Pertanyaan tentang Surat Ali Imran ayat 190 -- 191

Jakarta -

Surah Ali Imran adalah surah urutan ke tiga dalam Al Quran dan merupakan golongan surah Madaniyah. Jumlah ayat dalam satu surahnya sebanyak 200 ayat. Termasuk di dalamnya ayat ke-190 dan 191 yang istimewa hingga membuat Rasulullah menangis saat turunnya ayat tersebut.

Dikisahkan dari istri Rasulullah SAW, Aisyah RA, pada suatu malam ketika mereka tidur bersama, Rasul berkata: "Ya Aisyah, izinkan aku beribadah kepada Rabb-ku." yang kemudian dijawab oleh Aisyah:

"Aku sesungguhnya senang merapat denganmu, tetapi aku senang melihatmu beribadah kepada Rabbmu,"

Pada waktu sholat, Rasulullah SAW menangis sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Al Quran yang dibacanya. Setelah sholat, beliau duduk memuji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.

Kemudian Bilal datang untuk adzan subuh dan melihat Rasulullah SAW menangis, ia bertanya:

"Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang?"

Rasulullah menjawab, "Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah telah menurunkan ayat (QS. Ali Imran: 190-191) kepadaku."

Selanjutnya beliau berkata, "Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikirkan dan merenungkan kandungan artinya."

Adapun bunyi bacaan Al Quran surah Ali Imran ayat 190-191 yang pernah membuat Rasulullah sampai menangis saat membacanya:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

190. Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal," (QS. Ali Imran: 190)

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

191. Artinya: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka," (QS. Ali Imran: 191)

Ayat ini juga disebut dengan ayat tentang ulil albab, karakter yang sudah seharusnya dimiliki oleh seorang muslim. Atau, menurut buku yang bertajuk Agar Layar Tetap Terkembang karya Didin Hafidhuddin dan Budi Handrianto, ulil albab adalah mereka yang senantiasa berzikir kepada Allah dan memikirkan alam ciptaan-Nya sebagaimana digambarkan dalam Al Quran.

Melansir dari tafsir Kemenag, dua ayat ini menjelaskan tentang tanda-tanda kebesaran Allah. Tanda-tanda ini hanya dipahami bagi orang yang berakal atau orang yang tidak diselubungi akal untuk menciptakan kehancurhan.

Orang-orang berakal yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang senantiasa memikirkan ciptaan Allah, merenungkan keindahan ciptaan-Nya, kemudian dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat-Nya, seraya berdzikir kepada Allah dengan hati, lisan, dan anggota tubuh seraya menjalankan aktivitas sehari-harinya.

Seorang muslim yang disebut dengan ulil albab pada ayat ini juga merujuk pada para ilmuwan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta tawadhu. Nantinya mereka akan mampu menyingkap rahasia alam tentang kompleksnya fenomena penciptaan Allah SWT. Wallahu'alam.

(erd/erd)

Salah satu jalan terbaik untuk mengenal Tuhan adalah jalan yang dijadikan Allah Swt sebagai agumen atas diri-Nya sendiri dan jalan itu adalah memberdayakan akal untuk mengenal Sang Pencipta; artinya apabila manusia memanfaatkan dan memberdayakan akalnya dan memikirkan tentang penciptaan semesta, pelbagai keajaiban penciptaan dan keteraturan yang mendominasi penciptaan maka ia akan terbimbing memahami keesaan Sang Pencipta alam semesta ini dan mengakui tentang kebijaksanaan dan keagungan ciptaan-Nya. Berpikir adalah salah satu tipologi terpenting manusia. Berpikir merupakan salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Ilahi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan berulang kali al-Quran menyeru manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya.

Ayat ini merupakan seruan kepada manusia untuk berpikir tentang proses penciptaan semesta.[1] Ayat ini disertai dengan ayat-ayat serupa,[2] menetapkan tentang keesaan Sang Pencipta. Karena apabila seseorang mencermati dan memikirkan tentang proses penciptaan langit-langit dan bumi, maka ia akan menemukan tanda-tanda terang atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntut para hamba kepada Allah Swt dan hari Kimaat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.


Manusia apabila memikirkan tentang proses penciptaan langit dan bumi, akan menemukan bahwa seluruh ini tadinya tiada kini mengada (baca: hadits) dan memerlukan pencipta dan Khaliq. Pencipta mereka adalah Tuhan; karena pada sistem penciptaan yang menakjubkan, terdapat rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak dapat dilakukan selain seorang yang Mahabijaksana. Karena itu, pencipta semesta ini tentulah seorang Pencipta Yang Mahabijak, Mahamengetahui dan tersifati dengan sifat-sifat sempurna dan agung. Salah satu ayat dan tanda penciptaan-Nya yang dirasakan oleh setiap manusia adalah silih bergantinya siang dan malam yang berputar berdasarkan sistem yang akurat dan cermat serta memiliki pengaruh, keberkahan dan pengaruh yang dapat dirasaan oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang serupa berbicara tentang hal ini. Tatkala orang-orang musyrik Mekkah datang kepada Rasulullah Saw dan meminta mukjizat untuk menetapkan keberadaan Tuhan dan kenabian Muhammad. Salah satu usulan mereka yang disampaikan kepada Rasululah Saw, “Ubahlah gunung Shafa menjadi emas.” Allah Swt menjawab permintaan mereka, “Penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, sangat penting untuk dapat menetapkan Sang Pencipta bagi orang-orang yang berakal; artinya apabila manusia menggunakan akal dan memberdayakan pikirannya maka hal itu akan membimbingnya kepada Sang Pencipta. Apakah mungkin langit-langit dan bumi, segala ciptaan yang menakjubkan yang ada di dalamnya, dapat mengada tanpa ada yang mengadakannya? Apakah mungkin dapat diterima siang dan malam yang datang silih berganti secara teratur pada setiap bulan dan tahun bahkan sedetik pun tidak pernah menyelisih siklus perputarannya dapat sedemikian teratur tanpa pencipta yang berkuasa? Apakah penciptaan makhluk-makhluk seperti ini lebih penting atau gunung Shafa yang ingin dirubah menjadi emas?

Apa yang dapat dijadikan sebagai penafsiran ayat mulia ini secara global dapat dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan tentang masalah tauhid dan menyatakan, “Langit-langit ini yang berada di atas kita dan menaungi kita, dengan segala kecermatan dalam penciptaannya dan bumi yang memeluk kita dan alas yang kita jejaki di atasnya, dengan segala keajaibannya, dengan segala keanehan dalam perubahan-perubahannya, misalnya silih bergantinya siang dan malam, segala sesuatunya memerlukan Sang Pencipta yang mengadakan dan menciptakannya. Hal ini merupakan salah satu argumen (burhân) yang dapat disuguhkan pada ayat ini terkait dengan masalah tauhid.

Argumen lainnya adalah sistem dan mekanisme yang berlaku di alam semeta; hasil dari argumen ini perut bumi dari sisi berat, kecil dan besarnya, jauh dan dekatnya masing-masing berbeda. Apabila manusia mencermatinya, maka ia akan menyimpulkan bahwa sedemikian menakjubkan dan indahnya sistem yang berlaku di alam semesta, alam dengan segala keluasaanya dari sisi mana pun memberikan pengaruh pada sisi lainnya, setiap bagian-bagiannya yang dapat mengada di setiap tempat, terpengaruh pada bagian-bagian lainnya, gravitasi umumnya yang satu sama lain saling bertautan, demikian juga cahaya dan panasnya, dengan pengaruhnya yang menggerakan gerak dan zaman. Sistem umum dan general ini berada di bawah satu aturan yang permanen dan bahkan hukum relativitas pun memandang gerak umum di alam semesta ini senantiasa berubah. Hukum relativitas mau-tak mau mengakui bahwa ia juga didominasi oleh hukum lain, yaitu aturan yang permanen yaitu adanya perubahan dan pergantian. Ringkasan makna  dua ayat ini: mereka yang memandang langit-langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam dengan pikiran dan perenungan maka perenungan ini akan melahirkan dzikir kepada Allah Swt sehingga dalam perbagai kondisi, berdiri, duduk, diam, menyaksikan dengan seksama seluruh makhluk yang ada di alam semesta yang akan membimbing mereka dari makhluk yang paling kecil pada keberadaan sosok Perencana dan Pelukis alam semesta. Peta yang menarik yang nampak pada setiap sudut dan sisi penciptaan semesta, sedemikian menyedot perhatian orang-orang berakal sehingga pikiran-pikirannya dalam setiap kondisi, baik berdiri, duduk, diam dan seterusnya mengingat Tuhan Sang Pencipta. Pada setiap fenomena yang disaksikan, ia belajar sebuah pelajaran tauhid yang baru dan dari sketsa indah alam semesta ia memahami pencipta-Nya yang sama sekali tidak menciptakan semesta yang menakjubkan ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan.

Orang-orang berakal, hasil dari pikiran dan renungan seperti ini ia tidak akan melupakan Tuhan dalam setiap kondisi dan dengan perantara itu ia akan mengetahui bahwa Allah Swt akan segera memebangkitkan mereka dan atas dasar itu memohon rahmat Ilah dan memohon supaya janji Ilahi dapat segera terrealisir baginya.[3] [iQuest]

 

Untuk telaah lebih jauh dalam hal ini silahkan lihat, Tafsir al-Mizan, terkait dengan ayat 164 surah al-Baqarah.

[1]. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”
Nampaknya yang dimaksud sebagai “kha-lq” di sini adalah kualitas wujud, pengaruh, gerak dan diam, berubahnya langit dan bumi, bukan pengadaannya.  Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 87, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.

[2]. Seperti ayat 164 surah al-Baqarah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan membawa apa yang berguna bagi manusia, air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering-kerontang), dan Dia tebarkan segala jenis hewan di atas bumi itu, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

[3]. Silahkan lihat, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 87; Sayid Abdul A’la, Mawâhib al-Rahman fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 7, hal. 17, Muasassah Ahlulbait As, Beirut, Cetakan Kedua, 1409; Muhammad Jawad Najafi Khomeini, Tafsir Âsân, jil. 3, hal. 106-107, Islamiyah, Tehran, 1398 H.