Sebutkan nama nada slendro dan pelog dalam titilaras kepatihan

Dalam seni karawitan, titi laras memegang peranan yang penting dan praktis, sebab dengan menggunakan titi laras kita dapat mencatat lagu atau gending, mempelajarinya, dan kemudian menyimpannya untuk dokumentasi. Titi laras dalam seni musik biasanya sering disebut dengan notasi, yaitu lambang-lambang untuk menunjukkan tinggi rendah suatu nada berupa angka atau lambang lainnya.

Istilah titi laras dalam penggunaannya sehari-hari sering disingkat menjadi laras. Laras ini terdiri dari dua macam, yaitu laras slendro dan pelog. Pengertian laras slendro dan pelog tersebut antara lain sebagai berikut.

Laras Slendro pada umumnya menghasilkan suasana yang ringan, riang gembira dan terasa lebih ramai. Hal ini dibuktikan dengan adegan-adegan dalam pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong seperti adegan perang, baris-berbaris yang diiringi dengan gending berlaras slendro. Penggunaan laras slendro juga dapat berkesan sebaliknya seperti sedih, sendu, maupun romantis. Ssepertihalnya pada gending yang menggunakan laras slendro miring. Nada miring merupakan nada laras slendro yang dimainkan tidak tepat pada nadanya secara sengaja. Oleh karena itu, banyak adegan rindu, percintaan kangen, sedih, sendu, kematian, merana diiringi gending yang berlaras slendro miring.

Secara umum, laras pelog menghasilkan suasana yang bersifat memberikan kesan gagah, agung, keramat dan sakral, khususnya pada permainan gending yang menggunakan laras pelog nem. Oleh karena itu, banyak adegan-adegan yang diiringi dengan laras pelog seperti adegan masuknya seorang raja ke sanggar pamelegan [tempat pemujaan], adegan sakit hati, adegan marah, maupun adegan yang menyatakan dendam. Tetapi pada permainan nada-nada tertentu, laras pelog dapat juga memberi kesan gembira, ringan, dan semarak, misalnya pada gending yang dimainkan pada laras pelog barang.

Selain titi laras slendro dan pelog ada beberapa jenis titi laras yang lain, yaitu sebagai berikut.

Titi laras kepatihan dibuat oleh Kanjeng Raden Mas Haryo Wreksadiningrat di Kepatihan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1910.

Titi laras ding-dong digunakan untuk mencatat dan mempelajari gending-gending gamelan Bali.

3. Titi laras Sariswara/Dewantaran

Titi laras sariswara/dewantaran digunakan dan diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara untuk mengajarkan gamelan Jawa.

Titi laras daminatila diciptakan oleh Raden Mas Machyar Angga kusumadinata untuk karawitan Sunda.

5. Titi laras lainnya seperti titi laras tangga, titi laras rantai, dan sebagainya yang digunakan untuk mempelajari dan mencatat gending-gending sejak dahulu.

Dalam gending-gending Jawa yang sering digunakan adalah titi laras kepatihan. Titi laras berwujud angka 1 2 3 4 5 6 7 1' sebagai pengganti nama bilahan gamelan agar lebih mudah dicatat dan dipelajari. Angka-angka tersebut dibaca ji ro lu pat ma nem pi ji, bukan di baca do re mi fa sol la si do seperti notasi Barat karena nadanya memang lain sekali.

Tinggi rendahnya titi laras untuk laras slendro dan laras pelog berbeda. Pada laras slendro, tingkatan suara untuk tiap nada sama. Setiap satu oktaf dibagi menjadi lima laras. Namun, pada gamelan laras pelog, tingkatan nada masing-masing bilahan tidak sama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Barang 1 Panunggul [bem] 1 Barang 7
Gulu/jangga 2 Gulu/jangga 2 Gulu/jangga 2
Dada/tengah 3 Dada/tengah 3 Dada/tengah 3
Lima 5 Lima 5 Lima 5
Nem 6 Nem 6 Nem 6
Nada nada seperti pada tabel tersebut mudah ditemukan pada gender gambang, slentem ataupun saron. Titi Laras Gender yang lengkap berbilah 14 seperti yang tampak pada gambar di bawah ini.

Tanda titik di atas nada berarti bersuara tinggi/kecil. Sementara titik di bawah nada berarti bersuara berat atau rendah.

Pada gender laras pelog patet nem tanpa nada 7 dan gender laras pelog patet barang tanpa menggunakan nada 1 karena pada laras pelog patet nem tidak menyentuh nada 7. Demikian pula laras pelog petet barang tidak memakai nada 1.

Dalam ketiga patet di atas, gender tanpa menggunakan nada 4. Jadi, apabila ada gending yang dimainkan menggunakan nada 4 [atau biasa disebut nada pelog] hanya dapat kita dengar dari penabuhan slentem atau saron karena slentem dan saron pelog lebih lengkap bilahan nadanya.

Gambang laras slendro dan pelog mempunyai 22 bilahan yang tampak seperti pada gambar berikut.

Gambang laras pelog patet nem dan pelog patet barang nada-nadanya sama, hanya perlu disediakan nada 7 sebagai pengganti. Maksudnya apabila menggunakan gending laras pelog patet nem menggunakan nada 1, bila hendak beralih ke patet barang, nada 1 hendaknya diganti dengan bilahan bernada 7.

Dahulu pengganti nada terdiri dari 4 bilah, yaitu ,,7 7 7’ 7’’. Namun, sekarang yang biasa dipakai adalah 3, yaitu 7 7’ 7’’.

Penggunaan nada 7 dan 4 pada laras pelog patet 6 dan penggunaan nada 1 dan 4 pada pelog patet barang hanya digunakan sebagai variasi nada agar ketika didengar lebih syahdu.

Slentem pada laras slendro memiliki bilahan 7. Sementara saron demung atau saron besar, saron barung, dan saron peking sama-sama memiliki 6 bilahan seperti yang tampak pada gambar berikut.

Saron yang berbilah 7 hanya perlu ditambah bilahan atau nada gulu/jangga di sebelah kanan bilahan barang. Apabila bilahan berjumlah 8 tinggal menambah bilahan/nada 6 di sebalah kiri. 

Pada slentem, saron demung, saron barung, dan saron peking semuanya memiliki 7 bilahan nada seperti tampak pada gambar berikut.

Gending-gending Jawa biasanya dipelajari dengan menggunakan dua cara, yaitu titi laras kepatihan dan titi laras Sariswara atau dewantaran. Titi laras kepatihan memberikan notasi angka tetap, sama seperti nama bilahan pada gamelan. Pada patet apapun ditandai dengan angka-angka yang sama. Barang atau panunggul selalu ditandai angka 1, jangga/gulu selalu ditandai angka 2, dan seterusnya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah belajar karena tidak usah berkali-kali mengganti angka pada bilah gamelan meskipun diganti dengan patet apa saja. Yang berubah-ubah hanyalah dasar suara sesuai dengan landasan patet.

Notasi/nada angka pentatonis dan komparasinya dengan notasi diatonis

T/Tugu S/ Singgul G/Galimer P/Panelu L/loloran T/Tugu

DO RE MI . FA . SO LA TI DO

2. Karawitan Jawa: Notasi yang digunakan untuk gending atau karya musik Jawa adalah nada-nada Kepatihan, yang diciptakan oleh R.M.T. Wreksodiningrat sekitar tahun 1910 di Surakarta. Notasi ini sering digunakan untuk pembelajaran musik/seni karawitan Jawa yang memakai lambang dengan angka.

3. Karawitan Bali: Notasi Dingdong

Notasi ini menggunakan lambang bahasa kawi tepatnya bahasa Jawa kuno, yang pada awalnya hanya berkembang di lingkungan pembelajaran karawitan tembang di Bali. Sejalan dengan perkembangannya, notasi Ding dong telah digunakan untuk menotasikan berbagai jenis gending pada gamelan Bali. Bentuk notasi tersebut dapat ditransfer pada notasi angka dengan susunan Notasi Ding dong [nada pokok] adalah disimbolkan sebagai berikut:

Sebuah model gending dalam motif tabuh gamelan Bali yang dikutip dari Esther L Siagian [2006]

ndong simbol musik nada 1 dibaca dong

ndeng simbol musik nada 2 dibaca deng

ndung simbol musik nada 3 dibaca dung

ndang simbol musik nada 4 dibaca dang

nding simbol musik nada 5 dibaca ding

Home » Kelas XII » Tangga Nada Diatonis dan Pentatonis

Seni musik merupakan simbolisasi pencitraan dari unsur-unsur musik dengan substansi dasarnya suara dan nada atau notasi. Notasi sebagai salah satu elemen musik merupakan simbol musik utama yang berupa nada-nada. Melalui notasi kita dapat menunjukkan secara tepat tinggi rendahnya nada. Nada ditulis dengan simbol. Simbol musik itu dinamakan not. Notasi adalah sistem penulisan lagu ataupun musik menggunakan gambar, angka, maupun simbol-simbol tertentu yang bisa menggambarkan urutan nada, tempo, dan birama.

Pengenalan terhadap nada-nada yang merupakan elemen dari unsur dasar melodi pada seni musik adalah proses pembelajaran yang perlu dilakukan. Unsur-unsur musik itu terdiri dari beberapa kelompok yang secara bersamaan membentuk sebuah lagu atau komposisi musik. Meskipun dalam pembelajaran musik pembahasan unsur-unsurnya kita anggap seolah-olah terpisah. Setiap kali pembahasan kita memusatkan perhatian kepada satu unsur musik saja. Akan tetapi, semua unsur itu berkaitan erat, maka dalam pembahasan sebuah unsur musik mungkin pula akan menyinggung unsur yang lain.

Sistem penulisan musik dikenal ada penulisan notasi angka yang satuannya berupa angka, sistem penulisan notasi balok yang satuannya berupa gambar, dan notasi huruf yang satuannya berupa huruf. Melalui notasi inilah kita bisa mengenal, lebih jauh sebuah karya musik dengan membaca, menulis dan menyanyikan sebuah lagu. Bahkan lebih dari itu kita bisa menuliskan kembali lagu-lagu ciptaan orang lain maupun lagu ciptaan kita sendiri. Jelasnya, “notasi” merupakan perwujudan dari sebuah  “lagu”,  sedangkan “not”  merupakan  perwujudan  dari “nada”.  M. Soeharto [ 2000 : 11 ]. Banyak istilah dan simbol musik yang digunakan untuk sebutan nada. Misalnya:

  1. Nada tonal yaitu nada-nada diatonis untuk musik barat;
  2. Nada modal adalah nada-nada pentatonis untuk musik daerah.

A. Tangga Nada Pentatonis

Tangga nada pentatonis hanya terdiri dari lima nada pokok [Penta yang berarti lima; dan Tone yang berarti nada]. Nada-nada dalam tangga nada pentatonis tidak dilihat berdasarkan jarak nada, melainkan berdasarkan melalui urutannya dalam tangga nada. Nada dan tangga nada pentatonis ini memiliki istilah sendiri terutama untuk seni karawitan Jawa dan Sunda. Tangga nada pentatonis sendiri terbagi atas dua tangga nada, yaitu pelog dan slendro. Masing-masing jenis tangga nada pentatonis ini mempunyai susunan jarak nada yang berbeda. Selanjutnya terdapat beberapa simbol musik terkait dengan sistem nada pentatonik [berarti lima nada pokok] yang tumbuh dan berkembang di daerah, dilambangkan berikut.

1. Karawitan Sunda:
Notasi Daminatila, memiliki lima nada pokok disimbolkan dengan:

No. Penulisan
1. Nada Angka154321
2. Nada HurufT
[tugu]
S [singgul]G [galimer] P
[panelu]
L [loloran]T
[tugu]
3. Dibacadalatinamida


Selain nada pokok, dalam karawitan terdapat pula nada sisipan atau nada hiasan. Nada tersebut dengan istilah lain disebut nada uparenggaswara [Sunda]. Misalnya nada Pamiring atau nada meu [2+] Bungur atau nada ni [3-] pananggis atau nada teu [4+] dan sorog atau nada leu [5+]. Nada uparenggaswara tersebut dalam istilah musik biasa dikenal dengan sebutan nada kromatik, misalnya f menjadi fis [4]. Dalam penyajian karawitan Sunda terdapat beberapa laras yang dapat digunakan untuk bermain musik, baik dalam sajian lagu-lagu maupun sajian gending.

Laras yang merupakan susunan nada pentatonis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu laras salendro dan laras pelog. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para akademisi, laras salendro di daerah Sunda melahirkan tiga laras, yaitu laras salendro, laras degung, dan laras madenda. Sedangkan laras pelog melahirkan tiga surupan, yaitu surupan jawar, surupan sorog, dan surupan Liwung.

Atik Soepandi [1975] menjelaskan kata salendro berasal dari kata sala dan indra. Sala – sara – suara, dan indra adalah dewa utama di India, jadi apabila kita simpulkan salendro dapat diartikan suara pertama dalam kata lain disebut tangga nada pertama.

  1. Arti kiasan dari istilah salendro itu sendiri ungkapan nadanya memiliki karakteristik gagah, berani, dan gembira.
  2. Tangga nada untuk laras madenda memiliki karakter sedih, susah, dan bingung, sakit hati.
  3. Laras Degung ungkapan nadanya bersifat tenang dan kadang bingung.
  4. Menurut Soepandi [1975:36] istilah Pelog memiliki arti latah/cadel, maksudnya berbicara atau dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dengan istilah lain disebut seliring atau sumbang.
  5. Dalam karawitan Jawa pelog artinya nada hiasan atau nada kromatik.
Notasi/nada angka pentatonis dan komparasinya dengan notasi diatonis adalah sebagai berikut.

2. Karawitan Jawa Dalam musik karawitan jawa seringkali kita dengar istilah laras slendro dan laras pelog, kedua laras tersebut dalam istilah musik modern bisa disebut sebagai ‘tangga nada’ yakni susunan nada dalam satu oktaf. Laras slendro merupakan sistem urutan nada yang terdiri dari lima nada dalam satu gembyang [oktaf], nada tersebut diantaranya ; 1 [ji], 2 [ro], 3 [lu], 5 [mo], 6 [nem]. Istilah ji, ro, lu, mo, nem tersebut merupakan nama singkatan angka dari bahasa jawa, ji berarti siji [satu], ro berarti loro [dua] lu berarti telu [tiga], mo berarti limo [lima] dan nem berarti enem [enam].No. Penulisan

1. Nada Angka123561
2. Nada Hurufjirolu monemji
Selain menggunakan singkatan nama, dalam laras juga sering digunakan istilah tradisional lainnya untuk menyebut setiap nada. Istilah tradisional tersebut diantaranya [1] Panunggal yang berarti kepala, [2] gulu yang berarti leher, [3] dada, [5] lima yang berarti lima jari pada tangan, dan [6] enem. Selain laras slendro, dalam karawitan jawa juga dikenal istilah laras pelog, yakni tangga nada yang terdiri dari tujuh nada yang berbeda. Nada-nada tersebut diantaranya nada; 1 [ji], 2 [ro], 3 [lu], 4 [pat], 5 [mo], 6 [nem] dan 7 [pi]. Jika dibandingkan dengan tangga nada diatonis, susunan tangga nada pelog kurang lebih sama dengan susunan tangga nada mayor [do, re, mi, fa, so, la, si, do], namun penyebutan untuk karawitan tetap menggunakan bahasa jawa [ji, ro, lu, pat, mo, nem, pi].

Dalam memainkan laras pelog dalam gending, masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu Pelog Barang, dan Pelog Bem. Pelog Barang tidak pernah membunyikan nada 1, sedangkan pelog Bem tidak pernah membunyikan nada 7.

No. Penulisan
1. Nada Angka1234567
2. Nada Hurufjirolu patmonempi


3. Karawitan Bali: Notasi Dingdong Notasi ini menggunakan lambang bahasa kawi tepatnya bahasa Jawa kuno, yang pada awalnya hanya berkembang di lingkungan pembelajaran karawitan tembang di Bali. Sejalan dengan perkembangannya, notasi Ding dong telah digunakan untuk menotasikan berbagai jenis gending pada gamelan Bali. Bentuk notasi tersebut dapat ditransfer pada notasi angka dengan susunan Notasi Ding dong [nada pokok] adalah disimbolkan sebagai berikut:No. Penulisan

1. Nada Angka12356
2. Nada Hurufdingdongdengdungdang

B. Tangga Nada Diatonis

Tangga nada diatonis terdiri dari tujuh buah nada yang berjarak satu dan setengah nada. Tangga nada ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tangga nada diatonis mayor dan tangga nada diatonis minor. Pada umumnya nada diatonis yang memiliki arti dua jarak nada, yakni jarak 1 [200 Cent Hz] dan jarak ½ [100 Cent Hz] dilambangkan dengan berikut.

No. Penulisan
1. Nada Angka12345671
2. Nada Hurufcdefgabc
3. Dibacadoremifasollatido
4. Interval nada

Untuk menulis not atau notasi balok diperlukan garis-garis paranada, karena notasi balok biasanya tersimpan pada paranada atau balok not yang terdiri dari lima garis sejajar. Nada balok [not] yang tersimpan pada garis not balok disebut dengan not garis/not balok. Adapun not yang tersimpan antara garis dan garis disebut dengan not ruang atau not spasi. Paranada yaitu seperangkat tanda terdiri atas lima garis mendatar. Nada-nada diletakan pada garis paranada atau diantara dua garis, yaitu disebut spasi. Dalam menghitung paranada atau garis not balok selalu dimulai dari bawah. Dalam praktiknya aturan penulisan notasi dalam garis para nada adalah:

  1. Not-not yang tersimpan di atas garis ke tiga arah tiang not di gambar ke atas.
  2. Not-not yang berada di bawah garis ketiga arah tiang not di gambar ke bawah.
  3. Not-not yang terletak pada garis ketiga arah tiang not, boleh ke atas atau ke bawah
  4. Peletakkan bendera selalu kearah kanan.
  5. Notasi yang mempergunakan suara dua, gambar tiang not mengarah ke atas untuk suara pertama, sedang untuk suara kedua mengarah ke bawah.

Jika penulisan notasi balok untuk penambahan nilai not, maka dipergunakan titik dibelakang not, sedangkan untuk notasi angka, nilai not dari pada titik akan ditentukan oleh garis nilai. Namun seandainya tidak ada garis nilai, maka nilai titik akan sama nilainya dengan not yang berada di depannya. Apabila kita menemukan tiga buah not yang mendapat nilai satu ketuk, ini disebut triol [tri nada/ tiga nada yang disatukan].

Posted by Nanang_Ajim

Mikirbae.com Updated at: 8:15 PM

Video yang berhubungan