Sanksi pelanggaran rahasia bank pasal 47 ayat (2)

15 Juli 2019, 09:32 WIB | Telah dibaca : 19487 kali

Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perbankan mengharuskan Rahasia Bank Wajib tidak Dirahasiakan

Asas rahasia pada lembaga keuangan perbankan sudah dikenal sejak lama. Hal tersebut dimulai ketika runtuhnya feodalisme dalam pertarungan memperjuangkan hak–hak individu dalam perdagangan.  Keterangan–keterangan mengenai soal keuangan dan pribadi nasabah menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar bagi perlindungan hak milik pribadi dan kelangsungan praktek perdagangan. Menjelang pertengahan abad ke-19, boleh dikatakan semua pemerintahan di Eropa Barat telah mensahkan asas kerahasiaan perbankan dan telah mengakomodir undang–undang serupa di setiap negara yang menghendaki sistem perbankan yang tertib.[1]

            Pengertian Rahasia Bank dapat kita temui dalam Pasal 1 angka 28 Undang–undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan):

“Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya.”

Prinsip kerahasiaan bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi kepentingan nasabah bank agar terlindungi kerahasiaan yang menyangkut keadaan keuangannya dan data pribadi nasabah.[2] Disamping itu, kerahasiaan bank juga diperuntukan untuk kepentingan bank itu sendiri, karena bank dapat dipercaya oleh nasabah untuk mengelola uangnya.[3] Oleh karenanya prinsip kerahasiaan bank merupakan jiwa dari sistem perbankan. Gambaran betapa pentingnya kerahasiaan bank yang harus dipegang oleh perbankan dapat dilihat dalam Tournier v. National Provicial and Union Bank of England pada 1924.[4] Kasus ini kerapkali dijadikan acuan dalam sistem common law yang secara jelas menunjukan bahwa hak dari nasabah dilindungi oleh hukum salah satunya yaitu kerahasiaan informasi nasabah oleh bank. Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan dari nasabahnya sehingga bank dituntut untuk dapat menjaga kerahasiaan atas segala data dan informasi yang terkait dengan nasabahnya termasuk informasi transaksi keuangan yang dilakukan nasabahnya.

[1] Muhammad Djumhana, Rahasia Bank (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 112

[1] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 145

[1]  Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi Versus Kepentingan Umum (Jakarta: Program Pasca Sarjana, 2003) hlm.145

[1] Tournier v National Provincial and Union Bank of England (1924) 1 KB 46

Pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan telah menjadikan bank sebagai sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang. Bank dipilih menjadi tempat pencucian uang karena banyak menawarkan jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul suatu dana.[5] Hal ini dapat kita lihat dalam kasus Inong Malinda atau yang lebih dikenal dengan Malinda Dee dalam Putusan Kasasi No. 1607 K/PID.SUS/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan itu pada intinya menyatakan Malinda Dee telah melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang melibatkan beberapa bank seperti Bank Mega dan Bank BCA. Salah satu penyebab maraknya tindak pidana pencucian uang dengan sarana bank karena bank sebagai lembaga keuangan yang berbasis kepercayaan memberikan jaminan kerahasiaan atas data nasabah sebagai rahasia bank.

Secara teori ada dua pendapat tentang rahasia bank yaitu:[6]

1.      Teori rahasia bank bersifat mutlak, yaitu bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun. Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan dengan alasan apapun dan oleh siapapun.

2.      Teori rahasia bank bersifat nisbi/relatif, yaitu bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya untuk suatu kepentingan mendesak, misalnya demi kepentingan negara atau kepentingan umum.

Teori rahasia bank bersifat nisbi dalam penerapannya akan berdasarkan pada asas proporsional sebelum membuka informasi rahasia bank. Asas proporsional menghendaki pertimbangan kepentingan mana yang lebih berat yaitu tidak membuka rahasia yang berarti menyimpan rahasia untuk kepentingan terbatas atau membuka rahasia demi kepentingan negara.[7] Indonesia dalam praktek dan aturan menganut teori rahasia bank bersifat nisbi hal ini dapat dilihat dalam UU Perbankan Indonesia yang mengecualikan rahasia bank untuk kepentingan umum seperti:

a.      Perpajakan (Pasal 41 ayat (1));

b.      Penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A ayat (1));

c.      Peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42 ayat (1));

d.      Perkara perdata antara bank dan nasabahnya (Pasal 43);

e.      Tukar menukar informasi antar bank (Pasal 44 ayat (1));

f.        Permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A ayat (1));

g.      Permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah meninggal dunia (Pasal 44A ayat 2).

Hal ini sejalan dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya Pasal 72 ayat (2) yang pada intinya menyatakan untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum atau hakim dinisbikan atau dikesampingkan ketentuan peraturan perundang–undangan yang mengatur rahasia bank dan transaksi keuangan lainnya. Oleh karenanya, upaya untuk mencegah dijadikannya bank sebagai sarana pencucian uang sangat dimungkinkan untuk membuka rahasia bank. Selain itu, pihak bank harus menerapkan prinsip mengenal nasabah dengan melakukan Customer Due Diligence (CDD) kepada setiap nasabahnya. CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi dan pemantau kesesuaian transaksi dengan profil nasabah. Oleh karenanya sedini mungkin pihak bank bisa mencegah tindak pidana pencucian uang yang menggunakan sarana perbankan.

[1] Muhammad Djumhana, Rahasia Bank (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 112

[2] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 145

[3]  Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi Versus Kepentingan Umum (Jakarta: Program Pasca Sarjana, 2003) hlm.145

[4] Tournier v National Provincial and Union Bank of England (1924) 1 KB 46

[5] Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 1

[6] Supra Note 1, hlm. 117

[7] Id

Penulis: Oleh: Hidayatullah M. A. Nasution

Tags : pencucian uang, bank, perbankan Tweet 

Sanksi pelanggaran rahasia bank pasal 47 ayat (2)
Sanksi pelanggaran rahasia bank pasal 47 ayat (2)
Praktisi Hukum, Dahlan Pido SH. MH.

Oleh: Dahlan Pido SH. MH. (Praktisi Hukum)

Data pribadi adalah setiap data tentang kehidupan seseorang. Baik yang teridentifikasi dan atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada sejumlah ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi.

Data pribadi yang memerlukan perlindungan khusus yang terdiri dari data yang berkaitan dengan agama atau keyakinan, kesehatan, kondisi fisik, kondisi mental, kehidupan seksual, data keuangan pribadi, dan data pribadi lainnya yang mungkin dapat membahayakan dan merugikan privasi subjek data.

Pada era sekarang banyak pihak yang melakukan pelanggaran terhadap kerahasiaan data pribadi tanpa sepengetahuan pemilik data, seperti bocornya data Nasabah Perbankan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam penyelidikan Kepolisian RI (POLRI).

Dari berbagai kasus yang terjadi, setidak-tidaknya terdapat dua faktor penyebab bocornya data pribadi seseorang karena adanya kepentingan oknum yang tidak bertanggung jawab dengan memperjualbelikan data pribadi kepada pihak ketiga.

TENTANG KEBOCORAN RAHASIA DATA RAHASIA PERBANKAN

Undang-undang mengenai rahasia perbankan telah diberlakukan di setiap negara yang menghendaki sistem perbankan yang tertib. Karena kewajiban Bank untuk menjaga kerahasiaan data nasabahnya merupakan salah satu kunci untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap Bank.

Pengertian rahasia Bank berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992, dan PERPU No. 23 Tahun 1960 tentang rahasia Bank, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai simpanan Nasabahnya.

Berdasarkan Pasal 40 Ayat (1) UU Perbankan, kerahasiaan bank dikecualikan dalam hal-hal yang termuat dalam ketentuan Pasal 41, 41 A, 42, 43, 44 dan Pasal 44 A.

Pengecualian tersebut, karena kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang Bank yang telah diserahkan kepada BULPN/PUPN, kepentingan Peradilan dalam perkara pidana, perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah, tukar-menukar informasi antarbank dan permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah penyimpan atau ahli warisnya.

Perlindungan hukum terhadap Nasabah sebelum terjadinya sengketa dapat diupayakan oleh bank dalam bentuk bagaimana bank tersebut menjalankan usahanya dengan prinsip kehati-hatian (Preventif). Sedangkan perlindungan Nasabah setelah terjadinya sengketa dapat dilakukan dengan mekanisme tertentu yang disediakan bagi Nasabah yang mengalami pelanggaran atas kerahasiaan data.

Fasilitas pengaduan Nasabah disediakan oleh Bank Indonesia bagi Nasabah yang haknya dilanggar (Represif), dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan terkait dengan rahasia Bank, dalam Pasal 40 ayat (1), UU 10/1998 telah mengatur bahwa Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah dan simpanannya, kecuali dalam hal:

  1. Untuk kepentingan perpajakan berdasarkan permintaan Menteri Keuangan;
  2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Panitia Urusan Piutang Negara;
  3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
  4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya;
  5. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank;
  6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpanan yang dibuat secara tertulis.

Apabila ada pelanggaran kerahasiaan Bank, maka Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/1998, menyatakan:

  1. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa Bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah).
  2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang kurangnya Rp 4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (delapan miliar rupiah).

Terkait permintaan rahasia Bank, orang yang memaksa pihak Bank atau pihak afiliasi untuk kepentingan perpajakan, piutang Bank, dan kepentingan Pengadilan dalamperkara Pidana.

Dalam Pasal 3 ayat (1) PBI 2/19/2000 menegaskan bahwa,pelaksanaan ketentuan permintaan rahasia Bank terkait masalah di atas, wajib terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka rahasia Bank dari pimpinan BI.

Rahasia Bank untuk Kepentingan Perkara Pidana Untuk kepentingan Peradilan dalam perkara Pidana, pimpinan BI dapat memberikan izin tertulis kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa. Izin ini diberikan atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI atau Ketua Mahkamah Agung RI.

Oleh karena itu, jika ada yang dirugikan oleh kebocoran rahasia perbankan dapat melaporkan berdasar Pasal 108 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis;
  2. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;
  3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik;
  4. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu;
  5. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik;
  6. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Selanjutnya Kepolisian yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan atau penyidikan yang diperlukan.

TENTANG BOCORNYA BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP)

Pakar hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Prof Dr Mudzakkir SH MH mengatakan, bahwa BAP merupakan bagian penanganan hukum yang bersifat rahasia. BAP tidak patut menjadi konsumsi publik karena dapat mengganggu proses penyidikan dan pengembangan kepada tersangka lain. Selain itu BAP bisa berdampak pada terganggunya penyidikan dengan calon tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengganggu saksi.

Pembocor BAP itu melanggar etika, bahkan kalau berakibat mengganggu proses penyidikan, bisa kena pasal menghalangi proses penanganan perkara. Dalam Pasal 72 KUHAP menyatakan, bahwa:

“Atas permintaan tersangka atau penasihat hukum, pejabat/penyidik yang bersangkutan dapat memberikan turunan BAP untuk kepentingan pembelaannya, yang kemudian wajib menyimpan isi BAP tersebut untuk diri sendiri.”

Sehingga secara hukum, hanya Tersangka yang boleh meminta turunan/salinan BAP yang telah ditandatanganinya, yaitu hanya untuk disimpan Tersangka/Penasihat Hukumnya sendiri untuk kepentingan pembelaannya.

Sedangkan untuk saksi boleh meminta turunan BAP-nya dalam tingkat Penyidikan. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) sebagai asas Hukum Acara Pidana yang bersifat universal (Butir 3 c Penjelasan KUHAP). Artinya, jangan sampai BAP saksi tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab dan menjadi konsumsi publik, sementara dugaan tindak Pidana tersebut belum terbukti dengan adanya Putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).

Dalam hal menghalang-halangi seperti disebutkan di atas, terdapat dalam Pasal 221 KUHP, diatur mengenai hukuman pidana orang yang menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan:

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan bagi:

(1). Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;

(2). Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.

  1. Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.(*)