Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 18 September 1948

Pemberontakan yang dimaksud adalah pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan ini terjadi di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Untuk menghadapi pemberontakan, pemerintah bertindak tegas, Presiden Soekarno memberikan pilihan kepada rakyat ikut Muso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta.

Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah E.

 

76 Tahun kita sudah merdeka, apa yg sudah kita capai? Apa yang belum kita capai dan apa yg akan kita capai biarlah kita semua yang menjawab dalam diri masing-masing. Yang paling penting bukan apa yang telah dan akan kita capai yang paling penting adalah sampai kapan kita masih bisa bertahan sebagai sebuah bangsa, karena selagi kita masih bertahan dan bersatu maka apa pun dan sejauh apapun cita-cita akan bisa kita capai…..

Indonesia sudah beberapa kali menghadapi tantangan dan ancaman akan “terurai” atau terpecah sebagai suatu bangsa yang meskipun berat dan memakan korban masih bisa kita selamatkan. Hari ini kita akan masuk dalam pembahasan beberapa peristiwa masa lalu yang mengancam persatuan Indonesia.

 

  1. Pemberontakan PKI di Madiun.

Di kelas 11 kita sudah membahas tentang hal ini, biarkan saya mengingatkan kalian kembali. Peristiwa ini berawal dari keputusan Indonesia untuk menyetujui hasil Perundingan Renville. Dalam hasil perundingan tersebut, Indonesia kehilangan banyak wilayah penting dan harus memberikannya kepada Belanda. Selain itu pasukan Indonesia harus pindah dari wilayah yang sudah diberikan kepada Belanda ke wilayah Indonesia lewat perjanjian tersebut. Intinya adalah banyak pihak yang kecewa terhadap hasil perundingan tersebut dan keputusan Indonesia untuk menandatangani perjanjian tsb. Berikut wilayah Indonesia dalma perjanjian itu, perhatikan wilayah berwarna merah di gambar. (Jangan lupa pada perundigan sebelumnya di Linggarjati, Belanda mengakui wilayah Indonesia atas Jawa, Sumatera dan Madura, tapi wilayah itu berkurang lagi akibiat direbut Belanda dalam Agresi (serangan) militer mereka yang pertama tahun 1947. Nah dalam Perjanjian Renville, 1948, wilayah yang Belanda rebut itu menjadi miliknya, tentu saja wilayah Indonesia makin sedikit, lihat pada gambar).

Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 18 September 1948

            Perdana Menteri Amir Syarifudin yang menjadi wakil Indonesia dalam Perundingan Renville jatuh dan digantikan oleh Hatta. Amir Syarifudin dan  kelompoknya menjadi oposisi. Selama menjadi Perdana Menteri, Hatta banyak membuat kebijakan yang tidak disukai oposisi terutama mantan Perdana Menteri Amir yang membentuk FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang isinya PKI, PSI dan partai sosialis lainnya. FDR menuntut agar Hatta membatalkan Perjanjian Renville.

            FDR semakin percaya diri dengan kedatangan salah satu tokoh komunis Indonesia yg selama ini ada di Uni Soviet (Rusia) yaitu Musso. Mereka mengkritik kebijakan Hatta dan Presiden Soekarno yang dianggap lemah dan mau diajak berunding tanpa pengakuan kedaulatan dari Belanda.  Pada perkembangannya PKI membuat kekacauan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Solo dan menghasut buruh pabrik untuk mogok kerja. Perlu diingat bahwa Indonesia pada saat itu sedang disibukkan oleh perjuangan melawan Belanda. Selain itu PKI juga melakukan pembunuhan dan penculikan  terhadap tokoh-tokoh agama, pejabat pemerintah dan tentara yang menentang nya. Puncaknya pada 18 September 1948, Musso mendeklarasikan berdirinya Negara Soviet Indonesia.

            Berita ini langsung disambut kemarahan Bung Karno. Melalui radio, Bung Karno menyampaikan agar rakyat memilih untuk ikut Musso dan PKI atau Soekarno dan Hatta, dan pada akhirnya rakyat lebih banyak mendukung Soekarno. Panglima Besar Jenderal Sudirman menugaskan Kolonel Gatot Subroto dan Kolonel Sungkono untuk menumpas pemberontakan tersebut.

Dengan dukungan rakyat dan TNI, akhirnya pada 30 September 1948 kota Madiun berhasil dikuasai dan Musso berhasil ditembak mati di Somoroto, Ponorogo. Amir Syarifudin juga berhasil ditangkap dan akhirnya dihukum mati.  Sementara itu beberapa pemimpin PKI berhasil menyelamatkan diri dan menjadi tokoh-tokoh pemimpin PKI di masa depan. Namun sejak peristiwa G30S 1965, PKI dan komunisme menjadi partai dan ajaran terlarang di Indonesia.

 

  1. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

Selain menimbulkan pemberontakan Madiun, Perjanjian Renville juga menimbulkan penolakan dari kalangan pemimpin Islam yaitu Kartosuwiryo. Kartosuwiryo merupakan salah satu pemimpin tentara Indonesia di Jawa Barat. Sudah sejak lama Kartosuwiryo mendambakan berdirinya sebuah negara Islam di Indonesia. Pada 1942 ketika Indonesia dijajah Jepang, Kartosuwiryo sudah mendirikan lembaga pelatihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam yaitu Hizbullah dan Sabilillah sambil mengkampanyekan konsep negara Islam.

           Pada saat Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Kartosuwiryo mendukung dan berada di belakang kedua proklamator itu. Kartosuwiryo juga menyatakan  Kartosuwiryo menyatakan perang dengan Belanda, pasca terjadinya Agresi Militer Belanda yang pertama yang dalam hal ini sejalan dengan pemerintah Indonesia. Namun setelah Indonesia memutuskan menerima Perjanjian Renvile tahun 1948, Kartosuwiryo berubah haluan. Dia dan 4000 pasukannya menolak untuk meninggalkan Jawa Barat (Pasundan) yang adalah basis wilayah mereka seperti yang disepakati dalam perjanjian Renvile (perhatikan wilayah Jawa Barat di bawah)

Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 18 September 1948

 

Akhirnya Kartosuwiryo mendirikan Negara Islam Indonesia atau Darul Islam dan membentuk Tentara Islam Indonesia pada bulan Februari 1949. Tindakan ini tentu saja merupakan tindakan makar atau pemberontakan terhadap Pemerintah RI. Akhirnya pemerintah mengirimkan TNI untuk menumpanya.

            Selain tindakan militer, pemerintah juga sudah mengirimkan utusan yaitu Moh.Natsir untuk membujuk Kartosuwiryo agar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi namun tetap ditolak. Akhirnya perang tak bisa dihindarkan lagi, TNI memburu pasukan TII dengan menggunakan taktik pagar betis yaitu dengan menggunakan ribuan tenaga rakyat untuk mengepung markas TII di sebuah gunung. Selain itu juga digunakan strategi operasi tempur Bharatayudha. AKhirnya setelah waktu yang lama, yaitu 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap dan dihukum mati.

 

Ternyata NII di Jawa Barat menginspirasi berdirinya NII di daerah lain salah satunya di Jawa Tengah.  Jika di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo, di JAwa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1949, Fatah juga sekaligus mendeklarasikan Tentara Islam Indonesia. Pemerintah juga menurunkan personel TNI untuk menumpas pemberontakan ini yang disebut dengan Banteng Raiders, tahun 1954 NII Jawa Tengah ini berhasil ditumpas.

 

Selain di Jawa Tengah, TII juga muncul di Sulawesi Selatan.  DI sini TII dipimpin oleh Kahar Muzakar. Kahar Muzakkar mengumpulkan laskar-laskar gerilya Sulawesi Selatan dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), Dia kemudian menuntut agar KGSS dimasukkan ke dalam satu Brigade kemudian dinamakan Brigade Hasanuddin. Namun rencanannya ini ditolak pemerintah.  Pemerintah hanya menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat untuk dijadikan tentara.  Bagi yang tidak lolos dimasukkan ke Corps Tjadangan Nasional (CTN), kebijakan ini ternyata membuat Muzakkar kecewa. Muzakkar ingin agar semua anggota KGSS otomatis menjadi anggotanya di dalam Brigade Hasanuddin.

            Pemerintah kemudian melakukan pendekatan kepada Muzakkar dan pasukannya, Muzakkar bersedia dilantik menjadi Wakil Panglima Tentara Teritorium VII dengan pangkat Letnan Kolonel. Sayangnya pada saat menjelang pelantikan, Muzakkar dan pasukannya melarikan diri dan membuat kekacauan, bahkan tanggal 17 agustus 1953 dia mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menjadi bagian dari NII/TII Kartosuwiryo. TNI pada akhirnya diturunkan, hingga pada 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar semakin terdesak dan akhirnya tertembak mati.

 

Pada bulan Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS) yaitu negara federal dibubarkan, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan penyederhanaan administrasi pemerintahan. Salah satunya adalah penurunan status beberapa daerah. Aceh yang sebelumnya berbentuk Daerah Istimewa turun menjadi karesidenan (setingkat kabupaten) di bawah Provinsi Sumatera Utara. Tentu saja kebijakan ini mendapat penolakan dari tokoh atau pemimpin Aceh, salah satunya Gubernur Militer Aceh yaitu Daud Beureuh.

            Akhirnya pada tanggal 20 September 1953, Ia memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.  Setelah itu Beureueh dan pasukannya melakukan gerakan untuk menguasai kota-kota di Aceh dan menjelek-jelekkan pemerintah RI. Pada akhirnya TNI diturunkan untuk memadamkan pemberontakan ini dan perang jadi berlarut-larut.

Selain upaya militer, Soekarno dan Hatta juga mengupayakan pendekatan lewat perundingan dengan Beureuh. Agaknya strategi ini berhasil, pada tahun 1961 Beureuh turun gunung dan menyatakan kembali bergabung dengan NKRI.  akhirnya pda tanggal 17-28 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan berhasil memulihkan keadaan di Aceh. Beureuh meninggal di Aceh pada tahun 1987.

 

Pemberontakan ini diawali karena ketidakpuasan sebagian pemimpin militer di daerah akan ketimpangan pembangunan di pusat dan daerah. Akhirnya mereka membentuk Dewan-Dewan Militer Daerah seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat (Kolonel Achmad Husein), Dewan Gajah di Medan (Kolonel Simbolon), Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Letkol Barlian) dan Dewan Manguni di Manado (Kolonel Ventje Sumual). Sebenarnya pemerintah pusat telah melakukan upaya pendekatan terhadap para pemimpin Dewan Militer ini, namun tidak menghasilkan apa-apa.

Pada 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa di Padang yang dihadiri pemimpin Dewan-Dewan Militer tadi.  Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yaitu :

  • Dalam waktu 5x24 jam Kabinet Juanda menyerahkan mandat kepada Presiden
  • Presiden menugaskan Hatta dan Hamengkubuwono IX membentuk Kabinet baru
  • Meminta Presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.

Tentu saja tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat.  Pemerintah akhirnya memecat secara tidak hormat para pemimpin Dewan Militer tersebut.  Akhirnya, karena tuntutannya ditolak, pada 15 Februari 1958 Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusionel Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Proklamasi ini mendapat dukungan dari Kolonel DJ Somba di Sulawesi. Dia menyatakan Sulawesi Utara dan Tengah bergabung dengan PRRI dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI.

Akhirnya pemerintah melakukan operasi militer yg disebut Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani untuk menumpas pemberontakan ini.  Ternyata pemberontakan ini mendapat dukungan dari Amerika Serikat, buktinya sebuah pesawat tempur Amerika Serikat tertembak jatuh oleh pasukan Indonesia. Pesawat ini dikendalikan oleh Alan Pope, pilot Amerika Serikat yang diyakini merupakan bagian dari CIA. Namun pemberontakan PRRI seperti tidak mendapat dukungan penuh dari pendukungnya, dan akhirnya para pemimpinnya menyerahkan diri kepada TNI.