Kalimat riya’ di ambil dari asal kata ru’yah yang artinya seseorang menyukai jika dilihat oleh orang lain. Lalu dirinya beramal sholeh dengan tujuan supaya mereka memujinya. Perbedaan antara riy’a dengan sum’ah adalah kalau riya’ dari amal perbuatan yang kelihatannya dilakukan karena Allah Shubhanahu wa ta’alla namun bathinnya berniat supaya diperhatikan orang, seperti halnya orang yang sedang melakukan sholat atau bersedekah. Adapun sum’ah ialah memperdengarkan perkataannya yang secara dhohir untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla namun, dirinya mempunyai tujuan untuk selain -Nya, seperti halnya, orang yang sedang membaca al-Qur’an atau berdzikir, berceramah, serta lainnya dari amalan lisan. Tujuan orang yang berbicara tadi adalah supaya didengar perkataannya oleh orang lain sehingga mereka memujinya seraya mengatakan dirinya luar biasa dalam menyampaikan materi, atau khutbahnya sangat mengena, atau suaranya sungguh indah tatkala membaca al-Qur’an…demikian seterusnya. Adapun makna ra’allah dan sam’a dalam hadits diatas, dijelaskan oleh beberapa ulama :
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Abu Hindun ad-Daari radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
Dan riya’ ini bisa terjadi, ada kalanya ketika seseorang menginginkan supaya dipuji dan disanjung sama orang lain, bahkan bisa terjadi manakala dirinya berusaha menghindar dari celaan mereka. Seperti halnya, seseorang yang memperbagusi sholatnya supaya tidak dikatakan sholatnya ngebut, cepat sekali. Atau ingin menguasai kepunyaan orang lain. Yang membenarkan hal tersebut adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita :
Perkataan penanya: " Karena pemberani ". Maksudnya dirinya berangkat jihad supaya dikenal dan dikenang sebagai seorang pemberani. Adapun ucapannya: " Berperang untuk membela ". Maksudnya perangnya bertujuan untuk membela keluarga, atau kabilah, kerabat, atau temannya. Atau kemungkinan kedua maksud ucapannya bisa diartikan berperang untuk membela diri dari mara bahaya. Sedangkan ucapannya: " Berperang supaya dilihat ". Maksudnya supaya dilihat kedudukannya dimata manusia. Orang pertama jelas, adapun orang kedua karena dirinya sum’ah sedangkan yang terakhir karena riya’, maka semuanya tercela. Dan riya’ ini sejatinya adalah syirik yang tersembunyi. Seperti diterangkan dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Mahmud bin Labid radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya, lalu bersabda :
Hanya saja dinamakan riya’ dengan perbuatan syirik yang tersembunyi, dikarenakan pelakunya menampakan dimata orang lain amalannya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla , namun dirinya mempunyai tujuan untuk selain -Nya atau bahkan untuk yang disekutukan. Dan dirinya memperbagusi sholat untuknya, sedangkan niat, tujuan serta amalan hati itu tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla . Bahaya Riya’:Riya’ juga termasuk syirkun asghar (syirik kecil). Sebagaimana dipaparkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari sahabat Mahmud bin Labid radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
Artinya amalan orang yang berbuat riya’ itu hilang, di mana kelak pada hari kiamat mereka disuruh untuk mendatangi orang- orang yang dirinya berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu dikatakan padanya: 'Lihatlah apakah kalian mendapati ganjarannya ". Maksudnya mereka-mereka yang kalian berusaha untuk memperbagusi amalan dihadapannya ketika didunia, apakah kalian mendapati disisi mereka pahala?!. Seorang penyair berkata dalam qosidahnya : Tiap orang akan mengetahui seluruh perbuatannya " Sesungguhnya tidak ada yang paling aku khawatirkan atas kalian dari pada syirik kecil". Para sahabat bertanya: "Apa syirik kecil itu wahai Rasulallah? Beliau berkata: "Riya’. Allah ta’ala kelak akan berkata pada hari kiamat apabila manusia telah menerima balasan selaras amalannya masing-masing: ‘Pergilah kalian kepada orang- orang yang kalian berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu lihatlah apakah kalian menjumpai disisinya balasan ?! HR Ahmad 39/39 no: 2363. Artinya amalan orang yang berbuat riya’ itu hilang, di mana kelak pada hari kiamat mereka disuruh untuk mendatangi orang- orang yang dirinya berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu dikatakan padanya: 'Lihatlah apakah kalian mendapati ganjarannya ". Maksudnya mereka-mereka yang kalian berusaha untuk memperbagusi amalan dihadapannya ketika didunia, apakah kalian mendapati disisi mereka pahala?!. Seorang penyair berkata dalam qosidahnya: Tiap orang akan mengetahui seluruh perbuatannya Jika sampai di sisi Allah yang Maha Mengetahui Dampak terburuk dari perbautan riya’ ini adalah akan memasukan pelakunya ke dalam neraka. Sebagaimana di tegaskan dalam hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
Al-Hafidh Ibnu Rajab menjelaskan :
Itu menunjukan bahwa perbuatan riya’ termasuk kategori perbuatan syirik, dan itu dikarenakan orang yang berbuat riya’ tidak mengetahuinya melainkan kebodohannya akan ke agungan Sang Pencipta". Catatan:Dalam hal ini ada dua catatan penting yang harus diperhatikan: Pertama : Bahwa senangnya seorang hamba manakala dipuji oleh orang lain sedangkan dirinya sama sekali tidak bermaksud supaya dipuji, maka keikhlasan dirinya tidak aib sama sekali. Selagi dirinya memulai amalannya dengan ikhlas, dan keluar dari ibadah itupun rasa ikhlasnya terus mengirinya. Dalilnya adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata :
Ibnu Rajab menjelaskan: "Apabila ada orang yang beramal suatu amalan karena Allah Shubhanahu wa ta’alla secara ikhlas kemudian -Dia menempatkan padanya pujian yang baik dihati orang yang beriman dengan sebab amalannya tersebut, kemudian dirinya merasa bahagia dengan karunia dan rahmat serta kabar gembira yang diberikan Allah Shubhanahu wa ta’alla padanya, maka hal tersebut tidak mengganggu keikhlasannya". Kedua : Seorang mukmin tidak meninggalkan suatu ibadah karena orang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menuturkan: Referensi
|