Sebutkan 5 Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan di Indonesia

Apakah permasalahan di perkotaan tidak terkait erat dengan apa yang terjadi di pedesaan? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu bagi Bosman Batubara untuk mendalami analisis ekologi politik urbanisasi. Isu ini pula yang mengantarnya menjadi kandidat PhD dari UNESCO-IHE, Institute for Water Education, Delft, dan University of Amsterdam.

Ekologi Politik Urbanisasi melihat perpindahan orang dari desa ke kota dan difusi sistem nilai industri kapitalis dalam masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan sosiolamiah, mengkonfrontasi ketidakadilan, serta memunculkan agenda emansipasi.

Ekologi Politik Urbanisasi menjadi topik bahasan dalam Seri Diskusi Epistema yang diadakan pada hari Jum’at, 12 Agustus 2016 di kantor Epistema Institute. Sebagai pemantik diskusi, Bosman Batubara mengajukan kasus banjir di Jakarta dan pembangunan semen di Pati. Karena menurutnya, dua kasus tersebut menjadi ilustrasi yang baik dalam menggambarkan hubungan perkotaan dengan pedesaan.

Dalam studi-studi perkotaan tidak banyak bersinggungan dengan apa yang terjadi di pedesaan. Begitupun sebaliknya. Tapi pada praktiknya, proyek-proyek besar di Jakarta memunculkan efek besar di pedesaan. Contoh nyatanya proyek reklamasi (NCICD) yang ditujukan untuk penanggulangan banjir rob di Jakarta, menjadi pendorong utama pembangunan pabrik semen di Pati. Belum lagi klaim yang mengatakan bahwa banjir juga disebabkan banyaknya pendatang dari desa yang menempati bantaran kali dan memperparah banjir tanpa mempertanyakan kenapa mereka akhirnya datang ke Jakarta.

Jakarta dengan segala permasalahan pelik yang dihadapinya merupakan cerminan dari proses pembangunan yang tidak merata. Bahkan penggusuran yang terjadi menjadi ketidakadilan baru. Mereka digusur dengan alasan untuk membuka ruang hijau, padahal sebelumnya industri kapitalis sudah mengkonversi 5.155 Ha area hijau menjadi mall, pemukiman mewah, hotel dan pabrik-pabrik.

Ekologi Politik Urbanisasi melihat bahwa bisa jadi pemecahan masalah di perkotaan adalah dengan tindakan nyata di pedesaan. Dengan adanya desentralisasi yang lebih “meruang”, tidak hanya politik, tapi juga memberi kesempatan bagi masyarakat untuk bisa hidup sejahtera di pedesaan.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Semakin maraknya pembangunan kota-kota besar di Indonesia dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai dampaknya, kota-kota tersebut akan menjadi tujuan utama bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Hal ini sering disebut dengan Urbanisasi.

Pemerintah saat ini harus menghadapi permasalahan pertumbuhan konsentrasi penduduk yang tinggi. Hal ini akan bertambah buruk apabila tidak diimbangi dengan adanya perkembangan juga dalam kondisi industrialisasi kota. Permasalahan yang akan timbul dengan adanya urbanisasi yang berlebih tidak hanya akan berdampak pada kota saja, akan tetapi juga akan berdampak pada desa yang ditinggalkan.

Masalah yang terjadi pada kota antara lain adalah semakin menigkatnya angka kemiskinan, semakin bertambahnya pemukiman kumuh, meningkatnya kejahatan dan masih banyak lagi masalah yang ditimbulkan. Selain itu di desa juga akan timbul masalah diantara lain adalah semakin berkurangnnya sumber daya manusia di desa sehingga desa tidak akan mengalami perkembangan yang nyata.

Urbanisasi tidak dapat dihentikan dan dihindari lagi. Oleh karena itu, Urbanisasi harus dikelola dengan tepat agar dapat menyejahterakan masyarakat yang tinggal di kawasan urban. Urbanisasi dipicu kerana perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan, khususnya antara pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, perkotaan menjadi tujuan utama penduduk untuk mencari pekerjaan. Dengan demikian, sebenarnya Urbanisasi merupakan suatu proses yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau mesyarakat (Stark, 1991). 

Pada umumnya kota-kota di negara berkembang tidak siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi para migran kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu membangun atau membeli rumah yang layak bagi mereka. Akibatnya timbul perkampungan kumuh dan liar di tanah-tanah pemerintah. Urban yang mendirikan pemukima liar di pusat kota serta gelandangan-gelandangan di jalan-jalan dapat merusak sarana dan prasarana yang telah ada, misalnya keberadaan trotoar yang seharusnya digunakan untuk akses bagi pejalan kaki justru digunakan sebagai tempat tinggal oleh paraa urban. Hal ini menyebabkan keadaan trotar menjadi kotor dan rusak sehingga tidak berfungsi lagi.    

Perkembangan kota yang semakin meningkat menimbulkan beberapa permasalahan, terutama dalam hal kebutuhan perumahan dan lahan hijau/terbuka. Pembangunan perumahan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta berdampak pada meningkatnya intensitas lahan terbangun, bahkan lahan konservasi juga dijadikan sebagai perluasan pemukiman kota. Intensitas lahan terbangun yang terus meningkat menyebabkan semakin sulit dijumpainya lahan hijau atau lahan terbuka yang berfungsi sebagai ruang publik.

Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan telah banyak dimanfaatkan oleh para urban sebagai lahan pemukiman, perdagangan, dan perindustrian yang legal maupun illegal. Pengalihan fungsi lahan secara berlebihan dapat menimbulkan ketidakseimbangan alam akibat pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan terpadu. Pengelolaan sarana dan prasarana kota yang tidak baik juga akan menyebabkan semakin tingginya angka kerusakan alam seperti banjir, tanah longsor, polusi udara, tanah dan air. 

Dampak lain yang timbul akibat urbanisasi adalah semakin meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Meningkatnya jumlah pencari kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang ada mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan semi pengangguran di kota-kota besar. Terbatasnya pendidikan, kemampuan dan ketrampilan juga menjadi penghalang bagi pencari pekerja untuk mendapatkan pekerjaan. Dampak negative lain yang timbul dari urbanisasi yaitu meningkatnya kriminalitas di perkotaan. Himpitan akan tuntutan hidup yang tidak dapat terpenuhi membuat sebagian individu memilih bertahan hidup dengan hal ini. Tindakan seperti mencuri, merampok, membunuh, dan sebagainya menjadi pemandangan yang tidak asing lagi dalam kehidupan perkotaan.

Masalah yang ditimbulkan urbanisasi masih begitu banyak, oleh karena itu perlu penanganan yang serius dari pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Namun berbagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi urbanisasi memerlukan kerja sama dari berbagai pihak mulai dari pemerintah dan penduduknya. Tanpa adanya senergitas dalam melaksakan upaya penekanan urbanisasi maka urbanisasi akan terus terjadi. Vendre une voiture accidentée sans controle technique,taxi, Audi, BMW, Mercedes-Benz, Renault, Peugeot, VW - rachat vehicule hs

Pada akhirnya, keberhasilan mengelola urbanisasi akan mempresentasikan pertumbuhan ekonomi inklusif dan menjamin pemerataan, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan serta menjaga ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. (*)

***

*)Oleh: Mohammad Irfani, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail:

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Sebutkan 5 Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan di Indonesia

Pemukiman informal di pinggiran Mumbai, India. Foto oleh Johnny Miller/Unequal Scenes

Bayangkan Lagos, sebuah kota di Nigeria dengan populasi 22 juta jiwa, yang beberapa dekade lalu hanyalah sebuah kota pesisir kecil. Kini, Lagos telah berkembang menjadi sebuah megacity seluas 727 km2. Karena pertumbuhan yang begitu pesat, kota ini mengalami penurunan kualitas sarana dan prasarana yang signifikan: Kurang dari 10 persen rumah memiliki saluran pembuangan; kurang dari 20 persen rumah memiliki akses ke air leding. Ditambah, semakin menjamurnya rumah-rumah yang terletak di pemukiman kumuh dan informal di pinggiran kota.

Sekarang, bayangkan Lagos tumbuh dua kali lipat lebih besar.

Lagos hanyalah satu dari sekian banyak kota yang disinyalir akan tumbuh pesat dalam tiga dekade mendatang, baik dari segi populasi maupun luas wilayah. Menurut data terbaru, luas area perkotaan kemungkinan akan meningkat 80 persen secara global dari tahun 2018 sampai 2030, dengan asumsi tingkat pertumbuhan tahunan tidak berubah. Apabila kota-kota ini berkembang secara horizontal, bukan vertikal, seperti halnya pertumbuhan di Lagos, maka kesenjangan ruang dan ekonomi serta akses terhadap sumber daya alam akan semakin buruk.

Sebutkan 5 Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan di Indonesia

Luas wilayah Lagos diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat pada 2050. Kredit foto oleh Heinrich-Böll-Stiftung/Flickr

Pada makalah Laporan World Resources terbaru, Upward and Outward Growth: Managing Urban Expansion for More Equitable Cities in the Global South, kami menganalisis pola pertumbuhan di 499 kota menggunakan metode pengindraan jauh. Saat kota-kota makmur di belahan Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur tumbuh vertikal dengan gedung-gedung pencakar langitnya, kota-kota di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan justru tumbuh secara horizontal. Sejumlah kota yang tumbuh horizontal ini bisa dibilang adalah kota-kota dengan dana pengelolaan pertumbuhan paling sedikit, namun dengan proyeksi pertumbuhan populasi yang cukup besar yakni hingga 2 miliar pada tahun 2050 mendatang. Data PBB terkini menunjukkan bahwa 35 persen pertumbuhan populasi perkotaan global antara tahun 2018 dan 2050 akan dikontribusikan oleh tiga negara saja—India, Tiongkok dan Nigeria. Seiring bertambahnya populasi dan berlanjutnya pertumbuhan pesat secara horizontal, pada akhirnya kota-kota tersebut pun akan menemui krisis baru.

<iframe src="https://public.flourish.studio/story/24697/embed" scrolling="no" style="width: 800px; height: 600px; border: 0"></iframe>

3 Konsekuensi Perluasan Wilayah Perkotaan yang Tidak Terkelola

Kegagalan dalam mengelola perluasan wilayah bukan hanya akan memperburuk kesenjangan, namun juga akan mengakibatkan dampak risiko ekonomi dan lingkungan hidup yang lebih besar bagi kota tersebut secara keseluruhan. Dari Mumbai sampai Mexico City, melihat daerah kumuh yang luas dan padat tumbuh berdampingan dengan gedung bertingkat dengan haga yang tidak terjangkau dan sering kali kosong tak berpenghuni sudah tidakaneh lagi. Masalahnya, ketika jaringan layanan kota tidak dapat mengimbangi pertumbuhan perkotaan, kota-kota dengan sumber daya terbatas justru cenderung mengikuti tren pembangunan bukannya meminta bantuan agen pembangunan untuk merencanakan pertumbuhan secara proaktif.

Beberapa implikasi dari pertumbuhan yang tidak terkelola ini termasuk:

  • Kesenjangan yang Semakin Besar: Sama halnya dengan Lagos, banyak kota tengah berjuang melawan kesenjangan, penyediaan layanan yang tidak memadai dan kapasitas kota yang tidak lagi memadai. Perluasan wilayah yang tidak terkelola justru semakin memperburuk keadaan ini. Alhasil, keluarga berpenghasilan rendah pindah ke pinggiran kota untuk mencari perumahan yang terjangkau. Walaupun semakin jauh dari pusat kota, kehidupan keluarga berpenghasilan rendah ini justru akan semakin sulit. Keluarga di pinggiran kota harus menghabiskan uang dua kali lebih banyak dan waktu tempuh tiga kali lipat lebih lama menuju kantor, sekolah dan tempat hiburan di pusat kota. Semakin luas kota ini bertumbuh, dinas layanan kota semakin kesulitan menyediakan air, layanan sanitasi dan listrik. Hingga akhirnya penduduk harus bergantung pada layanan informal—seperti truk air pribadi dan pengepul sampah dengan biaya 30 kali lebih mahal dari dinas layanan kota—atau terpaksa hidup tanpa ketiga layanan mendasar tersebut, yang kemudian berdampak terhadap kesehatan serta kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Hanya penduduk berada yang mampu menjangkau biaya layanan yang tinggi tersebut, sehingga banyak penduduk perkotaan hidup tanpa layanan yang memadai. Pola pertumbuhan tanpa pengelolaan yang jelas ini memiliki efek jangka panjang terhadap akses kepada peluang, produktivitas dan kualitas hidup.

  • Tekanan Ekonomi di Seluruh Kota: Penelitian menunjukkan bahwa jika kota tumbuh secara horizontal, kepadatan populasi akan menurun namun biaya layanan publik meningkat. Pada kota-kota di India dan Afrika, sarana seperti jalan beraspal, drainase dan air leding menurun drastis begitu mencapai 5 kilometer dari pusat kota. Investasi untuk infrastruktur baru dan biaya sosial untuk menutupi defisit ini akan terus meningkat seiring bertambahnya perluasan wilayah perkotaan. Perluasan kota juga turut menambah kemacetan, polusi serta waktu tempuh. Udara kotor, yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan mobil pribadi dan truk secara berlebih, mengakibatkan biaya sosial dan ekonomi membengkak, seperti dampak kesehatan dan kerusakan panen. Di Chengdu, Tiongkok, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh polusi udara terkait transportasi mencapai US$3 miliar di tahun 2013.

  • Masalah Lingkungan Hidup: Secara global, tingkat pertumbuhan wilayah perkotaan jauh melampaui pertumbuhan populasi. Namun biasanya, hal ini tercapai dengan mengorbankan lahan pertanian utama, ekosistem dan keanekaragaman hayati, yang memengaruhi produksi pangan dan ketahanan iklim. Saat ini, beberapa wilayah perkotaan dengan pertumbuhan paling pesat berada di wilayah pesisir dataran rendah, dataran banjir, titik-titik keanekaragaman hayati dan wilayah dengan tekanan air yang tinggi. Pertumbuhan tidak terkendali pada ekosistem-ekosistem sensitif di atas dapat semakin membebani sumber daya alam dan menyebabkan bencana banjir di sejumlah kota di Asia Selatan saat musim hujan datang. Penggalian sumur tidak resmi di kota-kota seperti Mexico City, Bangalore dan Jakarta, yang tumbuh pesat secara horizontal dengan air leding yang terbatas dan tekanan air yang tinggi, dapat menyebabkan seluruh kota terendam banjir. Khusus di Jakarta, kondisi ini sangat meresahkan. Menurut para ahli, berdasarkan perhitungan kenaikan permukaan air laut, Jakarta hanya memiliki waktu satu dekade untuk menghentikan kondisi ini, sebelum akhirnya jutaan rumah tenggelam.

Sebutkan 5 Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan di Indonesia

Mengendalikan Perluasan yang Tidak Terkelola

Dampak-dampak yang telah dikemukakan di atas diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar pertumbuhan horizontal yang saat ini tengah berlangsung di Afrika dan Asia Selatan adalah pertumbuhan yang tidak terencana dan tidak resmi, atau berlangsung di lokasi-lokasi yang tidak memberlakukan peraturan tata guna lahan perkotaan. Sebagian perluasan ini berada di luar kendali kota, sejalan dengan peningkatan populasi alami dan migrasi penduduk dari pedesaan menuju perkotaan demi meraih peluang ekonomi. Namun, masih ada beberapa tantangan lain yang dapat dikelola oleh kota secara proaktif.

Sebagai contoh, pasar tanah yang sudah terdistorsi dapat menyebabkan pembangunan seara spekulatif dan terpecah-belah, sehingga pemilik lahan pribadi, pengembang real estat dan pejabat pemerintah yang korup dapat mendulang keuntungan yang tidak seharusnya dari kenaikan harga tanah. Perencanaan yang lemah, peraturan penggunaan lahan yang tidak efektif dan kondisi pasar tertentu diketahui dapat memicu perluasan, kemudian menggeser perumahan terjangkau ke lokasi yang tidak memiliki akses layanan atau memiliki akses layanan yang buruk di pinggiran kota. Selain itu, lahan pertanian dan desa-desa pinggiran secara serampangan beralih fungsi menjadi pemukiman informal atau daerah kumuh yang tidak memiliki akses terhadap layanan kota.

Meskipun dihadapkan pada tantangan yang berat, beberapa kota telah menerapkan pendekatan inovatif dengan mengutamakan akses layanan dan mengelola perluasan wilayah perkotaan. Kota-kota di Meksiko, Brasil dan Afrika Selatan berusaha menggeser pembangunan baru ke wilayah-wilayah yang telah terhubung dan memiliki akses layanan yang baik, dibandingkan membangun secara horizontal ke pinggiran kota. Kota-kota di Kolombia, Korea Selatan dan India secara bertahap menambah lahan baru di lokasi yang telah terhubung dan memiliki akses layanan yang baik dengan menggandeng sarana publik dan perusahaan swasta untuk mendukung pembiayaan. Sejumlah kota juga telah bekerja sama dengan masyarakat di pemukiman informal untuk menjaga kepadatan di tingkat yang masuk akal dengan standar perencanaan dan upaya peningkatan yang lebih fleksibel.

Dampak perubahan kebijakan penggunaan lahan di kota dapat dirasakan selama beberapa dekade. Kota-kota di Afrika dan Asia punya pilihan untuk mulai mengelola perluasan secara horizontal yang tidak berkelanjutan dari sekarang atau menerima dampak yang lebih buruk di kemudian hari.