A. Tahap Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Bahkan, apabila etika penyelidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyelidikan dalam menjalankan tugas -tugas penyelidikan tidak menutup kemungkinan akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas yang dapat menghasilkan persoalan baru. Menurut undang-undang No 26 tahun 2000 pasal 1 angka 5 penyelidik dalam hal ini memiliki kewajiban, diantaranya:
Lalu hasil penyelidikan yang telah didapat akan selanjutnya di laporkan kepada penyidik. Penyelidik dalam hal ini dapat melakukan tindakan seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan apabila didapati terlapor tertangkap tangan tanpa harus menunggu persetujuan penyidik. Penyelidik juga memiliki kewenangan dalam pemeriksaan surat, penyitaan surat, mengambil sidik jari, dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Wewenang lain yakni dapat membawa dan mengahadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. B. Tahapan Penyidikan Mengenai penyidikan ini tercantum didalam pasal 1 butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berisi: “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan” Selain itu Yahya Harahap juga memberi pengertian mengenai penyidikan dan penyidik, yakni: “Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal 1 Butir 1 dan 2, Merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya” Tugas dan Wewenang Penyidik ini tercantum didalam pasal 7 ayat (1) KUHP jo Pasal 16 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002, yakni:
Menurut Hamrat Hamid dan Harun Husein, secara formal prosedural, suatu proses penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik, Setelah pihak Kepolisian menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang penyidik yang telah memulai melaksanakan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana, penyidik harus sesegera mungkin untuk memberitahukan telah mulai penyidikan kepada Penuntut Umum. Untuk mencegah penyidikan yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian, seorang penyidik kepada Penuntut Umum, sementara di pihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada penyidik mengenai perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Apabila dalam hal penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik wajib mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) yang mana tembusan surat tersebut dismpaikan kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). Sedangkan telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, yang mana jika Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap maka berkas perkara akan dikembalikan disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik, dan setelah berkas perkara diterima kembali oleh penyidik, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum (Pasal 110 KUHAP). C. Tahap Penuntutan Penuntutan dalam hal ini tercantum didalam pasal 1 butir 7 KUHAP, yakni: “Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Dalam hal ini yang berhak melakukan penuntutan yakni pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b, yakni: “Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan melaksanakan penetapan hakim “ Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut Umum berkewajiban untuk membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Wewenang Jaksa Penuntut Umum tercantum dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, yakni:
D. Tahapan Persidangan Setelah melewati tahap penyelidikan, penyidikan, dan penyelidikan maka tahapan selanjutnya ialah pesidangan. Tahap persidangan ini dimulai setelah tahap pemeriksaan pengadilan. Dalam hal ini ditetapkan 3 orang majelis hakim pada Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara. Setelah ditetapkan 3 orang majelis hakim maka selanjutnya di tentukan hari sidang. Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wettelijk). Hal ini tercantum dalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yakni: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa pidana dapat dijatuhi berdasarkan pada minima 2 alat bukti dan keyakinan hakim. Yang mana alat bukti itu sendiri diatur dalam pasal 184 ayat (1), yakni: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa. Secara singkat proses pada tahapan persidangan ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Tahap pertama, UPAYA DAMAI Tahap kedua, PEMBACAAN GUGATAN/PERMOHONAN Tahap ketiga, JAWABAN TERGUGAT/TERMOHON Tahap keempat, REPLIK Tahap kelima, DUPLIK Tahap keenam, PEMBUKTIAN Tahap ketujuh, KESIMPULAN Tahap kedelapan, MUSYAWARAH MAJELIS Tahap kesembilan, PEMBACAAN PUTUSAN Referensi:
https://www.kompasiana.com/sitim4ryam/550e2d24813311c42cbc631f/proses-pemeriksaan-perkara-pidana-di-indonesia?page=all |