan persamaan tanpa ada persamaan ekonomi. Pada tahun 1945 (1 Juni 1945), Soekarno menggunakan ungkapan politieke economische democratie yaitu demokrasi yang menjamin sociale rechtsvaardigheid (keadilan sosial).

     Apakah sebenarnya yang dikehendaki para penganjur paham persamaan? John Wilson (Oxford) mengutarakan dua dasar yang dikehendaki para penganjur persamaan.

     Pertama; dasar tuntutan politik, yang meliputi hal-hal seperti; kehendak meniadakan purbasangka dan mengutamakan persamaan antar ras (persamaan rasial). Ada yang menghendaki penghapusan sistem kapitalis menjadi persamaan di bidang ekonomi. Ada yang ingin menghapuskan sistem sosial berdasarkan garis laki- Iaki (patrialchal), dan mendorong persamaan tanpa dibedakan atas dasar jenis kelamin (sex). Ada pula penganjur persamaan yang berpendirian persamaan harus ada dalam segala aspek kehidupan. Pokoknya all men are equal.

     Kedua; dasar untuk menjamin impart iality dan consistency. Dalam praktek, impartiality (tidak berpihak) merupakan salah satu asas utama kemerdekaan kekuasaan kehakiman (freedom of judiciary). Consistency merupakan asas untuk menjamin kepastian hukum (legal cortainty) dan prediktibilitas (perdictibility) dalam menyelesaikan persoalan hukum.

      Mengapa harus ada jaminan dan perlindungan hak atas persamaan? Meskipun dikatakan “men are created ‘equal’, tetapi kenyataan manusia berbeda-beda (perbedaan suku atau etnis, perbedaan jenis kelamin, perbedaan agama dan Iain sebagainya). Bahkan ada perbedaan antara yang berkuasa (the ruling power) dengan yang diperintah (the ruled). Sejarah menunjukkan, perbedaan itu telah menimbulkan penindasan, perlakuan tidak adil antara kelompok yang satu dengan yang lain.

      Pada mulanya, kajian mengenai persamaan atau hak asasi pada umumnya, adalah obyek ?lsafat dan ilmu politik. Sebagai kajian ?lsafat, persoalan persamaan mencoba menjelaskan makna persamaan, mengapa perlu persamaan, apa,tujuan yang hendak dicapai dari persamaan, dan berbagai aspek filsafat lainnya. Sebagai kajian ilmu politik, persamaan bertalian dengan hubungan antara kekuasaan dengan individu atau masyarakat. Dimana Ietak individu dalam suatu sistem kekuasaan, bagaimana kekuasaan memperlakukan individu, dan Iainlain hubungan kekuasaan dengan individu atau masyarakat pada umumnya

     Tidak kalah penting, persamaan sebagai obyek kajian hukum. Untuk menjamin agar berbagai asas dan aspek-aspek persamaan dapat diwujudkan dalam tatanan politik, pemerintahan, ekonomi dan Iain-Iain harus diatur oleh hukum. Bahkan secara faktual berbagai hak asasi (dan hak-hak lain) termasuk hak atas persamaan berkembang melalui hukum, baik melalui aturanaturan hukum atau putusan hakim.

     2. Makna persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan. Dalam bahasa Indonesia dijumpai beberapa ungkapan mengenai tema tulisan ini. Ada yang menggunakan sebutan “persamaan di depan hukum”, “persamaan di hadapan hukum”, atau “persamaan di dalam hukum”. UUD 1945 menggunakan ungkapan “persamaan kedudukannya di dalam hukum” (Pasal 27) dan “perlakuan yang sama di hadapan hukum” (Pasal 28D). Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menggunakan ungkapan: “perlakuan dan perlindungan yang sama oleh undang-undang”. Pemakaian istilah “undang-undang” dalam KRIS dan UUD 1950 kurang tepat yang hanya mencakup sebagian dari arti “hukum”. Setiap orang berhak atas perlindungan yang sama di hadapan hukum, bukan hanya di hadapan undang-undang. Perbedaan ungkapan itu bermaksud sama yaitu sebagai padanan equality before the law. Ungkapan yang berasal dari Dicey dan Iazim dipergunakan di lnggris dan negara-negara di bawah pengaruh Inggris. Dalam ungkapan yang Iebih panjang, Dicey menyebutkan “the equal subjection of all classes to the ordinary law of land administrated by the ordinary courts” (semua orang atau semua kelompok tunduk pada hukum yang sama yang dijalankan oleh pengadilan biasa). Kemudian sebutan inilah yang biasa dipergunakan dalam berbagai UUD di dunia. Selain itu ada pula sebutan equal protection of the law yang didapati dalam Amandemen Ke- 14 UUD Amerika Serikat. Menurut Pandey, walaupun ungkapan tersebut mempunyai maksud yang sama, tetapi memiliki penekanan yang berbeda. Ungkapan equality before the law berkonotasi negatif yaitu meniadakan semua privilege untuk orang-orang tertentu. Equal protection of the law Iebih bersifat positif yaitu menekankan persamaan perlakuan bagi (untuk) keadaan yang sama.

     Persoalan atau konspersamaan di hadapan hukum baik secara tersurat atau tersirat selalu berkaitan (dikaitkan) dengan:

     Pertama; sebagai salah satu unsur asas negara hukum, demokrasi, dan hak asasi. Dicey mengutarakan ada tiga ciri negara hukum, yaitu supremasi hukum (sebagai Iawan kekuasaan sewenang-wenang), persamaan di hadapan hukum dan konstitusi bukan sumber hak tetapi konsekuensi dari hak-hak individu. Demokrasi berdiri sekurangkurangnya atas dasar kebebasan (liberty) dan persamaan. Revolusi Perancis (kemudian dicantumkan dalam UUD) menambah asas persaudaraan, sehingga menjadi liberté, egalité dan fraternité. Dalam perkembangan, persamaan di hadapan hukum diakui sebagai hak asasi manusia. Tuntutan-tuntutan rules of law, demokrasi dan hak asasi hanya dapat dipenuhii kalau ada persamaan di depan hukum

     Kedua; sebagai reaksi atau perlawanan terhadap sistem kekuasaan yang menindas atau sewenang-wenang atas dasar (mengkedepankan) perbedaanperbedaan, seperti perbedaan status sosial, perbedaan keyakinan, perbedaan keturunan, perbedaan kekayaan dan lain-Iain. Dalam bentuk yang ekstrim, persamaan di hadapan hukum miniadakan segala bentuk privilege atas dasar kedudukan atau suatu Iatar belakang. Karena pada dasarnya tuntutan persamaan di hadapan hukum merupakan bagian dari tuntutan terhadap hubungan antara yang berkuasa (the ruling) dengan rakyat (the ruled), maka tidak mungkin memisahkan antara persamaan di hadapan hukum dan persamaan di hadapan pemerintahan. Persamaan di hadapan pemerintahan berintikan antara Iain persamaan perlakuan hukum, persamaan kesempatan (ikut serta dalam pemerintahan) dan lain-Iain persamaan.

     3. Teori-teori atau konsep-konsep di balik konsep persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.  Ada berbagai teori atau konsep yang mendasari konsep persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan, antara Iain: a. Teori atau konsep negara hukum.

b. Teori atau konsep demokrasi.

c. Teori atau konsep negara berkonstitusi(konstitusionalisme).

d. Teori atau konsep hak asasi manusia.

Download

Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 pasal?

  1. 27 ayat 1
  2. 29 ayat 2
  3. 27 ayat 2
  4. 31 ayat 1

Kunci jawabannya adalah: A. 27 ayat 1.

Menurut ensiklopedia, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan. hal tersebut diatur dalam uud 1945 pasal 27 ayat 1.

Kemudian saya sarankan Anda untuk baca pertanyaan selanjutnya yaitu Yang menyebabkan terjadinya keberagaman bahasa daerah di Indonesia adalah factor berikut, kecuali? beserta kunci jawabannya.

Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan dalam pemerintahan tertuang dalam UUD 1945 pasal?

  1. 27 ayat 1
  2. 29 ayat 2
  3. 30 ayat 1
  4. 27 ayat 3

Kunci jawabannya adalah: A. 27 ayat 1.

Menurut ensiklopedia, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan dalam pemerintahan tertuang dalam uud 1945 pasal 27 ayat 1.

Kemudian saya sarankan Anda untuk baca pertanyaan selanjutnya yaitu Hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok disebut dengan? beserta kunci jawabannya.

Problem Kunci

“Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Makna equality before the law ditemukan di hampir semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik, Namun menegakkan equality before the law bukan tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis dan politis, atau hambatan sosiologis dan psikologis. maka diadakannya kegiatan kuliah umum ini dalam rangka memberikan pencerahan terkait dengan solusi – solusi permasalahan tersebut.”

I. Dasar Hukum Konsep EBL dalam Peradilan di Indonesia
Equality Before the Law (selanjutnya, untuk memudahkan penulisan disebut EBL) adalah konsep yang sangat universal (berlaku dimana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal EBL sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan tekstual, EBL tertulis dalam dokumen hukum yang induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang ditempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah dimuka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum.

Lebih jauh, salah satu unsur penting dalam hukum adalah substansinya yang patut memuliakan manusia, dalam bahasa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebut sebagai Kehormatan Manusia (Human Dignity). Pada rejim hukum HAM, EBL adalah tema yang historis memiliki sejarah yang panjang. Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktik buruk dan penggunaan hukum sekedar untuk melayani kemauan penguasa. Hal ini kemudian menjadi dasar perlawanan berbagai korban, komunitas terdampak yang menyuarakan hak asasi mereka. Konsolidasi pengakuan HAM, misalnya, bisa dilihat dari kemunculan DUHAM pada 1948. Pada DUHAM tersurat kuat penolakan terhadap praktik diskriminasi (pasal 2). lebih luas, pada DUHAM digunakan “setiap orang…” artinya tidak boleh ada pengecualian hak terutama atas hak yang dibutuhkan bagi eksistensi manusia untuk hidup lebih martabat, termasuk menolak diskriminasi hukum.

EBL merupakan salah satu konsep untuk melawan diskriminasi, sebagaimana tergambar di atas. Upaya melawan praktik ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab Negara. Penjelasannya adalah, pertama, setiap negara atau otoritas harus mendasarkan kekuasaan dan pengaturannya berdasarkan pada hukum. Bagi Indonesia, hal ini bisa dilihat dari pasal 1 ayat 3 UUD 19945, yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Kedua, hukum tersebut harus berlaku bagi setiap orang, bukan sekedar warga negara. Pasal 28D menyebutkan bahwa ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Sedangkan pasal 27 (1) menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Dari kedua pasal diatas, bisa digambarkan bahwa ada perlakuan, yang seharusnya, sama baik bagi setiap orang maupun bagi setiap warga negara. Perbedaannya, pada pasal 27 (1) ada dalam bab Warga Negara dan Penduduk. Sementara pada pasal 28D berada pada bab HAM. Artinya, kesetaraan dimata hukum adalah sesuatu yang mendasar baik untuk tanggung jawab negara terhadap setiap orang yang berada di Indonesia, atau bahkan dalam konteks global (misalnya, disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, ‘..turut serta menjaga perdamaian dunia..”) dan bagi warga negaranya.

Turunan konstitusi dalam hukum atas kepastian EBL bisa dilihat dalam UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 4 (1) yang menyebutkan ‘Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang’. Undang-undang ini menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan Peradilan yang berada dibawahnya seperti peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Termasuk peradilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, seperti pengadilan HAM, pengadilan anak, pengadilan hubungan industrial, pengadilan perikanan, pengadilan tindak pidana korupsi dan pengadilan niaga (pasal 18, pasal 25 dan pasal 27). Selain Mahkamah Agung, juga secara sejajar Kekuasaan Kehakiman berlaku bagi Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian sudah jelas bahwa Peradilan di Indonesia dalam hal ini melalui Mahkamah Agung dan Badan-badan Peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi mengemban tugas menjamin persamaan setiap orang di muka hukum (Equality Before the Law).

II. Praktik Peradilan di Indonesia
Praktik peradilan di Indonesia tidak menunjukkan gambar yang mulus dalam menjamin EBL terpenuhi bagi setiap orang di Indonesia. Pada bagian ini untuk menggambarkan problem EBL akan fokus pada sejauh mana peradilan dapat diakses bagi orang miskin atau bahkan peradilan justru menjadi sesuatu yang mengerikan bagi warga pada umumnya.

Sejumlah problem bisa dilihat, dimulai dari, Mahkamah Agung itu sendiri yang menjadi ujung penanggung jawab akses keadilan. Mahkamah Agung dalam upaya memastikan rencana kerjanya pada 2010 membuat ‘Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2010-20135’ yang memuat sejumlah problem, diantaranya,

“[..] dari penilaian organisasi atau Organizational Diagnostic Assessment (ODA) pada tahun 2009, kinerja lembaga peradilan tetap mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain mengenai informasi proses peradilan yang tertutup, biaya berperkara yang tinggi, masih sulitnya akses masyarakat miskin dan terpinggirkan, serta proses penyelesaian perkara yang dirasakan masih sangat lama.” (hal. 3)

Demikian pula dengan masyarakat internasional seperti World Justice Project yang setia menguji performa peradilan di 46 negara, termasuk Indonesia, terutama pada konteks Access to Justice (Akses Keadilan). Survei yang dilakukan bertujuan untuk memotret bagaimana warga pada umumnya berurusan dengan masalah hukum, konflik-konflik hukum, penilaian dari warga atas proses penyelesaian konflik baik secara formal maupun informal serta pengalaman orang-orang yang tidak mencari bantuan hukum atau yang tidak bisa menyelesaikan masalah hukumnya. Temuan dari survei WJP teranyar (2017) adalah 26 persen dari responden mengalami insiden masalah hukum selama dua tahun terakhir; dari 26 persen di atas, terdapat dua persen di mana salah satu pihak mengalami kekerasan; dari jumlah 26 persen, hanya 8 persen yang mencari bantuan hukum (ke negara atau pihak ketiga) untuk penyelesaian masalahnya, sementara 92 persen tidak melakukannya; dari 8 persen yang mencari bantuan hukum hanya 79 persen yang mendapati penyelesaian atas persoalan hukumnya; dari yang selesai tersebut didapati hasil survei bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah 1,98 bulan; mengalami kesulitan uang untuk membayar biaya penyelesaian masalah sebanyak 4 persen; menyatakan puas sebanyak 90 persen. Dari 8 persen tersebut ada 88 persen tahu kemana harus mencari nasihat hukum, 93 persen yakin akan mendapatkan hasil yang adil dan 78 persen mendapatkan bantuan dari ahli yang mereka butuhkan.

Sementara catatan dari kalangan masyarakat, terutama dari kalangan pekerja bantuan hukum dan organisasi advokasi Hukum dan HAM, didapati sejumlah masalah yang menggambarkan persoalan bahwa hukum dan proses peradilan bukan menjadi pelindung akan tetapi justru sebagai senjata yang mendiskriminasi warganya. Catatan ini dibuat melalui riset dan gelar perkata di 10 kota di Indonesia, proses ini dilakukan khusus sebagai respon atas maraknya, apa yang sering disebut sebagai kriminalisasi terhadap berbagai kalangan dari yang minoritas, rentan hingga bernuansa politis serta memiliki kepentingan bisnis. Catatan tersebut terdiri dari 3 bagian; pra-judicial process (sebelum memasuki pengadilan), proses pengadilan dan pembutkian, dan terakhir pada bagian vonis.

Pada bagian pertama, didapati temuan Bantuan Hukum yang tidak memadai, seringkali ditunjuk secara sepihak oleh oknum aparat penegak hukum untuk sekedar formalitas, atau ditunda pemberiannya. Bahkan dalam beberapa kasus bantuan hukum sama sekali tidak diberikan oleh aparat penegak hukum; Tidak ada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), Tidak ada/penundaan surat penangkapan dan penahanan, Pelapor tidak jelas, Pasal yang disangkakan tidak jelas/dipaksakan; Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak diberikan, Rekayasa rekonstruksi kasus. Kedua, pada bagian Alat bukti, didapati sejumlah hal, sebagai ciri adanya kriminalisasi; Penyiksaan untuk pengakuan, Alat bukti dan barang bukti palsu, hanya menggunakan saksi penyidik, Saksi dari tersangka kasus yang sama. Ketiga, pada bagian vonis, dimana ciri-cirinya adalah Saksi meringankan (a de charge) tidak dipertimbangkan oleh Hakim, Hakim mengabaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut, Pertimbangan Hakim tidak sinkron dengan bukti yang diterima, Kesalahan penerapan hukum. (hal 13-18)

Terbaru adalah hasil dari Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) pada 2018, selain memotret sejumlah kemajuan institusional dari Reformasi Peradilan, juga masih mencatat sejumlah tantangan kedepan, sebagaimana digambarkan dibawah ini,
“Pembaruan peradilan masih dipahami sebagai tanggung jawab lembaga pengadilan semata dan belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama seluruh lembaga peradilan, APH, advokat, lembaga pendidikan hukum, dan masyarakat sipil.

Pembaruan peradilan baru dirasakan menyentuh secara luas pada lembaga pengadilan, khususnya di MA. Pembaruan peradilan belum menjangkau pengadilan ditingkat bawah sebagai cermin pertama lembaga pengadilan di hadapan publik, serta lembaga-lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya.

Pembaruan peradilan baru berjalan secara institusional khususnya di lembaga pengadilan pada beberapa area dan tingkatan strategis, dan belum menjangkau pada pembaruan hukum yang menyeluruh dan terintegrasi. Hal ini terjadi karena keadaan Cetak Biru Pembaruan Hukum sebagai pemandu, serta belum optimalnya sinergitas prioritas pembaruan hukum oleh masing-masing cabang-cabang kekuasaan (DPR, Pemerintah dan lembaga yudikatif).

Pelayanan peradilan masih diwarnai dengan adanya kriminalisasi, pungutan liar, biaya beracara yang tidak jelas, jadwal sidang yang tidak menentu, putusan yang tidak konsisten/inkonsistensi putusan, serta ketertutupan informasi untuk pihak di luar pihak yang berperkara.

Aparatur lembaga peradilan belum seluruhnya menyadari sumber mandat dan tujuan utama proses peradilan dan penegakan hukum.
Advokasi pembaruan peradilan yang dilakukan oleh masyarakat sipil belum sepenuhnya terstruktur dan menyentuh pada persoalan subtansial dengan menggunakan data-data lembaga penegak hukum secara maksimal.

Pelaksanaan dan hasil program-program pembaruan peradilan belum sepenuhnya diketahui secara luas oleh publik, melainkan terbatas hanya pada pihak-pihak yang intens memberikan asistensi program pembaruan.” (hal 18-19)

III. Kesimpulan dan Peluang EBL dimasa depan
Pemaparan di atas menggambarkan bahwa sejumlah temuan yang persistent (sudah berlangsung lama dan masih terjadi hingga hari ini); pertama, persoalan peradilan bukan hak yang merata dirasakan, bisa diakses atau terinformasikan bagi setiap orang di Indonesia. Dengan kata lain EBL tidak ter-ejawantahkan dengan baik dan otomatis hanya dengan modal norma hukum, institusi dan penyediaan Sumber Daya Manusia; kedua, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi peradilan yang menghambat pemenuhan dan pelaksanaan EBL seperti masalah ekonomi dan pendidikan warga sebagai penikmat peradilan, bahkan masalah pendidikan juga menjadi problem di kalangan para penegak hukum. Masalah politis juga muncul sebagai penekan berjalannya proses peradilan terutama pada kasus Kriminalisasi. Dalam pra Judicial process, melibatkan Polisi, di mana Polisi bekerja berdasarkan perintah komandan. Seringkali prinsip hukum kalah dari model perintah seperti ini. Sementara pihak pengadilan jarang berani melakukan koreksi atas kesalahan dalam penyidikan oleh Kepolisian. Artinya SDM Pengadilan belum secara total menjadi independen dan obyektif; Ketiga, masalah minimnya perubahan aturan (terutama hukum acara dalam berproses dalam peradilan). Meskipun di satu sisi disediakan Mahkamah Konstitusi untuk menguji dan mengubah aturan main hukum, namun hal ini tidak menjamin tumbuhnya kepercayaan masyarakat atas hukum dan aksesibilitas masyarakat pencari keadilan untuk dengan mudah menggunakan dalam kepentingan haknya.

Lalu apa yang tersisa untuk membangun optimisme perlindungan EBL pada sistem peradilan? Ada banyak yang bisa dijadikan rekomendasi untuk mendorong optimisme melawan persoalan diatas. Beberapa diantaranya berupa, pertama, meningkatkan kualitas pekerja atau praktisi hukum yang memiliki wawasan baik dalam memahami prinsip hukum tanpa berbasis kepentingan politis atau ekonomi semata. Memiliki keberanian dan independen dalam menjalankan praktik hukum; memiliki kemampuan untuk melihat hukum yang harus berpihak pada yang membutuhkan, bukan sekedar yang mampu membayar atau menjadikan hukum sebagai obyek kontraktual (pelayanan jasa semata); memastikan semua syarat di atas berjalan merata pada profesi-profesi hakim, penuntut umum, advokat, polisi dll. Kedua, kontribusi akademisi dalam membangun diskursus yang mendalam, bernalar namun juga mudah dipahami oleh masyarakat, dalam konteks pendidikan publik. Bahkan jika perlu mendorong keberanian masyarakat untuk berargumentasi dan mengakses hukum. Ketiga, pengawasan pada mekanisme peradilan bisa berjalan, baik institusi-institusi pengawasnya (seperti komisi etik organisasi profesi, komisi-komisi negara dan badan pengawas internal institusi) maupun pengawas politis seperti DPR dan Presiden sebagai kepala negara bisa optimal dalam mengawasi dan mendesak transparansi institusi peradilan, untuk itu penting bagi masyarakat untuk dekat dan cerdas dalam proses politik yang menghasilkan kepemimpinan nasional, melalui Pemilu. Karena dengan hasil pemilu yang baik, bukan sekedar proses pemilunya yang baik, akan menghasilkan pemimpin yang sadar dan berpihak pada penegakan hukum.

***

Sumber bacaan dan data: • Dr. Jaenal Aripin, MA, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, 2010 • World Justice Project, Global Insight of Access to Justice, Findings from the World Justice Project General Population Poll in 45       Countries, 2018 • Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, 2010

• KontraS, YLBHI, PSHK dkk, Kriminalisasi Modus dan Kasus-kasusnya di Indonesia, 2016

admin2022-03-17T19:02:28+07:00

2016 -    |   Lokataru Foundation