Selisih harga satuan dengan harga borongan apakah riba

<English version coming soon>Beli (syira’/ bai’, buy / purchase) dimana transaksinya disebut jual beli (bai’ah / tijarah, sale / trading) sedangkan sewa (ujrah , rent / hire) dimana transaksinya dinamakan sewa menyewa (ijarah , rental / tenancy). Perbedaan Sewa dan Beli sudah tentu jelas sekali, mudah dipahami, dan sudah berlangsung wajar dan normal dalam praktek muamalah kehidupan manusia sepanjang sejarah. Sehingga tidak mungkin untuk mengaburkan definisi keduanya. Jika seseorang mengatakan “saya mau beli barang ini”atau “saya mau sewa barang ini” maka kalimat tersebut sudah umum dan mudah dipahami maksud dan hakikatnya. Nanti kita akan mengerti, justru di akhir zaman ini sebagian manusia dengan cerdik pandainya mulai membuat muslihat baru untuk mengaburkan pengertian antara beli dan sewa dalam rangka merampas dan memakan harta sesamanya dengan cara yang batil (invalid , illegal). Akal setiap Muslim adalah sehat dan fitrah sehingga tidak bisa dikalahkan dengan trik-trik logika jahiliyah seperti itu.

Jika seseorang ingin memiliki hak penuh atas suatu barang maka dia akan membelinya dengan membayar harga jualnya, dan apabila dia cuma ingin memakainya yaitu mengambil manfaatnya kemudian mengembalikan barang tersebut maka dia akan menyewanya dengan membayar harga sewanya. Sangat sederhana dan sangat mudah membedakannya bukan ? kondisi keduanya sangat berbeda baik dalam hak, kewajiban, status, harga, dll.

Beli, membeli sesuatu sehingga memilikanya dengan hak penuh tetapi membayarnya dengan tidak kontan atau dengan mencicil (kredit) tentu merupakan suatu bentuk hutang (qardl , debt) dan menjadi kewajiban bagi si pembeli untuk melunasinya kepada si penjual. Si penjual berhak meminta jaminan / gadai pembayaran (rahn , collateral / guarantee) terhadap hutang tersebut. Hutang piutang di sini terjadi karena jual beli berlangsung dengan kredit. Posisi debitur tetap mendapatkan materi dan hak milik terhadap obyek barang atau jasa yang dibeli tersebut. Bentuk umum lainnya dari hutang piutang adalah berupa pinjaman uang (loan) dimana debitur mendapatkan materi dan hak milik dalam bentuk dana cair atau uang. Kedua-duanya adalah muamalah hutang piutang yang hakekatnya sama termasuk ke dalam al-qardl yang segala sesuatunya telah diatur dengan jelas di dalam Syariat Islam.

Sewa, ya sekedar menyewa saja dengan membayar harga sewa. Begitu sewa selesai barang dikembalikan, atau upah dibayar kalau fungsinya berupa pemakaian jasa. Terhadap total nilai obyek maka tidak ada bentuk jaminan (collateral) di dalam transaksi sewa, tidak ada hutang piutang, tidak ada kewajiban pelunasan, tidak ada serah terima kepemilikan, tidak ada biaya garansi kerusakan / kehilangan / kehancuran, dst. dimana ketiadaan unsur-unsur tersebut berbeda sama sekali kondisionalnya dengan transaksi jual beli di atas.

Sebagi ilustrasi, misal A adalah pemilik sebuah rumah. Lalu B datang bermaksud untuk membeli rumah tersebut, maka A akan menawarkan harga jual pasaran misal 10 Milyar. Berbeda saat C datang untuk menyewa bulanan rumah tersebut, maka A akan menawarkan harga sewa pasaran misal 10 juta per bulan tanpa dikait-kaitkan dengan harga jual rumahnya. Jadi sangat sederhana dan mudah dibedakan. O iya kenapa harus harga pasaran ? Syari’at Islam mengatur kehidupan manusia termasuk muamalahnya dengan logis, natural, wajar, adil , dan rahmatan lil ‘alamin. Kalau harga jual atau sewa dibuat di atas harga pasaran tentu tidak ada yang ambil dong.

Misalkan kemudian situasinya berkembang, B tidak mampu membayar kontan dan bermaksud mengkreditnya, maka status rumah tersebut berubah menjadi milik B karena sudah dibeli, sedangkan pembayarannya dengan cicilan misal 165 juta per bulan selama 5 tahun maka menjadi suatu bentuk hutang-piutang (Qardl). Di dalam hutang piutang tersebut tidak boleh ada unsur riba di dalamnya. Harga kredit tidak boleh berbeda dengan harga kontan dan jika berbeda maka harus dipilih yang termurah agar tidak jatuh ke dalam riba. Pada muamalah sewa pun apabila saat mengalami penunggakan bayar sewa lalu dikenakan tambahan biaya maka jatuhnya riba nasi’ah. Namun sebagian manusia dan cerdik pandainya masih saja senantiasa dan terus menerus berbuat zalim kepada sesamanya untuk memperoleh laba atau keuntungan dengan cara mengangkat harga berlebih bahkan berlipat di atas harga pasaran melalui trik mekanisme RIBA. Time due of money yaitu beternak uang seiring berjalannya waktu adalah riba yang Allah dan Rasul-Nya jelas-jelas telah mengharamkannya bahkan memeranginya. Dosa riba paling ringan, 1 dirham riba yang diambil (sekitar 40 ribu rupiah) setara dengan berzina dengan ibu kandungnya sendiri atau 36 kali berzina. Riba yang dimakan tadi kelak di Akhirat akan menjadi ular-ular yang mengisi dan mengoyak-oyak isi perutnya sebagai balasan atas kezalimannya semasa hidup di dunia. Silahkan simak video singkat berikut :

Ilustrasi berikut ini untuk menggambarkan sesuatu yang unlawful, illegal, dan evilist. Saat B telah membeli rumah A dengan kredit, lalu A berusaha membuat klaim jahat (evilist) dengan mengatakan kalau B sebenarnya cuma penyewa saja dengan harga sewa 165 juta per bulan sehingga rumah tetap menjadi milik A, tentu kalaim A ini unlawful. Contoh lain, misal C telah menyewa 10 juta per bulan selama 20 tahun lalu mengklaim kalau rumah tersebut menjadi hak milik C, tentu klaim C juga unlawful. Akal sehat akan sangat mudah membedakan antara sewa dan beli.

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Tapi di akhir zaman ini, sebagian manusia dan cerdik pandainya masih saja mengulangi kesalahan untuk berbuat dosa-dosa besar (al-kabair) dengan mencari celah (loopholes) dari hukum-hukum Allah dengan membuat kalimat-kalimat sihir yang hina agar mereka merasa terbenarkan oleh logika sesatnya. Apakah yang saya maksudkan ? yaitu melakukan gharar dengan mengaburkan dan mencampuradukkan transaksi jual beli dengan sewa menyewa. Kemudian mereka mereka merasa aman dan bisa mengatakan “kami tidak berakad berjual beli tapi kami telah mengubahnya menjadi akad sewa. Allah hanya melarang orang yang menyamakan jual beli dengan riba. Tapi kalau akad sewa berarti tidak ada ribanya.” Sesungguhnya mereka itu hanya menipu dirinya sendiri dan bisa terjebak dalam pembenaran akalnya hingga ajal kematiannya. InsyaAllah bagi Mukmin yang dikaruniai bashirah melalui Nur Ilahi akan bisa melihat dengan jelas sekali bahwa orang-orang yang telah menghalalkan riba khususnya cerdik pandai mereka yang sengaja berbuat trik dan logika sesat maka Allah merubah sifat dan wajah mereka menjadi KERA (qirdun, apes) yang hina (khasi’in, disgraced).

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu. Pada hari Sabtu datang kepada mereka ikan-ikan dengan terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina.” (Al-A’raf :163-166).

Kaum terkutuk pada peristiwa Sabath di atas, mereka membuat sebuah trik dan logika sesat untuk menyalahi larangan Allah yaitu sebelum hari Sabtu mereka membuat jebakan ikan berupa saluran dimana air laut bisa mengalir ke dalam kolam tangkapan sehingga ikan-ikan akan terjebak di dalam jaring. Pada hari Sabtunya mereka tetap terlihat taat bersembahyang kepada Allah dan tidak bekerja untuk menangkap ikan. Mereka kemudian mengumpulkan ikan-ikan yang tertangkap di jaring tadi pada hari Minggunya. Oleh sebab itulah mereka menerima pahalanya berupa kutukan dari Allah.

Berjual beli dengan wajar dan normal dan tentunya tetap bisa memperoleh keuntungan secara halal, diantaranya dengan contoh-contoh jual beli sebagai berikut:

·        Membangun sendiri rumah atau perumahan dengan nilai biaya konstruksi kemudian menjualnya dengan harga pasar. Biasanya margin antara biaya membangun versus harga jual pasaran berkisar antara 30 s/d 40%.

·        Membeli dengan harga borongan kemudian menjualnya dengan harga satuan pasaran. Misal sebuah dealer mobil membeli borongan 10 unit kendaraan dengan harga 10 Milyar kemudian menjualnya per unit dengan harga pasaran 1,1 s/d 1,2 M. Keuntungannya bisa berkisar antara 10 s/d 20%.

·        Membeli barang bekas kemudian merenovasinya lalu menjualnya dengan harga pasaran yang lebih baik keuntungannya, bisa berkisar antara 20 s/d 50%.

·        Mencari, menawar, dan membeli barang dengan harga murah karena dijual butuh kemudian menjualnya dengan harga pasar. Keuntungannya bisa berkisar antara 40 s/d 100%.

·        Membeli bahan mentah kemudian mengolahnya menjadi barang jadi.

·        Membeli suatu barang kemudian memberikan added value pada barang tersebut dengan suatu teknologi sehingga bisa menjualnya dengan lebih mahal.

·        Berserikat dalam suatu usaha atau bisnis dengan berbagi untung dan rugi sesuai porsi sahamnya.

·        Berinvestasi dalam suatu bisnis dengan pembagian hasil yang disepakati baik berupa keuntungan maupun kerugian.

·        Dan masih banyak contoh yang bisa diberikan tentang bagaimana Allah meluaskan rizki melalui mauamalah jual beli secara halal dan barakah.

Namun diantara manusia ada yang malas berusaha kemudian berbuat beternak uang tanpa mau risiko pada hartanya dengan membuat proteksi-proteksi hukum ribawi sehingga seakan-akan uang bekerja untuknya (?) padahal manusia sesamanyalah yang bekerja diperbudak dan dizalimi untuk menambah tumpukan uang harta kekayaannya melalui hutang piutang riba. Padahal disisi Allah harta riba tersebut adalah musnah dan membinasakan, sedangkan sadaqah adalah tumbuh dan menyuburkan (berkah).

Berbagai bentuk dan variasi riba di dalam jual beli terjadi di dalam masyarakat modern akhir zaman ini termasuk diantaranya bunga hutang (pinjaman), denda hutang, bunga deposito, menumpuk stok barang lalu menjualnya saat jumlah barang di pasar menipis, menaikkan terus harga jual suatu barang secara pemasaran berantai melalui brokership (calo), investasi dg keuntungan pasti, spot market trading, dll. Sebagai akibat dari sistem transaksi yang berdasarkan riba terhadap makro ekonomi akan menyebabkan terjadinya inflasi , resesi, dan depresi ekonomi di suatu masyarakat , negara, ataupun dunia.

Pada akhir zaman ini terjadi suatu bentuk kezaliman di dalam muamalah jual beli dengan mengaburkannya menjadi sewa menyewa agar mereka bisa memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil.

1.     Menyulap akad jual beli kredit menjadi akad sewa beli. Padahal status kepemilikan, biaya, harga, hak, kewajiban, dll. antara beli vs. sewa adalah berbeda sama sekali.

2.     Mengkorup hak kepemilikan dari pembeli obyek menjadi hanya hak penyewa.

3.     Manipulasi matematis yaitu akadnya berbentuk sewa (ijarah) tapi dihitung sebagai hutang terhadap total harga jual obyek, sehingga sebenarnya harga sewa dimaksud adalah harga beli kredit yang dimanipulasi.

4.     Mengaburkan transaksi hutang piutang (qadrh , loan) menjadi istilah sewa (ijarah, rent) padahal di dalam ijarah tidak ada unsur hutang piutang, jaminan obyek, jaminan sertifikat, biaya asuransi , biaya perbaikan kerusakan, dll. yang mana hanya ada di dalam akad jual beli.

5.     Riba nasi’ah yaitu total hutang atau pinjaman bertambah seiring waktu karena biaya sewa tadi (ujrah) yang pada hakekatnya adalah tambahan bunga (riba), misal jika dilunasi kontan = 10 M, 1 tahun = 11 M, 10 tahun = 19 M , 20 tahun = 24 M.

6.     Menzalimi pembeli dengan bunga anuitas sehingga pembayaran kredit di awal 90% menjadi bunga kreditur. Misal pembayaran sudah masuk 5 Milyar maka 4,4 Milyar menjadi bunga kreditur. Level kejahatannya (evilist) berada jauh melebihi riba jahiliah.

7.     Dan seterusnya.

Akhir-akhir ini juga muncul pemikiran baru terkait riba dimana sebuah develepor boleh menawarkan harga jual total berbeda-beda antara kontan dan kredit asalkan akadnya disepakati satu harga. Mereka menyamakan hal tersebut dengan proses tawar menawar harga (bargain) dimana terjadi beberapa harga tawar lalu disepakati satu harga. Menaikkan harga karena perjalanan waktu (time due of money) adalah riba nasi’ah baik terjadi di awal, di tengah, ataupun di akhir waktu masa pinjaman (hutang). Ini adalah riba melewati pintu belakang (backdoor riba).

Sebagi penutup, di bawah ini saya mencantumkan beberapa dasar hukum dan regulasi Ijarah di Indonesia sebagai kelengkapan referensi.

1.     … menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; (UU 21 / 2008 , Bab I - 25.a )

2.     Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. (UU 21 / 2008 , BAB I.1.13)

3.     Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. (UU 21 / 2008 , BAB I.1.12)

4.     Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (UU 21 / 2008 , BAB IV.26.2)

5.     Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, … (UU 21 / 2008 , PENJELASAN I. UMUM)

6.     riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); (UU 21 / 2008 , PENJELASAN I. UMUM , Pasal 2.a.)

7.     gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; (UU 21 / 2008 , PENJELASAN I. UMUM , Pasal 2.c.)

8.     zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. (UU 21 / 2008 , PENJELASAN I. UMUM , Pasal 2.e.)

9.     …bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrag), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri; (Fatwa DSN NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 , Ijarah , Menimbang a.) <komentar: eksistensi sewa berangkat dari kebutuhan konsumen yg memang maksudnya untuk menyewa barang / jasa>

10. “Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu obyek.” (Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 , IMBT , Mengingat 5.)

11. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. .” (Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 , IMBT , Memutuskan Kedua 1.)

12. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد ) yang hukumnya tidak mengikat. (Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 , IMBT , Memutuskan Kedua 2.) Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai. . (Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 , IMBT , Memutuskan Kedua 2.)

13. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 , Al-Qardh, Menetapkan pertama 2.)

14. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 , Al-Qardh, Menetapkan pertama 5.)

15. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat: a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 , Al-Qardh, Menetapkan pertama 6.)

16. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 , Al-Qardh, Menetapkan pertama 4.)

17. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, Murabahah , Menetapkan Pertama 1.)

18. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, Murabahah , Menetapkan Pertama 4.)

19. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, Murabahah , Menetapkan Ketiga 1.)

20. Utang dalam Murabahah: (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, Murabahah , Menetapkan Keempat 2.)

21. Bangkrut dalam Murabahah: (Fatwa DSN NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, Murabahah , Menetapkan Keenam.)

22. Bunga (Interest/fa‟idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di perhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. (Fatwa MUI 1 Tahun 2004, Bunga Bank, Memustuskan Pertama 1.)

23. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi‟ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Fatwa MUI 1 Tahun 2004, Bunga Bank, Memustuskan Kedua 3.)

Wallahu a'lam bishshawab.

Rahmat, 3 January 2020

Bagaimana Hukum jual beli secara borongan?

Hukumnya haram dan akadnya tidak sah (batal).

Bolehkah menjual barang dengan dua harga?

Jual beli jenis ini dilarang oleh agama. Beberapa hadis melarang mengumpulkan dua jual beli dalam satu transaksi (misalnya HR Turmudzi). Dari sini, banyak orang menyatakan bahwa jika kita menjual dengan dua harga berbeda seperti Anda sampaikan maka itu adalah dilarang.

Kapan jual beli hukumnya menjadi haram?

Kezaliman dari salah satu pihak Kezaliman dari salah satu pihak bisa membuat hukum jual beli tersebut menjadi haram. Misalkan ketika ada main curang pada sisi penjual yang mengganti buah menjadi yang telah busuk ketika akad sudah terjadi. Atau ketika seorang pembeli menggunakan uang palsu ketika membayar.

Apa sajakah yang menyebabkan jual beli menjadi haram untuk dilaksanakan?

Adapun sebab-sebab dilarangnya jual beli adalah; 4. Jual beli mengandung mudharat, misalnya jual beli barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain. 5. Jual beli barang yang tidak dimiliki oleh si penjual, atau barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan. 6. Jual beli mengandung unsur riba.