Sebutkan aspek-aspek yang menjadi tema dalam sejarah sosial!

Oleh: Warto

Abstrak:

Penelitian dan penulisan sejarah sosial ekonomi terus menunjukkan kemajuan. Sejak munculnya pemikiran baru dalam penulisan sejarah yang dipelopori oleh Madzab Annal di Perancis pada paro pertama abad ke-20, sejarah struktural semakin berkembang. Lahirnya Madzab Annal sebagai reaksi terhadap genre penulisan sejarah yang berifat kronikel seperti yang dipelopori Ranke pada abad ke-19. Kelompok Annal melihat bahwa peristiwa sejarah tidak cukup hanya dijelaskan melalui satu dimensi melainkan harus dari berbagai dimensi. Semenjak itulah penulisan sejarah sosial dan ekonomi dengan menggunakan konsep-konsep disiplin lain semakin berkembang. Teori dan konsep itu tidak untuk diuji tetapi dijadikan alat untuk mengajukan pertanyaan, menganalisis, dan menerangkan peristiwa sejarah yang diteliti.

Kata-kata kunci: kronik, madzab Annal, sejarah sosial ekonomi

I

Peristiwa masa lalu sebagai gejala kemanusiaan meliputi berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu pengkajian terhadap peristiwa masa lalu, apapun yang hendak diteliti tentang masa lalu itu, menyadarkan kepada sejarawan bahwa tidak ada proses sejarah yang dapat diterangkan dengan faktor tunggal. Faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi jalin-menjalin dan kadangkala tidak dapat dilacak lagi mana yang menjadi variabel dependen dan independen. Misalnya sistem ekonomi primitif/ tradisional mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang bersifat ekologis, teknologis dan sosial sehingga menjelaskan sistem ekonomi pra-kapitalis itu harus memperhitungkan bukan hanya aspek ekonomi tetapi juga aspek-aspek lainnya yang sifatnya non-ekonomis.

            Meskipun demikian, dalam sejarah penulisan sejarah, lahirnya kesadaran pengkajian sejarah seperti tersebut relatif baru.  Sekurang-kurangnya munculnya kesadaran penenelitian terhadap masa lalu dengan memperhitungkan banyak aspek itu baru muncul kemudian setelah pengkajian dan penulisan sejarah konvensional yang lebih menekankan pada aspek politik dan peranan orang-orang besar mulai dipertanyakan. Pandangan sejarawan abad ke-19, Leopold von Ranke misalnya, menyatakan bahwa  tugas seorang ilmuwan sejarah adalah menemukan ”apa yang sesungguhnya terjadi”. Teknik penelitian yang dia rekomendasikan adalah menemukan dan mengkritik dokumen dalam rangka merekonstruksi setepat mungkin peristiwa yang terjadi. Dengan demikian tugas utama sejarawan adalah menceritakan setepat mungkin peristiwa masa lalu sesuai dengan dokumen yang ditemukan, tanpa harus membuat analisis dan interpretasi yang terlalu jauh tentang kejadian sejarah yang ditelitinya itu. Barangkali apa yang disampaikan Ranke dan sejarawan konvensional lainnya merefleksikan pandangan tentang pengkajian sejarah dalam suasana kronikel yaitu menemukan jawaban dan melaporkannya tentang “apa”, “kapan”, “siapa”, dan “di mana” peristiwa sejarah itu. Langkah lebih jauh dari itu terutama untuk menemukan jawaban dari pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” peristiwa itu terjadi masih dihindari atau belum dianggap sebagai sesuatu pertanyaan yang penting. Jawaban kepada dua pertanyaan terakhir sebenarnya telah mendorong sejarawan tidak hanya berhenti pada usaha penulisan sejarah secara “kronikel”, melainkan  ada keharusan untuk “melukiskan” atau “menginterpretasikan” fakta-fakta sejarah yang ditemukan sehingga terbuka kemungkinan untuk dapat “menerangkan” peristiwa itu selengkap mungkin.

            Demikian pula dominasi sejarah politik yang menekankan peranan orang-orang besar, peristiwa-peristiwa besar seperti  perang, revolusi, hubungan diplomatik, dan peristiwa politik kenegaraan lainnya berlangsung cukup lama sehingga seolah-olah pengkajian dan penulisan sejarah orang-orang kecil dalam skala mikro tidak penting. Ungkapan bahwa “sejarah adalah politik masa lalu’ merupakan cerminan kuatnya kecenderungan pengkajian politik dalam sejarah konvensional. Tentu saja pengerjaan sejarah seperti itu kurang memuaskan sehingga historiografi yang dihasilkannyapun kurang lengkap dan ‘tidak manusiawi’. Secara perlahan-lahan pengkajian dan penulisan sejarah politik mulai ditinggalkan atau tidak lagi menjadi fokus utama dalam penelitian sejarah. Kemudian berkembang kesadaran akan pentingnya penelitian sejarah yang memperhatikan aspek-aspek lain di luar aspek politik, misalnya aspek sosial dan ekonomi, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peristiwa masa lalu. Masalah politikpun kemudian tidak hanya dipahami sebagai peristiwa politik yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan aspek-aspek lainnya yang sifatnya non-politik. Kesadaran baru ini sekaligus juga mengisyaratkan adanya perubahan orientasi metodologis dalam pengerjaan sejarah yang menuntut setiap sejarawan membekali dirinya dengan seperangkat keahlian teknis dan wawasan teori serta konsep yang lebih baik.

 II

Pengkajian sejarah yang hanya  menitikberatkan pada sejarah politik dan sejarah orang-orang besar/terkenal saja direspons dengan munculnya istilah “sejarah kolektif” yang konsep-konsepnya diambil dari berbagai disiplin ilmu, seperti psikologi, geografi, sosilogi, ekonomi, dan lain-lain.  “Kita’, kata Otto Hintze seperti dikutip Burke (2001), ‘ingin mengetahui tidak hanya gugus dan puncak gunung melainkan juga kaki gunungnya, tidak cuma tinggi dan dalamnya daratan melainkan keseluruhan benuanya”. Sejarah tradisional utamanya sejarah politik dengan demikian mendapat banyak tantangan dari mereka yang percaya bahwa “semua bidang kegiataan manusia harus diperhatikan. Tidak ada bagian kehidupaan sosial dapat dipahami secara terpisah dari yang lainnya”.  

            Semangat penulisan sejarah seperti itu telah muncul lama di Perancis pada dekade 1920an  yaitu ditandai adanya gerakan “sejarah jenis baru” yang dipimpin Marc Bloch dan Lucian Febre. Melalui jurnal Annales d’histoire Economique et Sociale mereka mengkritik tajam sejarawan tradisional yang menekankan pada sejarah politik dan menggantikannya dengan “sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi”, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan kejadian dibanding kepada analisis struktur (Burke, 2001: 22). Itulah madzab Annales yang telah meletakkan tonggak baru pengkajian sejarah jenis baru. Misalnya, para sejarawan Perancis mulai akrab dengan penggunaan konsep-konsep ilmu sosial lain di luar sejarah, termasuk psikologi, demografi, sosiologi, dan geologi. Kadang-kadang cara kerja sejarawan diandaikan seperti seorang geolog yang sedang menggali lapisan bumi, dimulai dari lapisan atas untuk menemukan isi paling dalam lapisan bumi itu (dalam kasus penelitian sejarah kebudayaan berarti ingin menemukan fakta mental). Karya Braudel tentang dunia Laut Tengah atau karya Dennys Lombard tentang Silang Budaya yang terjadi di Nusa Jawa dapat dijadikan contoh mengenai model pengkajian dan penulisan sejarah yang dikembangkan oleh madzab Analles itu.

            Adanya kesadaran sejarah yang berdimensi majemuk, termasuk di dalamnya aspek ekonomi dan sosial,   sekaligus juga mendorong munculnya kesadaran akan pentingnya berbicara konteks di mana peristiwa/kejadian sejarah ditemukan. Jadi, bukan hanya bicara peristiwa (event), melainkan struktur yang mewadahi peristiwa itu. Sejarawan mulai akrab dengan model-model perubahan sosial yang diadopsi dari disiplin lain khususnya sosiologi. Bukan untuk menguji teori, melainkan memanfaatkan teori untuk mengajukan pertanyaan, menganalisis dan menerangkan peristiwa sejarah yang diteliti. Sejarawan mencoba membuat generalisasi/teori dari temuannya.

            Sekedar contoh, untuk menjelaskan atau menerangkan  perubahan sosial ekonomi, seringkali  sejarawan sosial mengadopsi model atau tipe-tipe ideal yang dikembangkan disiplin sosiologi, misalnya  “model komparasi” dan “model/tipe ideal”.  Model perbandingan menduduki posisi sentral dalam teori sosial. Kajian sosiolog biasanya membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara mendasar sama strukturnya/sama spesiesnya atau yang secara mendasar memang berbeda. Meskipun sebagian sejarawan menolak studi komparasi dengan alasan mereka hanya mengamati hal-hal yang khusus, unik, dan tak bisa diulang, metode komparasi sebenarnya membuat sejarawan bisa melihat apa yang tidak ada atau memahami signifikansi hal-hal tertentu yang tidak ada. Setelah PD II penelitian komparatif mendapat momentum, dengan maraknya subdisiplin seperti ilmu ekonomi pembangunan, sastra komparatif dan ilmu perbandingan politik. Dalam sejarah ekonomi misalnya, proses industrialisasi sering ditinjau dari perspektif komparatif. Sejarawan mempertanyakan, apakah negara-negara lain melakukan industrialisasi sejalan dengan atau berbeda dengan model revolusi industri Inggris? Setiap sistem ekonomi merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih besar dengan kekhususan sejarahnya, pola-pola budaya, kepemimpinan dan struktur kelas, dan semua ciri-ciri konflik dan kompetisi dari relasi sosial. Salah satu kesalahan yang sangat umum dalam kebijakan pembangunan, terutama  pada awal tahun 50-an, adalah asumsi bahwa akumulasi pengalaman negara-negara maju di Barat mempunyai validitas umum bahwa pengalaman itu dapat diterapkan  tanpa modifikasi untuk semua tempat di dunia. Asumsi seperti itu jelas keliru (Baerwald, 1969), karena tidak menempatkan peristiwa pada konteksnya.

            Meski bermanfat, metode komparatif sebenarnya juga mengandung bahaya, yaitu  pertama, jika sejarawan terlalu mudah menerima asumsi bahwa masyarakat ‘berevolusi’ lewat serangkaian tahapan wajib. Misalnya pendekatan melalui “phases and stages” dalam sejarah ekonomi seperti yang dipahami oleh Rostow ataupun Karl Marx bahwa setiap tahapan perkembangan lebih maju dibandingkan masa sebelumnya, tidak selalu demikian dalam realitas sejarah Kedua, bahaya etnosentrisme. Sarjana Barat sering memakai patokan Barat sebagai norma patokan dalam melihat ketidaksesuaian budaya-budaya lain non-Barat.  Konsep “feodalisme” atau “kapitalisme” jelas konsep yang dirumuskan menurut pengalaman Barat yang tidak bisa diterapkan begitu saja di tempat lain. Ketiga,  hal apa saja yang perlu diperbandingkan. Apakah ingin membandingkan ciri sosial budaya, sistem ekonomi, kepemimpinan dan lain sebagainya. Misalnya kajian Geertz di Jawa dan Robert Bellah di Jepang ingin memperbandingkan etos kerja kedua masyarakat itu dengan menggunakan tesis Weber tentang etika Protestan yang berkembang di Eropa Barat.

            Selain model perbandingan, “model” atau “tipe ideal” seringkali juga diadopsi sejarawan untuk mnganalisis dan memberi keterangan historis. Model, kata Burke, adalah  “sebuah konstruk intelektual yang menyederhanakan realitas guna menekankan hal-hal yang berulang-ulang, yakni hal-hal umum dan hal-hal khusus, yang disajikan dalam bentuk sekumpulan ciri dasar dan atribut” (Burke: 40). Weber menggunakan istilah tipe-ideal untuik menyebut model. Masyarakat feodal yang bercirikan pertanian paksa, dominasi prajurit, hubungan pribadi atasan-bawahan, desentralisasi politik, dll,  seperti yang dilukiskan Marc Bloc adalah contoh tipe ideal itu. Demikian pula seperti renaissance, pencerahan, zaman klasik, zaman Islam, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, adalah model atau tipe ideal yang diberi ciri-ciri tertentu. Model lain dalam sejarah ekonomi yang diberi ciri-ciri khusus, misalnya istilah merkantilisme, sosialisme, kapitalisme, neo-kapitalisme, ekonomi petani gurem, subsisten,  dan lain-lain.

            Kuntowijoyo (1994) memberikan beberapa contoh model yang telah dipakai sejarawan dalam merekonstruksi masa lampau sehingga mempunyai daya menerangkan yang lebih kuat tanpa harus membuat generalisasi. Pertama, model evolusi, untuk menjelaskan proses perubahan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat kompleks (misalnya pertumbuhan desa menjadi kota atau perubahan kota pusat kerajaan tradisional menjadi kota modern). Kedua, model lingkaran sentral, yaitu model pengkajian dan penulisan sejarah yang bertolak dari titik sejarah yang sudah menjadi. Biasanya dimulai dengan lukisan sinkronis tentang masyarakat itu, baru kemudian secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya. Misalnya tulisan Ladurie tentang petani Perancis abad ke-16 dan ke-17. Ladurie memulai tuliasannya dengan menjelaskan adanya gejala baru pemilikan tanah dan konsekuensi sosial-ekonominya sebagai basis uraian diakronis perkembangan petani di Languedoc. Peledakan penduduk membawa konsekuensi sosial ekonomi dan masing-masing menjadi kekuatan sejarah yang mentransformasikan Languedoc. Ketiga, model interval, merupakan kumpulan dari lukisan sinkronis yang diurutkan dalam kronologi sehingga tampak perkembangnnya, sekalipun tidak nampak benar  hubungan sebab akibat. Misalnya, data mengenai laporan pedesaan di pedesaan Pati yang dimuat dalam Eindresume 1868 dikembangkan oleh Burger dengan meneliti desa yang sama pada tahun 1928, dan oleh Bachtiar Rivai dikaji kembali pada tahun 1958,  serta terakhir oleh Frans Huskens pada tahun 1976. Interval waktu yang cukup lama akan memberi gambaran yang lebih lengkap tentang perubahan sosial ekonomi pedesaan Pantai Utara Jawa bagian Tengah itu melalui potret-potret data sinkronis. Keempat, model tingkat perkembangan, yaitu menerapkan teori perkembangan masyarakat yang diangkat dari disiplin sosiologi, misalnya model perkembangan masyarakat dari Karl Marx (komunisme awal, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme) dan dari  Rostow tentang perkembangan ekonomi dari yang sederhana hingga konsumsi tinggi. Untuk penelitian sejarah, pendekatan terhadap tahapan ekonomi tidak perlu harus menggunakan ukuran-ukuran ekonomi. Tahapan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dikemukakan Rostow yang menggunakan ukuran produktivitas sebagai kriteria tahapan, hanya berlaku dalam masyarakat industrial dan kurang relevan untuk ekonomi pedesaan/petani di masa lampau. Tulisan Neil Smelser menggunakan model diferensiasi struktural untuk melukiskan tahap-tahap perkembangan revolusi industri dan masyarakat Inggris khususnya golongan pekerja. Kelima, model jangka panjang-menengah-pendek dari Fernand Braudel. membagi sejarah  ke dalam tiga jenis, yaitu  (1) sejarah jangka panjang yang perubahannya sangat lamban, merupakan perulangan konstan dan perkembangan waktu yang tak dapat dilihat. Ini menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan atau disebut geographical time;. (2) sejarah jangka menengah, perkembangan yang lamban tetapi dapat dirasakan ritmenya. Di sinilah letak sejarah sosial itu sendiri. Ini disebut social time; (3) sejarah jangka pendek, sejarah dari kejadian-kejadian (l’historie evenementielle) atau sejarah berjalan cepat, pendek, fluktuatif yang menggelisahkan. Ini disebut individual time. Khusus mengenai sejarah sruktur, dalam setiap struktur ada elemen perubahan, gerakan, sehingga sruktur juga tampak sebagai konjungtur. Kelima, model sistematis, cocok untuk menelusuri sejarah sosial dalam arti perubahan sosial. Misalnya karya Wertheim, Indonesia Sosiety in Transition ataupun karya sosiolog Selo Sumarjan, Social Change in Jogyakarta,  yang menggambarkan terjadinya perubahan lembaga-lembaga dan peranan sosial dalam kurun sejarah tertentu.

            Namun demikian harus segera diingatkan, meskipun penggunaan model atau tipe ideal bermanfaat untuk melukiskan aspek-aspek sosial ekonomi masa lalu, sejarawan perlu waspada bahwa penggunan model akan membuat mereka tidak lagi memperhatikan perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Menggunakan model tanpa mengakui kegunaannya atau tanpa menyadari status logikanya mengakibatkan sejarawan terjebak ke dalam kesulitan yang tidak perlu.

            Wacana sejarah sosial berkaitan erat dengan sejarah masyarakat dan merupakan cabang baru dalam studi sosial (Lloyd, 1986). Sejak PD II aliran Marxis dan Annales telah memberi inspirasi bagi penggabungan antara teori sosial abstrak dan sejarah. Situasi ini dimungkinkan ketika terjadi diskusi tentang bagaimana sejarah dan teori sosial dapat dipersatukan utuk memberi jalan bagi lahirnya sejarah sosial baru atau sosiologi sejarah (Theda Skocpol, 1989).

            Konsep sejarah sosial cukup problematik dan lingkup pekerjaannya cukup luas. Ia meliputi ‘sejarah masyarakat dalam lingkup kecil’ (microscopic) seperti kajian Le Roy Ladurie tentang petani Languadoc dan Montaillou (semuanya didasarkan pada pengakuan personal), melalui studi kesadaran kelas dan interaksi kelas seperti ditulis E.P Thompson, hingga ‘kajian struktural jangka panjang dalam skala makro’ (macroscopic) seperti yang dilakukan Barrington Moore tentang sejarah politik, yang membandingkan revolusi di berbagai tempat. Barrington Moore menjelaskan tentang ‘latar belakang sosial kediktaktoran dan demokrasi’’ dari Inggris abad ke-17 hingga Jepang abad ke-19; Immanuel Wallerstein tentang “New World-System” dan Fernand Braudel tentang sejarah jangka panjang-menengah-pendek yang berlangsung di Dunia Laut Tengah abad ke 15-17.

            Namun demikian ternyata para praktisi sejarah sosial, seperti dicatat oleh Lloyd (1986: 3),  masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan menyangkut tujuan penelitian yang hendak dilakukan dan status hasilnya. Ada enam pertanyaan menyangkut masalah itu:

1.    Apa yang menjadi tujuan studi sejarawan sosial?

2.    Bagaimana sejarah sosial akan dihubungkan dengan cabang sosial dan penelitian sejarah?

3.    Apa yang akan menjadi mode dan struktur eksplanasi yang dilakukan oleh sejarawan sosial?

4.    Apakah hal itu mungkin bagi mereka untuk membangun eksplanasi sebab-akibat yang objektif?

5.    Dapatkah sejarah sosial menjadi ilmiah?

6.    Metodologi apakah yang sesuai untuk kajian sejarah masyarakat?

            Sejarah sosial dapat menjadi ilmiah jika ia berdiri pada realisme dan metodologi strukturisme. Salah satu konsekuensi pokok dari metode itu  bagi pengetahuan sosial adalah menyediakan landasan untuk bersatunya sosiologi dan sejarah.

            Studi sejarah sosial saat ini secara resmi/kelembagaan dibagi antara sejarah di satu pihak dan studi sosial di lain pihak. Pembagian ini berasal dari pemikiran bahwa sejarah berurusan dengan perubahan, dengan masa lalu, dengan hal-hal unik atau khusus; dan studi sosial berhubungan dengan masalah kontinyuitas struktural dan generalisasi, menyangkut kejadian sekarang. Tetapi sudah pasti pembagian itu gagal sepenuhnya untuk menjelaskan situasi yang sesungguhnya, terutama dalam hal penjelasan sejarah sosial dan ekonomi. Pemisahan seperti itu merupakan kesalahan ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan kejadian yang terjadi sekarang ini.

III

Kecenderungan lain yang muncul bersamaan dengan berkembangnya studi sejarah struktural adalah kajian sejarah dalam skala mikro atau “sejarah masyarakat dalam lingkup kecil” seperti telah disinggung di atas. Sejak tahun 1970-an sebagian peneliti sejarah berganti haluan dari pemakaian teleskop (kuntitatif) ke mikroskop, yakni memperhatikan pada analisis sosial mikro dan sejarawan mulai memperhatikan ‘sejarah mikro”. Salah satu studi terkenal yang menampilkan sejarah mikro adalah  Montaillou karya Emmanuel Le Roy Ladurie. Ladurie menggambarkan sebuah desa di Perancis awal abad ke-14 khususnya tentang ekonomi gereja, struktur keluarga, kedudukan perempuan, konsepsi setempat tentang waktu, konsepsi ruang, agama, dan sebagainya. Data digali melalui pengakuan 25 tersangka penyebar kabar bohong yang diproses di depan penyidik gereja yang berasal dari desa Montillou.

            Perubahan ke arah sejarah mikro berkaitan dengan ditemukannya karya-karya antropolog sosial dan para sejarawan. Metode sejarah mikro sendiri mempunyai banyak kesamaan dengan studi masyarakat yang dilakukan para antropolog. Misalnya konsep “studi kasus yang diperluas, drama sosial, thick description”,  dll. Istilah drama sosial digunakan untuk merujuk pada  konflik berskala kecil yang mengungkapkan ketegangan laten di dalam masyarkat secara keseluruhan dan konflik itu berlangsung dalam empat tahapan: Pelanggaran, krisis, tindakan pemulihan, dan reintegrasi. Salah satu esai yang mempengaruhi sejarawan adalah studi Geertz tentang sabung ayam di Bali.  Menggunakan konsep Jeremy Bentham tentang ‘deep play’ (main besar, memasang taruhan besar), Geertz menganalisis sabung ayam secara mendalam (thick description) sebagai “dramatisasi fundamental persoalan status”. Dengan analisis seperti itu ia beralih dari apa yang disebut “contoh mikroskopik’ kepada ”penafsiran keselurahan budaya”. Lalu Michel Foucault mendorong kajian mikro (mikropolitik) melalui tulisannya tentang kekuasan. Kata dia, kekuasaan  itu tidak saja di level negara tetapi juga pada level pabrik, sekolah, keluarga, penjara, kadang-kadang ia namakan ‘mikrofisik (wujud mikro) kekuasan’, yang menggambarkan kekuasaan  dalam bentuk ‘pembuluh-pembuluh halus’, yang ‘menjangkau jatidiri individu-individu, menyentuh tubuh mereka dan mewarnai tindakan, sikap, perkataan, proses belajar, dan  kehidupan mereka sehari-hari”.

             Hubungan antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial didasari oleh suatu pemikiran bahwa  cara kerja yang digunakan oleh sejarawan konvensional tidak memadai lagi ketika sejarah akan diilmiahkan. Bila pengkajian sejarah termasuk ilmu maka hubungan pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial mutlak diperlukan. Keduanya dipandang sebagai ilmu-ilmu yang berurusan dengan kenyataan sosio-historis. Barngsiapa membela sifat ilmiah dalam pengkajian sejarah, maka ia diharuskan berorientasi kepada ilmu-ilmu sosial. Seorang peneliti sejarah harus minta bantuan dari teori-teori sosial yang membuka jalan untuk menerangkan dan melukiskan masa silam dengan cara yang lebih teliti. Selain itu, seorang sejarawan dapat menyediakan bahan, guna memperbaiki dan merinci teori-teori itu. Namun sejarawan harus bertindak lebih sistematis; kuantifikasi harus menggantikan intuisi yang samar-samar.

Namun  demam untuk “mengilmiahkan” pengkajian sejarah yang memuncak pada tahun 1970-an dan 80-an akhir-akhir ini agak surut. Ternyata, penulisan sejarah yang hanya memperhatikan segi-segi sosio-historis tidak mampu menghasilkan jawaban yang diharapkan dan yang dapat diandalkan. Faktor kedua ialah perhatian sejarawan akhir-akhir ini tidak hanya diarahkan kepada aspek-aspek material dari masa silam. Mereka lebih tertarik kepada dunia pengalaman dan pikiran manusia yang hidup pada masa silam. Aspek-aspek yang lebih bersifat kualitatif tidak begitu cocok didekati dari sudut ilmu-ilmu sosial. Sekalipun demikian, pada beberapa bidang penelitian sejarah, pendekatan ilmiah sosial ternyata sangat berfaedah.

Beberapa alasan pentingnya pengkajian sejarah yang interdisipliner antara lain: (1) dengan bantuan teori ilmu sosial yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor, pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci baik kuantitatif maupun kualitatif; (2) suatu teori sosial ilmiah mengadakan hubungan antara berbagai variabel. Seorang sejarawan dapat melacak hubungan antara aspek tadi dengan aspek-aspek lainnya. Pengkajian sejarah yang interdisipliner merangsang penelitian sejarah memberi jawaban baru kepada pertanyaan lama; (3)  kaitan yang diadakan oleh suatu teori sosial dan permasalahan yang ditimbulkan oleh teori itu akan memberi tempat baru kepada permasalahan tersebut dalam tinjauan sejarah. Teori sosial membantu sejarawan menyusun pengetahuannya mengenai masa silam dalam struktur yang paling memadai; (4) teori sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual di dalam kenyataan sosio-historis. Teori itu dapat menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Pendekatan sosi-historis dapat membantu mengerti perubahan yang terjadi dalam ribuan orang yang tak bernama, termasuk suka duka orang-orang kecil; (5) dengan mempergunkan teori sosial yang dapat diandalkan pengkajian sejarah dapat melepaskan diri dari cap subjektivitas yang dituduhkan kepadanya.

Meskipun demikian, pernah juga diajukan keberatan-keberatan terhadap pengkajian sejarah yang berorientasi pada ilmu sosial. (1) keberatan praktis, yaitu bahan sejarah yang tidak lengkap kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori dari ilmu sosial. Telaah yang semata-mata kuantitatif juga menjemukan dan kurang memberi kepuasan intelektual; (2) pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong-motong kekayaan historis karena hanya menaruh minat pada masa silam yang dapat diteliti dengan bantuan ilmu sosial. Tapi keberatan ini kurang meyakinkan karena tidak ada seorang pun sejarawan yang memaparkan seluruh kekayaan masa silam; (3) pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan statistik mengenai hasil pertanian dan angka impor-ekspor kurang menampilkan pandangan luas mengenai masa silam. Suatu pendekatan hermeunitis dan naratif interpretatif lebih berhasil melukiakan wajah masa silam; (4) pengkajian masa silam yang menggunakan teori dari ilmu sosial hanya dapat diandalkan sejauh teori itu dapat diandalkan. Kesahihan teori sosial sering disangsikan karena sering hanya berpangkal pada pandangan hidup, ideologi politik dan mode yang sedang berlaku. Juga mengenai jangkaun generalisasi teori sosial itu relatif terbatas karena merupakan generalisasi mengenai kasus-kasus tersendiri sehingga isi teori itu makin berkurang kalau jangkauannya diperluas. Makin banyak kasus yang mau digeneralisasi makin sedikit isinya. (5) teori ilmu sosial biasanya merupakan generalisasi empiris, terbatas menurut tempat dan waktu. Apakah teori itu dapat diterapkan terhadap suatu bagian dari masa silam yang ingin diteliti, harus diperiksa dahulu, dan ini berarti menambah pekerjaan. Teori-teori ilmu sosial hanya mempunyai fungsi heuristis, artinya memberi ide kepada seorang sejarawan untuk meneliti sesuatu. Bila kita menerapkan kaidah umum pada masalah masa silam yang sama maka hasilnya selalu sama. Ini berarti bahwa gambaran yang disusun sejarawan mengenai masa silam tak pernah boleh didasarkan atas kaidah-kaidah umum (teori), termasuk generalisasi dari ilmu sosial. Ilmu sosial hanya berguna untuk merincikan detail-detail dalam sebuah uraian historis.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, Peter (ed.), 2001. New Perspectives on Historical Writing. Cambridge: Polity Press.

Christopher Lloyd, 1986, Explanation in Social History, Oxford: Basil Blackwell.

Friedrich Baerwald,  1969, History and structure of economis Development. Scranton: International Texbook Company

Geertz, Clifford, 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah. Jogyakarta: Tiara Wacana.

Ladurie, Emmanuel Le Roy, 1976. The Peasants of Languedoc. Urbana-Chicago-London: University of Illinois Press.

_____, 1978. Montaillou: The World-Famous Portrait of Life in A Medieval Village. Penguin Books Ltd.

Skocpol, Theda (ed.), 1989. Vision and Method in Historical Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.

Sumber: perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/index.php?act=view&id=1_la&aid=68&download=68-fullteks.doc

Diakses pada tanggal 19-05-2009